"Oke, bukan masalah besar!" Seolah uang dua triliyun bukanlah nilai yang fantastis, Julio dengan enteng menyanggupi permintaan Fiolina.
Deg!
Fiolina terkejut mendengar ucapan Julio.
Memang, Fiolina datang kepada orang yang tepat. Keluarga Young memiliki kerajaan bisnis terbesar di negara ini. Bahkan, termasuk 10 besar di ASEAN. Uang itu tidaklah berarti apa-apa untuk mereka.
Bulan lalu, Julio bahkan melamarnya dengan menawarkan uang sebesar dua triliyun untuk membantu perusahaan keluarga Chow yang sedang butuh dana.Namun, Fiolina menolak dan meninggalkan Julio tanpa memandang lelaki itu karena satu dan lain hal."Tapi, aku ingin membuat perjanjian pra nikah," cicit Fiolina.
"Hmm?" Julio menaikkan alisnya. Namun, pria itu segera menormalkan raut wajahnya dan menanti ucapan Fiolina selanjutnya."Pernikahan kita akan melalui percobaan selama 100 hari. Setelah 100 hari, kita akan berunding kembali untuk melanjutkan atau mengakhiri pernikahan kita.""Oke."Fiolina tampak terkejut dengan persetujuan Julio yang secepat kilat itu. "Oke? Kamu setuju begitu aja?"
Mematung, perempuan itu berpikir: jika Julio mencintainya, bukankah harusnya dia akan menolak? Jika Julio mencintainya, bukankah harusnya Julio ingin menjadi suaminya selamanya?"Tentu, bukan masalah. Kapan kita akan menikah?" lanjut Julio mengalihkan fokus Fiolina."Setelah kamu memberi uang itu ke papa. Tanggal tepatnya terserah kamu.""Oke. Kita menikah minggu depan." Julio kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Fiolina. “Deal?”Meski ragu, Fiolina pun menyambut tangan pengacara muda itu. “Deal!”
Dalam waktu singkat, kesepakatan terjalin antara keduanya. Fiolina pun langsung pulang saat semua proses selesai.Namun, wanita itu tidak menyadari bahwa Julio berdiri di sisi Jendela apartemennya--memerhatikan mobil Fiolina yang penuh dengan coretan berjalan pergi meninggalkan tempat parkir.
Julio pun tersenyum sinis melihat pemandangan itu. "Kau pikir, kau yang memegang kendalinya seperti dulu?"
*****“Saya mengambil engkau menjadi istri saya untuk saling memiliki dan menjaga. Dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang. Pada waktu kelimpahan maupun kekurangan. Pada waktu sehat maupun sakit untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus."
Julio mengakhiri janji pernikahannya.
Tepat seperti ucapan pria itu, keduanya menikah seminggu kemudian–setelah sang ayah mendapat suntikan dana.Fiolina pun mengulas senyumnya di hadapan para jemaat–seolah menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.Namun, siapapun yang mampu mendengar suara hati Fiolina akan tahu bahwa wanita itu tidak sebahagia senyum yang dia torehkan.Dulu, Fiolina mengira bahwa dirinya akan berada di altar ini bersama lelaki yang amat dia cintai.Dia pikir hari pernikahannya akan menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya.Kenyataannya, semua itu pupus.“Seratus hari. Aku bersumpah dalam 100 hari ke depan, aku akan membuat Julio jijik padaku, sehingga lelaki itu akan melepaskanku,” sumpah Fiolina dalam hati.Di sisi lain, Julio tak menampakkan senyum palsu seperti Fiolina di depan jemaat Gereja.Pria itu memang cukup senang dengan pernikahannya hari ini.Sudah satu bulan berlalu semenjak penolakan ketiga Fiolina yang arogan itu. Wanita itu seharusnya bersyukur bahwa Julio menginginkannya!
Namun, bahkan saat Fiolina jatuh miskin, dia sempat tak menerima cinta Julio. Tapi detik ini, Fiolina sudah berada di genggamannya–demi uang yang pernah ditolaknya!
Jadi, Julio tersenyum puas....
Sepanjang hidupnya selalu dipenuhi oleh kesuksesan, semua orang memujanya. Dia tak pernah gagal!
Fiolina yang angkuh menolaknya, juga sudah digenggamnya. Tak peduli mereka masih berada di tempat yang kudus, Julio bersumpah bahwa Fiolina akan mendapat balasan atas kesombongannya.“Seratus hari ke depan, aku akan menjadi neraka dunia bagi Fiolina. Lalu, aku akan menceraikannya.”Dua anak manusia itu bergulat dalam pikiran masing-masing dalam usaha mempermainkan kesucian pernikahan. Tak peduli mereka baru saja mengikat janji di hadapan Tuhan.******“Selamat Fiolina dan Julio!” Para tamu melambaikan tangan begitu Julio dan Fiolina memasuki mobil pengantin mereka.Setelah semua kaca mobil tertutup, senyum Fiolina pun turut menghilang."Kamu kelihatan tegang," komentar Julio datar, "tapi kamu cukup pintar berpura-pura.""Aku cuma kaget dengan status baruku," balas Fiolina singkat."Hari-hari ke depan, kamu bakalan sering kaget."Ucapan ambigu dari Julio sontak membuat Fiolina mengerutkan keningnya. "Kenapa?""Lupakan!” perintah Julio, “Oh iya, aku agak capek. Aku mau tidur sebentar. Bangunin aku kalau udah sampai hotel, ya.""Oke."Empat puluh lima menit berikutnya, keheningan melingkupi mobil. Tak lama, mereka pun tiba di sebuah hotel bintang lima yang telah direncanakan untuk menjadi tempat bulan madu mereka.Tidak ada perjalanan ke luar kota atau luar negeri. Hanya staycation di sebuah hotel sebagai formalitas belaka.Setelah Fiolina membangunkan Julio, mereka berdua pun berjalan beriringan ke arah resepsionis untuk menunjukkan bukti pemesanan.Seorang karyawan dengan sigap memandu mereka ke kamar.Setelah Julio memberikan tip, karyawan itu pergi dan tinggallah mereka berdua di kamar.Suasana menjadi agak canggung."Hm ….” Fiolina berdehem, ”aku mau ke kamar mandi dulu." Fiolina lalu berlari kecil ke dalam kamar mandi.Melihat itu, Julio menghela nafas.Dia melucuti pakaiannya sendiri lalu berganti mengenakan pakaian lain yang lebih santai.Akan tetapi, Julio seketika tersadar bahwa Fiolina sangat lama di dalam kamar mandi.Wanita itu juga tak membawa baju gantinya ke kamar mandi.Benar saja, belum satu menit pikiran itu terlintas di benak Julio, Fiolina sudah berteriak memanggilnya dari dalam kamar mandi."Julio... bisa tolong ambilin baju gantiku? Aku lupa gak bawa baju ganti."Julio menghela nafas dengan malas. Dibukanya koper Fiolina dan mencari-cari baju apa yang akan diserahkannya.Saat dia melihat sebuah lingerie seksi terlipat dengan manis di koper Fiolina, ide jahilnya muncul."Nih bajunya!" Julio mengetuk pintu kamar mandi.Fiolina hanya membuka sedikit pintu kamar mandinya dan meraih baju yang diserahkan oleh Julio. "What? Baju apaan nih? Aku gak mau pake ini!"
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta