Share

3. Obrolan dalam bus

Sumpah ya! Aku capek? Capek sekali. Dan parahnya, rasa capek yang aku rasakan ini bukan jenis capek yang terasa di tubuh, tapi di pikiran. Penyebabnya adalah  karena semua pelamar yang datang benar-benar tidak berkompeten, terutama menurut pandanganku. Walaupun menurut yang lainnya, mereka cukup bisa menjawab semua pertanyaan wawancara yang diajukan oleh kami. Tapi aku masih merasa tidak puas dengan semuanya. Mungkin yang paling 'mending' adalah anak titipan yang sebelumnya aku dan Kale bicarakan. Aku sungguh bersyukur karena dia memiliki kompetensi yang cukup untuk diterima di perusahaan ini.

"Mbak, mau minum teh?"

Dengan tingkat kelelahan yang sangat tinggi, aku langsung mengangguk saat Kale dengan baik hatinya menawari aku segelas teh.

Anak itu langsung berbalik badan. Aku pikir, dia akan langsung menuju ke arah dapur kantor yang ada di ujung ruangan. Namun si baik hati itu malah berhenti di meja Lalisa hingga membuat Lalisa terkejut.

"Mbak Lisa mau?"

Aku mengulum senyum geli saat melihat Lalisa yang salah tingkah padahal hanya ditawari segelas teh hangat.

"Ma-mau," balasnya gagap.

Gemas sekali melihat Kale yang masih saja tidak peka. Dengan tidak berperasaan si lurus itu langsung melanjutkan jalan ke arah dapur kantor. Sedangkan aku langsung tertawa terbahak-bahak hingga membuat Lalisa kesal.

"Tawa aja lo!"

Aku malah semakin tertawa.

"Lagian, kok bisa sih lo tahan suka sama cowok yang bahkan enggak peka kalau lo salah tingkah setiap ditanya sama dia? Gue yang lihat aja gemas."

Lalisa mendengus, dia memainkan kursi putar nya dengan iseng.

"Ya gimana? Kalau bisa sih, gue udah enggak mau suka sama dia semenjak dia nolak gue. Tapi anehnya gue masih saja suka sama dia. Dia enggak punya kekurangan yang bikin gue enggak suka lagi sama dia. Anaknya gemesin banget sampe pengen gue bawa pulang."

Aku semakin tidak bisa mengontrol tawaku. Lalisa memang gila, sudah ditolak tapi masih bisa berkata seperti itu.

Buru-buru aku menutup mulutku saat Kale datang membawa dua gelas kecil berisi teh panas yang masih mengepul.

"Loh, kamu sendiri enggak buat?" tanyaku kaget. Padahal dia yang menawari ku, tapi dia sendiri yang tidak buat.

"Saya udah minum susu tadi."

"Pffttt!"

Aku menahan tawaku saat mendengar jawaban dari Kale. Sumpah ya! Selain kolot dia juga mirip bayi, benar kata Lalisa bahwa Kale memang menggemaskan.

"Apa sih, Mbak? Memangnya orang dewasa enggak boleh minum susu?"

Aku semakin ingin menggodanya saat dia memasang wajah kesal.

"Siapa dewasa? Memangnya kamu udah dewasa? Enggak kelihatan."

Mendengar komentar dariku, Kale berdecak keras sambil melenggang ke arah kursinya.

Aku lagi-lagi tertawa. Sedangkan Lalisa hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku dan Kale yang memang selalu seperti itu.

Merasa lelah tertawa, aku akhirnya menyerah. Aku memilih melanjutkan tugasku untuk menuliskan kesan atau kesimpulan dari setiap peserta lamaran. Laporan ini yang nantinya akan diberikan pada Manajer untuk ditindaklanjuti dan dipilih orang-orang yang memiliki komentar paling positif.

Lagipula aku harus memburu waktu jika ingin pulang menggunakan bus. Bus menuju arah rumahku dan Kale tidak selalu ada setiap waktu. Maka dari itu aku dan Kale harus pulang tepat waktu agar tidak ketinggalan bus.

