Share

Bab 3-Aku anakmu

"Pekan depan Bintang diundang untuk mengisi acara di kafé Kenanga. Mama sama Papa datang, kan?" tanya Bintang kepada orang tuanya.

"Pasti. Papa pasti datang dong," jawab Bram, ayahnya.

"Mama datang, kan?" tanya Bintang pada ibunya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, tidak memedulikan perbincangan antara suami dan anak laki-laki yang kini sedang menunggu jawaban darinya.

"Bima, kamu dari mana saja? Apa kamu tidak melihat jam? Ini sudah larut malam," tanya Bram marah ketika melihat anak sulungnya baru pulang seraya menenteng jaket kulitnya.

"Biasalah Pa, anak muda," jawab putra sulungnya itu dengan santai.

"Kamu ini--"

"Sudah sekarang kamu pergi mandi, ya," suruh Rita memotong ucapan suaminya.

Wanita paruh baya itu selalu menjadi tameng untuk membela si sulung.

"Bima! Papa belum selesai bicara," geram Bram ketika putra sulungnya malah naik ke atas.

"Sudahlah Mas, Bima juga baru saja pulang," lerai sang istri.

"Bela saja terus! Dia jadi seenaknya karena terlalu kamu manjakan," timpal Bram dengan nada keras karena masih emosi.

Bintang hanya menunduk menyaksikan pertengkaran kecil orang tuanya.

Pemuda itu bingung harus berbuat apa.

Ini bukan kali pertama ia melihat kedua orang tuanya bertengkar hanya karena masalah kecil seperti ini.

"Bintang, masuk kamar!" Perintah Bram dengan tegas walaupun manik matanya tak lepas dari sang istri.

Ia segera beranjak, tetapi tidak benar-benar pergi melainkan diam di anak tangga sehingga masih bisa mendengar pertengkaran orang tuanya dengan jelas.

"Bima itu putra tertua! Jangan terus kamu manjakan," kata Bram menasehati sang istri.

"Mas yang terlalu keras padanya. Mas sendiri juga memanjakan anak itu," balas Rita, yang ia maksud anak itu adalah Bintang.

Pemuda itu hanya menghela napasnya ketika ibunya mulai mengait-ngaitkan dirinya.

"Apa salahnya aku memanjakan anakku sendiri?" lanjut wanita itu tidak kalah emosinya.

"Rita, stop! Harus berapa ratus kali aku bilang, kamu harus adil pada mereka, dia anak kamu juga!" bentak Bram tidak terima ketika istrinya selalu membedakan kasih sayang putra-putranya.

"Dia bukan anakku. Sampai kapan pun anakku hanya Bima!" Tegas Rita serta langsung masuk ke dalam kamar dan membanting pintu kamar tersebut.

"Rita!" Bram benar-benar geram dengan kelakuan sang istri.

"Dasar tukang nguping," gumam Bima dari atas tangga.

Tidak ingin hatinya semakin sakit, Bintang beranjak dari tempat menyakitkan itu lalu pergi ke kamarnya.

***

"Aku boleh masuk?" tanya Bima seraya melenggang masuk.

"Untuk apa meminta ijin jika kau sendiri sudah duluan masuk." Bintang mendengkus.

"Haha! Selow saja kali," Pemuda itu tertawa, Bintang hanya memutar bola matanya, malas meladeni kakaknya yang terkadang menyebalkan.

"Kakak ngapain ke sini? Sana kembali ke kamarmu!" Usir Bintang seraya mendorong tubuh kekar pemuda yang dipanggil kakak itu.

Bima membaringkan tubuhnya di tempat tidur sang adik.

"Galaknya," eluhnya.

Bintang sudah tidak peduli dengan apa yang dilakukan kakaknya itu, ia kembali sibuk dengan buku-buku tebalnya atau lebih tepatnya untuk menghindari tatapan selidik dari Bima.

