Beranda / Rumah Tangga / Nazar Poligami / Pamer Suami Kaya

Share

Pamer Suami Kaya

Penulis: Annisa DM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-12 15:21:38

Matahari sudah mulai meninggi. Burung berkicau sejak pagi. Bu Melvi bangun lebih dulu dari Pak Burhan, yaitu pukul tujuh pagi.

"Ah, senangnya bisa bangun jam segini, biasanya sibuk bikin nasi kuning!" ujar Bu Melvi saat bangun tidur.

Sebelum menikah dengan Pak Burhan dirinya memang berjualan nasi kuning. Masakannya enak dan cukup terkenal di kampung itu. Sehingga punya banyak pelanggan terutama bapak-bapak.

"Mas, Mas!" Bu Melvi membangunkan Pak Burhan, tangannya mengguncang tubuh suaminya dengan kasar.

"Ada apa, Dek? Masih pagi ini!" Pak Burhan masih sangat mengantuk. Efek semalam uring-uringan sebelum tidur hingga tengah malam.

"Minta uang belanja dong, Mas. Aku mau ke warung cari sayuran buat makan," pinta Bu Melvi dengan suara yang dibuat-buat dan menggelayut manja di lengan suaminya.

Melihat istrinya bersikap manja, Pak Burhan beranjak menuju ke belakang pintu. Ada celana panjangnya yang digantung di sana. Ia pun mengambil dompet kesayangannya yang cukup tebal.

"Ini, cukup?" Pak Burhan menyodorkan selembar uang merah.

"Kurang, dong, Mas .... " jawab Bu Melvi manja sembari tersenyum.

Pak Burhan merogoh koceknya lebih dalam. Ia tak ingin merusak suasana ini. Kemudian, memberikan lima lembar uang merah pada Bu Melvi.

"Makasih, Mas .... " ucap Bu Melvi dengan sumringah. Kemudian, mengecup pipi Pak Burhan sekilas dan langsung pergi ke warung.

"Duh, berasa kayak ABG kalau sama Dek Melvi," gumam Pak Burhan.

Ia lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia ingin segera menikmati suasana pengantin barunya.

Bu Melvi pergi dengan jalan kaki ke warung sayur. Lokasinya yang tak jauh dari rumah. Hanya lima menit ia sudah tiba di tujuan.

Dari jauh terlihat ibu-ibu sudah berkumpul di depan warung. Mereka memilah-milih sayuran sembari asik bergosip membicarakan berita terhangat hari ini.

"Pestanya kemaren berantakan, masa di makanan ada kecoa, ih ... jijik banget, " ucap Bu Ajeng sambil bergidik.

"Karma pelakor sih kayaknya! Aku mah males banget mau makannya juga. Waktu diberi sisanya sore pun langsung dibuang," sahut Bu Karin yang asik membolak-balik sayuran.

Bu Melvi langsung mendekat seraya berkata "Pagi, Bu Ibu ...."

"Eh, Bu Melvi, pengantin baru mau belanja apa?" tanya Bu Ajeng sok ramah. Padahal tadi ia yang asik bergosip.

"Belanja sayuran dong, Bu. Bukannya bergosip," jawab Bu Melvi ketus. Padahal biasanya ia juga semangat bergosip tentang orang lain.

"Ih, kayak gak pernah ikutan ngegosip aja. Biasanya juga paling rajin," sahut Bu Ina sembari mendelikan mata.

Bu Melvi mengembuskan napas keras. Ia lalu memilih banyak bahan masakan untuk dimasak. Seakan ingin pamer pada tetangganya kalau ia menikah dengan orang kaya.

"Duh, yang baru nikah sama juragan grosir. Mendadak belanjanya banyak banget," celetuk Bu Ajeng dengan senyum sinis.

"Iya dong, ada kemajuan. Daripada situ, dari dulu jadi tukang ngerambet ... aja." Bu Melvi balik menyindir wanita itu.

Ia tahu persis kalau pekerjaan Bu Ajeng adalah menggarap sawah orang. Ngerambet adalah mencabuti rumput liar di sawah.

"Heh, mending juga ngerambet uangnya halal. Daripada jadi pelakor! Dicerai baru tahu rasa!" Bu Ajeng bicara dengan emosi. Matanya melotot sembari menunjuk wajah Bu Melvi.

"Aduh, takut dicerai .... Tapi, sayangnya gak akan pernah! Malah yang ada bentar lagi situ kali yang dicerai suami." Bu Melvi berkata dengan santainya.

Bu Ajeng mengangkat tangannya. Hampir saja melayang untuk menampar wanita di depannya. Sayangnya, segera ditahan Bu Ina.

"Udah, Bu. Gak akan ada habisnya debat sama pelakor!" ujar Bu Ina sembari menarik tangan Bu Ajeng.

Setelah dua orang itu pergi, Bu Melvi segera menyerahkan belanjaannya ke pemilik warung.

"Bu, totalin, ya," ucapnya pada Bu Sumi pemilik warung.

