Julio melenggang pergi lalu bersantai di atas tempat tidur, tak ingin mengambil pusing.Fiolina tertegun, benarkah begitu?
Seketika Fiolina menepuk jidatnya. Mamanya adalah orang yang menyiapkan koper itu untuknya. Pasti, mamanya juga yang telah meletakkan lingerie seksi di dalamnya!"Mendingan, kamu buruan pake itu atau kamu lebih memilih keluar dari kamar mandi gak pakai apa-apa?!""Bisa gak kamu ambilkan aku baju lain yang agak tertutup?" cicit Fiolana memelas."No. Males."Ucapan singkat Julio membuat Fiolina menghela nafas.Tak ada pilihan lain, dia akan mengenakan lingerie ini dulu lalu keluar mengambil baju yang lain.Saat Fiolina lewat di hadapan Julio dengan pakaian seksinya, Julio tak bisa menahan bagian tubuhnya yang menegang di bawah sana.Dia adalah lelaki normal!Sekalipun dia menganggap cintanya untuk Fiolina telah memudar dan berubah menjadi benci, dia tak bisa menolak godaan yang satu ini.Terlebih, gadis itu memang cantik dan memiliki tubuh yang menggoda.Merasakan tatapan tajam dari Julio, Fiolina merasa tak nyaman. Dengan cepat, dia meraih kopernya dan mencari baju yang lebih tertutup.“Hah?” Ternyata benar kata Julio. Di kopernya, banyak sekali pakaian seksi. Fiolina menjadi sebal dengan kelakuan mamanya.Setelah menemukan baju yang dia anggap “layak”, Fiolina kembali berlari kecil menuju kamar mandi dan tidak juga keluar setelah 10 menit kemudian.Julio yang merasakan gejolak tidak nyaman dalam perutnya menjadi kurang sabar menunggu Fiolina keluar."Duh, lama amat sih dia ganti baju doang," gerutunya."Fio... lama amat sih buruan, aku mau pakai kamar mandinya..." Julio mulai meneriaki Fiolina sembari mengetuk pintu kamar mandi."Bentar-bentar tanggung…." jawab Fiolina dari dalam."Ngapain sih? Aku mules nih buruan ….""Iya bentar udah selesai, kok ini."Fiolina akhirnya membuka pintu.Julio dengan tak sabar memasuki kamar mandi. Namun, langsung keluar lagi dalam waktu sepersekian detik saja."BUSUK BANGET BAUNYA." Julio tanpa sadar berteriak setelah hampir dibuat mabuk dengan bau kamar mandi yang amat busuk baginya."Habis BAB," jawab Fiolina, “HAHAHA..." Bukannya malu, Fiona malah tertawa terbahak-bahak.Seketika, dia teringat tujuannya untuk membuat Julio jijik padanya, maka ini adalah kesempatan bagus, pikir Fiolina."Yaudah, sih! Sana buruan katanya mules.""Gak deh. Aku pakai kamar mandi umum aja di bawah."Julio hendak melangkah keluar, namun Fiolina dengan sigap mendorong lelaki itu masuk kembali ke kamar mandi.Fiolina menarik kunci lalu mengunci pintunya dari luar."Buka pintunya!" teriak Julio."Udah gak usah ke kamar mandi umum, pakai kamar mandi ini aja," cekikik Fiolina.Perempuan itu berhasil membuat Julio yang bergelut dengan aroma busuk di kamar mandi–menjadi lebih sebal."Buka Fio!""Gak mau, weeeek .... hihihihi," Fiolina bersikukuh dengan kejahilannya.Julio tak ada pilihan lain. Dia terkunci dan perutnya semakin mulas.Dengan pasrah, dia akhirnya tetap berada di kamar mandi itu untuk menuntaskan hajatnya"Bersenang - senang aja Fiolina, setelah ini aku yang akan kerjain kamu habis - habisan," sumpah Julio dalam hatinya.*****Sepuluh menit berlalu, Julio telah selesai dengan urusannya di kamar mandi. Dia mengetuk pintu kembali agar Fiolina membukanya."Fio... bukain pintunya! aku mau keluar."Fiolina sontak membuka pintu kamar mandi.Namun, Julio menatapnya dengan tajam begitu dia keluar. "Kamu senang? Kita lihat aja sampai kapan kamu bisa bersenang-senang."Senyum Fiolina memudar. Julio terdengar dingin. Dulu Julio selalu bersikap hangat padanya. Fiolina heran, apakah tindakannya tadi sudah bisa membuat Julio benci padanya?"Kita di sini sampai kapan?" Fiolina mengalihkan pembicaraan."Cuma semalam, mulai besok kita tinggal di rumah keluargaku." Julio menjawab sembari memposisikan dirinya dengan nyaman di tempat tidur, "Aku tidur di sini, kamu tidur di sofa."Deg!