"Mata kamu tidak sakit membaca buku setebal itu? Kalau aku sih baru melihatnya saja ingin muntah." Pemuda itu meringis melihat betapa tebalnya buku-buku yang sedang adiknya baca.

"Ini mataku, bukan matamu." Jawab Bintang masih fokus dengan buku psikologinya, Bima hanya mendengkus melihat betapa kerasnya adiknya itu belajar.

Meskipun Bintang anak IPA, tetapi dia juga senang membaca semua jenis buku.

Bima saja jika masuk ke ruangan ini merasa kalau ia sedang berada di perpustakaan sekolah, hanya bedanya perpustakaan yang memiliki sebuah tempat tidur.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Bima kemudian.

"Maksud Kakak?" bukannya menjawab, adiknya itu malah balik bertanya.

"Sama perkataan mama tadi," lanjut Bima dengan hati-hati. Takut melukai perasaan sang adik.

Bintang memejamkan matanya seraya mengepalkan kedua tangannya. "Hmm."

Raut wajah Bima tampak cemas.

Pemuda itu tahu adiknya itu pasti sakit hati dengan perkataan sang ibu. Dan itu sangatlah wajar, siapapun pasti akan merasa sakit hati jika selama hidupnya selalu dibedakan dan tidak diberi kasih sayang yang seharusnya.

"Kak kalau main itu harus tahu waktu, jangan bikin papa marah terus." Bintang menghentikan aktivitasnya lalu menatap kakaknya dengan tatapan serius.

"Kakak tega melihat mama nangis terus gara-gara bertengkar sama papa?"

Bima tersenyum sinis, bisa-bisanya adiknya itu masih memikirkan perasaan ibunya di saat ia tidak dianggap oleh sang ibu.

"Hoam ... aku kembali ke kamar, ngantuk." Bima melenggang keluar kamar begitu saja.

Sebenarnya ia hanya ingin memberi ruang tersendiri untuk adiknya itu.

Setelah memastikan sang kakak sudah benar-benar masuk ke dalam kamarnya, Bintang kembali menarik napas dalam lalu membuangnya dengan keras.

Ia tidak munafik meski sudah sering mendengar ibunya bicara seperti itu, tetapi hatinya masih tetap saja terasa sakit.

Pemuda malang itu hanya korban dari kekhilafan ayahnya di masa lalu.

Jika bisa memilih, Bintang juga tidak menginginkan hidup seperti ini.

Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah garis takdir dari yang maha kuasa.

Sebagai seorang hamba ia hanya harus menerimanya dan percaya bahwa suatu saat nanti ibunya akan berubah menyayanginya.

Pemuda itu hanya harus menunggu sampai waktu itu tiba.

***

Baskara duduk terdiam di teras rumahnya, memandangi langit yang gelap tanpa cahaya bulan dan gemerlapnya bintang-bintang.

Langit malam ini sangat mewakili hatinya yang sepi. Tidak ada keluarga, tidak ada yang menemani. Ia hanya sendiri di rumah sederhananya. Salah satu rumah milik kakeknya.

Pemuda itu kembali menengadahkan kepalanya menatap ke atas langit. Ia memejamkan matanya seraya menghirup udara malam yang cukup dingin sama seperti perasaannya.

Bertahun-tahun terjebak dalam kesepian yang tak berujung.

Mungkin, saat bersama dengan Nature Squad saja rasa itu sedikit berkurang, tetapi ketika tidak bersama mereka perasaan itu mendatanginya lagi, membuatnya sangat tersiksa dan rasanya ingin menghilang saja.

"Babas," Wina memanggil pemuda itu, tetapi ia hanya menoleh lalu kembali menatap ke atas langit yang hanya berwana hitam gelap.

"Nenek masuk rumah sakit," lanjut gadis itu dengan raut wajah yang sangat cemas.

Baskara sangat terkejut mendengar kabar tersebut sampai-sampai tubuhnya mendadak lemas dan hampir saja terjatuh jika saja gadis itu tidak menopangnya.

Wina bertanya, "Bas, kamu tidak apa-apa?"

