NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP (TAMAT)Full Part"Cepetan ngomong, Bu! Lama.""Iya, nih. Biasanya kalau ngomentari orang cepet."Warga kembali riuh menunggu Bu Evi dan Bu Atik yang tidak segera bicara."Silahkan, siapa yang ingin bicara lebih dulu diantara kalian. Bu Evi atau Bu Atik," ucap Mas Ihsan.Bu Evi dan Bu Atik saling melempar pandang. "Saya yang akan bicara lebih dulu," terang Bu Atik.Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arah kami duduk. Lalu membalikkan badan ke arah warga. Sebelum bicara, Bu Atik menatap semua orang yang ada di ruangan. Hingga akhirnya sebuah salam terucap mengawali pengakuan yang sebentar lagi akan didengar oleh warga dusun.Kakinya terlihat bergetar hebat. Sampai-sampai anaknya maju ke depan untuk memegangi tubuh Bu Atik. Kurang lebih lima belas menit Bu Atik mengakui semua perbuatan yang dia lakukan. Bahkan dia menjelaskan dengan detail bagaimana mereka memasukkan r*cun tikus di masakan yang dimasak Mbak Icik untuk Emak. Kami hanya bisa menge
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Eh, Ci. Kamu sudah buka group dusun, belum?" tanya Bu Atik–tetangga samping rumah yang tiba-tiba datang. Tidak biasanya dia mau main ke tempatku. "Belum, Bu," jawabku sambil menggelengkan kepala."Mending cepetan buka, deh. Ada berita heboh," terangnya."Maaf, tapi ponsel saya dibawa Mas Ihsan. Maklum satu untuk berdua." "Astaga, hari gini cuma punya satu ponsel. Ya sudah, aku kasih lihat lewat ponselku saja." Bu Atik memberikan ponselnya. "Hati-hati. Itu baru beli tiga hari yang lalu. Harganya mahal, lima jutaan." Tidak ingin berlama-lama, aku pun segera membuka group dusun.[Ibu-ibu, ini nasi kotak buatan siapa, ya? Sangat memalukan dusun kita. Mending diambil lagi di tempat Bu Kadus.] Disertai foto nasi kotak.Chat tersebut dikirim oleh Bu Evi. Dia mengirim sebuah foto nasi kotak yang tak asing buatku. Nasi kotak tersebut adalah nasi yang baru selesai ku'buat setengah jam lalu dan dikumpulkan di rumah Bu Kadus.Banyak sekali komentar menyak
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa melamun, Ci?" tanya emak mertua yang mengagetkan'ku.Aku memang tidak langsung masuk ke dalam rumah, memilih duduk di teras. "E-Emak." Langsung berdiri dan menuntun perempuan berumur enam puluh lima tahun tersebut untuk duduk. "Emak kenapa tidak istirahat saja. Pasti capek karena tadi bantuin Suci bikin nagasari dan lemet.""Capek apanya. Orang Emak cuma duduk sambil bungkusin saja."Satu minggu yang lalu Emak mertua baru pulang dari rumah sakit. Beliau opname tiga hari karena jantungnya kambuh. "Ci … itu nasi kotaknya kok belum dikumpulin? Bukannya tadi kamu sudah ke rumah Bu Kadus, ya," tanya emak sambil menatap tumpukan kardus putih di sebelahku. Bagaimana ini? Tidak mungkin aku jujur sama Emak. Nanti yang ada beliau kaget. Takutnya jantungnya kambuh. Apalagi dokter sudah mewanti-wanti agar Emak tidak banyak pikiran. "O-oh itu. Ternyata nasi kotaknya dikumpulin langsung ke dusun sebelah, Mak. Suci salah dengar pas pengumuman di PKK
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Duduk di ruang tamu dengan kaki selonjor. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan pelan. Hari ini kesabaranku benar-benar sedang diuji. "Assalamu'alaikum." Terdengar suara Mas Ihsan yang baru pulang. "Wa'alaikumsalam." Segera beranjak dari tempat duduk dan menghampiri pria berpostur tinggi dengan kulit sawo matang tersebut. Aku mencium punggung tangannya. Sesaat Mas Ihsan menatapku lalu membuka topi dan mengambil handuk yang melingkar di leher."Aku ambilin minum dulu.""Tidak usah. Mas sudah minum," jawabnya sambil menjatuhkan bobot di kursi. Dia mengambil ponsel dari saku celana dan meletakkan di atas meja."Mas … aku pinjam ponselnya, ya?" Mengadahkan tangan di depan suami. Dia pun langsung memberikan padaku. Sebenarnya tidak ingin melihat group lagi, tapi aku penasaran. Dan ternyata banyak sekali chat baru yang masuk. Tadi pagi saat membuka lewat ponsel milik Bu Atik baru seratusan lebih. Sekarang hampir delapan ratusan chat.Membaca
