Share

6. Payung

Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.

Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya.

"Basah kuyup deh," keluh ku keras.

Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.

Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar jauh demi bisa mengantarkan kami. Jadilah kami terkadang lebih memilih menggunakan taksi online atau taksi konvensional dengan harga yang lumayan daripada harus menumpang kepada dua orang itu.

"Lo enggak dijemput?" tanya Lalisa.

Aku cemberut dengan menggeleng.

"Enggak tahu. Mas Fattah belum balas pesan gue, biasanya kalau dia enggak balas berarti dia lagi sibuk dan itu artinya dia enggak bisa jemput gue," jawab ku nelangsa.

Lalisa mencibir. "Percuma dong punya pacar ganteng, baik, setia, kalau ujung-ujungnya tetep enggak bisa diandelin di waktu yang dibutuhkan kayak sekarang."

Mungkin jika itu orang lain, akan merasa tersinggung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Lalisa. Untungnya aku sudah mengenal wanita cantik itu dengan baik sehingga aku santai saja dengan ucapannya.

"Ya namanya juga budak korporat kayak kita, dia enggak bisa dong seenaknya pergi di saat masih ada pekerjaan yang harus dia lakuin," belaku. Aku tetap tidak terima dong pacarku dianggap tidak bisa diandalkan.

Mas Fattah itu adalah sebaik-baiknya pacar dan sangat bisa diandalkan. Dia akan langsung menjemput ku kalau aku bersikeras memintanya, hanya saja kadang aku yang tidak ingin membuatnya kerepotan. Toh masih banyak hal yang bisa aku lakukan sendiri tanpa bergantung padanya.

"Mbak, kita bisa naik taksi aja kalau Mbak mau. Keluarnya kita bisa pinjam payung punya kantor."

Aku terkejut saat tiba-tiba saja suara Kale terdengar. Padahal sejak tadi pria itu tidak ambil bagian bahkan saat peristiwa rendang dan daun singkong sekalipun.

"Kamu mau naik taksi? Beneran?" tanyaku tidak percaya.

Pasalnya seperti yang sudah pernah aku bilang di awal, Kale adalah pecinta kendaraan umum. Dia menolak naik taksi jenis apapun dengan alasan tidak aman.

"Ya karena hujan, apa boleh buat," balas anak itu.

"Kale kayaknya udah langsung siaga ya kalau Alen enggak dijemput sama Fattah," celetuk Lalisa.

Aku menoleh kemudian meringis pelan. Susah sekali menjadi yang satu-satunya y yang peka bahwa di ruangan ini pernah ada wanita yang menyukai Kale sedangkan Kale sendiri tidak perduli. Aku yang tidak bersalah ini jadi selalu merasa khawatir dan juga merasa bersalah setiap saat. Capek sekali.

"Karena yang rumahnya searah sama Mbak Alen kan cuma saya," kata anak itu santai.

Lalisa langsung menutup mulut sambil melirik ke arah ku.

Mau tidak mau aku jadi tertawa dengan sindiran atau sarkasme dari Lalisa yang tidak berhasil ditangkap dengan baik oleh Kale.

Padahal Lalisa sudah sering aku peringatkan agar tidak usah mengatakan apapun pada Kale, percuma saja. Pria itu tidak akan mengerti.

"Sudah jam pulang kantor begini, payung kantor pasti sudah habis," timpal Riva.

Ah, benar juga. Payung kantor biasanya selalu ditaruh di lobi. Kalau sudah seperti ini pasti payung kantor sudah habis.

"Iya, Kal. Tetap aja kayaknya kita harus lari dari lobi ke mobilnya," ucapku pada Kale.

Kale diam, tampak sedang berpikir sampai kemudian suara lembut terdengar menyahut.

"Aku punya payung sih tapi cuma satu. Kalau Mas Kale mau bareng aku, enggak apa-apa kok."

Bukannya menawari aku yang sesama wanita, Lili justru terang-terangan menawari Kale satu payung berdua.

Aku terdiam, melirik ke arah Lalisa yang terkekeh pelan.

Benar-benar, aku sampai kehilangan kata-kata setelah mendengar tawarannya.

"Sama saya?" tanya Kale.

Lili tampak mengangguk dengan senyum cantik.

"Enggak usah deh. Kalau cuma saya yang pakai payung, sama saja bohong. Nanti pas di mobil Mbak Alen basah, saya juga jadi ikut basah. Jadi nanti saya lari aja bareng Mbak Alen."

Aku melipat bibirku sambil berpura-pura menunduk. Tujuanku tentu saja menyembunyikan tawa yang bersiap menyembur setelah mendengar jawaban polos dari Kale.

Tapi berbeda denganku, Lalisa justru tertawa dengan lepas. Seperti sengaja untuk membuat Lili merasa malu.

"Ya ampun, Kale. Lucu banget sih kamu? Pantas aja aku jadi susah move on," katanya yang membuatku tertawa terbahak-bahak.

*

"Kenapa? Kok senyum-senyum?"

Aku menoleh, semakin memasang senyum lebar saat bertatapan dengan Fattah.

Di hujan sore hari, dimana tadinya aku akan pulang bersama dengan Kale menggunakan taksi, ternyata kekasihku yang sangat aku cintai ini sudah stand by di depan kantor dengan payung berwarna ungu yahh cantik. Fattah menjemput ku setelah membaca pesan yang aku kirimkan walaupun dia tidak membalas. Sweet sekali.

Dan nasib Kale karena gagal pulang denganku adalah ikut dengan mobilnya Mas Adit yang katanya ada urusan di daerah yang dekat dengan rumah Kale. Mujur sekali nasib Kale karena dia tidak harus pulang bersama dengan Lili yang ternyata juga membawa mobil ke kantor.