"Aku yang di sofa?" Fiolina hampir tak percaya, lelaki yang dulu menyatakan cinta berulang kali padanya, sekarang memintanya tidur di sofa sementara dirinya di atas ranjang yang empuk."Bukannya ucapanku sudah jelas? Aku di sini, di ranjang, kamu tidur di sofa," ulang Julio datar."Ya sudah, gak masalah." Walaupun kesal, Fiolina sedang tak ingin berdebat. Dia menarik satu bantal dari tempat tidur untuk dia gunakan.
"Mau apa? Ini bantalku!" Julio menahan bantal itu.
"Kan kamu udah ada satu. Aku juga butuh bantal, kita berbagi," protes Fiolina.
"Aku selalu pakai guling. Dan dihotel gak ada guling. Jadi bantal ini aku pakai guling."
"Semalam aja gak usah guling kan bisa. Leherku sakit kalau gak ada bantal."
"Gak! Hotel ini siapa yang bayar? Kalau kamu gak terima, sana tidur di luar aja!"
Fiolina mengepalkan tangannya, menahan amarah. Tapi dia masih tak mau berdebat lebih jauh, maka tanpa berkata apapun lagi, dengan sebal dia berjalan ke sofa dan tidur di sana tanpa bantal ataupun selimut.
Julio menurunkan suhu AC dan menyembunyikan remote AC di bawah bantalnya. Fiolina merasa kamar menjadi sangat dingin. Dia melirik Julio yang ternyata sedang menenggelamkan diri dalam selimut tebal.
"Julio brengsek!" ucap Fiolina dalam hati. Dia tahu lelaki itu sedang membalas dendam padanya dengan berusaha membuatnya kedinginan.
Tapi, Fiolina tak mau memohon, dia tak ingin terlihat lemah dan mudah dikalahkan.
Semalaman Fiolina tidur dengan kedinginan. Lehernya juga mulai terasa sakit.
Di pagi hari, suhu kamar mendadak menjadi lebih hangat, membuat Fiolina merasa nyaman dan ingin tidur lebih panjang.
"Bangun!" ucap Julio tepat di telinga kiri Fiolina, membuat wanita itu tersentak kaget.
"Buruan siap-siap! Kita harus ke rumah keluarga Young."
"Sepagi ini?" cicit Fiolina.
"Iya. Kita sarapan di sana."
Tanpa menunggu, pria itu berlalu. Tak lupa, dia meminta Fiolina turun ke loby dalam waktu 10 menit. Jika lebih dari itu, maka dia akan meninggalkan Fiolina sendirian.
Alhasil, Fiolina mengenakan pakaian dan riasan asal-asalan, serta merapikan barang-barangnya.
Namun, Julio masih saja mengacuhkan Fiolina meski dia datang tepat waktu.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Young, Fiolina merasa canggung dengan keheningan yang tercipta.
Julio tak berniat untuk mengajak Fiolina mengobrol, begitu pula sebaliknya.
Setelah berhasil memarkir mobilnya, keduanya berjalan menuju pintu utama.
Di depan pintu utama, berdiri seorang lelaki berusia kurang lebih 60 tahun. Lelaki itu menatap Julio dan Fiolina lalu senyum merekah di bibirnya.
"Welcome Julio. Akhirnya anak laki-laki papa kembali ke rumah ini." Ferdinan, ayah kandung Julio, tampak bahagia bertemu dengannya. Anehnya, Julio justru menampakkan wajah dingin.
Fiolina menatap keduanya bingung, sampai akhirnya Ferdinan menoleh ke arahnya.
"Ini menantu papa?"
Fiolina sontak membalas senyum Ferdinan--hendak menyambut uluran tangan lelaki itu. Namun, Julio menarik Fiolina menjauh.
Hal itu membuat Ferdinan kecewa, namun dia tidak mengatakan apapun.
"Walaupun dia papaku, dia adalah laki-laki yang paling aku benci di dunia ini. Selama kamu jadi istriku, kamu harus jauh-jauh dari dia. Ngerti?" bisik Julio tajam kepada Fiolina.
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta