Menjelang siang, Bu Melvi dan Pak Burhan kembali ke rumah Bu Melvi. Lokasinya tak jauh dari grosir Pak Burhan. Sehingga dulu mereka sering bertemu. Baru saja masuk ke ruang tamu, mereka menemukan sebuah kertas. Tulisannya 'Aku pulang ke rumah bapak, Bu.' "Tuh, kan. Kubilang apa, dia pasti milih balik ke rumah bapaknya," gerutu Bu Melvi. Ia heran sendiri, anak perempuan satu-satunya seperti tidak pernah betah bersamanya. Padahal mantan suaminya pun tidak kaya, tapi anak itu selalu betah di sana. "Dek, kita kan sudah berduaan nih. Gimana kalau ... belah duren," ucap Pak Burhan sembari mengedipkan sebelah matanya.Ia benar-benar tak sabar untuk segera melakukan itu. Lagipula apalagi tujuannya menikah kalau bukan untuk menikmati kemolekan istri barunya yang masih fresh. Bu Melvi menghembuskan napas berat. Dirinya malah malas melakukannya. Tapi, mau tak mau sebagai istri kedua ia harus bisa memuaskan Pak Burhan. "Masih sing loh, Mas. Lihat tuh, matahari masih di atas." Tunjuk Bu Melv
Setelah seminggu di rumah Bu Melvi, Pak Burhan pulang ke rumah Bu Fatimah. Sepanjang perjalanan ia berdendang ria. "Oh, senangnya dalam hati kalau beristri dua ... nanana ...." Suara agak keras dengan senyum mengembang. Beberapa orang menatapnya sembari menggeleng. Ikut miris dengan kehidupan rumah tangganya. Padahal jika dilihat tak ada yang kurang dari Bu Fatimah. Tapi, tetap saja diduakan. Pak Burhan yang sedang bahagia tak memedulikan tatapan para warga. Saat ini terpenting ia bahagia. "Spada ... siang ... ada orang di rumah?" ujar Pak Burhan saat memasuki rumah dengan setengah berteriak."Yah, baru pulang. Kok, gak baca salam yang assalamualaikum?" sambut Bu Fatimah sambil mencium punggung tangan suaminya. Bibirnya tetap tersenyum menyambut sang suami. Meskipun sebenarnya di setiap malamnya kini ia menangis. Dirinya bukan malaikat, melainkan hanya manusia biasa yang memiliki perasaan."Iya dong. Pengantin baru. Kamu juga kan pernah dulu berduaan sama aku. Jadi, gak usah siri
Fitri terlonjak dan langsung duduk. Sejenak ia kepikiran dengan mimpi yang baru saja dialami. Netranya lalu melirik jam, rupanya sudah pukul lima sore dan ia belum sholat asar.Segera Fitri ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia kembali bersandar pada Sang Kuasa. Mengadukan semua masalah yang sekarang sedang dialaminya. Selesai sholat, rasanya malas untuk keluar kamar. Apalagi jika melihat ayahnya yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari sebelumnya. Pernikahan kedua benar-benar mengubah Pak Burhan menjadi asing baginya. 'Ya Allah ... kenapa ini semua harus terjadi pada keluargaku?' Relung hatinya kembali mempertanyakan takdir yang telah terjadi. "Mau bagaimana lagi? Penghasilan toko berkurang drastis! Tahu sendiri kemarin aku pakai modal nikah juga. Lagian kamu jadi perempuan harusnya berguna sedikit! Cari duit kek!" Lirih, Fitri mendengar suara bentakan ayahnya. Kata-katanya begitu menyakitkan. Takut ibunya kenapa-napa, ia segera menuju ke dapur. Orang tuanya sedang ber
Fitri dan Qintan membuat berbagai rencana. Dari yang serius sampai yang hanya bercanda. Sesekali mereka tertawa bersama. "Duh, makasih banyak ya, Mbak. Aku jadi terhibur nih," ujar Fitri dengan sumringah. Ia semakin merasa beruntung punya kakak ipar seperti Qintan. "Sama-sama, Fit. Tenang aja, Mbak bakal selalu dukung kamu kok!" seru Qintan dengan yakin. Setelah mengobrol kesana-kemari, malam semakin larut. Fitri dan Qintan pun sudah mengantuk. Mereka memutuskan untuk tidur malam itu. Dini hari, keduanya sudah bangun untuk salat subuh. Qintan segera membuat sarapan untuk keluarga kecilnya. "Fit, ayo sarapan dulu. Aku bangunin Mas Farid dulu, pulang subuh tadi." Qintan berlalu ke kamarnya setelah mengatakan itu. Fitri segera ke ruang makan yang ada di dapur. Ternyata kakak iparnya sudah menyediakan berbagai jenis makanan untuk sarapan. "Kak, Mbak aku pulang dulu ya. Ada jadwal kuliah soalnya," pamit Fitri seusai sarapan. "Hati-hati di jalan," pesan Qintan pada adik iparnya itu
