“Mana Tantenya!?” pekik Kenzo begitu menyentak di telinga Ivan. Sebab bocah itu sedang berada di dalam gendongannya sekarang.“Tante lagi di rumah, besok ke sini lagi, ya.”Dari suara halus, hingga suara lembut—rasanya sama sekali tak berguna untuk meluluhkan hati Kenzo.Entah dengan cara apa lagi Ivan menenangkannya agar anak ini terdiam dan tidak menanyakan Laura lagi. Kepalanya terasa seperti mau pecah.“Maunya sekalang! Ngga mau besyok!”“Ya, ya. Papa telepon Tante Laura sekarang.”Kenzo memukul pipi Papanya, “Ngga mau telepon!”“Maumu apa, sih? Sabar sebentar. Besok Tante datang,” tegas Ivan. Namun kali ini dia sudah sampai membelalakkan matanya dan mengancam akan mencubitnya jika Kenzo tidak mau terdiam.“Ada apa ini? Kenapa ribut sekali kedengaran sampai luar,” sahut suara dari arah pintu.Ketika sosok itu sudah berada di depan mereka, Kenzo langsung mengulurkan tangannya minta digendong dan mengadu, “Opa ... Papa nakal.”“Eh, kok jadi Papa yang nakal?” Ivan heran sendiri melih
Keesokan harinya, Kenzo sudah lebih baik daripada kemarin. Dia sudah tidak marah-marah lagi dan tidak terus mencari Tante Laura sebab karena penjelasan dari Laura kemarin di sambungan telepon.Tetapi hari ini Ivan akan membawanya ke kantor karena dia tidak mungkin meninggalkan anaknya di rumah hanya bersama dengan Mira.Sebab wanita itu sudah pasti sibuk sendiri dengan setumpuk pekerjaannya. Maka dari itu, Ivan memerintahkan Mira untuk menyiapkan semua keperluan anaknya agar ia mudah mengurus anaknya di kantor nanti.Kenzo sendiri sedang disisiri oleh Ivan dan ditata rambutnya agar menjadi lebih teratur. Tangan kirinya tak lupa dipakaikan jam tangan berwarna hitam.Penampilannya semakin lengkap manakala Ivan memakaikan Kenzo sepatu berwarna putih. Keren seratus persen, Ivan junior.“Jangan lupa, bawakan dia baju ganti sekalian, Mbak,” titah Ivan pada saat mereka sudah hampir pergi.Saat tas ransel milik Kenzo sudah selesai diisi dengan lengkap. Ivan menggendong anaknya ke dalam mobil.
“Pak Ivan, lepasin, stop plis!”Sekonyong-konyong Laura berjalan mengimbangi langkah Ivan yang panjang-panjang.Laura merasa begitu nelangsa. Ia serupa seorang gadis yang sedang dijajah oleh laki-laki yang tengah memperbudaknya tanpa ia tahu apa kesalahannya.Hal ini mungkin akan terlihat lebih baik jika mereka sedang tidak berada di tempat umum dan tidak menjadi tontonan bagi siapa saja yang melihatnya. Malu bukan kepalang. Tapi ia bisa apa?“Nggak usah kenceng-kenceng pegang tangannya sakit,” rintih Laura kepada pria yang masih mencekal tangannya dengan sangat keras tersebut.Tak mendapati jawaban, Laura kembali berucap dengan suara lebih menyeru, “Pak Ivan! Stop it!”Ivan menoleh ke arah Laura dan menatapnya dengan sorot mata menajam, “Bisa diam?”“Apa salah saya?”“Masih pantas kamu bertanya apa kesalahanmu?” tanya Ivan menyentak. Kemudian kembali berjalan tergesa seperti tadi.“Bapak ini lagi kenapa sih? Ha? Kesetanan?” ulang Laura bertanya namun tetap tidak diindahkan oleh Ivan.