Tanpa mengindahkan pertanyaan Wina, ia segera mengambil kunci motornya yang tergantung di dekat kamar lalu langsung pergi ke rumah sakit menaiki motor hitam kesayangannya.

Tahu pemuda itu sedang tidak baik-baik saja, Wina memutuskan untuk menemaninya.

"Bas, tunggu! Aku ikut."

***

Saat sampai di pekarangan rumah sakit, pemuda itu langsung memarkirkan motornya di sembarang tempat, tidak peduli motornya akan diamankan karena tidak mematuhi aturan, bahkan ia tidak menunggu Wina yang masih duduk dengan perasaan gelisah di atas motornya.

Gadis itu bisa memakluminya. Pasti pemuda itu sangat khawatir dengan kondisi sang nenek.

Langkahnya terhenti ketika melihat salah satu saudarinya sedang duduk di depan ruangan UGD.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya kakaknya dengan sinis.

"Aku mau lihat kondisi nenek." Baskara tertunduk memandangi sepatunya. Dia tidak berani menatap mata sang kakak yang penuh dengan sorot kebencian untuknya.

"Pergi! Aku tidak mau kamu bunuh nenek juga." Dia berkata dengan suara lantang, menunjuk arah parkiran.

Tubuh pemuda itu menegang serta mengepalkan kedua tangannya kuat sampai urat-urat tangannya terlihat.

Mungkin jika yang di hadapannya sekarang bukan kakaknya dan bukan seorang wanita, ia sudah melayangkan pukulannya.

"Aku bukan pembunuh," ucapnya lirih, teramat lirih.

"Brisia, ayo ma--" Nugroho menghentikan ucapannya ketika melihat putra bungsunya ada di sana.

Keadaan semakin mencekam. Nugroho menatap tajam kepada anak lelaki yang juga sedang menatapnya.

Mata Baskara panas menahan air mata yang bisa keluar kapan saja.

Kalau saja bisa, ia ingin sekali memeluk pria dewasa di depannya itu dengan erat, meluapkan semua rasa rindu yang ia tahan selama bertahun-tahun lamanya.

"Ayah," panggilnya lirih.

Mata Nugroho membulat sempurna dan plak! ia menamparnya dengan sangat keras.

"Jangan panggil saya Ayah! Kau bukan anak saya," serunya dengan penekanan di setiap kata.

Wina sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat.

Gadis itu melihat semuanya.

"Jadi Babas masih punya orang tua?" tanya gadis itu entah pada siapa.

Baskara masih bisa merasakan pipinya yang panas akibat tamparan yang dilayangkan Nugroho. Ia semakin tertunduk dalam dan satu tetes cairan bening itu akhirnya jatuh dari pelupuk matanya.

"Bas," panggil Wina. Ia mengusap punggung pemuda itu lembut.

"Ayo pulang," kata Baskara dengan nada datar dan lagi-lagi berjalan meninggalkannya.

Selama di perjalanan, Wina terus membayangkan kejadian yang baru saja ia saksikan.

Bebagai pertanyaan bergelantungan dalam otaknya.

Namun, melihat kondisi Baskara tadi, ia membiarkan pertanyaan itu tetap berada dalam pikirannya saja.

"Pergi! Aku tidak mau kamu bunuh nenek juga."

"Jangan panggil saya Ayah! Kau bukan anak saya."

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran pemuda malang itu.

Setelah sampai ke rumah, Baskara langsung membuka laci kamarnya dan mengambil benda yang berbulan-bulan tidak pernah ia sentuh lagi.

Pria itu pergi ke kamar mandi serta menyalakan shower untuk menyamarkan suaranya, lalu benda dingin dan tajam itu ia goreskan pada tangannya yang sudah banyak bekas luka sayatan.

Satu goresan, dua, tiga, menikmati rasa perihnya.

Setidaknya rasa perih di tangannya bisa mengalihkan rasa sakit yang ada di dalam hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status