Share

4. Karyawan baru

"Neng!"

Aku akui aku sudah seperti anak kecil yang langsung berlari begitu melihat Fattah sudah ada di depan rumahku. Pagi ini Fattah menjemput ku di rumah sebagai ganti dari kemarin dia yang tidak bisa mengantarkan aku pulang.

Baik sekali kan pacarku ini?

Dengan senyum seceria mentari pagi, aku melangkah riang memasuki mobilnya. Dia menyambut ku dengan senyum juga walaupun tentu saja tidak selebar senyum yang aku punya.

"Enggak apa-apa kalau aku enggak ketemu sama Papa Mama kamu dulu?" tanyanya sedikit khawatir.

Aku menoleh ke belakang tubuh saat menerima pertanyaan seperti itu. Kepalaku lalu menggeleng.

"Enggak masalah kok. Papa Mama lagi sarapan dan sebentar lagi juga Papa berangkat, jadi kayaknya sekarang Mama lagi sibuk nyiapin bekal buat Papa."

Satu yang spesial dari kedua orang tuaku adalah, sejak mereka pertama menikah hingga sekarang anak bungsunya sudah berumur dua puluh lima tahun, Mama selalu membawakan Papa bekal. Bukan karena mereka pelit, namun karena Papa tidak suka memakan makanan lain selain masakan Mama. Mereka memang se manis itu.

"Oh begitu? Ya sudah kalau memang begitu," balas pacarku itu sambil menyalakan mesin mobil.

Aku memandangi nya dari bangku penumpang. Padahal kemarin siang juga aku bertemu dengan dia, tapi entah kenapa rasanya aku masih saja merindukannya. Ini sebenarnya gawat, karena aku sendiri merasa diriku ini terlalu menyukai Fattah. Tapi aku tidak khawatir, karena aku tahu bahwa Fattah juga sama cintanya denganku.

"Kamu sudah sarapan?" tanyaku.

Fattah menoleh sambil mengangguk.

"Sudah. Kebetulan tadi ada warung baru di depan apartemen, jadi aku sempetin makan dulu di sana. Ternyata buburnya enak, kapan-kapan kamu harus coba."

Aku terkikik. Wajah Fattah yang menceritakan warung bubur baru di depan apartemennya itu lucu sekali.

Oh iya, Fattah memang tinggal sendirian di apartemen karena kedua orang tuanya berada jauh di Singapura. Ayahnya memiliki bisnis di sana sehingga Fattah sudah tinggal sendirian semenjak dia kuliah.

"Kalau begitu, besok aku k apartemen kamu aja pagi-pagi, gimana? Habis itu kita bisa berangkat ke kantor bareng," usul ku.

Fattah langsung mengerutkan keningnya.

"Bukannya itu malah muter-muter? Kalau ke apartemen aku kan arahnya beda sama kantor kamu?"

Aku menyengir, "Ya kan yang penting bisa makan bareng sama kamu dan nyobain bubur yang kamu bilang enak itu."

Pacarku itu tampak tertawa kecil, gemas sekali  rasanya aku ingin memeluknya. Sayang, aku masih bisa melihat dengan jelas bahwa pacarku tengah menyetir dan memeluknya secara tiba-tiba sangat tidak disarankan.

"Ya enggak usah begitu. Besok aku jemput kamu lagi aja sambil bawain buburnya. Kan buburnya bisa dibungkus," katanya yang lebih masuk akal daripada saranku yang ribet tadi.

Aku pun tidak membantah dan mengangguk saja.

"Pokoknya kamu enggak akan nyesel. Buburnya memang baru buka seminggu tapi enak dan laris banget. Imel aja kemarin sampai bela-belain datang ke sana buat makan buburnya lagi."

Aku yang semula sedang melihat ke arah luar jendela, langsung menoleh ke arah Fattah.

Mataku mengerjap pelan melihatnya yang masih asik menyetir. Ada sedikit rasa aneh di hatiku setelah tahu bahwa ada yang sudah lebih dulu mencoba bubur ayam di depan apartemen itu daripada aku.

