Home / Rumah Tangga / Neraka 100 Hari Pernikahan / Bab 8 Ruang Bawah Tanah

Share

Bab 8 Ruang Bawah Tanah

Author: Lisandi Noera
last update Last Updated: 2023-01-20 13:44:42

Butuh tenaga ekstra untuk membawa barang-barang itu ke pembakaran sampah.

Meski ragu, Fiolina  memasukkan benda-benda itu ke tong pembakaran sampah. Asap yang mengepul mulai terlihat.

Saat sudah separuh jalan, tiba-tiba terdengar lengkingan suara dari belakang punggungnya.

"AAHH! FIOLINA! APA YANG KAMU LAKUKAN?" Suara Rossi yang panik membuat Fiolina bingung. Bukankah perempuan itu yang menyuruhnya?

"Apa maksudmu? Aku membakar barang-barang ini sesuai deng--"

"Ada apa Ross?" Oma datang dengan sedikit panik setelah mendengar teriakan Rossi.

Selain Oma, ada Papa dan Mama Rossi yang juga tiba dengan sama paniknya--mengira anak mereka dalam bahaya.

"Itu Oma! Fiolina bakar barang peninggalan Opa."

"Apa?" Oma segera menengok ke tong pembakar sampah. Saat dia melihat barang-barang yang sangat dia kenal, dia berteriak dengan histeris.

Fiolina dengan sekejap tahu apa yang terjadi. Rupanya, Rossi telah menjebaknya!

Sekarang dia telah merusak barang yang berharga bagi Oma. Benda-benda yang dia bakar ternyata ada peninggalan Opa.

Dengan segera, Fiolina mengambil tabung APAR (Alat Pemadam Api Ringan) yang memang sudah tersedia di halaman belakang.

Sayangnya, proses pembakaran sudah berlangsung agak lama dan api sudah menghanguskan sebagian besar barang-barang itu.

"Maaf, Oma. Saya benar-benar gak tahu tadi Rossi bilang ini barang rongsokan dan menyuruh saya untuk membakarnya." Fiolina membela diri.

"Fitnah! Jangan ngarang kamu, Fiolina! Oma, aku gak pernah lakukan itu. Gak mungkin aku suruh Fiolina untuk bakar barang peninggalan Opa." Rossi berkelit diiringi oleh air mata buaya yang mulai menetes di pipinya.

Fiolina memandangnya dengan jijik. Namun, tidak ada yang peduli dengan dirinya sama sekali.

"Rossi benar. Dia juga menghargai barang peninggalan Opa, gak mungkin dia melakukan apa yang perempuan ini bilang!" Rossa, Mama dari Rossi, ikut berkomentar.

"Kamu tahu betul siapa yang menfitnah siapa Rossi! Kamu pasti mau Oma semakin benci sama aku kan? Saya bener-bener gak tahu Oma!" Fiolina masih berusaha meyakinkan Oma.

"Cukup! Diam kalian!" Dengan wajah yang sudah merah karena menahan amarah dan kesedihan sekaligus, Oma berkata dengan suara lantang.

Wanita yang sudah berusia senja itu lalu memanggil kedua bodyguardnya. "Kalian berdua, kurung Fiolina di ruang bawah tanah!"

Mata Fiolina terbelalak. Dikurung di ruang bawah tanah? Ini bukan salahnya, dan dia harus ditahan di ruang bawah tanah?

"Gak Oma! Saya mohon! Saya gak bersalah!"

Namun, tidak ada yang peduli. Kedua bodyguard itu mencengkeram lengan Fioljna dengan kuat--membuatnya tak bisa melawan saat di seret pergi.

Sementara Rossi amat senang dengan hasil kerjanya.

BRAKK!!

Suara pintu ditutup dengan keras saat Fiolina sudah dilempar ke dalam ruang bawah.

Fiolina menggedor-gedor pintu. Dia berteriak hingga suaranya nyaris menghilang. Namun, semuanya sia-sia. Kini, hanya air mata yang mampu dia teteskan untuk meluapkan emosi dan kesedihannya.

Dia merasa bodoh dan malang sekaligus. Bisa-bisanya, dia terperangkap oleh jebakan Rossi. Kini, dia dikurung dalam ruang sempit yang gelap dan dingin.

Fiolina hanya mampu duduk di atas lantai yang dingin, menunggu bantuan datang.

Dalam keheningan, tiba-tiba Fiolina mendengar suara langkah kaki mendekat. "Siapa itu?" teriaknya.

"Hai Fiolina, ini aku Rossi, hahaha!"

