Beranda / Rumah Tangga / Nazar Poligami / Menyusun Rencana

Share

Menyusun Rencana

Penulis: Annisa DM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-23 05:02:26

Menjelang siang, Bu Melvi dan Pak Burhan kembali ke rumah Bu Melvi. Lokasinya tak jauh dari grosir Pak Burhan. Sehingga dulu mereka sering bertemu.

Baru saja masuk ke ruang tamu, mereka menemukan sebuah kertas. Tulisannya 'Aku pulang ke rumah bapak, Bu.'

"Tuh, kan. Kubilang apa, dia pasti milih balik ke rumah bapaknya," gerutu Bu Melvi.

Ia heran sendiri, anak perempuan satu-satunya seperti tidak pernah betah bersamanya. Padahal mantan suaminya pun tidak kaya, tapi anak itu selalu betah di sana.

"Dek, kita kan sudah berduaan nih. Gimana kalau ... belah duren," ucap Pak Burhan sembari mengedipkan sebelah matanya.

Ia benar-benar tak sabar untuk segera melakukan itu. Lagipula apalagi tujuannya menikah kalau bukan untuk menikmati kemolekan istri barunya yang masih fresh.

Bu Melvi menghembuskan napas berat. Dirinya malah malas melakukannya. Tapi, mau tak mau sebagai istri kedua ia harus bisa memuaskan Pak Burhan.

"Masih sing loh, Mas. Lihat tuh, matahari masih di atas." Tunjuk Bu Melvi ke luar jendela.

"Yah elah, Dek. Ngapain aku nikah sama kamu kalau ditunda-tunda terus!" Pak Burhan mulai emosi. Nada suaranya meninggi disertai mata yang melotot.

'Gawat, kalau dia marah terus mana ada tambahan uang jajan,' gumam Bu Melvi dalam hati.

Akhirnya, ia mendekati suaminya. Menggelayut manja di tangan penuh lemak Pak Burhan.

"Ya sudah deh, Mas. Yuk, kita ke kamar." Bu Melvi menarik suaminya ke kamar.

Seketika Pak Burhan berubah sumringah. Birahi kelelakiannya muncul. Mata keranjangnya dimanjakan oleh pemandangan indah dari tubuh istrinya.

Ia seperti singa yang kelaparan. Tak sabar menerkam sang istri. Seketika tubuh besar itu memeluk istrinya seraya menciuminya.

Bu Melvi memejamkan matanya. Membalas serangan sang suami dengan kemampuan yang dimilikinya. Lama-lama ia pun terbawa suasana.

Mereka mulai menikmati hubungan itu. Pak Burhan pun tanpa ragu berada di atas tubuh istrinya. Keperkasaannya ternyata mampu membuat Bu Melvi merasa dimanjakan setelah lama tak tersentuh.

"Maaf ya, Dek. Mas gak kuat," ucap Pak Burhan lesu setelah mengeluarkan cairan kenikmatannya.

"Ah, Mas giliran diturutin kok sebentar banget sih!" gerutu Bu Melvi yang tadi sudah menikmatinya.

"Habisnya nih pinggang sakit tadi. Kayaknya encok kumat lagi." Pak Burhan mengusap-ngusap punggungnya. Wajar di usianya yang sudah masuk kepala lima itu banyak keluhan soal kesehatan.

"Tau, ah!" Bu Melvi mengerucutkan bibirnya.

"Nanti Mas janji bakal kasih yang spesial deh buat kamu. Jangan marah dong." Pak Burhan menjawil hidung istrinya.

"Kalau gitu, aku minta uang lagi dong, Mas. Mau nge-mall." Tangan Bu Melvi menadah.

"Masa uang lagi, tadi pagi aja udah habis setengah juta, Dek. Mas, udah gak pegang cash." Pak Burhan nampak keberatan dengan permintaan istrinya.

"Ya kalau gak ada cash, kartu kredit aja mana."

Pak Burhan mengembuskan napas kasar. Terpaksa ia menyerahkan kartu kredit miliknya. Daripada istri barunya marah tak berkesudahan.

Bu Melvi seketika tersenyum dan langsung bersiap untuk pergi. Ia ingin senang-senang setelah dikecewakan oleh suaminya di ranjang.

***

Sementara itu, di rumah Bu Fatimah, anak-anak dan menantunya masih berkumpul. Mereka sengaja menemani ibunya agar sedikit terhibur dan tidak terus memikirkan Pak Burhan.