"Kok Imel bisa udah tahu soal bubur itu?" tanyaku. Aku berusaha menjaga nada bicara ku agar tidak terdengar seperti sedang cemburu.

"Oh, waktu itu kan dia naik bus terus salah turun di halte yang ada di dekat apartemen ku. Karena dia itu buta arah, makanya dia nelepon aku dan nanya dia harus naik bus yang mana supaya bisa sampai kantor. Aku enggak tega biarin dia naik bus, makanya aku jemput dia di halte dan ngajak dia makan dulu bubur di depan apartemen ku itu. Eh, dia malah ketagihan!"

Ekspresi Fattah begitu santai saat menjawab pertanyaan dariku, itu menandakan bahwa mereka memang tidak ada hubungan apapun dan Fattah sepenuhnya hanya menolong Imelda yang tersesat. Aku jadi merasa picik karena sempat berpikir yang tidak-tidak di saat Fattah begitu setia dan jujur padaku.

"Oh ya? Ternyata selain pendiam dan pemalu, Imel juga enggak ngerti jalanan ya?" kataku sambil tertawa pelan.

Fattah ikut tertawa. "Dia itu kayak anak kecil banget, Neng. Aku kalau lagi sama dia, berada punya adik jadinya. Aku harus selalu ngawasin dia karena dia itu ceroboh."

Aku hanya mengangguk, kali ini memilih untuk tidak menjawab dan mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.

Tahu kenapa? Karena aku perlu waktu untuk meyakinkan diriku bahwa hubungan mereka memang hanya sebatas itu. Toh aku dan Kale pun sama dekatnya, mungkin ada waktunya dimana Fattah juga merasakan perasaan janggal seperti apa yang aku rasakan sekarang.

*

Ketika aku baru sampai di ruangan, aku melongo di ambang pintu masuk saat melihat Kale yang berdiri bukan pada tempatnya.

Aku yakin tidak salah ingat saat seharusnya di jam segini Kale sudah duduk anteng di mejanya. Namun kali ini, Kale tengah berdiri di meja yang sebelumnya adalah milik Kitty. Rekan kerja kami yang berhenti karena hamil dan menikah.

Saat aku memiringkan kepala demi melihat siapa yang duduk di meja itu sekarang, aku langsung membulatkan bibirku dengan suara lirih 'oh'.

Gadis cantik yang memakai kemeja putih dengan tile di bagian bawah nya itu adalah anak 'titipan' yang lolos interview. Namanya Lili, lebih lengkap adalah Liara dan nama panjangnya aku lupa siapa. anaknya manis, murah senyum dan juga santun. Bahkan aku saja takjub karena baru kali ini ada anak 'titipan' yang tidak songong dan semena-mena.

Daripada berjalan ke arah mejaku sendiri, aku justru berjalan ke arah meja Lalisa. Wajah Lalisa sudah terlihat sangat masam seperti jeruk yang belum masak.

"Kenapa tuh? Tumben dia udah nangkring di meja orang?" tanyaku setengah berbisik.

Lalisa hanya melirik sekilas padaku.

"Iya, kalau lihat dia pagi-pagi udah ada di meja lo sih, gue udah enggak heran. Tapi ini pagi-pagi dia udah dengan rajinnya ngapel ke meja anak baru."

Aku meringis. Entah kenapa ucapan Lalisa itu terasa seperti sindiran bagiku. Agak tidak enak hati juga.

Mataku kemudian kembali menatap ke arah Kale dan di waktu yang sama, anak itu menyadari tatapan ku dan berbalik badan. Senyumnya terkulum lebar menyapaku.

Aku berdeham saat Lalisa melirik lagi padaku.

"Gue ke meja gue dulu ya," pamit ku segera.

Langsung aku duduk dengan diam dan menyalakan perangkat komputer ku. Aku taruh tasku di laci meja kerja saat Kale berubah haluan mendekati ku.

"Baru datang, Mbak?" tanyanya.

Aku mengangguk, sekilas melirik ke arah meja anak baru yang tanpa disangka sedang menatap juga ke arahku. Aku tersenyum tipis untuk menyapanya.

