Share

Bab 5

NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP

"Kok belum tidur, Dek?"

"Aku tidak bisa tidur, Mas. Semakin hari perlakuan mereka pada keluarga kita sangat keterlaluan."

"Maksud kamu, Bu Evi dan–."

"Siapa lagi," memotong ucapan Mas Ihsan. "Kemarin nasi kotak buatanku jadi bahan bully'an. Tadi karena mug, Dila dijewer sampai telinganya merah. Belum lagi ucapan pedas yang membuat hati panas. Rasanya kesabaran ini habis. Aku pikir hidup di dusun tidak akan bertemu dengan orang-orang seperti keluargaku. Ternyata sama saja."

"Apa kamu menyesal menikah dengan Mas?"

"Aku tidak pernah menyesal menikah dan menjadi Ibu dari anak kamu. Aku justru bersyukur bisa memiliki suami dan mertua yang baik."

"Tapi hidupmu jadi serba kekurangan. Sampai-sampai dihina oleh warga dusun sini. Padahal kamu anak orang berada."

Aku tidak pernah menganggap terlahir dari keluarga kaya. Karena bagiku sama saja dengan lainnya.

Ya … ayahku memang pemilik salah satu hotel bintang empat. Dia juga memiliki beberapa restaurant yang cukup terkenal. Aku adalah putri satu-satunya dari istri pertama.

Ayah dulu sangat menyayangiku, tapi sikapnya berubah sejak menikah dengan Mama Ane. Beliau selalu termakan omongan perempuan gila harta itu.

Kasih sayang yang selalu aku dapat dari pria bertubuh tambun tersebut seketika hilang. Ayah tidak peduli lagi. Waktunya habis untuk istri kedua dan anak bawaannya.

Hancur. Hidupku berantakan tanpa arah dan tujuan. Kuliahku berhenti. Tidak sampai disitu saja. Pria yang aku cintai berkhianat dengan adik sambungku sendiri. Satupun tidak ada yang memikirkan perasaanku. Kecuali seorang sopir yang selalu mengantarku ke mana-mana, mendengar segala keluh kesah, menunggu saat teriak tidak jelas di pinggir pantai.

Sampai akhirnya kami pun memiliki rasa. Tapi hubungan kami ditentang oleh Ayah dan Mama Ane karena Mas Ihsan hanya seorang sopir. Tetapi aku kekeh memutuskan untuk tetap menikah dengan Mas Ihsan.

Kami menikah di KUA, tidak ada resepsi, bahkan bisa dibilang pernikahan kami disembunyikan. Ijab qobul hanya dihadiri dua orang saksi. Setelah selesai, Ayah langsung meninggalkan aku begitu saja tanpa memberi pesan atau wejangan pada menantu dan anaknya. Aku dibuang.

Sakit, marah, kecewa, itu yang aku rasakan. Tetapi Alhamdulillah, aku memiliki suami dan mertua luar biasa.

***

Hari ini aku dan Mas Ihsan akan mengambil mug yang telah dipesan. Kebetulan pengrajin mug tersebut adalah teman Mas Ihsan waktu SMP.

Sebenarnya untuk memesan mug harus ada minimal order, tapi karena teman sendiri, akhirnya tidak ada ketentuan seperti itu.

"Ini tokonya, Mas?" tanyaku sambil memandang toko souvenir cukup besar. Waktu pesan, Mas Ihsan datang sendiri dengan membawa contoh mug milik Putri.

"Iya, Dek. Usahanya sukses. Dia memiliki cabang di kota lain." Mas Ihsan pun mengajakku masuk.

Seorang pria berkulit putih dengan rambut gondrong yang dikuncir menyambut kami sangat ramah.

"Kenalin, ini Suci–istriku,' terang Mas Ihsan.

"Saya, Rizal. Mau ngenalin istri juga, tapi dia ada di luar kota ngurusin usaha di sana. Mungkin lain waktu saja kita agendakan untuk kumpul-kumpul. Biar silaturahim tetap terjaga."

"Boleh juga, Zal."

"Oh iya, ini mug yang kamu pesan kemarin." Rizal menunjukkan mug yang sama persis dengan milik Putri dan dimasukkan ke dalam kotak kaca.

"Bagaimana, Dek. Sama 'kan?" tanya Mas Ihsan.

"Sama banget. Menurutku ini malah lebih bagus dari milik Putri." Mengamati dengan seksama.

"Iya, kalau soal harga, mug yang dijadikan contoh kemarin memang jauh lebih murah," terang Rizal.

"Terima kasih, ya, Zal, sudah mau buatin. Padahal hanya pesan satu mug. Jadi berapa?"

"Kamu bawa saja. Dan ini ada mug keluaran terbaru dari toko kami untuk anak kamu. Mudah-mudahan suka." Rizal memberikan 5 mug sangat cantik.

