Pak Burhan terpaksa menghadapi penagih hutang itu sendiri. Walaupun ia tahu akan dimarahi habis-habisan. "Bang, mau ngopi dulu?" tanya Pak Burhan sok ramah. "Gak usah basa-basi. Mana cicilan hutangmu?" Bang Beri menadahkan tangannya. "Em ... gini, Bang. Toko lagi sepi, aku juga lagi ada masalah sama supplier jadi belum ada uangnya. Kasih waktu lagi ya, Bang." Pak Burhan berusaha memberikan alasan yang masuk akal. "Gak ada! Aku gak mau makan alasan, butuhnya duit, ngerti?!" Bang Beri naik pitam. Tak habis pikir dengan Pak Burhan yang bahkan enggan mencicil hutang padanya. "Ya ... mau gimana lagi, Bang." Pak Burhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bang Berri melihat ke arah kedua bodyguard-nya yang berbadan besar. "Masuk, ambil barang berharga di dalam!" titahnya. "Siap, Bang!" Dua lelaki berbadan kekar itu langsung masuk dan menyingkirkan Pak Burhan dengan mudah. Pak Burhan hanya bisa pasrah. Toh, melawan pun tidak akan mungkin. Wajahnya saja masih sakit karena dipukuli an
"Sudahlah, Bu. Gak usah mikirin ayah lagi," jawab Fitri saat sang ibu mempertanyakan ayahnya yang tidak kunjung menjenguk. Bu Fatimah terdiam seketika. Ia mengerti dengan kekesalan anaknya pada Pak Burhan. Memang seharusnya seorang ayah bisa jadi contoh untuk putrinya. Bukan malah sebaliknya. Hari sudah kian sore, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Qintan segera bangkit dari duduknya. Ia bahkan sudah hafal dengan ketukan suaminya di pintu. "Sudah pulang, Mas." Qintan segera mencium tangan suaminya. Mereka pun masuk bersama. Farid langsung menyalami ibunya yang sedang duduk di sofa. Mereka pun kembali duduk bersama. Saat makan malam, mereka menuju ke ruang makan. Untungnya makanan sudah tersaji oleh Qintan. Ia senantiasa melakukan semua pekerjaan rumah di sana tanpa paksaan. "Eum, aku tahu ini masakan siapa," celetuk Fitri di tengah-tengah. "Emang siapa?" tanya Qintan penasaran. Ia sih rasanya sama saja antara masakannya san ibu mertuanya. "Mbak Qintan kalau ini. Punya ciri kha
Pak Burhan sedang menghabiskan waktu dengan mereguk surga dunianya. Ia seolah lupa kalau punya istri pertama yang kemarin masih di rumah sakit. Pak Burhan terkulai lemas setelah menuntaskan hasratnya. Rasanya dunia sedang berada di genggamannya saat ini. Saking nikmatnya yang dirasakan. "Gimana, Mas? Puas kan?" tanya Bu Melvi setelah mereka selesai."Selalu, Dek. Kamu memang yang terbaik! Pokoknya service Dek Melvi gak ada duanya. Sampai pinggang Mas pegel ini," puji Pak Burhan sembari mengacungkan jempolnya. "Iya dong. Aku emang paling jago muasin lelaki. Makanya, kalau mau terus sama-sama harus kasih setorannya yang banyak," celetuk Bu Melvi terdengar seperti menagih. Bu Melvi tersenyum lebar sembari memeluk Pak Burhan. Itulah jurus andalannya saat sang suami marah atau ingin meminta uang. "Iya, iya. Tar kalau udah ada biar Mas kasih lebih buat kamu, Dek," jawab Pak Burhan dengan sedikit kesal. Istri keduanya ini persis angkot. Tergantung setoran baru bisa melayani dengan baik
"Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B