"Ngapain kamu di sana tadi?" tanyaku pelan.

Ketika Kale hendak menoleh ke belakang tubuhnya setelah mendengar pertanyaan ku, aku menahannya dengan mencubit tangannya pelan. Dia meringis.

"Tadi dia minta saya ajarin buat bikin laporan pajak. Katanya, dia lemah sama yang hitung-hitungan makanya enggak mau ngelamar ke bagian Keuangan bareng sama Mas Ali."

Aku mencibir. Rasanya aku tidak percaya dengan alasan semacam itu.

"Memangnya tadi baru kamu aja yang datang?"

Kale menggeleng dengan polosnya.

"Ada Mbak Ria kok sama Bang Teguh. Kenapa memangnya?"

Aku menatap jengah pada Kale. Bisa-bisanya anak ini masih bisa bertanya seperti itu.

Sudah jelas kan bahwa anak baru itu hanya modus padanya dengan minta diajari seperti itu, padahal sudah jelas jarak meja Ria dan dan Teguh lebih dekat dengan meja anak baru itu.

"Enggak Kenapa-kenapa," jawabku malas.

Aku segera membuka dokumen yang aku butuhkan, juga dengan email kerja yang terhubung langsung. Aku memeriksa adalah e-mail penting yang harus aku tanggapi sekarang.

Tapi baru juga aku mengotak-atik komputer kerjaku ini, sebuah bayangan menutupi sebagian darinya. Aku pikir itu hanya bayangan Kale, tapi ternyata itu adalah Lili yang sudah berdiri di samping Kale.

"Halo, Mbak Alen kan ya?" tanyanya dengan nada ramah.

Aku melirik pada Kale yang masih berdiri di sisi mejaku, anak itu tidak bereaksi sama sekali.

"Iya. Lo Lili kan? Selamat bergabung ya! Semoga betah bareng kita disini," sambut ku ramah juga.

Lili tersenyum, baru aku sadari bahwa ada lesung pipi yang cantik saat dia tersenyum.

"Kayaknya saya bakal betah, Mbak. Soalnya disini baik-baik orangnya, Mas Kale juga tadi baik banget mau ngajarin saya."

Aku tersenyum kikuk, melirik lagi pada Kale yang hanya tersenyum tipis.

Benar-benar si Kale. Aku jadi khawatir bahwa akan ada satu lagi korbannya Kale yang sama seperti Lalisa. Aku ke nih khawatir lagi karena sepertinya Lili orang yang perasa, bahaya kalau dia sampai patah hati dan kemudian mengundurkan diri dari kantor. Bisa-bisa aku dan teman team yang lain harus lembur lagi.

"Bagus deh kalau begitu. Selain Kale, yang lain juga bisa bantu kok kalau lo kesulitan. Jadi lo enggak usah malu atau sungkan ya, buat minta tolong," kataku.

Aku berharap Lili dapat mengerti maksudku. Bukan aku tidak suka dia dekat dengan Kale, aku sih senang-senang saja. Siapa tahu Lili bisa meruntuhkan prinsip Kale yang tidak mau pacaran itu. Tapi ini juga demi kebaikan Lili kalau-kalau dia benar-benar jatuh hati dan kemudian ditolak oleh Kale seperti Lalisa.

"Iya, Mbak. Saya..masih malu makanya tadi saya minta tolong Mas Kale saja. Lain kali, kalau ada yang bikin saya kesulitan, saya boleh ya tanya sama Mbak."

Aku langsung mengangguk tanpa ragu. Setidaknya lebih baik bertanya padaku demi kebaikan semua orang.

Setelahnya, Lili pamit kembali ke mejanya sedangkan saat Kale hendak kembali ke mejanya sendiri, aku menarik kemejanya.

"Enggak usah tebar pesona," sungutku terbawa kesal.

Kale menatapku dengan bingung, tapi aku justru melengos dan menolak untuk menjawab kebingungan nya. Biar saja anak itu tahu rasa!

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status