NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP
"Kok belum tidur, Dek?""Aku tidak bisa tidur, Mas. Semakin hari perlakuan mereka pada keluarga kita sangat keterlaluan.""Maksud kamu, Bu Evi dan–.""Siapa lagi," memotong ucapan Mas Ihsan. "Kemarin nasi kotak buatanku jadi bahan bully'an. Tadi karena mug, Dila dijewer sampai telinganya merah. Belum lagi ucapan pedas yang membuat hati panas. Rasanya kesabaran ini habis. Aku pikir hidup di dusun tidak akan bertemu dengan orang-orang seperti keluargaku. Ternyata sama saja.""Apa kamu menyesal menikah dengan Mas?""Aku tidak pernah menyesal menikah dan menjadi Ibu dari anak kamu. Aku justru bersyukur bisa memiliki suami dan mertua yang baik.""Tapi hidupmu jadi serba kekurangan. Sampai-sampai dihina oleh warga dusun sini. Padahal kamu anak orang berada."Aku tidak pernah menganggap terlahir dari keluarga kaya. Karena bagiku sama saja dengan lainnya.Ya … ayahku memang pemilik salah satu hotel bintang empat. Dia juga memiliki beberapa restaurant yang cukup terkenal. Aku adalah putri satu-satunya dari istri pertama.Ayah dulu sangat menyayangiku, tapi sikapnya berubah sejak menikah dengan Mama Ane. Beliau selalu termakan omongan perempuan gila harta itu.Kasih sayang yang selalu aku dapat dari pria bertubuh tambun tersebut seketika hilang. Ayah tidak peduli lagi. Waktunya habis untuk istri kedua dan anak bawaannya.Hancur. Hidupku berantakan tanpa arah dan tujuan. Kuliahku berhenti. Tidak sampai disitu saja. Pria yang aku cintai berkhianat dengan adik sambungku sendiri. Satupun tidak ada yang memikirkan perasaanku. Kecuali seorang sopir yang selalu mengantarku ke mana-mana, mendengar segala keluh kesah, menunggu saat teriak tidak jelas di pinggir pantai.Sampai akhirnya kami pun memiliki rasa. Tapi hubungan kami ditentang oleh Ayah dan Mama Ane karena Mas Ihsan hanya seorang sopir. Tetapi aku kekeh memutuskan untuk tetap menikah dengan Mas Ihsan.Kami menikah di KUA, tidak ada resepsi, bahkan bisa dibilang pernikahan kami disembunyikan. Ijab qobul hanya dihadiri dua orang saksi. Setelah selesai, Ayah langsung meninggalkan aku begitu saja tanpa memberi pesan atau wejangan pada menantu dan anaknya. Aku dibuang.Sakit, marah, kecewa, itu yang aku rasakan. Tetapi Alhamdulillah, aku memiliki suami dan mertua luar biasa.***Hari ini aku dan Mas Ihsan akan mengambil mug yang telah dipesan. Kebetulan pengrajin mug tersebut adalah teman Mas Ihsan waktu SMP.Sebenarnya untuk memesan mug harus ada minimal order, tapi karena teman sendiri, akhirnya tidak ada ketentuan seperti itu."Ini tokonya, Mas?" tanyaku sambil memandang toko souvenir cukup besar. Waktu pesan, Mas Ihsan datang sendiri dengan membawa contoh mug milik Putri."Iya, Dek. Usahanya sukses. Dia memiliki cabang di kota lain." Mas Ihsan pun mengajakku masuk.Seorang pria berkulit putih dengan rambut gondrong yang dikuncir menyambut kami sangat ramah."Kenalin, ini Suci–istriku,' terang Mas Ihsan."Saya, Rizal. Mau ngenalin istri juga, tapi dia ada di luar kota ngurusin usaha di sana. Mungkin lain waktu saja kita agendakan untuk kumpul-kumpul. Biar silaturahim tetap terjaga.""Boleh juga, Zal.""Oh iya, ini mug yang kamu pesan kemarin." Rizal menunjukkan mug yang sama persis dengan milik Putri dan dimasukkan ke dalam kotak kaca."Bagaimana, Dek. Sama 'kan?" tanya Mas Ihsan."Sama banget. Menurutku ini malah lebih bagus dari milik Putri." Mengamati dengan seksama."Iya, kalau soal harga, mug yang dijadikan contoh kemarin memang jauh lebih murah," terang Rizal."Terima kasih, ya, Zal, sudah mau buatin. Padahal hanya pesan satu mug. Jadi berapa?""Kamu bawa saja. Dan ini ada mug keluaran terbaru dari toko kami untuk anak kamu. Mudah-mudahan suka." Rizal memberikan 5 mug sangat cantik."Jangan, Zal. Tidak enak aku'nya.""Seperti sama siapa saja. Kita itu teman. Aku tidak pernah lupa dengan kebaikan kamu dulu, San. Selalu berbagi makanan saat aku tidak mempunyai uang saku untuk jajan."Ternyata dibalik masalah ini ada kejutan indah dari Tuhan.***"Assalamu'alaikum," salamku di depan rumah Bu Atik."Wa'alaikumsalam. Ngapain? Mau bilang kalau tidak bisa mengganti mug milik Putri, ya," jawabnya tanpa membuka pintu gerbang.Astaga, cuma mug saja dipermasalahkan sampai sebegitunya. Mau heran, tapi kok Bu Atik. Sudahlah."Ini mug yang sudah saya janjikan untuk mengganti." Memberikan sebuah tas kardus bertali lewati gerbang yang tingginya hanya setengah badan.Bu Atik langsung membuka dan menatap mug tersebut."Bagaimana? Lebih bagus 'kan. Iya, dong, karena harganya juga lebih mahal," terangku.Bu Atik melirik sinis dengan sikapnya yang khas, menggerak-gerakkan kepala tidak jelas."Besok lagi anak kamu dibilangin biar ngga usil.""Besok lagi Putri juga dibilangin tidak usah pamer. Dan pesan buat Bu Atik, jangan suka menyakiti anak orang seenaknya. Saya sudah mengganti mug milik cucu Bu Atik. Berarti saya boleh 'kan membalas jeweran yang dilakukan Bu Atik pada Dila kemarin?"Bu Atik kelimpungan. Sorot matanya memperlihatkan kalau dia takut dengan gertakan sambalku.***"Mbak Nar, saya mau beli beras sama gula pasir," ucap Bu Evi yang tiba-tiba muncul di sebelahku. Dia belanja seperti yang aku beli."Eh, Bu Evi. Tumben belanja di sini," jawab Mbak Nar tanpa memperdulikanku yang datang dan memesan lebih dulu."Memangnya Mbak Nar tidak mau saya belanjain?" Mengibaskan kipas yang dipegangnya."Mau, mau. Beras dan gulanya berapa kilo, Bu?""Semua saya borong.""Di-diborong? Baik, saya timbang dulu ada berapa semuanya.""Mbak Nar, saya 'kan datang lebih dulu. Saya juga sudah bilang mau beli beras sama gula pasir.""Ngalah, dong, Ci. Kamu tidak dengar Bu Evi beli berapa. Dia mau borong semua beras dan gula pasirnya.""Iya, dengar. Kan saya tidak bud*g. Terus kalau semua dibeli Bu Evi, belanjaan yang saya pesan barusan bagaimana?""Y-ya, habis. Tidak ada sisa buat kamu.""Haduh, lagian cuma belanja beras satu kilo sama gula pasir seperempat saja heboh. Berani-beraninya protes," sahut Bu Evi."Harusnya bukan belanjaannya yang dipermasalahkan, tetapi adab. Bu Evi sama Mbak Nar ini sama-sama tidak punya adab. Mbak Nar tidak boleh membedakan pembeli satu dengan lainnya hanya karena jumlah belanjaan. Siapa yang datang lebih dulu, dialah yang mesti dilayani. Untuk Bu Evi, di atas langit masih ada langit. Tidak perlu sombong."Bu Evi tertawa sangat keras, membuat aku dan Mbak Nar kaget. "Saya sombong mah wajar. Soalnya ada yang disombongkan. Kalau orang miskin seperti kamu memang harus tahu diri. Bisa makan sekali sehari saja sudah untung. Eh … bisa-bisanya bilang kalau mug yang kamu kasih ke Bu Atik lebih mahal dari milik saya. Eh, Ci. Itu mug pesannya jauh."Astaga, ternyata karena masalah mug, Bu Evi sampai memborong apa yang mau aku beli. D*s*r orang sombong. Tidak mau dikalahkan."Tapi kenyataan'nya memang mug Bu Evi lebih murah dari mug yang saya berikan pada Bu Atik. Mau bukti?" tantangku.Sebenarnya malu harus menanggapi masalah sepele seperti ini, tapi kalau terus diam, yang ada akan semakin diinjak.Bu Evi mengepalkan tangan. Kesal. "Tidak jadi beli beras sama gulanya," ucap Bu Evi meninggalkan warung."B-Bu. Ini bagaimana? Sudah saya timbang," teriak Mbak Nar. "Sucii, semua gara-gara kamu, Bu Evi jadi batal borong daganganku.""Semua salah Mbak Nar, karena sebagai penjual tidak bisa melayani pembeli dengan baik.""Terus kamu jadi beli tidak?""Ogah."Bersambung.NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Maaf, Mak. Suci belanjanya lama. Terpaksa jalan kaki ke dusun sebelah beli beras sama gulanya," jelasku setelah mengucap salam.Emak terlihat aneh, beliau hanya diam tanpa menjawab ucapanku. Padahal biasanya, apapun yang aku katakan langsung ditanggapi. "Emak marah karena kelamaan nunggu Suci, ya? Ini minum buat siapa, Mak?" tanyaku