"Bu, Ayah sebenarnya punya nazar yang ingin ditunaikan," ucap Pak Burhan di pagi hari yang cerah.Ia sedang duduk santai di meja makan sembari menunggu teh. Istrinya sedang sibuk membuat teh manis kesukaannya. "Wah, nadzar apa, Yah? Kalau untuk kebaikan, nazar yang mendekatkan diri pada Allah tentu Ibu setuju." Bu Fatimah tersenyum. Tangannya mengaduk teh manis untuk sang suami. Rutinitas pagi yang selalu dilakukannya untuk lelaki yang sudah berusia kepala lima itu. Ia selalu mendukung segala hal baik yang dilakukan suaminya. Terlebih hal itu semakin mendekatkan suaminya pada Sang Pencipta. "Tentu, ini adalah sebuah kebaikan yang harus disegerakan. Ayah ingin membantu seseorang." Pak Burhan berkata dengan sumringah. "Memang Ayah nazar apa?" tanya Bu Fatimah sembari meletakan cangkir teh pada piring kecil untuk diserahkan pada suaminya. "Nazar jika Ayah sukses dan mapan akan berpoligami seperti sunnah Rasulullah. Gimana ? Baik kan?!" Pak Burhan berkata dengan begitu entengnya. P
Melihat itu, Farid langsung menahan tangan ayahnya. Bagaimanapun ia tak ingin wanita di rumah itu disakiti. "Dasar anak durhaka!" pekik Pak Farid sembari berontak dari cengkraman tangan anak pertamanya. "Astaghfirullah, Yah, istighfar! Fitri anak kita." Bu Fatimah berusaha mengingatkan suaminya yang hampir kalap dan menampar anak perempuannya. Bahkan sampai mengatakan Fitri anak durhaka."Anak kamu ini, disekolahin tinggi-tinggi malah kurang ajar sama orang tua!" Pak Burhan menatap Fitri nyalang. Fitri sekarang sedang menempuh kuliah, baru semester dua. Perjalanan hidupnya masih sangat panjang. Tapi, sudah dirumitkan dengan masalah seperti ini. "Sudahlah, bagaimanapun tanggapan kalian! Ayah akan tetap menikah lagi, karena itu nadzar Ayah!" Pak Burhan berdiri dengan amarah tergambar jelas di wajahnya. "Nadzar apa nafsu?!" ejek Fitri yang masih tak mau kalah.Pak Burhan melotot, anak bungsunya ini sangat kurang ajar. Padahal biasanya ia sangat manis, meski memang wataknya keras kep
Bang Karmin kemudian lanjut menuju meja prasmanan. Ada banyak makanan yang kelihatan enak di sana. Sepertinya hasil rewang keluarga Bu Melvi atau mungkin catering. Setelah itu, barulah Fitri naik dengan drama menyedihkan. Ia sudah meneteskan obat mata ke kedua matanya. Ia sengaja menahan kedip agar nanti bisa menangis pura-pura. Melihat Fitri naik, Pak Burhan dan Bu Melvi saling lirik. Tapi, tak mungkin mereka mengusirnya tanpa alasan. "Ayah ... !" panggil Fitri setengah berteriak sembari langsung memeluk Pak Burhan. "Fitri, ngapain kamu disini?" bisik Pak Burhan sembari berusaha mengurai pelukan anaknya. "Memangnya Fitri gak boleh, ya, menghadiri pesta Ayah?" tanya Fitri dengan wajah menyedihkan dan suara keras, sontak semua tamu melirik ke pelaminan.Pak Burhan menarik nafas panjang, ia kesal bukan main. "Kamu cepat pulang saja, ngapain juga ke sini? Jangan-jangan disuruh ibumu ya?" tuduhnya tanpa pikir panjang. Orkes dangdut yang ditampilkan seakan tak menarik lagi ketika men
Sementara itu, Fitri dan Bang Karmin cekikikan. Mereka senang melihat para tamu berhamburan keluar pesta dengan umpatan-umpatan pedas dan wajah marah."Udah, Neng. Kita pulang ya?" tanya Bang Karmin setelah semua tamu di pesta pulang. "Iya, Bang!" jawab Fitri sumringah. Meskipun sempat sedih, tapi sekarang ia senang. Rencananya berhasil dan berjalan mulus. 'Ini baru awal, kita buat permainan selanjutnya, hingga kau menyesal menyakiti hati ibuku!' gumam Fitri dalam hati. Tekadnya sudah bulat. Jika bukan dirinya siapa lagi yang berani membalaskan sakit hati ibunya. Karma tidak harus selalu datang mandiri, bisa juga diundang. Bang Karmin kemudian melajukan motornya ke arah jalan pulang. Ia mengendarai dengan kecepatan sedang. "Bang, berhentinya di pangkalan ojek aja ya," ujar Fitri saat hampir sampai pangkalan ojek."Enggak sekalian sampai rumah aja, Neng?" tanya Bang Karmin heran."Gak usah, Bang!" cegah Fitri sedikit keras. Ia takut ketahuan ibunya kalau kabur dari rumah. Walaupu