NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP
Setelah drama nasi kotak, aku merasa seperti di'asingkan. Sebagian warga dusun menjauhiku. Terutama yang dekat dengan Bu Evi.Bu Evi memang sangat diistimewakan. Pun dengan suaminya. Mungkin karena mereka orang berada. Bahkan bisa dibilang salah satu orang terkaya di daerahku. Suaminya memiliki pabrik tahu, pabrik bakmi dan juga rental mobil. Pekerjanya lumayan banyak, terutama bapak-bapak dusun sini.Bu Evi dan suaminya sering memberi sumbangan untuk dusun dan diumumkan sendiri saat ada acara.Dulu Mas Ihsan sempat kerja di sana beberapa bulan, tapi akhirnya memilih berhenti karena suatu hal. Pak Marno–suaminya Bu Evi marah besar saat Mas Ihsan tidak masuk kerja selama dua hari. Padahal waktu itu dia sedang sakit.—----------"Eh, Suci. Kebetulan kamu di luar," ucap Bu Yati.Aku yang sedang menyapu halaman langsung berhenti. "Ada apa, Bu?""Emm … sebentar." Bu Yati terlihat memilah sesuatu di tangannya. "Ups, lupa. Anak kamu 'kan tidak dapat undangan ulang tahun'nya Sakha. Ngapain juga aku ke sini." Bu Yati menyunggingkan senyum."Bu Atik … Putri dapat undangan ulang tahunnya Sakha. Semua anak-anak dusun sini diundang, lho," teriak Bu Yati. Sepertinya dia sengaja agar aku mendengar.Tidak berapa lama Bu Atik keluar membuka pintu gerbang. Aku bisa melihat sangat jelas karena rumah kami memang bersebelahan."Iya, saya sudah lihat story'nya Bu Evi. Dekorasi ulang tahun Sakha seperti ulang tahun anak artis, ya. Mewah." Bu Atik menjawab dengan lantang."Iya, dong. Bu Evi 'kan orang kaya. Makanya jangan suka main-main. Apalagi sok-sok'an menentang."Pagi yang seharusnya sejuk dan damai seketika terasa gerah karena tercemar ucapan mereka berdua. Aku pun memilih untuk masuk.-"Bu, besok Dila pakai baju dan sandal yang bagus, ya," ucapnya saat aku menjemput dia pulang sekolah."Memangnya mau ke mana?""Besok 'kan Sakha ulang tahun. Semua teman-teman disuruh datang," jelasnya riang."Dila kata siapa? Sakha tidak ulang tahun, Nak.""Ulang tahun, Bu. Tadi teman-teman pada cerita."Apa mungkin hanya Dila saja yang tidak diundang seperti ucapan Bu Yati tadi pagi?"Dila, dengerin, ya. Kalau Dila tidak diundang, berarti Dila tidak boleh ke sana. Dila doain Sakha saja dari rumah.""Memangnya Dila tidak diundang, Bu?"Aku menggelengkan kepala yang membuat raut wajah Dila seketika sedih.Sesampainya di rumah, Dila langsung masuk kamar.***"Suci, keluar!" Terdengar teriakan dibarengi tangisan Dila."Ci, ada apa di luar?" tanya emak.Aku dan Emak langsung keluar bersamaan.Bu Atik sudah berdiri di depan pintu sambil menjewer telinga Dila. Aku yang melihat hal tersebut segera mendekati mereka."Lepaskan, Bu. Dila kesakitan." Berusaha melepaskan tangan Bu Atik.Telinga Dila sampai merah. Dia menangis sesenggukan."Kenapa Bu Atik menjewer anak saya?" tanyaku."Nih, lihat. Dia mecahin mug milik Putri." Bu Atik memperlihatkan sebuah mug karakter yang telinganya hilang sebelah."Jadi karena mug ini, Bu Atik tega menjewer Dila?""Tuman kalau anak nakal seperti dia didiamkan.""Dila bukan anak nakal," tegasku."Dila, apa benar kamu mecahin mug milik Putri?" tanyaku sambil memegang kedua tangannya."Di-Dila tidak sengaja, Bu. Maaf.""Benar 'kan. Kamu pikir aku bohong?""Saya minta maaf atas kesalahan Dila, tapi dia tidak sengaja.""Enak saja minta maaf. Ganti, dong! Mug ini souvenir ulang tahun Sakha. Ini mug mahal. Memangnya kamu punya duit buat ganti? Bikin nasi kotak saja tidak mampu.""Astaghfirullah. Jangan bilang seperti itu, Bu Atik. Kami memang orang tidak punya, tapi kami tetap berusaha membuat nasi kotak." Emak ikut bicara."Iya, nasi kotak dengan menu memalukan. Sampai disuruh ambil lagi 'kan.""Tidak perlu mengungkit sesuatu yang sudah berlalu. Saya akan ganti mug milik Putri. Mendingan Bu Atik pulang saja," sahutku karena tidak ingin mendengar Bu Atik bicara panjang lebar. Apalagi masalah nasi kotak. Karena Emak mertua tidak tahu soal itu."Awas kalau tidak ganti. Harus sama persis." Bu Atik meletakkan mug yang pecah ke lantai. Tanpa salam, dia langsung pergi dengan menghentakkan kaki.Aku mengajak Dila masuk dan berusaha untuk menenangkan.Setelah tenang, aku menanyakan kembali kenapa dia bisa memecahkan mug milik Putri.Dengan ucapan terbata, Dila pun menjelaskan. Katanya saat bermain di depan rumah, Putri mengejek Dila karena tidak memiliki mug karakter bertuliskan nama Sakha–cucu Bu Evi. Dila sudah diam, tapi Putri terus memamerkan. Saat hendak pergi, dia tidak sengaja menyenggol mug tersebut."Ya sudah. Tidak apa-apa. Besok Ibu akan ganti mug'nya.""Tadi kenapa Bu Atik bicara seperti itu soal nasi kotak, Ci? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari Emak?"Tidak mungkin aku menyembunyikan lagi masalah nasi kotak. Tadi Bu Atik sudah terang-terangan bicara di depan Emak."Iya, Mak. Nasi kotak buatan kita ditolak karena menunya tidak sesuai dengan yang telah disepakati.""Astaghfirullah. Memangnya ada kesepakatan soal menu?"Menggelengkan kepala. "Sebenarnya tidak ada. Itu aturan dari Bu Evi saja.""Apa semua warga mengikuti aturan tersebut?""Iya, bahkan sampai dibela-belain hutang agar bisa membuat nasi kotak dengan menu mewah.""Semakin ke sini dusun kita semakin tidak karuan. Banyak aturan tidak masuk akal. Mirisnya yang membuat aturan tersebut justru warga pendatang.""Orang kecil seperti kita bisa apa, Mak. Bersuara pun malah dikucilkan.""Memang seperti itu. Yang memiliki materi banyak akan didewakan. Maafin Emak dan Ihsan, ya.""Kenapa tiba-tiba Emak minta maaf?""Kamu jadi hidup susah karena kami."Meraih tangan Emak mertua yang duduk di sebelahku. "Suci bahagia hidup bersama kalian. Ini sudah menjadi pilihan Suci. Jadi Emak jangan bicara seperti itu.""Seandainya semua orang kaya memiliki hati seperti kamu."BersambungNASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kok belum tidur, Dek?" "Aku tidak bisa tidur, Mas. Semakin hari perlakuan mereka pada keluarga kita sangat keterlaluan.""Maksud kamu, Bu Evi dan–.""Siapa lagi," memotong ucapan Mas Ihsan. "Kemarin nasi kotak buatanku jadi bahan bully'an. Tadi karena mug, Dila dijewer sampai telinganya merah. Belum lagi ucapan pedas yang membuat hati panas. Rasanya kesabaran ini habis. Aku pikir hidup di dusun tidak akan bertemu dengan orang-orang seperti keluargaku. Ternyata sama saja.""Apa kamu menyesal menikah dengan Mas?" "Aku tidak pernah menyesal menikah dan menjadi Ibu dari anak kamu. Aku justru bersyukur bisa memiliki suami dan mertua yang baik.""Tapi hidupmu jadi serba kekurangan. Sampai-sampai dihina oleh warga dusun sini. Padahal kamu anak orang berada."Aku tidak pernah menganggap terlahir dari keluarga kaya. Karena bagiku sama saja dengan lainnya. Ya … ayahku memang pemilik salah satu hotel bintang empat. Dia juga memiliki beberapa restaurant y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Maaf, Mak. Suci belanjanya lama. Terpaksa jalan kaki ke dusun sebelah beli beras sama gulanya," jelasku setelah mengucap salam.Emak terlihat aneh, beliau hanya diam tanpa menjawab ucapanku. Padahal biasanya, apapun yang aku katakan langsung ditanggapi. "Emak marah karena kelamaan nunggu Suci, ya? Ini minum buat siapa, Mak?" tanyaku ketika Emak membawa nampan yang atasnya ada segelas air putih."Ternyata menyedihkan sekali hidup kamu." Seketika pandanganku beralih pada sosok perempuan yang baru saja masuk dari belakang. Kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan yang telah merebut Ayah dariku tiba-tiba ada di sini. Entah dari mana dia tahu keberadaanku. "Ngapain anda ke sini?" "Duh, sopan sekali. Orang tua datang bukannya disambut dengan cium tangan. Malah ketus begitu."Tersenyum getir. "Orang tua? Orang tua saya hanya Bunda Ratri yang sudah tiada. Dan kini Emak mertua adalah orang tua pengganti Bunda Ratri.""Mama ke sini bukan ngajakin
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Ini, Pak." Setelah membayar taksi, aku pun langsung turun. Berdiri di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Menatap rumah tiga tingkat dengan perpaduan cat dua warna ivory turquoise dan putih. Kedua warna tersebut adalah pilihanku dan Almarhum Bunda Ratri. Ternyata Ayah belum mengganti warna tersebutSetidaknya ada sedikit rasa bahagia ketika menginjakkan kaki ke rumah ini lagi setelah delapan tahun lamanya. "Cari siapa, Mbak?" tanya seorang pria mengenakan pakaian satpam. Sepertinya dia orang baru. Lantas Pak Imron ke mana? "Tolong buka gerbangnya!" "Mbak mau nyari siapa dulu. Di rumah ini tidak sembarangan orang bisa masuk.""Saya ingin bertemu Bapak Rudi Prayogo.""Maaf, ada keperluan apa? Bapak tidak bisa diganggu. Beliau sedang kurang sehat."Apa? Ayah sakit? Apa ini alasan Mama Ane datang menemuiku kemarin? Perempuan lic*k."Tolong buka sekarang. Kalau tidak saya akan teriak dan membuat pemilik rumah ini terganggu."Satpam tersebut
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Pulang ke mana? Ini 'kan rumah kamu," jawab ayah ketika aku berpamitan. Sebenarnya masih ingin berlama-lama di sini, tapi kasihan Mas Ihsan, Dila dan juga Emak. "Sekarang Suci 'kan sudah punya suami, Yah. Jadi, ya, mesti ikut ke manapun dia tinggal." Ayah begitu sedih. Membuatku merasa berat meninggalkan beliau. "Ini buat kamu." Ayah memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru. "Suci sudah punya, Yah. Dipakai berdua sama Mas Ihsan.""Jangan bikin Ayah sedih dengan menolaknya." Ayah memberikan lagi sebuah amplop cokelat ke tanganku. "Cash seratus juta cukup 'kan buat saku perjalanan? Sisanya Ayah transfer."Mengembalikan kembali amplop tersebut. "Kenapa? Ihsan melarangmu?"Mas Ihsan memang pernah bilang, kalau aku tidak boleh merepotkan orang tua. Dia akan berusaha semampunya untuk mencukupi semua kebutuhanku. Dan semua memang dibuktikan. Sedikit banyak hasil menarik angkutan selalu diberikan padaku. "Ayah tahu dia pria bertanggung jawab. Di
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa, Pak?" tanyaku saat Pak Wan malah diam ketika memintanya ikut turun. "Mbak Suci beneran tinggal di rumah ini?"Aku mengangguk."Saya salut sama Mbak Suci. Anak orang berada, tapi bisa hidup sederhana. Padahal dari kecil Mbak Suci terbiasa hidup berkecukupan."Sebenarnya untuk hidup sederhana aku tidak begitu kaget. Karena dalam bergaul pun tidak pernah memilah teman hanya karena materi. Almarhumah Bunda Ratri juga tidak pernah menunjukkan kemewahan yang beliau miliki. Padahal beliau juga terlahir dari orang berada. Kekayaan yang dimiliki orang tuaku bukan dari mengandalkan warisan. Mereka bekerja keras untuk mencapai keberhasilan saat ini.Sebenarnya sifat Ayah pun hampir sama dengan Almarhumah Bunda Ratri. Hanya saja setelah menikah dengan perempuan yang salah, sekarang beliau terlalu mempermasalahkan soal materi.Orang tuaku memiliki tiga rumah mewah, salah satunya yang ditempati Ayah saat ini dan menjadi rumah utama. Serta Villa kelua