Tut ... tut ... tut ....Entah yang ke berapa kalinya telepon menyambung ke ponsel milik Laura. Namun tak kunjung dijawab. Sepertinya gadis itu benar-benar marah sekali padanya.“Ayolah, angkat teleponku, Ra,” gerutu Ivan sangat-sangat menyesal.Ivan : Tolong maafkan saya, Ra. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya.Begitu ketikan pesan yang Ivan kirimkan kepada Laura. Dua kali dengan kata yang sama.“Aku harus mencarinya ke mana kalau sudah seperti ini?” Ivan bergumam kebingungan. Ia juga tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa karena yang Ivan tahu, Laura tidak punya teman dekat lagi.Semua teman yang diceritakannya meninggalkannya pada saat mendengar Adinata telah bangkrut.Ada kemungkinan dia pulang ke rumah Tantenya, di mana tempat Papanya berada. Tetapi masalahnya Ivan tidak tahu persis di rumah yang mana, sebab ia hanya tahu kompleksnya saja.Sedangkan KTP Laura yang berada di tangan Ivan sekarang ini, adalah alamat rumah yang lama.Mungkin karena pikirannya sedang kalut
“Karena saya mencintaimu,” jawab Ivan segera namun juga langsung disela oleh Laura.“Bohong. Itu hanya trik supaya aku bisa balik ke sana sama kamu. Aku nggak semudah itu dirayu-rayu sama buaya tua!”Ivan menggaruk kepalanya mendengar Laura mengatai dirinya buaya tua. “Kalau dirayu sama buaya muda?”“Nggak usah ngajakin bercanda!” Laura memelototkan matanya yang justru malah terlihat lucu di mata Ivan sehingga ia tak kuasa menahan tawa.“Kamu cantik,” puji Ivan tanpa pura-pura. Karena begitulah yang terlihat sekarang. Tanpa berdandan pun Laura cantik, apalagi memakai makeup seperti ini.Terus terang dia gemas, tangannya gatal sekali ingin menyentuh pipi gadisnya untuk sekadar menjembil atau menoelnya sedikit saja.Namun ia takut macan cantik ini akan bertambah marah dan mungkin saja bisa menggigitnya. ‘Sabar, Ivan sabar. Kamu harus bisa mengendalikan dirimu. Jangan malah semakin merusak suasana ini.’“Aku ini lagi marah loh.” Laura menekankan kalimatnya, menunjukkan kedua jarinya ke a
Ini gila, batin Laura meneriaki dirinya yang malah justru sangat menginginkan dan membalas Ivan dengan perlakuan yang sama. Nalurinya bekerja dengan baik walau ia belum pernah sama sekali melakukannya.Ada gelenyar aneh yang tidak pernah Laura rasakan sebelumnya. Untuk sejenak, mereka melepaskan pertautan bibir mereka untuk mengatur napas yang terengah-engah, tak beraturan.Walau sebenarnya, ada rasa tak rela dalam hati Laura untuk melepas. Dalam pikirannya yang berkabut, tentu saja dia menginginkan lebih.Dalam posisi yang sebegitu dekat, Ivan berkata dengan lirih, “Kenapa dengan bibir saya?” tanyanya lantaran Laura seperti enggan berpaling menatap bibirnya.“Mau lagi?” tanpa menunggu persetujuan, Ivan kembali menyatukan bibir mereka dan membuat Laura semakin melayang, mabuk kepayang.Oh, jadi begini rasanya berciuman? Batin Laura bertanya-tanya. Ternyata sangat indah sekali dan pantas bila sebagian orang mengatakan, sentuhan lawan jenis adalah candu.Semakin kita menjelajah, akan se
“Nama saya Nia. Saya baru di sini, Pak,” jawab perempuan tersebut.“Siapa yang memasukkanmu ke sini?” tanya Ivan dengan suara dinginnya seperti biasa. Bukan hal yang mudah baginya bersikap lebih lembut kepada orang yang belum dia kenal.“Mbak Mira, Pak.”“Tolong panggilkan Mbak Mira ke sini,” titahnya seraya menggerakkan tangan.“Mbak Miranya sedang menemani Bu Laura pergi, Pak. Karena kakinya masih sakit.” “Katanya masih sakit, kenapa masih pergi-pergi juga?” Bukan hanya itu saja yang membuat Ivan kesal, tetapi juga kecerobohan mereka yang meninggalkan orang baru sendiri di rumah ini.Bagaimana kalau dia bukan orang baik-baik? Lantas menyelakai mereka atau membuat jebakan di rumah ini tanpa mereka ketahui?Kecurigaannya juga semakin bertambah manakala Ivan melihat baju kurung berwarna gelap yang dia kenakan.Rapat sekali seperti seorang ter0ris. Demikian Ivan berpikir. Astaga, seburuk itu prasangkanya!“Dari mana kamu berasal?”“Saya tetangga Mbak Mira. Tidak jauh dari rumahnya.”“
“Cepat, Ra!” panggil Ivan tak sabaran.“Iya ... iya sebentar, ya ampun laki-laki nggak sabaran banget, orang cuman mau ke Hotel juga ngapain buru-buru. Lagian acaranya juga besok,” jawab Laura menggerutu.Sementara matanya tak lepas dari cermin kecil, tampak fokus dan berhati-hati agar dirinya tidak salah dalam mengaplikasikan lipstik berwarna merah menyala tersebut di bibirnya.Tanpa Laura sadari, gadis itu memang cenderung lebih menyukai lipstik yang berwarna agak bold daripada berwarna soft.Sangat mencerminkan kepribadian yang tegas dan berani. Namun walau begitu, Laura masih berada dalam batas wajarnya, menyesuaikan tempat yang akan dia datangi.“Laki-laki mah enak, nggak ngapa-ngapain. Kalau mau pergi ya pergi aja nggak mikir apa-apa. Sementara aku, harus beresin itu, harus beresin ini, bawa itu, bawa ini. Belum lagi mikirin kebutuhan dia,” Laura melirik ke kepala anak kecil di sampingnya, “jadi cewek kan memang banyak ribetnya.”“Sabar,” hanya itu yang dapat Ivan katakan lantar