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah drama nasi kotak, aku merasa seperti di'asingkan. Sebagian warga dusun menjauhiku. Terutama yang dekat dengan Bu Evi. Bu Evi memang sangat diistimewakan. Pun dengan suaminya. Mungkin karena mereka orang berada. Bahkan bisa dibilang salah satu orang terkaya di daerahku. Suaminya memiliki pabrik tahu, pabrik bakmi dan juga rental mobil. Pekerjanya lumayan banyak, terutama bapak-bapak dusun sini. Bu Evi dan suaminya sering memberi sumbangan untuk dusun dan diumumkan sendiri saat ada acara.Dulu Mas Ihsan sempat kerja di sana beberapa bulan, tapi akhirnya memilih berhenti karena suatu hal. Pak Marno–suaminya Bu Evi marah besar saat Mas Ihsan tidak masuk kerja selama dua hari. Padahal waktu itu dia sedang sakit.—----------"Eh, Suci. Kebetulan kamu di luar," ucap Bu Yati. Aku yang sedang menyapu halaman langsung berhenti. "Ada apa, Bu?" "Emm … sebentar." Bu Yati terlihat memilah sesuatu di tangannya. "Ups, lupa. Anak kamu 'kan tidak dapat
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kok belum tidur, Dek?" "Aku tidak bisa tidur, Mas. Semakin hari perlakuan mereka pada keluarga kita sangat keterlaluan.""Maksud kamu, Bu Evi dan–.""Siapa lagi," memotong ucapan Mas Ihsan. "Kemarin nasi kotak buatanku jadi bahan bully'an. Tadi karena mug, Dila dijewer sampai telinganya merah. Belum lagi ucapan pedas yang membuat hati panas. Rasanya kesabaran ini habis. Aku pikir hidup di dusun tidak akan bertemu dengan orang-orang seperti keluargaku. Ternyata sama saja.""Apa kamu menyesal menikah dengan Mas?" "Aku tidak pernah menyesal menikah dan menjadi Ibu dari anak kamu. Aku justru bersyukur bisa memiliki suami dan mertua yang baik.""Tapi hidupmu jadi serba kekurangan. Sampai-sampai dihina oleh warga dusun sini. Padahal kamu anak orang berada."Aku tidak pernah menganggap terlahir dari keluarga kaya. Karena bagiku sama saja dengan lainnya. Ya … ayahku memang pemilik salah satu hotel bintang empat. Dia juga memiliki beberapa restaurant y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Maaf, Mak. Suci belanjanya lama. Terpaksa jalan kaki ke dusun sebelah beli beras sama gulanya," jelasku setelah mengucap salam.Emak terlihat aneh, beliau hanya diam tanpa menjawab ucapanku. Padahal biasanya, apapun yang aku katakan langsung ditanggapi. "Emak marah karena kelamaan nunggu Suci, ya? Ini minum buat siapa, Mak?" tanyaku ketika Emak membawa nampan yang atasnya ada segelas air putih."Ternyata menyedihkan sekali hidup kamu." Seketika pandanganku beralih pada sosok perempuan yang baru saja masuk dari belakang. Kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan yang telah merebut Ayah dariku tiba-tiba ada di sini. Entah dari mana dia tahu keberadaanku. "Ngapain anda ke sini?" "Duh, sopan sekali. Orang tua datang bukannya disambut dengan cium tangan. Malah ketus begitu."Tersenyum getir. "Orang tua? Orang tua saya hanya Bunda Ratri yang sudah tiada. Dan kini Emak mertua adalah orang tua pengganti Bunda Ratri.""Mama ke sini bukan ngajakin
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Ini, Pak." Setelah membayar taksi, aku pun langsung turun. Berdiri di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Menatap rumah tiga tingkat dengan perpaduan cat dua warna ivory turquoise dan putih. Kedua warna tersebut adalah pilihanku dan Almarhum Bunda Ratri. Ternyata Ayah belum mengganti warna tersebutSetidaknya ada sedikit rasa bahagia ketika menginjakkan kaki ke rumah ini lagi setelah delapan tahun lamanya. "Cari siapa, Mbak?" tanya seorang pria mengenakan pakaian satpam. Sepertinya dia orang baru. Lantas Pak Imron ke mana? "Tolong buka gerbangnya!" "Mbak mau nyari siapa dulu. Di rumah ini tidak sembarangan orang bisa masuk.""Saya ingin bertemu Bapak Rudi Prayogo.""Maaf, ada keperluan apa? Bapak tidak bisa diganggu. Beliau sedang kurang sehat."Apa? Ayah sakit? Apa ini alasan Mama Ane datang menemuiku kemarin? Perempuan lic*k."Tolong buka sekarang. Kalau tidak saya akan teriak dan membuat pemilik rumah ini terganggu."Satpam tersebut