Share

5. Rendang

"Pokoknya gue mau makan yang pedes banget biar bisa ngalahin panasnya hati gue."

Aku mengulum senyum mendengar ucapan yang disuarakan oleh Lalisa dengan keras. Sejenak aku melirik pada Kale yang berdiri bersisian dengan Lili. Baru hari pertama dan mereka sudah tampak sangat dekat sekali seperti dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Pantas saja jika Lalisa mengeluh panas.

"Rendang gimana?" tanyaku.

Tiba-tiba saja aku terpikirkan untuk bersantap dengan menu khas Padang itu. Membayangkan daging empuk dengan bumbu pedas yang khas, air liur ku sudah nyaris menetes.

"Rendang enggak terlalu pedas. Gue pengen yang pedass banget," ujar Lalisa sambil matanya melirik ke arah Lili.

"Yang pedas ya omongan Tetangga."

Aku langsung terkikik saat mendengar sahutan dari Mas Adit yang baru saja keluar dari ruangannya.

"Gue ikut makan bareng kalian ya?"

Aku mengangguk, begitu juga dengan Lalisa. Sedangkan Kale hanya diam sambil matanya yang menunduk memainkan ponselnya.

"Kalau mau yang pedas, gimana kalau makan geprek aja?"

Sebuah suara lembut itu terdengar menyenangkan di telinga. Tapi ini lah sumber panas yang dirasakan oleh Lalisa sedari tadi.

Bahkan dengan juteknya Lalisa langsung menimpali.

"Enggak, gue masih mending makan rendang aja!"

Lili tampak kikuk setelah mendengar penolakan tegas dari Lalisa. Tapi hebatnya gadis itu langsung menoleh ke arah Kale, bertanya pada anak itu.

"Mas Kale, mau makan rendang atau geprek?"

Sebenarnya aku sudah lapar dan ingin segera pergi sekarang juga, yap nampaknya drama kini masih belum selesai. Sehingga dengan berat hati aku harus memasang telinga demi mendengar jawaban dari Kale.

Si anak polos itu langsung mengangkat pandangan, menatap satu persatu kepada semua orang.

"Memangnya kita mau makan dua menu itu?" tanyanya polos.

Aku berdecak sambil menggelengkan kepala.

"Kamu disuruh milih, mau makan geprek atau rendang," kataku sabar.

"Oh, Mbak mau makan apa?"

Kening ku mengerut samar, aku melirik pada Lalisa yang melotot, meminta ku menjawab Rendang lewat tatapan matanya. Sedangkan saat aku melirik ke arah Lili, gadis itu masih santai saja. Sepertinya Lili belum tahu hukum yang berlaku di team ini dimana Kale si penurut itu akan mengikuti apa saja pilihanku. Bukan aku sombong dan takabur, tapi memang ini kenyataannya.

"Aku mau makan rendang. Kebayang wangi bumbunya," balas ku dengan memasang cengiran lebar.

Seperti dugaan ku, Kale langsung mengangguk dengan santai.

"Ya sudah, saya juga makan rendang aja. Pengen peyek udang juga."

Lalisa langsung tersenyum menang setelah mendengar jawaban Kale, sedangkan Lili tampak kecewa karena berharap Kale akan memilih pilihan yang sama dengannya.

"Jadi gimana nih? Mau Rendang apa Geprek? Gue udah lapar banget," tanya Mas Adit tidak sabar.

Dan karena pilihan terbanyak adalah rendang, maka kami putuskan untuk makan siang di rumah makan Padang yang ada tiga bangunan dari kantor kami.

Dengan berjalan kaki, kami ramai-ramai menuju rumah makan yang sudah aku tebak akan ramai. Untungnya Lalisa memiliki nomor karyawan di sana sehingga tadi setelah keputusan diambil, dia langsung mengirimkan pesan untuk mengamankan satu meja untuk lima orang.

"Mbak, saya mau rendang sama sayurnya juga ya. sambalnya dibanyakin," pesanku pada pelayan yang berdiri di depan etalase.

Tidak menunggu yang lain memesan, aku langsung berlaku setelah melengkapi pesanan ku dengan segelas es teh manis jumbo. Aku duduk dengan tenang, melipat kedua tangan di atas meja seperti anak TK yang bersiap untuk belajar. Satu demi satu dari rekan team yang ikut mulai bergabung bersama denganku dan Kale dengan santainya langsung mengambil duduk tepat si sebelahku walaupun matanya masih fokus pada ponsel.

"Kan masih banyak bangku yang lain," bisikku saat melihat Lili yang sejak tadi melirik ke arah Kale.

Kale menoleh padaku dengan sebelah alis terangkat naik.

"Memangnya yang ini buat siapa?" tanyanya sambil menunjuk kursi yang dia duduki.

"Ya  bukan siapa-siapa sih, cuma kan--"

"Ya sudah kalau memang bukan buat siapa-siapa," balasnya santai.

Aku menyerah. Pilihan terakhir ku adalah dengan tidak menatap ke arah Lili atau Lalisa.

Untungnya pesanan kami datang tidak lama setelahnya sehingga aku langsung menyibukkan diri dengan memakan makanan ku ini.

"Yah, kok pakai daun singkong sih," gumam ku pelan.

Tanpa aku duga, Kale dengan sigap mengulurkan sendok miliknya untuk memindahkan daun singkong di piring ku ke piringnya.

Ini bukan aksi yang aneh bagiku, karena Kale memang selalu melakukan hal ini setiap kali makan bersamaku. Entah memindahkan apa yang dia suka padaku atau memindahkan apa yang aku tidak suka kepadanya.

Tapi tentu saja ini pemandangan yang tidak biasa untuk mereka semua yang duduk bersama kami, mereka semua melongo menyaksikan betapa sigap nya Kale memindahkan daun singkong yang tidak aku suka ke piringnya.

Aku meringis, tidak bisa berkata apapun dan hanya menunduk untuk memakan makanan ku. Sepertinya setelah ini, aku akan jadi musuh publik teruntuk Lalisa dan Lili.

Terimakasih aku ucapkan untuk Kale yang baik hati.

*

"Lo beneran enggak ada apa-apa sama Kale? Lo beneran?"

Aku memejamkan mata saat mendengar pertanyaan itu secara beruntung dari Lalisa. Padahal sejak pulang dari makan siang, aku sudah menjelaskan padanya. Tapi si bucin ini tidak mau percaya dan terus menanyakan hal yang sama.

"Iya, Lis. Gue harus ngomong berapa kali? Itu cuma kebiasaan kecilnya gue sama Kale aja kalau makan bareng, dia enggak suka kulit ayam, jadi kalau makan ayam kulitnya di hibahin ke gue. Begitu juga dengan gue, kalau ada yang gue enggak suka ya gue kasih ke dia," terang ku.

Lalisa mendengus. "Kayaknya gue juga bahagia kalau bisa temenan sama Kale kayak gitu. Teman rasa pacar."

Aku meringis mendengar ucapan Lalisa.

"Jangan ngomong begitu dong, Lis. Kan enggak enak kalau ada yang dengar, disangkanya gue beneran ada apa-apa sama Kale."

Lalisa tertawa kecil. "Ya gimana? Gue jamin deh orang lain juga bakalan salah paham kalau lihat kalian yang kayak gitu. Untung aja Mas Fattah lo itu enggak cemburuan, kalau cemburuan lo sama dia udah bubar dari lama."

Aku terdiam begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Lalisa. Aku jadi terpikir tentang kejadian terakhir kali saat Fattah dan Imelda lebih dulu mencoba bubur ayam yang ada di apartemen Fattah daripada aku, aku merasa cemburu untuk sesaat. Aku jadi berpikir, mungkinkan Fattah akan cemburu juga saat melihat kejadian tadi saat Kale mengambil daun singkong yang tidak aku suka.

Entah kenapa aku jadi malah menyesalkan Fattah yang tidak melihat kejadian itu, karena sejujurnya aku berharap dia bisa cemburu padaku sedikit saja.

"Lo tahu? Kayaknya Lili beneran naksir sama Kale," bisik Lalisa tiba-tiba.

Mendengar itu, aku melirik ke arah Lili yang sedang fokus di meja kerjanya.

"Emangnya kenapa?"

Lalisa berdecak. "Pakai tanya kenapa. Tadi dia ngeliatin lo sama Kale banget pas kejadian daun singkong itu. Gue juga kesel sih lihatnya, tapi kayaknya dia lebih dari kesel. Udah kelihatan mau nimpuk lo aja, gue rasa."

Aku terkikik. Menganggap ucapan Lalisa sebagai candaan.

Tapi ketika aku melirik lagi ke arah Lili, aku terkejut saat gadis yang dari awal aku duga ramah itu langsung membuang muka saat bertatapan denganku. Aku jadi merinding menyadari bahwa ucapan Lalisa ternyata bukan hanya sekedar omong kosong.

Berganti ke arah lain, aku melirik ke arah Kale yang anteng-anteng saja. Padahal dia yang menyebabkan kekacauan ini, tapi dia malah tidak mengerti dengan situasi yang ada. Ugh! Rasanya aku ingin melemparnya dengan tempat bolpoin yang ada di mejaku.

"Lis, lo kalau lagi cemburu lihat gue sama Kale, bawaannya lo mau ngelakuin apa?" tanyaku iseng.

Lalisa yang masih berdiri di samping meja kerja ku, menaikan sebelah alis.

"Kalau bisa sih, gue mau ngasih foto lo ke dukun biar lo di guna-guna."

Aku melotot, mengusap dadaku dengan pelan.

"Astagfirullah. Lo berdosa banget, Lis."

Lalisa terkekeh. "Ya lagian lo nanya ada-ada aja. Gue enggak sepicik itu. Sekalipun gue cinta mati sama Kale, tapi nyatanya gue emang enggak punya hubungan apa-apa sama Kale jadi mau cemburu kayak gimana juga ya gue enggak punya hak buat marah sama lo."

Tanpa sadar aku menghela napas lega. Entah kenapa aku ngeri juga kalau sampai menerima akibat dari kecemburuan tidak beralasan di saat aku sendiri tidak memiliki hubungan apapun dengan Kale.

"Yang penting lo udah tahu kalau gue udah punya Mas Fattah dan Mas Fattah gue itu lebih baik seratus kali lipat daripada Kale, jadi gue enggak akan tergoda sama wajah polosnya Kalendra itu," kataku yakin.

Lalisa hanya mengedikan bahunya. Tangannya memasukan ponsel yang sejak tadi dia pegang ke dalam saku celananya.

"Jangan ngomong begitu, takutnya lo kena tulah terus jadi jatuh cinta sama Kale. Bukannya apa-apa, tapi takutnya lo yang sedekat ini sama dia pun bakalan ditolak karena dia kukuh buat enggak pacaran."

Aku bergidik. Bukan karena masalah aku jatuh cinta atau tidak pada Kale, tapi karena ucapan Lalisa yang terakhir kali dimana kemungkinan sekalipun aku yang menyatakan cinta padanya, dia akan tetap menolak.

Untuk yang satu itu, aku yakin memang itu yang akan terjadi karena Kale adalah manusia yang memegang teguh dan erat prinsip yang diyakininya.

"Semoga seumur hidup gue enggak akan pernah punya perasaan lebih ke Kale. Ngeri juga kalau gue sampai ditolak kayak lo, apalagi kalau dibandingin lo sama gue, jelas lebih cantikan lo."

Lalisa tertawa. "Lo tahu enggak apa yang bikin Kale pada akhirnya nyaman deket sama lo?"

Kening ku berkerut samar.

"Kenapa memang?"

Senyum seringai muncul di wajah Lalisa.

"Karena di antara perempuan lajang yang ada disini, lo adalah satu-satunya yang enggak akan suka sama dia. Makanya dia santai aja pas deket sama lo. Tapi kalau nantinya lo juga suka sama dia, bisa-bisa dia minta pindah Divisi karena enggak tahan sama penghuni lajang ruangan ini."

Kalimat mengerikan itu anehnya dikatakan dengan tawa menguar oleh Lalisa. Aku tidak bisa relate karena bagaimana pun aku merasa itu fakta yang menyeramkan.

Tuhan, biarkan aku selalu jatuh cinta pada Mas Fattah agar tidak ada kesempatan bagiku untuk jatuh cinta pada Kale. Aamiin

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status