"Coba aja Kak Farid sama Mbak Qintan dah punya anak pasti lucu. Bakal ada yang ngeramein rumah juga," celetuk Fitri yang sedang berkumpul bersama keluarganya.

Ia selalu berusaha menghibur ibunya. Bu Fatimah masih sering terlihat sedih, meskipun selalu tersenyum.

"Do'ain aja, usaha jalan terus kok!" balas Farid yang sedang memainkan ponselnya.

Di usia pernikahan yang menginjak satu tahun, belum ada tanda-tanda kehamilan pada istrinya. Sebenarnya mereka pun sangat menginginkannya. Namun, apa daya Allah belum berkehendak.

"Gak apa-apa juga sih. Baru setahun, asal setia terus ya, Kak!" sindir Fitri pada Farid. Ia tak ingin kakaknya itu mengulang kesalahan ayah mereka.

Qintan tertawa pelan. Lucu saja kalau sudah melihat adik kakak itu bertengkar. Padahal Farid sedingin es.

"Tenang ... kalau yang ini aku ikat kuat-kuat pokoknya!" timpal Qintan yang langsung merangkul Farid.

Mereka pun tertawa bersama. Candaan sederhana itu juga berhasil membuat Bu Fatimah tersenyum senang.

"Semoga kalian bahagia terus," ucap Bu

Fatimah yang lumayan terhibur dengan candaan anak-anaknya.

Mereka telah sepakat tak membahas Pak Burhan saat ini. Terutama Fitri yang sudah malas bertemu dengan ayahnya itu. Bahkan jika boleh memilih, ia lebih rela ayahnya meninggal daripada poligami.

"Kak Farid, gak kerja?" tanya Fitri yang melihat kakaknya masih santai.

"Cuti," jawab Farid pendek.

"Toko dijaga siapa?"

"Tutup dulu barang sehari gak masalah kali, Dek. Lagian lagi berduka diatas kebahagiaan," jawab Qintan dengan nada bercanda.

"Hush, kalian ini ngomongnya," tegur Farid.

Toko grosir milik Pak Burhan ada tiga. Satu dijaga Pak Burhan yang letaknya di kampung sebelah, dekat dengan rumah Bu Melvi. Kedua, di pinggir jalan besar, masih di desa ini dan dijaga oleh Farid. Ketiga, di pasar yang dijaga oleh Mang Ujang.

Sekarang terungkap mengapa Pak Burhan sangat betah menjaga toko yang di desa sebelah. Alasannya dulu karena paling dekat dan jalan kampung. Nyatanya itu hanya alasan belaka.

Fitri duduk termenung. Tiba-tiba ia memikirkan cara yang akan dilakukan selanjutnya untuk membuat istri baru ayahnya menderita. Tidak rela saja melihat mereka bahagia setelah menyakiti ibunya.

"Fitri ke kamar dulu, ada tugas kampus," pamit Fitri yang mulai pusing memikirkan ide.

Qintan yang melihat itu menyusul Fitri ke kamar. "Fit, Mbak masuk," ucapnya sembari membuka pintu kamar adik iparnya.

"Mbak tahu, kamu bukan ada tugas kan," ucap Qintan setelah memasuki kamar.

"Tahu aja, Mbak. Kira-kira apalagi yang bisa bikin mereka menderita, tersakiti, dan hancur berkeping-keping!" Fitri merobek-robek selembar kertas saking kesalnya.

Kertas robek itu bagaikan hatinya yang sudah hancur. Rasanya tidak mungkin kembali utuh seperti sedia kala. Keluarganya sudah tidak sama seperti dulu.

"Hmm, gimana ya?" Qintan juga nampak berpikir.

Dia dan adik iparnya memang selalu klop. Mereka bahkan sudah seperti saudara kandung.

"Ayo dong, Mbak bantuin mikir," rengek Fitri sembari tiduran di paha kakak iparnya.

Ia selalu bersyukur punya kakak ipar yang baik. Sehingga rasanya seperti kakak kandung perempuan.

"Ini juga lagi mikir, Fit ...." Qintan menatap langit-langit kamar. Berusaha menemukan ide brilian di sana.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nazar Poligami    Pencarian Bu Melvi

    31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn

  • Nazar Poligami    Bu Melvi ditawan

    Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di

  • Nazar Poligami    Pak Bastoni (Selingkuhan Bu Melvi)

    Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k

  • Nazar Poligami    Komisaris

    "Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de

  • Nazar Poligami    Orang Pintar

    Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.

  • Nazar Poligami    Perjalanan Panjang

    "Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status