ketika Emak membawa nampan yang atasnya ada segelas air putih."Ternyata menyedihkan sekali hidup kamu." Seketika pandanganku beralih pada sosok perempuan yang baru saja masuk dari belakang. Kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan yang telah merebut Ayah dariku tiba-tiba ada di sini. Entah dari mana dia tahu keberadaanku. "Ngapain anda ke sini?" "Duh, sopan sekali. Orang tua datang bukannya disambut dengan cium tangan. Malah ketus begitu."Tersenyum getir. "Orang tua? Orang tua saya hanya Bunda Ratri yang sudah tiada. Dan kini Emak mertua adalah orang tua pengganti Bunda Ratri.""Mama ke sini bukan ngajakin
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Ini, Pak." Setelah membayar taksi, aku pun langsung turun. Berdiri di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Menatap rumah tiga tingkat dengan perpaduan cat dua warna ivory turquoise dan putih. Kedua warna tersebut adalah pilihanku dan Almarhum Bunda Ratri. Ternyata Ayah belum mengganti warna tersebutSetidaknya ada sedikit rasa bahagia ketika menginjakkan kaki ke rumah ini lagi setelah delapan tahun lamanya. "Cari siapa, Mbak?" tanya seorang pria mengenakan pakaian satpam. Sepertinya dia orang baru. Lantas Pak Imron ke mana? "Tolong buka gerbangnya!" "Mbak mau nyari siapa dulu. Di rumah ini tidak sembarangan orang bisa masuk.""Saya ingin bertemu Bapak Rudi Prayogo.""Maaf, ada keperluan apa? Bapak tidak bisa diganggu. Beliau sedang kurang sehat."Apa? Ayah sakit? Apa ini alasan Mama Ane datang menemuiku kemarin? Perempuan lic*k."Tolong buka sekarang. Kalau tidak saya akan teriak dan membuat pemilik rumah ini terganggu."Satpam tersebut
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Pulang ke mana? Ini 'kan rumah kamu," jawab ayah ketika aku berpamitan. Sebenarnya masih ingin berlama-lama di sini, tapi kasihan Mas Ihsan, Dila dan juga Emak. "Sekarang Suci 'kan sudah punya suami, Yah. Jadi, ya, mesti ikut ke manapun dia tinggal." Ayah begitu sedih. Membuatku merasa berat meninggalkan beliau. "Ini buat kamu." Ayah memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru. "Suci sudah punya, Yah. Dipakai berdua sama Mas Ihsan.""Jangan bikin Ayah sedih dengan menolaknya." Ayah memberikan lagi sebuah amplop cokelat ke tanganku. "Cash seratus juta cukup 'kan buat saku perjalanan? Sisanya Ayah transfer."Mengembalikan kembali amplop tersebut. "Kenapa? Ihsan melarangmu?"Mas Ihsan memang pernah bilang, kalau aku tidak boleh merepotkan orang tua. Dia akan berusaha semampunya untuk mencukupi semua kebutuhanku. Dan semua memang dibuktikan. Sedikit banyak hasil menarik angkutan selalu diberikan padaku. "Ayah tahu dia pria bertanggung jawab. Di
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa, Pak?" tanyaku saat Pak Wan malah diam ketika memintanya ikut turun. "Mbak Suci beneran tinggal di rumah ini?"Aku mengangguk."Saya salut sama Mbak Suci. Anak orang berada, tapi bisa hidup sederhana. Padahal dari kecil Mbak Suci terbiasa hidup berkecukupan."Sebenarnya untuk hidup sederhana aku tidak begitu kaget. Karena dalam bergaul pun tidak pernah memilah teman hanya karena materi. Almarhumah Bunda Ratri juga tidak pernah menunjukkan kemewahan yang beliau miliki. Padahal beliau juga terlahir dari orang berada. Kekayaan yang dimiliki orang tuaku bukan dari mengandalkan warisan. Mereka bekerja keras untuk mencapai keberhasilan saat ini.Sebenarnya sifat Ayah pun hampir sama dengan Almarhumah Bunda Ratri. Hanya saja setelah menikah dengan perempuan yang salah, sekarang beliau terlalu mempermasalahkan soal materi.Orang tuaku memiliki tiga rumah mewah, salah satunya yang ditempati Ayah saat ini dan menjadi rumah utama. Serta Villa kelua
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah pulang mengantar Dila, aku melihat di rumah Bu Atik banyak ibu-ibu sedang kumpul. Tidak berapa lama mereka keluar dari pintu gerbang dan melihat ke arahku yang baru saja memakirkan mobil. Membuka pintu belakang dan mengeluarkan beberapa kantong belanjaan. Tadi habis dari sekolah Dila, aku mampir ke mini market membeli segala kebutuhan pokok rumah dan juga jajan Dila."Ci, belanjanya banyak banget." Emak keluar dan membantuku. "Kebutuhan pokok, Mak. Mumpung ada rezeki.""Mampir, ibu-ibu," ucap emak ketika melihat ibu-ibu tersebut semakin mendekat ke rumah kami. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. "E-eh Emak. Mau ada acara, Mak? Kok belanja banyak," tanya salah satu dari mereka."Tidak ada. Emak saja kaget Suci belanja banyak begini.""Suci kok tiba-tiba banyak duit, ya. Padahal baru sehari jadi pembantu. Aneh," celetuk lainnya."Iya, aneh. Kerja satu bulan saja paling gaji pembantu berapa." Disusul ucapan demi ucapan y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP POV EVIKenapa badan jadi meriang begini. Jangan-jangan ucapan Suci kemarin tidak main-main. Aku mau dijadiin tumbalnya. "Ayo, Ma. Papa antar ke dokter sekarang," ajak suamiku."Sepertinya sakit Mama bukan sakit biasa, Pa," jawabku sambil mengusap bagian tubuh yang terasa nyeri."Bukan sakit biasa gimana?""Mending kita ke orang pintar saja, Pa." "Orang pintar?""Iya, sakit Mama ini karena mau dijadikan tumbal oleh Suci. Kemarin dia bilang sendiri. Banyak saksinya.""Suci istrinya Ihsan?""Siapa lagi. Ayo, Pa, cepetan. Mama takut."Akhirnya aku dan Mas Marno pergi ke tempat Mbah Sih–orang pintar yang cukup terkenal di daerah kami. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat perempuan tua yang umurnya sudah hampir seratus tahun itu. "Mbah, saya mau minta tolong. Apa benar ada orang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan?" tanyaku ketika sudah bertemu dengan Mbah Sih. Dia menatapku lalu memegang kepalaku dengan sedikit menekan. "Apa
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Aku tidak habis pikir dengan Bu Evi. Sudah jelas diagnosa'nya demam berdarah. Masih saja mikirnya mau dijadikan tumbal.""Ya, sudah, Dek. Biarkan saja dia mau bicara apa. Namanya juga Bu Evi.""Mereka itu kenapa, sih, Mas, sama aku. Cuma masalah nasi kotak, sekarang merembet ke mana-mana. Kemarin dihina karena tidak punya uang. Sekarang aku ada rezeki lebih dipikir punya pesugihan. Sekalian saja 'kan aku bilang mereka akan jadi tumbal. Eh … beneran nanggepinnya. Ada-ada saja. Diam diinjak, bersuara salah."Sesampainya di rumah. Ibu-ibu geng'nya Bu Evi ternyata masih ada. Tadi waktu Bu Evi pingsan, aku dan Mas Ihsan yang mengantar ke rumah sakit dengan angkot. "Assalamu'alaikum.""Bu Kadus, Suci sudah pulang," ucap ibu-ibu tersebut tanpa menjawab salam dari kami.Bu Kadus pun keluar bersama Emak. Kenapa Bu Kadus ada di sini? Padahal beliau 'kan sedang punya hajat."Mbak Suci, bagaimana keadaan Bu Evi," tanya Bu Kadus."Aduh, Bu. Kenapa ditanya s
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa kamu menampar Bu Yati, Ci? Emak tidak apa-apa," terang Emak setelah keluar dari rumah Bu Evi."Maafin Suci, Mak. Tadi reflek. Kening Emak sampai merah dan benjol begitu kok bilang tidak apa-apa.""Pasti nanti jadi masalah lagi.""Emak tidak perlu mikirin hal itu. Suci yang akan menghadapi mereka. Kesabaran Suci sudah habis, Mak."—----------"Ada apa, Mas?" Aku menoleh ke arah Mas Ihsan dengan mata setengah terbuka. Memandang ke arah jam yang menempel di dinding. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam."Bangun dulu!" pintanya. Aku segera merubah posisi tubuh setengah duduk.Tiba-tiba Mas Ihsan mencium keningku sambil mengucapkan selamat ulang tahun. Doa pun dia panjatkan. Membuat perasaanku begitu haru. Aku sendiri bahkan tidak ingat kalau di pergantian tanggal ini adalah hari ulang tahunku. "Terima kasih, ya, Mas. Terima kasih atas doanya. Terima kasih atas kasih sayang, perhatian dan kesabaran untuk'ku selama ini.""Aku ada sesuatu u