Zulfa Zahra El-FazaAku tidak tahu berapa lama Gus Fatih menciumku. Dia terus memegangi kepalaku dengan kedua tangannya yang sesekali mengusap wajahku. Pagutan itu hanya ia lepaskan beberapa kali saat mengambil napas yang terasa sudah mau habis.Tok! Tok! Tok!“Dek, Adek!”Suara di luar kamar menghentikan perbuatan Gus Fatih. Dia menjauhkan wajahnya dariku dengan tatapan laparnya yang menikam kedua manikku. Bersamaan menelan ludah, aku mengerjapkan mataku. Wajah Gus Fatih masih begitu dekat denganku. Napasnya bersahutan dengan milikku.“Siapa?” lirihnya padaku sembari mengusapkan jari jempolnya ke bibirku yang basah—apalagi kalau bukan ulahnya. Sebentar kemudian Gus Fatih menopang tubuhnya dengan sebelah tangan. Sebelahnya lagi merapikan rambutku yang sedikit berserak ke wajah.“M-Mas … Mas Adhim, Mas,” jawabku sedikit terbata.Jujur saja, jantungku saat ini masih menggila. Aku yakin wajahku saat ini pasti merah luar biasa.“Oh ….” Gus Fatih ber-oh ria. Seperti sebelumnya, Gus Fatih b
Unknown diaryDia dan aku selamanya hanya akan menjadi orang asing. Aku yang kesulitan bersikap di sekitarnya hingga seperti jadi asing dan dia yang begitu dingin.Bukan! Bukan dingin.Dia adalah orang termenyenangkan yang mungkin kau kenal, yang sayangnya, tak tersentuh karena kehangatannya itulah yang membuatmu ragu mendekat. Padahal dia begitu unik dan menarik untuk didekati. Dan kau sudah cukup terpaku hanya karena pesonanya, melihatnya, sehingga kau memilih berhenti di tempat untuk sekadar mengaguminya.Titik.Hanya untuk pekerjaan yang tak ‘melelahkan’ dan tidak menghasilkan itu, yang sayangnya cukup ‘membahagiakan’ buatmu.Lalu ketika makhluk yang menjadi objek kekagumanmu—yang mungkin hanya kau temui di dunia mimpi—itu mendekat dan nyata memintamu. Kau malah menjauh. Merasa kurang dan jauh dari sekedar pantas untuk memimpikannya, bersanding bersama. Berpikir untuk melupakan segala sihirnya. Sebab menurutmu kau padanya hanya puas mengagumi. Bukan memiliki.Maka cukuplah ini men
Azan Isya telah berkumandang. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam belanja di Matahari dan memboyong beberapa setel baju, gamis, dan beberapa sandangan lainnya milik Zulfa dalam paper bag yang kini menyesaki jok belakang mobil, Adhim membelokkan Jip putih berjenis Wranglernya ke halaman luas sebuah masjid.Laki-laki itu sudah sangat lelah sebenarnya, tetapi demi menyenangkan adiknya ia akan bertahan lebih lama.Tadi di Matahari, adiknya yang sudah bersuami itu membuatnya harus jalan ke sana dan kemari berkeliling mal guna menemani gadis itu memilih pakaian, menjadi bodyguard dari orang-orang yang berniat jahat pada sang adik sekaligus merangkap jadi pelayan yang bertugas membawakan belanjaannya.Adhim juga harus rela kehilangan banyak saldo dari rekeningnya untuk membayar setelan-setelan manis yang dibeli Zulfa—yang tentu saja, seluruhnya berharga mahal.Di sana, kakak-beradik itu hampir menghabiskan waktu tiga jam untuk gentayangan mencari baju dan hanya berhenti sejenak saat waktu
Zulfa Zahra El-FazaAku tidak yakin ada yang lebih sakit lagi dari ini. Jantung serasa dihantam batu dengan kedua paru-paru dan seluruh organ pernapasan yang dibakar. Dalam sedetik terjadi berkali-kali, dan aku tidak mati.Sakit, sakit sekali.Apakah seperti ini rasanya dicurangi oleh orang yang kita cintai? Di menit ini, rasanya aku sudah dibunuh berkali-kali dengan belati.Gus Fatih. Robek sudah, Gus, selendang harapku padamu yang sebelumnya sudah setipis kulit ari. Apakah belum cukup sakitku selama ini? Sampai kau tiada henti melukai perempuanmu yang lemah ini? Jika hanya satu tanyaku yang boleh kuajukan padamu, maka katakan! Apa sebenarnya diriku ini dalam hidupmu?Lainnya, apakah aku memang hanya pajangan hidup di rumahmu? Piaraanmu? Mainanmu? Atau, seseorang yang memang sengaja kau jadikan budak cintamu? Jika iya, kumohon, bunuh saja aku!Kamu tidak tahu sudah sebesar apa rindu dan cintaku padamu. Kamu adalah arah hidupku, Gus. Prioritas dan tujuanku. Sungguh, aku lelah mengharap