Bu Sumi mulai menghitung belanjaan Bu Melvi. Dari mulai daging, ikan, sayuran, sampai cabai. Setengah barang dagangannya hampir habis diborong.

"Semuanya empat ratus ribu, Bu Melvi," ucap Bu Sumi dengan sumringah. Ia sudah memasukan semua belanjaan ke dalam dua kantong plastik besar.

"Makasih, Bu," ucap Bu Melvi seraya menyodorkan uang pada Bu Sumi.

"Sama-sama, Bu Melvi. Sering-sering ya belanja di sini!" Bu Sumi begitu sumringah. Rasanya seperti mendapatkan rezeki nomplok.

Bu Melvi hanya mengangguk dan melenggang pergi. Sesampainya di rumah ia mendapati Pak Burhan yang asik duduk di sofa sambil menonton.

Bu Melvi langsung duduk di sebelahnya dengan wajah ditekuk. Ingin cari perhatian saja pada suami barunya.

"Udah pulang, Dek? Bikinin kopi, dong," tanya dan titah Pak Burhan.

"Mas gak pekak deh. Istri cemberut gini juga!" protes Bu Melvi dengan wajah masam.

"Ada apa lagi, Dek?" tanya Pak Burhan.

'Perasaan Fatimah gak pernah cemberut begini!' gumamnya dalam hati.

"Tuh, ibu-ibu pada ngomongin aku! Semua gara-gara pesta yang Kacau kemarin," adu Bu Melvi pada suaminya.

"Biarkan sajalah, Dek. Mulut juga mulut mereka," kata Pak Burhan santai.

"Dasar, gak peka!" sungut Bu Melvi sambil berlalu ke dapur.

"Dek, kopinya jangan lupa buatkan!" teriak Pak Burhan yang masih anteng di sofa.

Bu Tuti menghampiri anaknya di dapur. Matanya membola melihat belanjaan yang baru dibeli anaknya.

"Nah, gitu dong. Jadi istri yang baik, biar disayang suami," ujar Bu Tuti sumringah.

"Nanti siang aku mau balik ke rumahku ah, Ma. Sayang kalau gak ditempati, kasihan juga anakku di sana sendiri," ujar Bu Melvi sembari membereskan belanjaan ke dalam lemari es.

"Suruh saja anakmu tinggal di sini. Takut ganggu kamu sama suamimu. Asalkan ... lancar." Bu Tuti menggesek jempol dan telunjuknya. Pertanda minta kiriman uang dari sang anak.

"Mana mau dia, paling balik lagi ke rumah bapaknya," jawab Bu Melvi malas.

Tak lama kemudian, Bu Melvi keluar dari dapur dengan secangkir kopi. Tapi, wajahnya masih masam.

"Nah, gitu, dong." Pak Burhan langsung semangat menyeruput kopi buatan istrinya.

"Kok, pahit banget, Dek? Gak kamu kasih gula?" Pak Burhan sampai menjulurkan lidah saking pahitnya.

"Rasain, makanya jadi laki yang peka sama istri!" Bu Melvi kembali ke dapur untuk memasak.

Sebenarnya ia memang hobi masak. Nasi kuningnya selalu laris. Tapi, sejak menikah ia memutuskan untuk pensiun.

Ia tinggal sendiri karena anak perempuannya memilih tinggal dengan ayahnya. Baru kemarin saat dirinya menikah dipanggil untuk menghadiri. Itupun anaknya memilih tinggal sendiri di rumah Bu Melvi yang sedang kosong.

Setelah hampir satu jam berkutat di dapur dengan bahan masakan, akhirnya berbagai hidangan tersaji di meja makan. Semua nampak menggugah selera.

"Mas, yuk kita makan!" ajak Bu Melvi semringah.

"Kebetulan, Mas sudah lapar sekali!" Pak Burhan langsung ke dapur dan duduk di kursi meja makan.

Bu Melvi langsung menyendokan nasi dan beberapa lauk untuk suaminya. Kemudian, untuk dirinya sendiri.

Mereka makan dengan lahap. Apalagi Pak Burhan yang seperti tak diberi makan seminggu. Kemarin ia makan dengan ogah-ogahan karena harus mengeluarkan biaya banyak untuk mentraktir semua keluarga istri barunya.

"Dek, mana minumnya?" tanya Pak Burhan heran. Setelah makan tak ada minuman disisinya.

"Itu lagi dimasak, baru juga mendidih," jawab Bu Melvi santai.

"Yah, masih panas banget, dong!" keluh Pak Burhan.

"Minum aja air keran," jawab Bu Melvi dengan santainya.

Pak Burhan pun terpaksa meminum air keran karena kehausan. Alamat nanti siang sakit perut lagi deh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nazar Poligami    Pencarian Bu Melvi

    31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn

  • Nazar Poligami    Bu Melvi ditawan

    Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di

  • Nazar Poligami    Pak Bastoni (Selingkuhan Bu Melvi)

    Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k

  • Nazar Poligami    Komisaris

    "Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de

  • Nazar Poligami    Orang Pintar

    Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.

  • Nazar Poligami    Perjalanan Panjang

    "Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status