Share

Bab 4

NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP

Setelah drama nasi kotak, aku merasa seperti di'asingkan. Sebagian warga dusun menjauhiku. Terutama yang dekat dengan Bu Evi.

Bu Evi memang sangat diistimewakan. Pun dengan suaminya. Mungkin karena mereka orang berada. Bahkan bisa dibilang salah satu orang terkaya di daerahku. Suaminya memiliki pabrik tahu, pabrik bakmi dan juga rental mobil. Pekerjanya lumayan banyak, terutama bapak-bapak dusun sini.

Bu Evi dan suaminya sering memberi sumbangan untuk dusun dan diumumkan sendiri saat ada acara.

Dulu Mas Ihsan sempat kerja di sana beberapa bulan, tapi akhirnya memilih berhenti karena suatu hal. Pak Marno–suaminya Bu Evi marah besar saat Mas Ihsan tidak masuk kerja selama dua hari. Padahal waktu itu dia sedang sakit.

—----------

"Eh, Suci. Kebetulan kamu di luar," ucap Bu Yati.

Aku yang sedang menyapu halaman langsung berhenti. "Ada apa, Bu?"

"Emm … sebentar." Bu Yati terlihat memilah sesuatu di tangannya. "Ups, lupa. Anak kamu 'kan tidak dapat undangan ulang tahun'nya Sakha. Ngapain juga aku ke sini." Bu Yati menyunggingkan senyum.

"Bu Atik … Putri dapat undangan ulang tahunnya Sakha. Semua anak-anak dusun sini diundang, lho," teriak Bu Yati. Sepertinya dia sengaja agar aku mendengar.

Tidak berapa lama Bu Atik keluar membuka pintu gerbang. Aku bisa melihat sangat jelas karena rumah kami memang bersebelahan.

"Iya, saya sudah lihat story'nya Bu Evi. Dekorasi ulang tahun Sakha seperti ulang tahun anak artis, ya. Mewah." Bu Atik menjawab dengan lantang.

"Iya, dong. Bu Evi 'kan orang kaya. Makanya jangan suka main-main. Apalagi sok-sok'an menentang."

Pagi yang seharusnya sejuk dan damai seketika terasa gerah karena tercemar ucapan mereka berdua. Aku pun memilih untuk masuk.

-

"Bu, besok Dila pakai baju dan sandal yang bagus, ya," ucapnya saat aku menjemput dia pulang sekolah.

"Memangnya mau ke mana?"

"Besok 'kan Sakha ulang tahun. Semua teman-teman disuruh datang," jelasnya riang.

"Dila kata siapa? Sakha tidak ulang tahun, Nak."

"Ulang tahun, Bu. Tadi teman-teman pada cerita."

Apa mungkin hanya Dila saja yang tidak diundang seperti ucapan Bu Yati tadi pagi?

"Dila, dengerin, ya. Kalau Dila tidak diundang, berarti Dila tidak boleh ke sana. Dila doain Sakha saja dari rumah."

"Memangnya Dila tidak diundang, Bu?"

Aku menggelengkan kepala yang membuat raut wajah Dila seketika sedih.

Sesampainya di rumah, Dila langsung masuk kamar.

***

"Suci, keluar!" Terdengar teriakan dibarengi tangisan Dila.

"Ci, ada apa di luar?" tanya emak.

Aku dan Emak langsung keluar bersamaan.

Bu Atik sudah berdiri di depan pintu sambil menjewer telinga Dila. Aku yang melihat hal tersebut segera mendekati mereka.

"Lepaskan, Bu. Dila kesakitan." Berusaha melepaskan tangan Bu Atik.

Telinga Dila sampai merah. Dia menangis sesenggukan.

"Kenapa Bu Atik menjewer anak saya?" tanyaku.

"Nih, lihat. Dia mecahin mug milik Putri." Bu Atik memperlihatkan sebuah mug karakter yang telinganya hilang sebelah.

"Jadi karena mug ini, Bu Atik tega menjewer Dila?"

"Tuman kalau anak nakal seperti dia didiamkan."

"Dila bukan anak nakal," tegasku.

"Dila, apa benar kamu mecahin mug milik Putri?" tanyaku sambil memegang kedua tangannya.

"Di-Dila tidak sengaja, Bu. Maaf."

"Benar 'kan. Kamu pikir aku bohong?"

"Saya minta maaf atas kesalahan Dila, tapi dia tidak sengaja."

"Enak saja minta maaf. Ganti, dong! Mug ini souvenir ulang tahun Sakha. Ini mug mahal. Memangnya kamu punya duit buat ganti? Bikin nasi kotak saja tidak mampu."

"Astaghfirullah. Jangan bilang seperti itu, Bu Atik. Kami memang orang tidak punya, tapi kami tetap berusaha membuat nasi kotak." Emak ikut bicara.

"Iya, nasi kotak dengan menu memalukan. Sampai disuruh ambil lagi 'kan."

"Tidak perlu mengungkit sesuatu yang sudah berlalu. Saya akan ganti mug milik Putri. Mendingan Bu Atik pulang saja," sahutku karena tidak ingin mendengar Bu Atik bicara panjang lebar. Apalagi masalah nasi kotak. Karena Emak mertua tidak tahu soal itu.

"Awas kalau tidak ganti. Harus sama persis." Bu Atik meletakkan mug yang pecah ke lantai. Tanpa salam, dia langsung pergi dengan menghentakkan kaki.

Aku mengajak Dila masuk dan berusaha untuk menenangkan.

Setelah tenang, aku menanyakan kembali kenapa dia bisa memecahkan mug milik Putri.

Dengan ucapan terbata, Dila pun menjelaskan. Katanya saat bermain di depan rumah, Putri mengejek Dila karena tidak memiliki mug karakter bertuliskan nama Sakha–cucu Bu Evi. Dila sudah diam, tapi Putri terus memamerkan. Saat hendak pergi, dia tidak sengaja menyenggol mug tersebut.

"Ya sudah. Tidak apa-apa. Besok Ibu akan ganti mug'nya."

"Tadi kenapa Bu Atik bicara seperti itu soal nasi kotak, Ci? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari Emak?"

Tidak mungkin aku menyembunyikan lagi masalah nasi kotak. Tadi Bu Atik sudah terang-terangan bicara di depan Emak.

"Iya, Mak. Nasi kotak buatan kita ditolak karena menunya tidak sesuai dengan yang telah disepakati."

"Astaghfirullah. Memangnya ada kesepakatan soal menu?"

Menggelengkan kepala. "Sebenarnya tidak ada. Itu aturan dari Bu Evi saja."

"Apa semua warga mengikuti aturan tersebut?"

"Iya, bahkan sampai dibela-belain hutang agar bisa membuat nasi kotak dengan menu mewah."

"Semakin ke sini dusun kita semakin tidak karuan. Banyak aturan tidak masuk akal. Mirisnya yang membuat aturan tersebut justru warga pendatang."

"Orang kecil seperti kita bisa apa, Mak. Bersuara pun malah dikucilkan."

"Memang seperti itu. Yang memiliki materi banyak akan didewakan. Maafin Emak dan Ihsan, ya."

"Kenapa tiba-tiba Emak minta maaf?"

"Kamu jadi hidup susah karena kami."

Meraih tangan Emak mertua yang duduk di sebelahku. "Suci bahagia hidup bersama kalian. Ini sudah menjadi pilihan Suci. Jadi Emak jangan bicara seperti itu."

"Seandainya semua orang kaya memiliki hati seperti kamu."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status