"Neng!"Aku akui aku sudah seperti anak kecil yang langsung berlari begitu melihat Fattah sudah ada di depan rumahku. Pagi ini Fattah menjemput ku di rumah sebagai ganti dari kemarin dia yang tidak bisa mengantarkan aku pulang.Baik sekali kan pacarku ini?Dengan senyum seceria mentari pagi, aku melangkah riang memasuki mobilnya. Dia menyambut ku dengan senyum juga walaupun tentu saja tidak selebar senyum yang aku punya."Enggak apa-apa kalau aku enggak ketemu sama Papa Mama kamu dulu?" tanyanya sedikit khawatir.Aku menoleh ke belakang tubuh saat menerima pertanyaan seperti itu. Kepalaku lalu menggeleng."Enggak masalah kok. Papa Mama lagi sarapan dan sebentar lagi juga Papa berangkat, jadi kayaknya sekarang Mama lagi sibuk nyiapin bekal buat Papa."Satu yang spesial dari kedua orang tuaku adalah, sejak mereka pertama menikah hingga sekarang anak bungsunya sudah berumur dua puluh lima tahun, Mama selalu membawakan Papa bekal. Bukan karena mereka pelit, namun karena Papa tidak suka me
"Pokoknya gue mau makan yang pedes banget biar bisa ngalahin panasnya hati gue."Aku mengulum senyum mendengar ucapan yang disuarakan oleh Lalisa dengan keras. Sejenak aku melirik pada Kale yang berdiri bersisian dengan Lili. Baru hari pertama dan mereka sudah tampak sangat dekat sekali seperti dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Pantas saja jika Lalisa mengeluh panas."Rendang gimana?" tanyaku. Tiba-tiba saja aku terpikirkan untuk bersantap dengan menu khas Padang itu. Membayangkan daging empuk dengan bumbu pedas yang khas, air liur ku sudah nyaris menetes."Rendang enggak terlalu pedas. Gue pengen yang pedass banget," ujar Lalisa sambil matanya melirik ke arah Lili."Yang pedas ya omongan Tetangga."Aku langsung terkikik saat mendengar sahutan dari Mas Adit yang baru saja keluar dari ruangannya."Gue ikut makan bareng kalian ya?" Aku mengangguk, begitu juga dengan Lalisa. Sedangkan Kale hanya diam sambil matanya yang menunduk memainkan ponselnya."Kalau mau yang pedas, gimana k
Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya."Basah kuyup deh," keluh ku keras.Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar
"Len, kayaknya belakangan ini Mama sudah jarang lihat Fattah. Kalian masih sama-sama kan?"Di acara sarapan pagi, Mama yang baru saja duduk bergabung setelah memastikan semua personilnya mendapatkan makanan, langsung bertanya tentang Fattah.Aku mengangguk, karena di dalam mulutku masih ada nasi yang menyulitkan aku untuk bicara."Masih kok, Ma. Kemarin juga kan aku pulang diantar sama Mas Fattah. Cuma emang belakangan dia enggak bisa mampir karena lagi ada project," kataku setelah berhasil menelan nasi goreng buatan Mama.Mama mengangguk lega. Sepertinya Mama mengkhawatirkan hubungan ku dengan Fattah hanya karena Fattah yang sudah jarang datang ke rumah.Padahal setiap kali mengantar atau menjemput ku, Fattah selalu menawarkan diri untuk turun dan menyapa Mama dan Papa tapi aku sendiri yang melarangnya.Bukan apa-apa, tapi aku sangat tahu bagaimana Mama dan Papa jika mengobrol dengan orang yang mereka suka. Keduanya akan lupa waktu dan itu akan menyulitkan Fattah. Jadi aku pikir, leb