Melirik ke arah manusia menggemaskan itu, Aku menyipitkan mata saat melihat Kale yang sudah duduk santai di kursi nya. Padahal jam masih setengah lima dan itu artinya jam pulang masih sekitar setengah jam lagi.

"Kerjaan kamu udah selesai?" tanyaku penuh selidik.

Si anak kecil itu hanya melirik sekilas padaku kemudian memutar kursi beroda nya. Wah! Sombong sekali anak itu. Mode merajuk nya benar-benar menyebalkan.

"Udah lah! Memangnya Mbak? Sibuk ngetawain dan ngisengin orang mulu! Awas aja kalau sampai jam pulang Mbak malah belum selesai, saya bakalan pulang sendirian dan enggak mau nunggu Mbak," ucap anak itu dengan nada kesal.

Aku sejujurnya ingin tertawa melihat tingkahnya itu, namun karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, maka aku berusaha keras menahan agar tidak tertawa.

"Oke deh! Bakalan selesai kok sebentar lagi. Tenang aja!"

Tidak ingin diejek atau diremehkan olehnya, maka aku segera melaksanakan tugasku dengan cepat dan tepat. Berani-beraninya anak kecil itu meremehkan aku. Awas saja!

*

Sialnya, kami harus berlarian mengejar bus karena ternyata pekerjaan ku tidak bisa selesai tepat waktu. Akhirnya setelah berhasil mengejar bus, aku dihadiahi omelan Kale yang tidak berujung.

"Makanya, Mbak. Orang tua memperingatkan kita buat enggak sombong tuh ya karena ini. Supaya enggak malu kalau ternyata kenyataan enggak sesuai sama omongan."

Aku hanya bisa duduk sambil menyabarkan hatiku dalam perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit ini. Aku memaklumi kalau Kale kesal, karena bagaimana pun dia sudah selesai sejak tadi sore dan harus tetap berlarian karena aku yang sombong ini. Maka walaupun telingaku kesal mendengar apa yang diucapkan oleh Kale, namun aku hanya bisa diam sambil berpura-pura tidak mendengar.

Ketika melirik sedikit, aku baru sadar kalau Kale ternyata tidak duduk di sampingku. Pria itu justru malah berdiri sambil berpegangan pada besi di atas kepalanya.

"Kenapa enggak duduk? Takut najis ya kalau duduk deket aku?" tanyanya agak sinis.

Mata Kale melebar, kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Omongan Mbak jelek banget," komentar anak itu. Aku melengos.

"Saya enggak duduk karena kalau duduk, saya suka ngantuk dan yang ada nantinya malah kebablasan."

"Ya makanya, aku kan nawarin buat pulang naik taksi online aja. Kenapa bandel banget sih enggak mau naik taksi online?" Aku menyalahkan dia yang begitu kukuh untuk tidak pulang menggunakan taksi online. Padahal jika saja dia mau, kami tidak harus berlarian mengejar bus seperti tadi.

"Enggak aman, Mbak," kilah anak itu.

Dari cara bicaranya, dia terdengar lelah. Mungkin benar jika dia akan langsung tertidur saat duduk di bangku bus yang keras namun jelas lebih nyaman daripada berdiri ini.

"Enggak semuanya enggak aman, Kale. Lagian kamu kan lelaki, masa enggak bisa bela diri sih? Cemen ah."

Mungkin jika orang lain akan merasa tersinggung dengan apa yang baru saja aku katakan, tapi untunglah bahwa orang itu adalah Kale. Sehingga anak itu hanya terdengar menghela napas saja saat mendengar ucapanku.

"Sekalipun saya bisa bela diri, bukannya lebih baik kalau menghindari bahaya? Saya sering banget baca berita kasus taksi online yang enggak aman, kalau kita yang mengalami hal seperti itu, rasanya pasti merepotkan."

Lalu anak itu melirik padaku, tampak mengamati ku dengan matanya yang agak sayu itu.

"Apa?" gertak ku.

Kepalanya menggeleng pelan. "Mbak juga, kalau bisa jangan terlalu sering naik kendaraan yang cuma ada Mbak sama supir nya aja di dalamnya. Mending naik bus kayak gini atau kereta. Lebih aman kereta karena ada gerbong khusus wanita," kata dia kemudian.