"Jangan, Zal. Tidak enak aku'nya."

"Seperti sama siapa saja. Kita itu teman. Aku tidak pernah lupa dengan kebaikan kamu dulu, San. Selalu berbagi makanan saat aku tidak mempunyai uang saku untuk jajan."

Ternyata dibalik masalah ini ada kejutan indah dari Tuhan.

***

"Assalamu'alaikum," salamku di depan rumah Bu Atik.

"Wa'alaikumsalam. Ngapain? Mau bilang kalau tidak bisa mengganti mug milik Putri, ya," jawabnya tanpa membuka pintu gerbang.

Astaga, cuma mug saja dipermasalahkan sampai sebegitunya. Mau heran, tapi kok Bu Atik. Sudahlah.

"Ini mug yang sudah saya janjikan untuk mengganti." Memberikan sebuah tas kardus bertali lewati gerbang yang tingginya hanya setengah badan.

Bu Atik langsung membuka dan menatap mug tersebut.

"Bagaimana? Lebih bagus 'kan. Iya, dong, karena harganya juga lebih mahal," terangku.

Bu Atik melirik sinis dengan sikapnya yang khas, menggerak-gerakkan kepala tidak jelas.

"Besok lagi anak kamu dibilangin biar ngga usil."

"Besok lagi Putri juga dibilangin tidak usah pamer. Dan pesan buat Bu Atik, jangan suka menyakiti anak orang seenaknya. Saya sudah mengganti mug milik cucu Bu Atik. Berarti saya boleh 'kan membalas jeweran yang dilakukan Bu Atik pada Dila kemarin?"

Bu Atik kelimpungan. Sorot matanya memperlihatkan kalau dia takut dengan gertakan sambalku.

***

"Mbak Nar, saya mau beli beras sama gula pasir," ucap Bu Evi yang tiba-tiba muncul di sebelahku. Dia belanja seperti yang aku beli.

"Eh, Bu Evi. Tumben belanja di sini," jawab Mbak Nar tanpa memperdulikanku yang datang dan memesan lebih dulu.

"Memangnya Mbak Nar tidak mau saya belanjain?" Mengibaskan kipas yang dipegangnya.

"Mau, mau. Beras dan gulanya berapa kilo, Bu?"

"Semua saya borong."

"Di-diborong? Baik, saya timbang dulu ada berapa semuanya."

"Mbak Nar, saya 'kan datang lebih dulu. Saya juga sudah bilang mau beli beras sama gula pasir."

"Ngalah, dong, Ci. Kamu tidak dengar Bu Evi beli berapa. Dia mau borong semua beras dan gula pasirnya."

"Iya, dengar. Kan saya tidak bud*g. Terus kalau semua dibeli Bu Evi, belanjaan yang saya pesan barusan bagaimana?"

"Y-ya, habis. Tidak ada sisa buat kamu."

"Haduh, lagian cuma belanja beras satu kilo sama gula pasir seperempat saja heboh. Berani-beraninya protes," sahut Bu Evi.

"Harusnya bukan belanjaannya yang dipermasalahkan, tetapi adab. Bu Evi sama Mbak Nar ini sama-sama tidak punya adab. Mbak Nar tidak boleh membedakan pembeli satu dengan lainnya hanya karena jumlah belanjaan. Siapa yang datang lebih dulu, dialah yang mesti dilayani. Untuk Bu Evi, di atas langit masih ada langit. Tidak perlu sombong."

Bu Evi tertawa sangat keras, membuat aku dan Mbak Nar kaget. "Saya sombong mah wajar. Soalnya ada yang disombongkan. Kalau orang miskin seperti kamu memang harus tahu diri. Bisa makan sekali sehari saja sudah untung. Eh … bisa-bisanya bilang kalau mug yang kamu kasih ke Bu Atik lebih mahal dari milik saya. Eh, Ci. Itu mug pesannya jauh."

Astaga, ternyata karena masalah mug, Bu Evi sampai memborong apa yang mau aku beli. D*s*r orang sombong. Tidak mau dikalahkan.

"Tapi kenyataan'nya memang mug Bu Evi lebih murah dari mug yang saya berikan pada Bu Atik. Mau bukti?" tantangku.

Sebenarnya malu harus menanggapi masalah sepele seperti ini, tapi kalau terus diam, yang ada akan semakin diinjak.

Bu Evi mengepalkan tangan. Kesal. "Tidak jadi beli beras sama gulanya," ucap Bu Evi meninggalkan warung.

"B-Bu. Ini bagaimana? Sudah saya timbang," teriak Mbak Nar. "Sucii, semua gara-gara kamu, Bu Evi jadi batal borong daganganku."

"Semua salah Mbak Nar, karena sebagai penjual tidak bisa melayani pembeli dengan baik."

"Terus kamu jadi beli tidak?"

"Ogah."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status