Fiolina kembali tertunduk lemas. Dia kecewa, baru saja dia berharap itu adalah Julio yang ingin membebaskannya. Tapi, justru orang yang menjebaknya.

"Gimana rasanya di dalam? Seru? Atau seram? Hahaha!" Suara centil Rossi terdengar sangat mengejek.

"Kamu pasti senang, kan? Sekarang, aku dikurung di dalam sini karena perbuatan kamu. Kalau kamu ke sini cuma buat ngejekin aku, mendingan kamu pergi aja. Suara kamu terlalu sumbang!"

Tawa Rossi sontak berhenti.

"Jangan terlalu arogan Fiolina! Kamu tuh udah gak berdaya. Harusnya, kamu memohon ke aku. Dasar bodoh kamu! Gampang banget ketipu."

"Terserah. Aku males ngomong sama kamu lagi."

"Ih, kamu kira aku seneng ngomong sama kamu? Oke aku pergi. Bye... selamat bermalam bareng tikus dan kecoa, hihihi."

Fiolina menghela nafas. Rasanya sudah berjam-jam dia di sini.

Di luar, hari pasti sudah malam. Bukankah harusnya Julio sudah pulang? Kenapa lelaki itu tidak mencarinya?

Ruangan ini begitu dingin.

Fiolina terpaksa melengkungkan tubuhnya seperti ulat bulu untuk menahan dingin.

Saat itu, dia mengeluh karena Julio menurunkan suhu AC kamar hotel hingga begitu dingin. Namun, di sini ternyata lebih dingin lagi.

Dan parahnya, tidak ada sofa empuk untuknya berbaring. Belum lagi, bau apek dan hewan-hewan kecil merayapi tubuhnya, hingga terasa gatal.

Tubuhnya lelah. Namun, dia tidak bisa tidur. Entah sudah berapa lama dia di sini.

Perutnya juga sangat lapar. Dia belum makan dan tidak ada tanda-tanda akan ada orang yang mengantar makanan.

Saking lelahnya, pada akhirnya Fiolina pun pingsan dalam keadaan gelap, dingin, dan lapar.

*****

Saat terbangun keesokan harinya, Fiolina tidak tahu apakah hari masih pagi ataukah sudah siang.

Dari kejauhan, terdengar langkah kaki seseorang.

Fiolina pun terduduk dan menanti orang di luar sana.

Brak!

Pintu pun terbuka. Seorang laki-laki yang merupakan salah satu dari bodyguard keluarga Young berdiri di ambang pintu.

"Ini, makanlah!" Lelaki itu lalu menyodorkan sebuah mangkuk berisi makanan ke hadapan Fiolina lalu keluar lagi dan mengunci pintu.

Ruangan masih sangat gelap. Fiolina berusaha melebarkan pupil matanya untuk melihat makanan yang ada di hadapannya.

Perlahan, dia menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.

Keningnya mengkerut. Ini adalah bubur dengan sayur. Rasa dan aromanya seperti sayur kemarin yang terlambat dihangatkan, hampir basi.

Menahan tangis, Fiolina tak ada pilihan lain selain memakannya. Perutnya sudah sangat lapar.

Jam demi jam berlalu dalam keheningan. Setiap ada langkah suara kaki terdengar, dia berharap itu adalah seseorang yang akan mengeluarkannya. Tapi, lagi-lagi harapannya putus.

Lagi-lagi, itu adalah bodyguard yang sama mengantarkan makanan untuknya.

Fiolina mengangkat sepiring makanan di hadapannya. Semoga kali ini bukan bubur setengah basi lagi. Untungnya, bukan. Ini adalah sebuah roti yang keras. Setidaknya, ini tidak basi dan masih terasa manis.

Terus begitu, hingga akhirnya mantan model sejuta prestasi itu kembali tidur meringkuk dengan lelehan air mata di pipi.

"Julio ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Neraka 100 Hari Pernikahan   Bab 165 Surga 100 Tahun Pernikahan

    2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan

  • Neraka 100 Hari Pernikahan   Bab 164 Permohonan Terry

    TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk

  • Neraka 100 Hari Pernikahan   Bab 163 Pembatalan Pernikahan

    "Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio

  • Neraka 100 Hari Pernikahan   Bab 162 Cinta yang Belum Berpaling

    "Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim

  • Neraka 100 Hari Pernikahan   Bab 161 Rahasia yang Terungkap

    Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -

  • Neraka 100 Hari Pernikahan   Bab 160 Ayah dan Anak

    "Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status