"Enggak kenapa-kenapa, Mas. Tadi ada kejadian lucu pas di kantor," kataku masih dengan senyum yang mengembang.

Fattah menoleh penasaran sambil tetap membagi fokusnya pada kemudi.

"Kejadian lucu apa?"

Aku membenahi duduk ku agak sedikit menghadap Fattah.

"Jadi di team aku tuh ada karyawan baru cewek. Dan ternyata dia itu suka sama Kale. Terus..."

Aku menceritakan masalah kejadian payung di ruangan tadi pada Fattah, lengkap dengan tawa puas Lalisa setelah Kale dengan lempeng membalas tawaran Lili menggunakan aku sebagai alasan.  Sama seperti aku, Fattah juga tertawa ketika mendengarnya. Walaupun jelas saja tawanya tidak se bar-bar tawa milik Lalisa.

"Kayaknya, Kale memang populer ya, Neng?"

Aku mengangkat bahu. Karena sejujurnya Kale tidak begitu tampan, tubuhnya juga biasa saja. Hanya tingginya yang memang agak tidak biasa. Bahkan Fattah saja kalah tinggi dari Kale beberapa senti. Tapi menurutku, yang membuat Kale menarik adalah sifat polosnya dan juga tingkah lakunya yang jujur. Juga Kale itu orang yang baik, walaupun dia tidak peka namun dia perduli pada orang-orang di sekitarnya.

"Aku enggak tahu sih kalau populer, tapi yang jelas di ruangan aku ada dua orang yang suka sama dia."

Fattah tersenyum tipis. "Kamu gimana? Suka juga sama dia?"

Sebelah alisku terangkat, aku menduga-duga apakah pertanyaan itu mengandung rada cemburu Fattah pada Kale walaupun sedikit?

"Kok nanyanya begitu? Mas cemburu sama Kale?" tanyaku memancing.

Bukannya menjawab, Fattah malah tertawa dan tawanya itu entah mengapa membuat aku sebal.

"Buat apa aku cemburu sama Kale? Kamu kan lebih dulu kenal sama dia daripada aku. Kalau kamu memang suka sama dia, ya udah dari dulu kan kamu jadian sama dia? Tapi nyatanya, kamu malah naksir sama aku dan jadian sama aku."

Aku mendengus lalu tertawa karena ucapannya. Padahal sesaat lalu aku benar-benar sebal, tapi karena ucapannya memang masuk akal, aku jadi tidak bisa marah padanya.

"Ya habisnya aku cuma nganggep Kale sebagai teman kantor aja. Lagian dia itu kolot, katanya dia enggak mau pacaran dan mau langsung nikah. Makanya teman kantor aku yang suka sama dia, ditolak sama dia langsung pas nyatain perasaan."

Mata Fattah tampak membulat. "Serius?" tanyanya tidak percaya.

Aku mengangguk cepat.

"Beneran!"

"Terus gimana hubungan mereka di kantor sekarang? Pasti hubungannya jadi canggung kan?"

Kembali aku mengangguk, kali ini disertai dengan tawa kecil.

"Ya gitu! Malahan sekarang itu temen aku jadi suka sebelnya sama aku, kalau aku sama Kale kelihatan dekat. Padahal dia sendiri tahu kalau aku sama Kale enggak ada hubungan apa-apa."

"Ya itu wajar, Neng. Soalnya dia punya perasaan lebih sama Kale makanya tanpa sadar dia cemburu kalau lihat Kale dekat sama perempuan lain. Makanya, walaupun kamu enggak ada hubungan apa-apa sama Kale, alangkah baiknya kalau kamu juga agak jaga jarak demi jaga perasaan dia. Kamu tahu enggak?"

Fattah menoleh padaku sesekali di tengah kegiatan mengemudi nya.

"Cemburu sama orang yang enggak bisa kita miliki dan bukan milik kita tuh, rasanya menyiksa banget. Jadi lebih baik kalau kita menghargai perasaan dia, bukan malah berpikir 'Ngapain cemburu? Kan bukan siapa-siapa.' karena aku yakin, dia sendiri juga enggak mau punya perasaan sepihak. Iya kan?"

Sebenarnya ada pertanyaan di kepalaku yang hampir keluar dari mulut. Itu adalah, 'Kok tahu banget sih? Mas pernah ngalamin ya?'

Tapi yang keluar justru,

"Iya, emang benar sih. Nanti aku coba bilang sama Kale juga, biar dia enggak terlalu nunjukin kalau kami dekat. Apalagi sekarang bukan cuma satu, tapi dua cewek yang suka dia."

Seperti itu. Aku lalu mengalihkan pandangan.

Kadang kala, pertanyaan yang tidak perlu memang harus ditahan daripada menciptakan perasaan tidak menyenangkan di hatiku sendiri.

Masalahnya aku sudah pernah beberapa kali membahas tentang mantan pacar Fattah. Awalnya memang biasa saja, kami mengobrol tentang mantan masing-masing. Tapi begitu mulai Fattah menceritakan mantannya dan aku bertanya ini itu, yang terjadi adalah kami bertengkar karena aku yang kesal mendengar berapa baiknya  dia pada setiap wanita yang menjadi pacarnya.

Walaupun itu hanya masa lalu dan terjadi saat Fattah belum mengenalku, tetap saja rasanya kesal. Maka dari itu, demi menghindari pertengkaran yang tidak perlu, aku lebih memilih untuk menutup mulut dan melupakan pertanyaan yang sempat terlintas di pikiran ku tadi.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status