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah pulang mengantar Dila, aku melihat di rumah Bu Atik banyak ibu-ibu sedang kumpul. Tidak berapa lama mereka keluar dari pintu gerbang dan melihat ke arahku yang baru saja memakirkan mobil. Membuka pintu belakang dan mengeluarkan beberapa kantong belanjaan. Tadi habis dari sekolah Dila, aku mampir ke mini market membeli segala kebutuhan pokok rumah dan juga jajan Dila."Ci, belanjanya banyak banget." Emak keluar dan membantuku. "Kebutuhan pokok, Mak. Mumpung ada rezeki.""Mampir, ibu-ibu," ucap emak ketika melihat ibu-ibu tersebut semakin mendekat ke rumah kami. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. "E-eh Emak. Mau ada acara, Mak? Kok belanja banyak," tanya salah satu dari mereka."Tidak ada. Emak saja kaget Suci belanja banyak begini.""Suci kok tiba-tiba banyak duit, ya. Padahal baru sehari jadi pembantu. Aneh," celetuk lainnya."Iya, aneh. Kerja satu bulan saja paling gaji pembantu berapa." Disusul ucapan demi ucapan y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP POV EVIKenapa badan jadi meriang begini. Jangan-jangan ucapan Suci kemarin tidak main-main. Aku mau dijadiin tumbalnya. "Ayo, Ma. Papa antar ke dokter sekarang," ajak suamiku."Sepertinya sakit Mama bukan sakit biasa, Pa," jawabku sambil mengusap bagian tubuh yang terasa nyeri."Bukan sakit biasa gimana?""Mending kita ke orang pintar saja, Pa." "Orang pintar?""Iya, sakit Mama ini karena mau dijadikan tumbal oleh Suci. Kemarin dia bilang sendiri. Banyak saksinya.""Suci istrinya Ihsan?""Siapa lagi. Ayo, Pa, cepetan. Mama takut."Akhirnya aku dan Mas Marno pergi ke tempat Mbah Sih–orang pintar yang cukup terkenal di daerah kami. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat perempuan tua yang umurnya sudah hampir seratus tahun itu. "Mbah, saya mau minta tolong. Apa benar ada orang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan?" tanyaku ketika sudah bertemu dengan Mbah Sih. Dia menatapku lalu memegang kepalaku dengan sedikit menekan. "Apa
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Aku tidak habis pikir dengan Bu Evi. Sudah jelas diagnosa'nya demam berdarah. Masih saja mikirnya mau dijadikan tumbal.""Ya, sudah, Dek. Biarkan saja dia mau bicara apa. Namanya juga Bu Evi.""Mereka itu kenapa, sih, Mas, sama aku. Cuma masalah nasi kotak, sekarang merembet ke mana-mana. Kemarin dihina karena tidak punya uang. Sekarang aku ada rezeki lebih dipikir punya pesugihan. Sekalian saja 'kan aku bilang mereka akan jadi tumbal. Eh … beneran nanggepinnya. Ada-ada saja. Diam diinjak, bersuara salah."Sesampainya di rumah. Ibu-ibu geng'nya Bu Evi ternyata masih ada. Tadi waktu Bu Evi pingsan, aku dan Mas Ihsan yang mengantar ke rumah sakit dengan angkot. "Assalamu'alaikum.""Bu Kadus, Suci sudah pulang," ucap ibu-ibu tersebut tanpa menjawab salam dari kami.Bu Kadus pun keluar bersama Emak. Kenapa Bu Kadus ada di sini? Padahal beliau 'kan sedang punya hajat."Mbak Suci, bagaimana keadaan Bu Evi," tanya Bu Kadus."Aduh, Bu. Kenapa ditanya s