Fiolina kini merasa sangat lelah. Dia tidak pernah mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah tangga seperti hari ini sebelumnya.
Namun, ada sedikit kebanggan dalam diri karena dia sudah menyelesaikan tugas mencuci dan menyetrika. Dia bahkan sudah membersihkan sebagian besar lantai bawah.Sayangnya, masih ada dua lantai lagi yang harus dibersihkan. Fio menghela nafas lelah. Dia hanya ingin beristirahat sejenak.Tapi, baru saja dia ingin duduk, Fiolina mendapati dua orang pelayan sedang menggosipkan dirinya di belakangnya.
"Si pelayan baru yang tugasnya se-abrek itu, gayanya kayak artis banget. Cantik, tapi kok jadi pelayan, ya?" ujar salah satu pelayan.
"Eh? Kamu gak tahu? Dia itu kan istri Pak Julio. Anak kandung Pak Ferdinan yang baru datang itu.""Hah? Istri Pak Julio? Kok jadi pelayan gimana ceritanya?""Ck! Kamu emang suka ketinggalan gosip. Dia itu jual diri ke Pak Julio. Ya, kayaknya Pak Julio gak cinta. Keluarga sini juga gak ada yang suka sama dia makanya dia dijadikan pelayan.""Oh... gitu. Kasihan banget ya.""Halah ngapain kasihan? Salahnya sendiri jual diri, kan? Perempuan murahan emang cocoknya dijadiin babu hihihi."Telinga Fiolina menjadi merah mendengar komentar itu. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak terlibat dalam pembicaraan.Menanhan tangis, Fiolina menghampiri pelayan yang merendahkan dirinya. Segera, perempuan itu menegurnya. "Kalau kamu gak tahu apa-apa, sebaiknya jangan komentar terlalu jauh."Bukannya menyesal, pelayan itu justru menampakkan wajah menghina. "Bukannya emang bener? Kamu jual diri ke Pak Julio, kan? Kamu pikir dengan menikahi Pak Julio kamu bisa jadi bagian dari Keluarga Young? Cih! Apesnya ternyata cuma dijadiin babu.""Kamu sepertinya menikmati bisa menghina saya. Kita gak ada urusan, jadi sebaiknya kamu berhenti merendahkan saya. Atau, saya akan bertindak tegas sama kamu.""Hahaha! Emangnya kamu mau ngapain hah?" Pelayan itu tertawa sambil mendorong bahu kanan Fiolina."Jawab! Kamu mau ngapain emangnya?" Sekali lagi, dia mendorong bahu kiri Fiolina.
"Jangan diem aja!" teriaknya sambil mengangkat tangan hendak menampar Fiolina.Fiolina mampu membaca gerakan itu. Sontak, tangan kananya mampu menahan serangan dari si pelayan."Tolong jangan main kekerasan. Kamu pikir saya gak akan berani melawan kamu?" Fiolina tidak bersikap gentar sedikit pun.Di luar dugaan, bukannya berhenti, si pelayan menjadi lebih agresif.Dia menjambak rambut Fiolina. Sedangkan Fiolina, tak ada pilihan lain selain mendorong si pelayan dan juga menjambaknya sebagai serangan balik.
"Heh kalian berdua, stop!" Nirmala muncul di tengah keributan mereka, melerai keduanya."Kalian bukannya kerja malah ribut di sini?!""Maaf Bu Nirmala," ucap si pelayan.Nirmala beralih memandang Fiolina. Fiolina tak merasa menyesal. Maka dari itu, dia berkata, "Saya cuma membela diri. Dia yang menghina dan menyerang saya lebih dulu.""Saya cuma mengatakan yang sebenarnya. Kamu yang mengancam saya lebih du--""Cukup! Dina, kamu kembali bekerja! Fiolina, kamu ikut saya!"Fiolina bergegas mengikuti Nirmala dari belakang.Setelah memastikan bahwa mereka hanya berdua saja, Nirmala kemudian berkata, "Lebih baik kamu fokus bekerja dan jangan lakukan kesalahan apapun. Di sini banyak yang berbahaya buat kamu, jangan habiskan tenaga untuk mengurusi pelayan laon yang bergosip tentang kamu."
Fiolina terdiam. Dia merasa ucapan Nirmala cukup masuk akal."Ini bawalah!" Nirmala kemudian menyerahkan sebuah benda bulat kecil dengan tombol di tengahnya."Apa ini?" tanya Fiolina."Ini tombol panik. Tekan tombolnya kalau kamu butuh pertolongan darurat.""Apa saya akan memerlukan ini?""Simpan saja. Dan bawa kemana-mana. Siapa tahu kamu perlu. Sekarang sana kembali bekerja!"Fiolina sontak memandang Nirmala dengan penuh rasa terima kasih. "Baik. Terima kasih."
Fiolina kemudian hendak pergi, namun Nirmala menahannya.Wanita itu mendekatkan bibirnya ke telinga Fiolina dan berbisik. "Rossi memang jahil dan menyebalkan. Tapi, kau harus berhati-hati pada Glins."
Sontak, Fiolina membolakan matanya. Namun, belum sempat bertanya, Nirmala justru pergi meninggalkan Fiolina.*****
Sedikit lagi matahari akan tenggelam. Waktu berlalu cepat saat Fiolina bekerja. Hanya saja, di lantai tiga, masih ada beberapa ruangan yang belum Fiolina bersihkan, termasuk ruang perpustakaan pribadi keluarga Young.
"Fiolina, aku ada kerjaan buat kamu!" Rossi mendadak muncul mengagetkan Fiolina yang sedang fokus menata dan membersihkan rak buku.
"Ada apa?" "Bakar beberapa barang yang udah gak berguna di gudang," perintah Rossi dengan bossy."Gudang yang mana?""Ayo sini aku tunjukin!"Fiolina meragu. Dia belum selesai dengan pekerjaannya di perpustakaan. "Sekarang? Tapi, aku masih harus bersihin ruangan ini dulu.""Ih... ini gak terlalu penting. Barang-barang itu harus disingkirkan segera sebelum Oma marah-marah. Sini buruan!" Rossi menarik lengan Fiolina dengan tidak sabar.Bahkan, Fiolina sampai terseret, hingga sampai ke sebuah ruangan yang terlalu bagus untuk sebuah gudang menurut Fiolina."Nah, ini dia! Tuh, barang-barang yang di rak sebelah pojok situ ... dibakar semua ya!""Ini semua?" Fiolina merasa kurang yakin. "Barang-barang ini kelihatan masih bagus dan terawat, beneran ini mau dibakar? Maksudku, kalau udah gak dipakai, barang ini masih bisa dijual.""Cih! Mental orang miskin banget sih. Buat apa jualin barang bekas? Uangnya juga gak seberapa, lama lakunya lagi. Buang-buang tenaga! Udah bakar aja gak perlu banyak nanya. Sekarang ya, buruan!"Fiolina menghela nafas. "Ya udah oke."Mendengar itu, Rossi tersenyum bahagia melihat Fiolina jatuh dalam jebakannya.Saat Fiolina mengangkut barang-barang peninggalan Opa ke tempat pembakaran sampah, Rossi diam-diam mengirim pesan kepada Glins.
[ Berhasil, Kak! Kita akan lihat si Fiolina dimarahin Oma. Mampus dia! ]
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta