NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP
Duduk di ruang tamu dengan kaki selonjor. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan pelan. Hari ini kesabaranku benar-benar sedang diuji."Assalamu'alaikum." Terdengar suara Mas Ihsan yang baru pulang."Wa'alaikumsalam." Segera beranjak dari tempat duduk dan menghampiri pria berpostur tinggi dengan kulit sawo matang tersebut. Aku mencium punggung tangannya.Sesaat Mas Ihsan menatapku lalu membuka topi dan mengambil handuk yang melingkar di leher."Aku ambilin minum dulu.""Tidak usah. Mas sudah minum," jawabnya sambil menjatuhkan bobot di kursi. Dia mengambil ponsel dari saku celana dan meletakkan di atas meja."Mas … aku pinjam ponselnya, ya?" Mengadahkan tangan di depan suami.Dia pun langsung memberikan padaku.Sebenarnya tidak ingin melihat group lagi, tapi aku penasaran. Dan ternyata banyak sekali chat baru yang masuk. Tadi pagi saat membuka lewat ponsel milik Bu Atik baru seratusan lebih. Sekarang hampir delapan ratusan chat.Membaca dengan men'scroll cepat chat-chat tersebut. Ternyata benar, Bu Evi memberitahu pada anggota group kalau nasi kotak yang dia share tadi pagi adalah buatanku.Ramai. Mereka saling membalas chat. Hari ini aku menjadi bahan bully'an hanya karena membuat nasi kotak yang tidak mewah. Bahkan Mbak Nar–penjual sayur tempat biasa aku belanja pun ikut berkomentar.Dada ini bergetar hebat. Seluruh tubuhku terasa panas hingga menjalar ke ubun-ubun. Rasanya pengen menutup satu per satu mulut mereka.Semua gara-gara segelintir orang yang merasa berkuasa karena memiliki materi lebih. Sehingga merasa berhak merendahkan orang lain.Sebenarnya masih banyak warga dusun yang memiliki hati baik. Tapi bisa apa, kalau segelintir orang tidak punya hati tersebut sudah seperti seorang pemimpin yang mesti dianut dan diikuti.Perlahan Mas Ihsan mengambil kembali ponsel tersebut dari tanganku."Kamu pengen merasa tenang 'kan Dek. Begini caranya." Tiba-tiba Mas Ihsan menekan titik tiga di pojok layar kemudian keluar dari group dusun tersebut. "Untuk apa masuk group yang isinya hanya saling menjelekkan, saling pamer dan saling merendahkan satu sama lain.""Apa Mas Ihsan tahu soal–,""Tahu. Beritanya sudah tersebar di dusun ini," jawabnya sebelum aku selesai bicara."Ma-Mas dengar sendiri?""Tidak, tadi Mbak Lia yang memberitahu Mas. Kebetulan dia naik angkot yang Mas bawa.""Maaf, ya, Mas. Keluarga kita dipermalukan begini karena aku bikin nasi kotak yang tidak sesuai dengan keinginan ibu-ibu lainnya.""Kenapa mesti minta maaf. Justru Mas salut sama kamu karena berani menentang. Tidak memaksakan diri untuk membuat nasi kotak seperti yang mereka mau. Memang harus ada yang berani melawan segelintir orang seperti mereka.""Jadi Mas tidak marah? Mas tidak malu?""Malu? Malu itu kalau kamu ikut-ikutan seperti mereka. Toh dusun lain saja adem ayem. Tidak mempermasalahkan soal menu nasi kotak."Aku menarik napas lega dan berusaha menelaah setiap ucapan Mas Ihsan.***Pagi ini sengaja tetap belanja sayuran di tempat Mbak Nar. Meski kemarin aku lihat dia ikut komentar tidak mengenakkan hati.Warung milik Mbak Nar memang tidak pernah sepi. Selalu saja ada ibu-ibu yang datang meski tidak belanja."Assalamu'alaikum," salamku pada semua. Ada yang menjawab, tapi ada juga yang cuek tanpa menghiraukan salam dariku."Idih, baperan," celetuk Mbak Nar sambil memasukkan belanjaan pembeli."Maksud Mbak Nar, saya?" tunjukku pada diri sendiri."Siapa lagi. Kamu keluar dari group, berarti baperan dong.""Bukan baperan, Mbak. Lebih tepatnya menghindari dosa. Menjaga jari agar tidak mencari bahan untuk dijadikan ghibah. Seperti yang Mbak Nar lakukan kemarin, berkomentar sangat menyakitkan. Bahkan saya sampai tidak bisa membalas komentar kalian yang begitu aktif mengolok-olok nasi kotak buatan saya."Semua terdiam. Mereka tidak bersuara seperti saat di group. Aku maklumi, karena sebagian memang hanya ikut-ikutan."Mbak Nar, sudah dicatat 'kan belanjaan hari ini," ucap salah satu Ibu yang kemarin juga nyinyir."Lha, ini ngutang lagi, Bu? Kemarin 'kan sudah kasbon banyak pas belanja untuk bikin nasi kotak. Masa' iya sekarang ngutang lagi."Aku menoleh ke arahnya sambil memberikan senyum termanis."Y-ya nanti pasti aku bayar, Mbak. Nunggu suami gajian." Langsung pergi begitu saja."Tekor, dong saya," keluh Mbak Nar."Dihitung punya saya, Mbak," ucapku."Sudah? Cuma tauge sama teri asin saja? Pantes bikin menu nasi kotaknya biasa banget. Lha wong disesuaikan dengan makanan sehari-hari.""Yang penting tidak ngutang 'kan Mbak."Cep, Mbak Nar hanya memanyunkan bibir tanpa ada suara yang terdengar.Bisa membungk*m mereka rasanya sangat puas.-Setelah sarapan, aku dan Mas Ihsan menuju tempat kerja bakti yang diadakan setiap hari minggu. Sebenarnya Mas Ihsan tidak ada libur kerja, secara dia sopir angkutan umum yang setiap hari memang harus menarik dan setor pada juragannya.Tetapi khusus hari minggu, dia sudah izin kalau berangkat agak siang.Sebelum sampai di kerumunan warga yang datang lebih dulu, Mas Ihsan meraih tanganku dan menggenggamnya."Gaya banget, sih, mereka. Sok mesra seperti orang banyak duit. Padahal bikin nasi kotak saja tidak mampu." Bu Evi dan gengnya mulai beraksi.Bicaranya memang tidak keras, tapi cukup terdengar jelas untuk orang yang masih memiliki pendengaran normal.Melepas genggaman Mas Ihsan, memberanikan diri berbaur di kelompok ibu-ibu termasuk bersama Bu Kadus."Dengerin, ya, ibu-ibu. Besok lagi kalau ada acara apapun kita semua harus kompak. Jangan seperti kemarin, sudah diberitahu untuk bikin nasi kotak dengan menu yang telah disepakati. Eh … masih saja ada yang ndablek."Ternyata hari ini tema'nya masih sama. Membahas soal nasi kotak buatanku."Kalau menurut saya lebih baik sepakat dalam hal positif. Contohnya, tidak perlu memaksakan orang lain harus mengikuti keinginan kita. Seperti pembuatan nasi kotak kemarin. Kasihan 'kan sampai ada yang harus ngutang. Iya 'kan Bu Kadus," sahutku."Benar kata Mbak Suci. Sesuaikan saja dengan kemampuan masing-masing. Yang penting itu ikhlas. Jangan menjadi sebuah beban.""Tapi semua juga untuk nama baik dusun. Masa' iya, warga sebanyak ini harus ngikutin satu orang," bela Bu Yati."Yakin untuk nama baik dusun? Bukan untuk mencari wah? Coba Bu Evi dan Bu Yati tanya sama ibu-ibu lainnya. Benarkah mereka tidak keberatan dengan aturan kalian ini?""Jelas tidak. Nyatanya mereka bikin menu sesuai yang telah disepakati, kecuali kamu, Ci. Iya 'kan ibu-ibu?" Suara Bu Evi melengking."Iya," jawab gengnya Bu Evi kompak.Sedangkan yang lain menjawab pelan dan ragu."Yakin ibu-ibu semua tidak keberatan? Ini baru aturan menu membuat nasi kotak lho. Belum lagi kalau ada aturan lain. Seperti membuat seragam PKK yang harganya enam ratus ribu, mungkin" sindirku. Karena hal ini sudah sempat terdengar akan dibahas.""A-apa yang dikatakan Mbak Suci memang benar. Kemarin saya sampai pinjam bank harian agar bisa membuat nasi kotak yang ditentukan ibu-ibu. Sa-saya takut kalau menu tidak sesuai akan jadi bahan omongan." Satu Ibu mulai berani bersuara."Halah, kamu itu 11/12 sama Suci. Sekarang angkat tangan ibu-ibu yang setuju dengan saya." Bu Evi berdiri dengan lagaknya yang angkuh dan sombong.Bu Yati, Bu Atik serta geng mereka langsung tunjuk tangan. Tapi tidak dengan lainnya yang memilih tangannya tetap di bawah sambil mencabuti rumput. Pun dengan Bu Kadus.Alhamdulillah, ternyata banyak warga yang sebenarnya keberatan dengan aturan dari Bu Evi.Melihat hal tersebut sepertinya Bu Evi tidak terima. Dia meninggalkan kerja bakti tanpa berpamitan.BersambungNASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah drama nasi kotak, aku merasa seperti di'asingkan. Sebagian warga dusun menjauhiku. Terutama yang dekat dengan Bu Evi. Bu Evi memang sangat diistimewakan. Pun dengan suaminya. Mungkin karena mereka orang berada. Bahkan bisa dibilang salah satu orang terkaya di daerahku. Suaminya memiliki pabrik tahu, pabrik bakmi dan juga rental mobil. Pekerjanya lumayan banyak, terutama bapak-bapak dusun sini. Bu Evi dan suaminya sering memberi sumbangan untuk dusun dan diumumkan sendiri saat ada acara.Dulu Mas Ihsan sempat kerja di sana beberapa bulan, tapi akhirnya memilih berhenti karena suatu hal. Pak Marno–suaminya Bu Evi marah besar saat Mas Ihsan tidak masuk kerja selama dua hari. Padahal waktu itu dia sedang sakit.—----------"Eh, Suci. Kebetulan kamu di luar," ucap Bu Yati. Aku yang sedang menyapu halaman langsung berhenti. "Ada apa, Bu?" "Emm … sebentar." Bu Yati terlihat memilah sesuatu di tangannya. "Ups, lupa. Anak kamu 'kan tidak dapat
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kok belum tidur, Dek?" "Aku tidak bisa tidur, Mas. Semakin hari perlakuan mereka pada keluarga kita sangat keterlaluan.""Maksud kamu, Bu Evi dan–.""Siapa lagi," memotong ucapan Mas Ihsan. "Kemarin nasi kotak buatanku jadi bahan bully'an. Tadi karena mug, Dila dijewer sampai telinganya merah. Belum lagi ucapan pedas yang membuat hati panas. Rasanya kesabaran ini habis. Aku pikir hidup di dusun tidak akan bertemu dengan orang-orang seperti keluargaku. Ternyata sama saja.""Apa kamu menyesal menikah dengan Mas?" "Aku tidak pernah menyesal menikah dan menjadi Ibu dari anak kamu. Aku justru bersyukur bisa memiliki suami dan mertua yang baik.""Tapi hidupmu jadi serba kekurangan. Sampai-sampai dihina oleh warga dusun sini. Padahal kamu anak orang berada."Aku tidak pernah menganggap terlahir dari keluarga kaya. Karena bagiku sama saja dengan lainnya. Ya … ayahku memang pemilik salah satu hotel bintang empat. Dia juga memiliki beberapa restaurant y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Maaf, Mak. Suci belanjanya lama. Terpaksa jalan kaki ke dusun sebelah beli beras sama gulanya," jelasku setelah mengucap salam.Emak terlihat aneh, beliau hanya diam tanpa menjawab ucapanku. Padahal biasanya, apapun yang aku katakan langsung ditanggapi. "Emak marah karena kelamaan nunggu Suci, ya? Ini minum buat siapa, Mak?" tanyaku ketika Emak membawa nampan yang atasnya ada segelas air putih."Ternyata menyedihkan sekali hidup kamu." Seketika pandanganku beralih pada sosok perempuan yang baru saja masuk dari belakang. Kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan yang telah merebut Ayah dariku tiba-tiba ada di sini. Entah dari mana dia tahu keberadaanku. "Ngapain anda ke sini?" "Duh, sopan sekali. Orang tua datang bukannya disambut dengan cium tangan. Malah ketus begitu."Tersenyum getir. "Orang tua? Orang tua saya hanya Bunda Ratri yang sudah tiada. Dan kini Emak mertua adalah orang tua pengganti Bunda Ratri.""Mama ke sini bukan ngajakin
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Ini, Pak." Setelah membayar taksi, aku pun langsung turun. Berdiri di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Menatap rumah tiga tingkat dengan perpaduan cat dua warna ivory turquoise dan putih. Kedua warna tersebut adalah pilihanku dan Almarhum Bunda Ratri. Ternyata Ayah belum mengganti warna tersebutSetidaknya ada sedikit rasa bahagia ketika menginjakkan kaki ke rumah ini lagi setelah delapan tahun lamanya. "Cari siapa, Mbak?" tanya seorang pria mengenakan pakaian satpam. Sepertinya dia orang baru. Lantas Pak Imron ke mana? "Tolong buka gerbangnya!" "Mbak mau nyari siapa dulu. Di rumah ini tidak sembarangan orang bisa masuk.""Saya ingin bertemu Bapak Rudi Prayogo.""Maaf, ada keperluan apa? Bapak tidak bisa diganggu. Beliau sedang kurang sehat."Apa? Ayah sakit? Apa ini alasan Mama Ane datang menemuiku kemarin? Perempuan lic*k."Tolong buka sekarang. Kalau tidak saya akan teriak dan membuat pemilik rumah ini terganggu."Satpam tersebut
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Pulang ke mana? Ini 'kan rumah kamu," jawab ayah ketika aku berpamitan. Sebenarnya masih ingin berlama-lama di sini, tapi kasihan Mas Ihsan, Dila dan juga Emak. "Sekarang Suci 'kan sudah punya suami, Yah. Jadi, ya, mesti ikut ke manapun dia tinggal." Ayah begitu sedih. Membuatku merasa berat meninggalkan beliau. "Ini buat kamu." Ayah memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru. "Suci sudah punya, Yah. Dipakai berdua sama Mas Ihsan.""Jangan bikin Ayah sedih dengan menolaknya." Ayah memberikan lagi sebuah amplop cokelat ke tanganku. "Cash seratus juta cukup 'kan buat saku perjalanan? Sisanya Ayah transfer."Mengembalikan kembali amplop tersebut. "Kenapa? Ihsan melarangmu?"Mas Ihsan memang pernah bilang, kalau aku tidak boleh merepotkan orang tua. Dia akan berusaha semampunya untuk mencukupi semua kebutuhanku. Dan semua memang dibuktikan. Sedikit banyak hasil menarik angkutan selalu diberikan padaku. "Ayah tahu dia pria bertanggung jawab. Di
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa, Pak?" tanyaku saat Pak Wan malah diam ketika memintanya ikut turun. "Mbak Suci beneran tinggal di rumah ini?"Aku mengangguk."Saya salut sama Mbak Suci. Anak orang berada, tapi bisa hidup sederhana. Padahal dari kecil Mbak Suci terbiasa hidup berkecukupan."Sebenarnya untuk hidup sederhana aku tidak begitu kaget. Karena dalam bergaul pun tidak pernah memilah teman hanya karena materi. Almarhumah Bunda Ratri juga tidak pernah menunjukkan kemewahan yang beliau miliki. Padahal beliau juga terlahir dari orang berada. Kekayaan yang dimiliki orang tuaku bukan dari mengandalkan warisan. Mereka bekerja keras untuk mencapai keberhasilan saat ini.Sebenarnya sifat Ayah pun hampir sama dengan Almarhumah Bunda Ratri. Hanya saja setelah menikah dengan perempuan yang salah, sekarang beliau terlalu mempermasalahkan soal materi.Orang tuaku memiliki tiga rumah mewah, salah satunya yang ditempati Ayah saat ini dan menjadi rumah utama. Serta Villa kelua
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah pulang mengantar Dila, aku melihat di rumah Bu Atik banyak ibu-ibu sedang kumpul. Tidak berapa lama mereka keluar dari pintu gerbang dan melihat ke arahku yang baru saja memakirkan mobil. Membuka pintu belakang dan mengeluarkan beberapa kantong belanjaan. Tadi habis dari sekolah Dila, aku mampir ke mini market membeli segala kebutuhan pokok rumah dan juga jajan Dila."Ci, belanjanya banyak banget." Emak keluar dan membantuku. "Kebutuhan pokok, Mak. Mumpung ada rezeki.""Mampir, ibu-ibu," ucap emak ketika melihat ibu-ibu tersebut semakin mendekat ke rumah kami. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. "E-eh Emak. Mau ada acara, Mak? Kok belanja banyak," tanya salah satu dari mereka."Tidak ada. Emak saja kaget Suci belanja banyak begini.""Suci kok tiba-tiba banyak duit, ya. Padahal baru sehari jadi pembantu. Aneh," celetuk lainnya."Iya, aneh. Kerja satu bulan saja paling gaji pembantu berapa." Disusul ucapan demi ucapan y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP POV EVIKenapa badan jadi meriang begini. Jangan-jangan ucapan Suci kemarin tidak main-main. Aku mau dijadiin tumbalnya. "Ayo, Ma. Papa antar ke dokter sekarang," ajak suamiku."Sepertinya sakit Mama bukan sakit biasa, Pa," jawabku sambil mengusap bagian tubuh yang terasa nyeri."Bukan sakit biasa gimana?""Mending kita ke orang pintar saja, Pa." "Orang pintar?""Iya, sakit Mama ini karena mau dijadikan tumbal oleh Suci. Kemarin dia bilang sendiri. Banyak saksinya.""Suci istrinya Ihsan?""Siapa lagi. Ayo, Pa, cepetan. Mama takut."Akhirnya aku dan Mas Marno pergi ke tempat Mbah Sih–orang pintar yang cukup terkenal di daerah kami. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat perempuan tua yang umurnya sudah hampir seratus tahun itu. "Mbah, saya mau minta tolong. Apa benar ada orang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan?" tanyaku ketika sudah bertemu dengan Mbah Sih. Dia menatapku lalu memegang kepalaku dengan sedikit menekan. "Apa