Aku mendengus pelan. Memilih mengangguk saja daripada harus mendengar ocehannya yang lebih panjang lagi dari ini.

Sesaat kemudian, supir bus mengerem cukup mendadak hingga Kale hampir saja terjatuh ke depan kalau saja aku tidak bergerak reflek dengan menarik tali ranselnya.

"Ngeyel sih! Aku bilang kan duduk aja samping aku," omelku kesal.

Kale yang tampaknya masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, tanpa sadar menurut saat aku menarik sedikit lebih keras dirinya untuk duduk di kursi sampingku yang kosong.

"Kaget ya?" tanyaku.

Setelah diam sekian lama, Kale akhirnya menoleh padaku kemudian mengangguk.

"Saya ngebayangin tadi, kalau saya jatuh ke depan pasti lukanya enggak main-main. Seenggaknya saya bisa nabrak besi penyangga kursi sana tiang yang ada di dekat supir. Itu nyeremin banget, Mbak."

Harusnya aku prihatin dan juga ikut takut saat mendengar ucapan Kale, tapi yang terjadi aku justru tertawa karena melihat wajah piasnya yang lucu.

"Ya sudah. Yang penting kan sekarang kamu enggak apa-apa," kataku enteng.

Kale mengangguk, ekspresinya tampak lebih rileks daripada sebelumnya. Dia bahkan sudah menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, sepertinya bersiap untuk tidur.

Aku berpikir sebentar, antara rumahku dan Kale, aku yang akan lebih dulu turun. Kalau Kale tertidur dan aku turun, maka ada kemungkinan dia akan terlambat turun dan terbawa hingga ke tempat yang lebih jauh daripada rumahnya. Jadi dengan ini aku memutuskan untuk mengajaknya mengobrol apapun agar dia tidak mengantuk.

Dan demi melancarkan rencana ku itu, aku menyenggol tangannya, membuatnya yang sudah siap memejamkan mata kembali terjaga.

"Aku penasaran, Kal," kataku membuka obrolan.

Alisnya tampak naik. Tangannya memindahkan tas ransel nya ke depan karena dirasa mengganjal.

"Kenapa sih kamu berpikir buat enggak pacaran? Apa kamu enggak ngerasa kalau itu kolot banget?"

Mendengar pertanyaan dariku, Kale hanya mengangkat bahunya acuh.

"Ya enggak kenapa-kenapa, cuma dari jaman saya masih sekolah SMA dulu saya sering lihat teman-teman saya yang pacaran itu jadi enggak fokus sama kehidupannya yang lain. Salah satunya ada sahabat aku yang dari kelas satu udah juara umum, tapi pas kelas dua dia mulai pacaran, dia malah jadi enggak fokus sama pendidikannya. Ranking nya menurun, dia juga sering sibuk enggak jelas. Ujung-ujungnya pas putus, dia kelabakan buat balik kayak dulu. Dan kasusnya bukan hanya satu itu aja, rata-rata orang yang pacaran memang begitu. Mereka terlalu menggebu-gebu, sampai lupa kalau hidup mereka bukan cuma perkara nyari pasangan."

Aku meneguk ludah tanpa sadar saat melihat wajah serius Kale. Anak ini tidak main-main dengan prinsipnya yang tidak mau pacaran. Aku jadi merasa kasihan pada wanita-wanita yang menyukainya seperti Lalisa.

"Tapi aku enggak tuh," sangkal ku. "Aku masih tetap oke di pekerjaan walaupun aku pacaran sama Mas Fattah. Sama keluarga juga aku masih akrab-akrab aja," tambah ku lagi.

Kale tampak mengulum senyum kecil saat mendengar ucapan ku.

"Ya tapi enggak semua orang bisa kayak Mbak kan? Saya ini belum tahu apa jadinya saja kalau pacaran, takutnya saya sama kayak teman saya itu makanya saya enggak mau ambil resiko. Buat saya sekarang, masih banyak hal yang lebih penting jadi saya enggak mau terganggu dengan hal-hal seperti itu. Soal pasangan, pasti ada masanya."

Karena tidak bisa lagi membantah, akhirnya aku memilih untuk iya saja.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status