Share

Bab 3

NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP

Duduk di ruang tamu dengan kaki selonjor. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan pelan. Hari ini kesabaranku benar-benar sedang diuji.

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara Mas Ihsan yang baru pulang.

"Wa'alaikumsalam." Segera beranjak dari tempat duduk dan menghampiri pria berpostur tinggi dengan kulit sawo matang tersebut. Aku mencium punggung tangannya.

Sesaat Mas Ihsan menatapku lalu membuka topi dan mengambil handuk yang melingkar di leher.

"Aku ambilin minum dulu."

"Tidak usah. Mas sudah minum," jawabnya sambil menjatuhkan bobot di kursi. Dia mengambil ponsel dari saku celana dan meletakkan di atas meja.

"Mas … aku pinjam ponselnya, ya?" Mengadahkan tangan di depan suami.

Dia pun langsung memberikan padaku.

Sebenarnya tidak ingin melihat group lagi, tapi aku penasaran. Dan ternyata banyak sekali chat baru yang masuk. Tadi pagi saat membuka lewat ponsel milik Bu Atik baru seratusan lebih. Sekarang hampir delapan ratusan chat.

Membaca dengan men'scroll cepat chat-chat tersebut. Ternyata benar, Bu Evi memberitahu pada anggota group kalau nasi kotak yang dia share tadi pagi adalah buatanku.

Ramai. Mereka saling membalas chat. Hari ini aku menjadi bahan bully'an hanya karena membuat nasi kotak yang tidak mewah. Bahkan Mbak Nar–penjual sayur tempat biasa aku belanja pun ikut berkomentar.

Dada ini bergetar hebat. Seluruh tubuhku terasa panas hingga menjalar ke ubun-ubun. Rasanya pengen menutup satu per satu mulut mereka.

Semua gara-gara segelintir orang yang merasa berkuasa karena memiliki materi lebih. Sehingga merasa berhak merendahkan orang lain.

Sebenarnya masih banyak warga dusun yang memiliki hati baik. Tapi bisa apa, kalau segelintir orang tidak punya hati tersebut sudah seperti seorang pemimpin yang mesti dianut dan diikuti.

Perlahan Mas Ihsan mengambil kembali ponsel tersebut dari tanganku.

"Kamu pengen merasa tenang 'kan Dek. Begini caranya." Tiba-tiba Mas Ihsan menekan titik tiga di pojok layar kemudian keluar dari group dusun tersebut. "Untuk apa masuk group yang isinya hanya saling menjelekkan, saling pamer dan saling merendahkan satu sama lain."

"Apa Mas Ihsan tahu soal–,"

"Tahu. Beritanya sudah tersebar di dusun ini," jawabnya sebelum aku selesai bicara.

"Ma-Mas dengar sendiri?"

"Tidak, tadi Mbak Lia yang memberitahu Mas. Kebetulan dia naik angkot yang Mas bawa."

"Maaf, ya, Mas. Keluarga kita dipermalukan begini karena aku bikin nasi kotak yang tidak sesuai dengan keinginan ibu-ibu lainnya."

"Kenapa mesti minta maaf. Justru Mas salut sama kamu karena berani menentang. Tidak memaksakan diri untuk membuat nasi kotak seperti yang mereka mau. Memang harus ada yang berani melawan segelintir orang seperti mereka."

"Jadi Mas tidak marah? Mas tidak malu?"

"Malu? Malu itu kalau kamu ikut-ikutan seperti mereka. Toh dusun lain saja adem ayem. Tidak mempermasalahkan soal menu nasi kotak."

Aku menarik napas lega dan berusaha menelaah setiap ucapan Mas Ihsan.

***

Pagi ini sengaja tetap belanja sayuran di tempat Mbak Nar. Meski kemarin aku lihat dia ikut komentar tidak mengenakkan hati.

Warung milik Mbak Nar memang tidak pernah sepi. Selalu saja ada ibu-ibu yang datang meski tidak belanja.

"Assalamu'alaikum," salamku pada semua. Ada yang menjawab, tapi ada juga yang cuek tanpa menghiraukan salam dariku.

"Idih, baperan," celetuk Mbak Nar sambil memasukkan belanjaan pembeli.

"Maksud Mbak Nar, saya?" tunjukku pada diri sendiri.

"Siapa lagi. Kamu keluar dari group, berarti baperan dong."

"Bukan baperan, Mbak. Lebih tepatnya menghindari dosa. Menjaga jari agar tidak mencari bahan untuk dijadikan ghibah. Seperti yang Mbak Nar lakukan kemarin, berkomentar sangat menyakitkan. Bahkan saya sampai tidak bisa membalas komentar kalian yang begitu aktif mengolok-olok nasi kotak buatan saya."

Semua terdiam. Mereka tidak bersuara seperti saat di group. Aku maklumi, karena sebagian memang hanya ikut-ikutan.

"Mbak Nar, sudah dicatat 'kan belanjaan hari ini," ucap salah satu Ibu yang kemarin juga nyinyir.

"Lha, ini ngutang lagi, Bu? Kemarin 'kan sudah kasbon banyak pas belanja untuk bikin nasi kotak. Masa' iya sekarang ngutang lagi."

Aku menoleh ke arahnya sambil memberikan senyum termanis.

"Y-ya nanti pasti aku bayar, Mbak. Nunggu suami gajian." Langsung pergi begitu saja.

"Tekor, dong saya," keluh Mbak Nar.

"Dihitung punya saya, Mbak," ucapku.

"Sudah? Cuma tauge sama teri asin saja? Pantes bikin menu nasi kotaknya biasa banget. Lha wong disesuaikan dengan makanan sehari-hari."

"Yang penting tidak ngutang 'kan Mbak."

Cep, Mbak Nar hanya memanyunkan bibir tanpa ada suara yang terdengar.

Bisa membungk*m mereka rasanya sangat puas.

-

Setelah sarapan, aku dan Mas Ihsan menuju tempat kerja bakti yang diadakan setiap hari minggu. Sebenarnya Mas Ihsan tidak ada libur kerja, secara dia sopir angkutan umum yang setiap hari memang harus menarik dan setor pada juragannya.

Tetapi khusus hari minggu, dia sudah izin kalau berangkat agak siang.

Sebelum sampai di kerumunan warga yang datang lebih dulu, Mas Ihsan meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Gaya banget, sih, mereka. Sok mesra seperti orang banyak duit. Padahal bikin nasi kotak saja tidak mampu." Bu Evi dan gengnya mulai beraksi.

Bicaranya memang tidak keras, tapi cukup terdengar jelas untuk orang yang masih memiliki pendengaran normal.

Melepas genggaman Mas Ihsan, memberanikan diri berbaur di kelompok ibu-ibu termasuk bersama Bu Kadus.

"Dengerin, ya, ibu-ibu. Besok lagi kalau ada acara apapun kita semua harus kompak. Jangan seperti kemarin, sudah diberitahu untuk bikin nasi kotak dengan menu yang telah disepakati. Eh … masih saja ada yang ndablek."

Ternyata hari ini tema'nya masih sama. Membahas soal nasi kotak buatanku.

"Kalau menurut saya lebih baik sepakat dalam hal positif. Contohnya, tidak perlu memaksakan orang lain harus mengikuti keinginan kita. Seperti pembuatan nasi kotak kemarin. Kasihan 'kan sampai ada yang harus ngutang. Iya 'kan Bu Kadus," sahutku.

"Benar kata Mbak Suci. Sesuaikan saja dengan kemampuan masing-masing. Yang penting itu ikhlas. Jangan menjadi sebuah beban."

"Tapi semua juga untuk nama baik dusun. Masa' iya, warga sebanyak ini harus ngikutin satu orang," bela Bu Yati.

"Yakin untuk nama baik dusun? Bukan untuk mencari wah? Coba Bu Evi dan Bu Yati tanya sama ibu-ibu lainnya. Benarkah mereka tidak keberatan dengan aturan kalian ini?"

"Jelas tidak. Nyatanya mereka bikin menu sesuai yang telah disepakati, kecuali kamu, Ci. Iya 'kan ibu-ibu?" Suara Bu Evi melengking.

"Iya," jawab gengnya Bu Evi kompak.

Sedangkan yang lain menjawab pelan dan ragu.

"Yakin ibu-ibu semua tidak keberatan? Ini baru aturan menu membuat nasi kotak lho. Belum lagi kalau ada aturan lain. Seperti membuat seragam PKK yang harganya enam ratus ribu, mungkin" sindirku. Karena hal ini sudah sempat terdengar akan dibahas."

"A-apa yang dikatakan Mbak Suci memang benar. Kemarin saya sampai pinjam bank harian agar bisa membuat nasi kotak yang ditentukan ibu-ibu. Sa-saya takut kalau menu tidak sesuai akan jadi bahan omongan." Satu Ibu mulai berani bersuara.

"Halah, kamu itu 11/12 sama Suci. Sekarang angkat tangan ibu-ibu yang setuju dengan saya." Bu Evi berdiri dengan lagaknya yang angkuh dan sombong.

Bu Yati, Bu Atik serta geng mereka langsung tunjuk tangan. Tapi tidak dengan lainnya yang memilih tangannya tetap di bawah sambil mencabuti rumput. Pun dengan Bu Kadus.

Alhamdulillah, ternyata banyak warga yang sebenarnya keberatan dengan aturan dari Bu Evi.

Melihat hal tersebut sepertinya Bu Evi tidak terima. Dia meninggalkan kerja bakti tanpa berpamitan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status