Zulfa Zahra El-FazaBeberapa lama Gus Fatih memacu mobilnya sampai telepon pintarnya yang tergeletak di dashboard mobil berdering. Aku melirik dan mendapati ada panggilan masuk dengan nama Gus Adhim melompat-lompat gelisah ditampilkan layar ponsel silver itu.Gus Fatih kemudian memelankan laju mobilnya sebelum benar-benar berhenti di jalan yang lumayan sepi.“Lihat ponsel kamu, Fa!” tukasnya menoleh kepadaku tanpa mengangkat telepon Mas Adhim.Meski tidak mengerti apa tujuannya, aku mencoba berhenti sesenggukkan dan mengambil ponselku dari dalam tas. Terlihat ada lebih dari dua puluh panggilan tak terjawab datang dari Mas Adhim dan puluhan pesan singkat yang juga darinya di notifikasi. Aku belum mengganti mode silent ponselku sehingga aku tidak mendengarnya sama sekali.Tanpa disuruh siapa-siapa aku mengetik balasan pada Mas Adhim kalau aku baik-baik saja agar ia tidak cemas. Lalu tidak lama kemudian, ponsel Gus Fatih kehilangan deringnya. Dapat dipastikan Mas Adhim yang menerima pesa
Zulfa Zahra El-FazaJam mengarah ke angka sepuluh begitu aku dan Gus Fatih tiba di pondok. Umilah orang pertama yang menyambut kami dengan wajahnya yang tampak resah dan khawatir.“Dari mana saja kamu, Nduk?”Umi menghambur ke arahku. Ekspresinya cemas dengan kedua tangan yang memegangi kedua lenganku.Perlahan kutunjukkan senyum. Kantong kresek berisi batagor yang tadi dibeli Gus Fatih di jalan kusodorkan pada Umi. “Jalan-jalan, Mi,” jawabku.Dari belakang Umi, Mbak Ratna menyusul. Zidan yang tadinya terlihat tertidur di gendongannya ia serahkan ke seorang mbak ndalem yang langsung membawa keponakan tampanku itu pergi dari ruang tamu.“Tak pikir kenapa-napa tadi di jalan jam segini baru pulang!” Suara Umi kembali terdengar, kali ini lebih santai. “Adhim nelepon Umi tadi, Fa. Katanya pas kalian makan di kafe kamu ngilang. Umi panik terus Masmu nelepon lagi bilang kamu pulang sama Fatih.”“Oh. He he. Iya, Mi.” Aku mengangguk.“Kok bisa, Nduk? Bukannya Fatih ada acara di tempat temannya
Zulfa Zahra El-FazaMalam semakin larut. Aku masih tidak percaya akan sampai pada titik ini juga pada akhirnya. Seolah setelah melewati bertahun-tahun rasanya.Seperti seorang pengantin, Umi dan Mbak Ratna memapahku ke tempat ini dengan nampan berisi dua cawan ramuan Umi yang dicampur sedikit air dan madu di tanganku. Katanya minuman itu harus kuminum habis bersama Gus Fatih nanti. Entah untuk apa aku tidak bertanya pun tidak mengeti.Persis seperti yang terakhir kali kulihat, tampat privat belakang ndalem ini memang jelmaan taman bunga dengan berbagai jenis dan warna yang memanjakan mata. Harumnya menyemerbak. Jika diperhatikan jenisnya pun semakin banyak dan beragam. Malam juga seolah gagal menyamarkan cantiknya berkat lampu-lampu taman yang ditata sedemikian rupa di berbagai titik.Bintang-gemintang pun bersinar terang di langit.Dan, masyaallah …. Malam ini sedang purnama. Bulan bundar tersenyum di angkasa. Lalu di sisi lainnya, bunyi gemericik air dari kolam ikan dan pancurannya
Zulfa Zahra El-FazaSelesai dengan urusan kami, kulihat Gus Fatih merapikan sarungnya dengan mataku yang setengah terpejam. Ia kemudian pergi mematikan lilin-lilin kecil di sekitar kamar yang tersisa seperempat bagian lalu kembali menghampiriku yang masih setia terkulai di atas tempat tidur kami yang masih penuh bunga.Susah payah aku mencoba berdiri. Namun, sia-sia karena tenagaku rasanya benar-benar sudah terkuras habis.“Ayo tak gendong saja!” Gus Fatih bicara. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Namun langsung terhenti berkat gelengan kepala yang kuberikan.Melihat Gus Fatih yang menatapku iba seperti ini membuatku terharu sekaligus ingin menangis.Aku tahu, Gus Fatih pasti sama lelahnya sepertiku, tetapi dia malah berbesar hati mau mengurusku. Padahal sebagai istri, aku yang seharusnya mengurus Gus Fatih, bukannya malah tergolek lemah seperti ini.“Lho, kenapa? Kalau perlu sekalian tak mandikan.” Gus Fatih mengambil te