Di waktu istirahat di saat ruangan sepi dari semua karyawan, aku yang terlambat pergi karena baru saja menghabiskan waktu di toilet malah menemukan sesuatu.Saat melewati ruangan kerjaku, aku mendapati Lili yang masih ada di sana. Gadis cantik itu tampak mondar-mandir di dekat meja kerja Kale. Sedangkan Kale sudah lebih dulu turun ke kantin karena katanya hendak membeli minuman hangat. Pria itu menolak untuk menitip karena katanya jika dia diam saja, kepalanya terasa pusing.Aku tadinya ingin langsung menyusul ke kantin saja karena rasanya tidak enak jika diam-diam mengintip. Tapi karena aku berpikir mungkin ada hal buruk yang terjadi, maka aku memilih sembunyi di balik tembok. Aku memperhatikan Lili, dari wajahnya gadis itu tampak kebingungan dan juga gelisah. Satu tangannya ada di belakang tubuh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Melihat itu aku jadi semakin penasaran tapi aku juga gelisah karena jam makan siang sudah sangat mepet sedangkan perutku terasa lapar.Aku galau antar
"Pulang naik apa?" tanyaku pada Kale yang masih sibuk menyusut ingus di hidungnya.Anak itu menoleh, membuat aku meringis melihat betapa merah wajahnya terutama bagian hidungnya itu."Naik bus, Mbak," jawabnya parau.Aku mengangguk. Mengangkat sebelah tangan ku untuk melihat jam berapa sekarang. Masih jam 18.05 dan janji temu ku dengan Fattah akan terjadi di jam 19.30, jadi aku memutuskan untuk tidak pulang dulu dan langsung menuju ke restoran yang sudah diberitahukan oleh Fattah, karena Fattah yang hendak menjemput ku justru aku larang karena jarak antara kantornya dengan kantorku lumayan jauh."Mbak naik bus juga?" ternyata Kale penasaran dengan bagaimana aku akan pulang.Tapi sayangnya aku tidak akan pulang."Enggak sih, kayaknya naik taksi online deh. Soalnya aku enggak pulang tapi ada janji buat ketemu sama Mas Fattah. Mau makan malam," terang ku dengan wajah senang.Tapi tanggapan dari Kale hanya mengangguk dengan wajah lempeng yang menyebalkan. Anak itu memang tidak pernah ter
Aku masih tidak mengerti mengapa Kale mau-mau saja datang ke tempat yang jauh ini hanya karena satu pesan yang aku kirimkan. Padahal dia bisa saja mengabaikannya. Atau mungkin dia berpikir bahwa aku sedang menangis karena gagal makan malam bersama dengan Fattah sehingga dia merasa kasihan?"Itu motor punya siapa?" tanyaku.Aku lebih tertarik dengan penampakan motor itu daripada kehadiran Kale. Karena jika memang bisa mengendarai dan memiliki kendaraan, mengapa dia harus bersusah-payah menunggu bus setiap harinya?Kale menoleh ke arah motor yang dia bawa, yang dia parkiran di depan restoran."Motor saya," jawabnya.Dia mengambil duduk di sampingku dengan kaki yang berselonjor."Kalau kamu punya motor, kenapa juga kamu enggak berangkat kerja naik motor? Kenapa harus naik bus?" tanyaku penasaran.Kale sempat terdiam selama beberapa saat hingga membuatku ragu, apakah dia mendengarkan pertanyaan ku atau tidak. Pasalnya kami berada di pinggir jalan dimana banyak sekali kendaraan yang lewat
Aku tidak berbohong saat mengatakan bahwa jalan-jalan malam yang aku lakukan bersama dengan Kale benar-benar mampu membuat aku lupa. Bukan hanya lupa pada masalah ku tapi aku juga lupa pada waktu. Karena begitu aku dan Kale benar-benar pulang, waktu sudah melewati pukul sembilan malam.Dan yang membuat aku terkejut saat tiba di rumah adalah karena Fattah yang sesaat lalu membatalkan janji, sudah duduk di kursi teras seorang diri.Aku menatapnya sekilas, sebelum kemudian kembali menghadap Kale."Makasih ya karena kamu udah nganterin aku dan nemenin aku tadi," ucapku tulus.Kale yang juga menyadari keberadaan Fattah, sempat melirik ke arah teras sebelum kemudian kembali menatapku."Iya, kalau begitu saya pulang ya, Mbak?"Aku mengangguk. Merasa bersalah pada Kale yang sepertinya merasa tidak enak pada Fattah. Tapi ini bukan salahnya, Kale justru menolong aku di saat aku benar-benar merasa sesak dengan apa yang terjadi. Jadi entah itu Fattah atau siapapun, tidak ada yang berhak untuk men