Share

Bab 8: Adegan Memasang Dasi Tuan

“Astaga!”

Hari sudah cukup siang pada saat Laura terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar yang berbeda. Laura juga menepuk keningnya berkali-kali setelah melihat gorden jendela yang sudah terbuka dan terlihat cahaya yang masuk.

Siapa yang membuka gorden jendela? Laura bertanya-tanya dalam wajah yang begitu panik.

Jangan-jangan....

Sontak Laura melihat tubuhnya yang cukup berantakan, bajunya sedikit tersingkap dan terlihat sedikit bagian perutnya.

Tetapi kemudian dia berusaha berpikir positif, “Ah, emang Gue pikirin. Yang penting nggak kenapa-kenapa.”

Dilihatnya ke samping, Kenzo masih tertidur pulas dengan posisi memeluk lengannya. Tangan Laura terangkat untuk memindahkan tangan mungil Kenzo secara perlahan. Lantas detik itu juga tubuhnya melompat ke bawah dan berlari ke atas untuk memasuki kamar mandi.

Sementara Ivan yang melihat Laura langsung berdecak. Kepalanya menggeleng melihat kelakuan Nanny barunya tersebut. Tidur sembarangan, bangun kesiangan, melintas seperti angin kencang tanpa peduli lantai yang licin yang baru saja di pel.

Ivan sempat bertanya-tanya, sebenarnya dia itu keturunan apa? Tokek?

Ivan meletakkan cangkirnya setelah isinya berkurang. Dia kembali memfokuskan matanya ke layar laptop untuk melihat beberapa email penting yang masuk semalam. Belum sampai sepuluh menit, gadis itu sudah turun dengan pakaian yang berbeda dari sebelumnya.

Laura mendekat sambil bersuara, “Maaf, Pak. Saya kesiangan.”

Alis Ivan terangkat dia menatap datar seperti biasanya sebelum menjawab, “Hanya bekerja di sini kamu berkali-kali diampuni.”

“Iya, kan Bapak baik, ganteng, kaya, idaman pokoknya lah,” katanya sambil meringis serupa orang yang sedang merayu.

Ya, kata-kata itu bukanlah pernyataan sungguhan yang sama dengan hatinya. Ivan pun tahu maksud Laura yang hanya merayu dirinya supaya tak marah.

“Sudah mandi belum kamu?”

“Sudah.”

“Bohong.”

“Kok bohong?” kata Laura tidak terima.

“Itu buktinya telingamu masih ada.”

“Ya, masih lah, masa hilang?”

“Ya sudah,” pungkas Ivan tak mungkin memarahinya. Dia sudah membuat anaknya nyaman semalaman. Apa lagi yang diinginkannya?

Laura sedang tidak bekerja di kantor yang harus selalu tepat waktu. Yang terpenting adalah, anaknya terurus dengan baik.

“Sementara AC-nya belum terpasang, kamu bisa tidur dulu dengan Kenzo.”

“Terus dipasangnya kapan?” tanya Laura tak lama setelah Ivan mengatakan titahnya.

“Kenapa? Kamu nggak nyaman tidur di sana?” tembak Ivan membuat Laura seperti tak bisa berkutik.

“Bukan begitu,” Laura menyangkal, “Aaku hanya terbiasa tidur sendiri.”

Laura cinta kebebasan. Tidur bersama orang lain tentu saja membuatnya kurang nyaman meski Kenzo anak kecil.

Dia terbiasa tidur dengan hanya memakai celana pendek dan tidak mengenakan bra. Suka berisik, melompat-lompat di ranjang, dan berguling-guling sepuasnya.

Tapi kalau diaharus tidur dengan Kenzo—otomatis dia juga harus mengubah semuanya. Namun apakah bisa?

Tanpa memberi Laura kesempatan, Ivan memutuskan, “Ya, jadi mulai sekarang, biasakan dirimu.”

“Astaghfirullahaladzim,” ujarnya lirih dengan nada yang panjang. Baru sekali ini Laura merasa tertekan oleh seorang manusia. “Dasar Om tua,” gumamnya mengumpat dalam hati.

Laura memperhatikan Ivan, lelaki itu beranjak berdiri dan menutup laptopnya. “Ambilkan dasi saya di lemari!” katanya menitah Laura.

Laura sontak melayangkan protes. “Lemari mana, yang bentuknya kayak apa? Jangan ngawur, deh, Pak. Saya di sini kan cuman mau ngurus Kenzo aja, bukan ngurusin Bapak.”

“Kenzo anaknya siapa?” Ivan balik bertanya sehingga membuat Laura sontak menatapnya dengan pandangan yang tak bersahabat. “Yang menggajimu siapa?” katanya lagi tak lama berselang.

Tanpa bisa dikendalikan, bibir Laura meleot dengan sendirinya mencibir lelaki tersebut.

“Mau membantah?” ancam Ivan seperti biasanya.

“Iya, iya iyaaa!” Laura berbalik badan menuju ke kamar Ivan. Dengan sangat tidak ikhlas dia membuka satu-persatu lemari yang terdapat beberapa gulungan dasi.

Setelah menemukannya, gadis itu membawa beberapa dasi sekaligus supaya Ivan bisa memilih sendiri mana yang cocok dengan jas yang dia pakai.

Ini dilakukannya agar dia tak perlu bolak-balik kalau seandainya Ivan tak cocok dengan salah satunya.

Laura memang bukan tipe orang yang bisa berpura-pura. Gadis itu keluar dengan wajah yang cemberut. Meletakkan beberapa dasi itu ke meja, Laura berujar, “Nih, pilih sendiri yang mana yang cocok.”

“Pasang!” kata Ivan setelah memilih salah satunya.

“Ya ampun, masa saya suruh masangin juga?” keluh Laura dengan tatapan kesal, sama seperti tadi. Namun baru saja Ivan mau membuka mulutnya, Laura kembali berujar, menirukan gaya lelaki tersebut. “Mau membantah?”

Ivan tak kuasa untuk menahan senyumnya. Ya, tapi hanya samar. Lelaki itu tetap saja cool, menjaga kewibawaannya di depan gadis yang baru dua hari ini ia kenal.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Laura mendekati Ivan. Ia mulai mengalungkan dasi tersebut ke lehernya, lalu mengikatnya seperti yang pernah ia lakukan kepada Papanya sebelum beliau berangkat bekerja dulu.

Namun karena terlalu fokus mengenang orang tuanya—tanpa sadar Laura malah mengikat dasinya ke leher Ivan sampai lelaki itu tercekik dan mengaduh.

“Eh, kamu mau bunuh saya?” ucapnya menatap Laura dengan mata waspada.

“Maaf, Pak. Nggak sengaja,” katanya sambil tergelak melihat raut wajah Ivan yang sedemikian aneh. “Baik, baik, saya pasang lagi.”

Ivan memijat keningnya. Hampir saja dia hilang napas karenan Nanny elite yang baru bekerja selama dua hari di rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status