Share

Bab 7: Tidur Satu Ranjang

Menuju ke belakang, Laura kembali melihat sosok Ivan lagi yang sedang berada di meja makan menikmati makan siangnya. Namun berbeda dengan tadi karena dia sudah mengenakan bajunya secara lengkap.

Rupanya, lelaki itu pulang pada saat dia tengah tertidur pulas di atas. Kemudian mandi pada saat Laura turun dan tanpa sengaja terpergok olehnya.

Kerja apa dia jam segini pulang tapi banyak duit?Jangan-jangan dia punya pesugihan babi ngepet.

Astaga!

 Laura langsung menggeleng menghilangkan pikiran buruknya yang sedang semena-mena menuduh orang lain. Mana mungkin Om tua itu ngepet? Masa ganteng-ganteng jadi ....

Laura melintas menuju ke belakang dan menarik kursi di sana, serta merta mengisi perutnya dengan makan siang yang sebelumnya sudah Mira masakkan. Tidak terbayang sebelum ia datang, bagaimana repotnya wanita itu sendirian mengurus rumah sebesar ini sambil menjaga Kenzo. Kasihan sekali.

***

Selesai sudah pekerjaannya hari ini. Tepat pukul jam sembilan malam, Laura naik ke kamarnya dan menghempaskan tubuhnya ke kasur.

Oh, begini, ya, rasanya bekerja? Padahal tidak angkat-angkat benda berat. Tetapi tetap saja rasanya amat melelahkan.

Membuka ponsel, Laura melihat notifikasi pesan yang masuk ke DM-nya yang ternyata adalah pesan dari Papa. Bukan dari teman-temannya yang entah sudah tak tahu ke mana sekarang ini. Mungkin saja mereka sudah tertelan bumi.

Papa : Laura, kamu di mana sekarang? Jangan lupa kabari Papa.

Laura melihat isi pesan tersebut dengan perasaan nelangsa. Dia selalu berharap, tantenya tetap memperlakukan papanya dengan baik walau beliau sudah tidak seperti dulu lagi. Tetapi dari yang selama ini Laura lihat, Tantenya selalu baik. Ya, mudah-mudahan saja demikian.

Laura : Ada di Kota Tangerang Selatan, Pa. Papa tenang aja, ya. Laura sekarang udah kerja, kok. Papa sehat terus, ya. Pokoknya jangan khawatirkan Laura. Laura baik-baik saja.

Klik. Pesan terkirim. Tak lama setelah itu, matanya terpejam. Mengantuk.

Baru sekitar beberapa puluh menit Laura tertidur, gadis itu terbangun. Bajunya basah, dia kepanasan dan tenggorokannya terasa kering.

Wajar saja Laura merasakan hal demikian. Baru sekali ini Laura tidur menggunakan kipas angin. Dan sekarang malah justru tubuhnya terasa jadi panas dingin tak karu-karuan. Perubahannya yang jadi orang biasa secara tiba-tiba itu tidak dapat diterima dengan mudah ditubuhnya.

Laura beranjak dari tidurnya. Dia menatap kosong. Matanya mengembun.

‘Aku butuh AC, aku butuh kasur yang empuk, aku butuh jalan-jalan, aku butuh cermin besar untuk make up, aku butuh bath up untuk berendam. Tapi sekarang semuanya udah nggak ada lagi.'

Lantaran tak bisa tertidur lagi, gadis itu turun ke bawah untuk mengambil minum air dingin di dapur. Dia membuka kulkas, lalu menuangkan minum ke gelasnya dan meneguknya hingga tandas.

Tapi sialnya, lagi-lagi saat Laura akan kembali, ia harus bertemu dengan Ivan. Lelaki itu sudah berada dimeja makan, sedang membuat susu untuk anaknya.

‘Apa setiap malam dia selalu begini? Owh, kacian ...,” dalam hatinya Laura menertawakan. 

“Lain kali jangan lupa mengisi termos. Jadi saya tidak perlu keluar malam-malam seperti ini,” ujarnya tanpa menoleh.

“Maaf, Pak. Bukan lupa. Tapi saya benar-benar nggak tahu. Belum hafal kebiasaan-kebiasaannya di sini,” jawab Laura.

Hening.

Tak ada jawaban lagi hingga kemudian lelaki itu membalikkan tubuhnya. “Kenapa kamu turun malam-malam?”

“Panas, Pak. Panas banget. Saya nggak bisa pakai kipas. Kalau dikecilin kepanasan, kalau dibesarin bikin masuk angin. Duh, gimana ya? Serba salah. Boleh nggak, request pasangin AC gitu,” jawab Laura tanpa ingin berpura-pura.

Dia berharap lelaki itu mengerti dan mau menyejahterakan orang-orang di bawahnya.

Meski Mira atau siapa pun itu tidak pernah melayangkan protes, tetapi bukankah kita sebagai manusia harus mempunyai sifat perasa dengan memosisikan diri sebagai orang lain?

Agak lama lelaki itu terdiam menatapnya dengan sorot mata tak terbaca, hingga kemudian menjawab dengan singkat, “Baiklah, kalau itu maumu.”

Tanpa disadari Laura menyipitkan matanya dan bertepuk tangan kecil, “Yeay!”

“Kamu berikan ini padanya!” Tiba-tiba Ivan menyodorkan botol susu untuk anaknya.

“Kok, saya?” ucap Laura merasa agak keberatan. Dia sudah lelah, panas dan mengantuk, tapi malah diberi tugas lagi. Sesaat Laura menyesal lantaran sudah turun kebawah.

“Mau membantah?” tegur Ivan dengan sorot mata horor seperti biasanya. “Baiklah, kamarmu tidak akan saya pasang AC.”

“Iyaaaa iyaaa!” sela Laura langsung mengambil alih botol tersebut dari tangan Ivan. Lantas masuk ke dalam kamar bos kecil, takut ancaman itu benar-benar terjadi. ‘Huh, niat turun ingin minum malah dikasih kerjaan lagi,’ batinnya menggerutu kesal.

Pada pertengahan malam, Ivan kembali keluar untuk memastikan keadaan Kenzo, tetapi pada saat ia membuka pintu, kedua orang yang baru mengenal belum satu hari itu, tidur dengan saling memeluk dalam satu selimut yang sama.

Tanpa sadar, bibir Ivan mengembang membentuk sebuah lengkungan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status