Semua aset yang mereka miliki adalah milik Bu Fatimah. Ia mendapatkannya dari warisan orang tuanya yang telah meninggal. Dirinya merupakan anak bungsu dari lima bersaudara yang semuanya sukses.Bu Fatimah menelepon kakak pertama yang dituakan keluarga. Ia tak ingin bertindak gegabah dan membuatnya celaka sendiri."Bang, insyaallah besok aku ke rumah ya, ada yang mesti aku bicarakan," ucap Bu Fatimah setelah telepon terhubung.'iya, kebetulan besok Abang libur, Dek. Mainlah ke sini, sudah lama tak berjumpa,' jawab Bang Furqon dari seberang telepon.Bang Furqon tidak banyak bertanya apa yang terjadi dengan adiknya. Hanya saja firasatnya mengatakan memang ada yang tidak beres. Mereka berbincang-bincang selayaknya kakak adik. Baru setelah itu, panggilan telepon diakhiri. "Alhamdulillah, agak sedikit lega setelah ngobrol dengan Bang Furqon. Padahal aku belum menceritakan masalahnya," gumam Bu Fatimah lirih. Beruntung, dirinya memiliki kakak yang bijak dan dapat diandalkan. Meskipun kedu
Tak lama kemudian, mobil terparkir di halaman rumah mewah bertingkat dua. Rumah itu miliknya dan istri mudanya. Rumah itu dibeli beberapa waktu lalu. Tentu saja menggunakan uangnya sepenuhnya. Tapi, dibalik nama langsung dengan nama Bu Melvi. Pak Burhan masuk ke dalam rumah dengan menahan nyeri di pipi dan matanya. Kedua bagian wajah itu lebam parah sampai membiru. Nyerinya jangan ditanya, rasanya sampai ke semua syaraf tubuh. "Mas, Mas kenapa?!" tanya Bu Melvi panik, saat melihat suaminya. Ia langsung menghampiri dan melihat wajah sang suami lebih jelas. "Dipukulin, sama anak buah si Rahmat sialan!" gerutu Pak Burhan yang masih kesal dengan kejadian tadi. "Makanya jangan cari masalah. Pegawai Pak Rahmat kan banyak. Pasti kamu yang mulai duluan cari masalah! Udahlah wajah pas-pasan malah kena puku," omel Bu Melvi kesal. Meskipun begitu, ia bahkan tidak beranjak sama sekali untuk mengambilkan obat atau apa. Membuat hati Pak Burhan semakin panas dan terbakar. "Kamu bukannya obati
Fitri membereskan bajunya. Sebenarnya ia malas untuk melakukannya. Tapi, ini semua demi misinya untuk menyelamatkan sang ibu. "Fit, Ibu masuk ya," ucap Bu Fatimah saat memasuki kamar putri bungsunya. "Silahkan aja, Bu. Kayak sama siapa aja," jawab Fitri yang masih sibuk memilah barang yang sekiranya diperlukan. Bu Fatimah menatap anaknya dengan lekat. Sebenarnya ia khawatir melepaskan Fitri ke kandang singa. "Fit, yakin berani? Ibu khawatir tar kamu berantem lagi sama ayah terus kenapa-napa," ungkap Bu Fatimah mengutarakan kekhawatirannya. "Berani, Bu. Aku bakal jadi anak baik di sana, tenang aja." Fitri menyunggingkan senyum terbaiknya. Tak ingin membuat ibunya cemas. "Hati-hati ya, jangan lupa salat dan minta perlindungan sama Allah," ujar Bu Fatimah yang masih setengah hati untuk melepasnya. Setelah semua siap, Fitri pun pamit. Ia harus segera menjalankan misi penting. Ia akan pergi dengan menggunakan ojek seperti biasa. Fitri turun dari motor Mang Karmin. Toko ayahnya seda
"Astaghfirullah, ini kenapa sakit kepalanya tak seperti biasa ya, pusing sekali," ucap Bu Fatimah sambil meringis pelan. Satu tangannya memegang kepala yang terasa begitu berat. 'Kenapa dengan Ibu? Apa jangan-jangan ... ulah orang usil,' gumam Qintan dalam hati. Entah kenapa tiba-tiba ia berpikiran seperti itu. Qintan terus memijit pelipis Bu Fatimah. Lirih suara dzikir terdengar dari mulut ibu mertuanya itu. Kemudian, ia tak sadarkan diri."Astaghfirullah, Mas!" teriak Qintan dengan begitu panik. Ia memanggil Farid yang sedang istirahat di kamar. Suaminya kelelahan karena tadi siang datang barang ke toko yang dijaganya."Ada apa, Dek?!" tanya Farid panik dan segera berlari ke sofa ruang tengah."I ... Ibu, Mas. Pingsan!""Tak biasanya Ibu sampai pingsan jika sakit," gumam Farid heran. Ia kemudian mengangkat tubuh ibunya untuk dibaringkan di kamar. Qintan berusaha membantu di bagian kaki. Qintan menghirupkan minyak kayu putih ke hidung ibu mertuanya agar segera sadar. "Mas, g