"Jadi, maksudnya Mas Gunawan nyuruh saya menggadaikan anak sendiri untuk mengulur waktu pelunasan utang?!" seru Dinar dengan suara keras. Ia seakan tidak terima dan tersinggung dengan ide Gunawan.
"Ada apa, Yah?!" Tiba-tiba Nurma, istri Dinar bersama putrinya keluar dari dalam rumah. Mereka terkejut dengan suara Dinar yang terdengar sampai ke bagian dalam rumah. "Ini! Mas Gunawan ngomong sembarangan! Masak Ayah disuruh nyerahkan anak sendiri biar dikasih tempo pelunasan utang ke Mas Rayyan?!" "Hah?!" Lestari dan ibunya kembali terkejut dengan apa yang disampaikan oleh Dinar. Mereka berdua sudah tahu permasalahan yang tengah menimpa lelaki tua itu. Sampai-sampai beberapa hari ini Dinar terlihat stress dan penyakit jantungnya pun jadi kambuh, sehingga ia sempat masuk ke UGD tiga hari lalu. Untung saja tidak terjadi hal yang lebih buruk dari itu. "Ma–maaf, Bu. Dek Tari .... Sa–ya cuma menyampaikan ide aja. Kalau diterima syukuur. Kalau nggak diterima juga nggak apa-apa. Ya udah, saya permisi aja dulu yaaa!" Gunawan perlahan bangkit dari duduknya, kemudian ia langsung melangkah hendak keluar dari rumah itu. "Eh, Pak Gunawan, tunggu!" panggil Lestari kepada Gunawan. Lelaki tambun itu pun menoleh ke arah putri semata wayang Dinar dan menghentikan langkah kakinya. "Mmm ... Yah, se–sepertinya nggak ada pilihan lain," imbuh Lestari sambil menatap sang ayah dengan tatapan yang sendu. Gadis cantik itu sadar ... terlalu banyak cobaan yang mendera kehidupannya beberapa waktu belakangan. Bahkan saat ini, ayahnya terancam bakal dipenjara. Ia tentu tidak mau hal itu terjadi. "Tap–tapi, Nak ...." Sang ibu memegang lengan putri kesayangannya. "Aku nggak mau Ayah disidang dan dipenjara gara-gara ini, Bu. Apa kata orang-orang? Sekarang saja nama kita sudah sangat jelek di hadapan warga. Gimana kalau ditambah dengan masalah ini?" Lestari menundukkan pandangan. Setetes air bening menitik dari pelupuk matanya. Dinar terlihat tergamang di tempatnya berdiri. Ya, apa yang putrinya katakan itu semua benar. Ternyata nama keluarganya sudah tercoreng di hadapan warga satu kampung semenjak ia menolak pinangan seorang guru honorer kepada anaknya. Tadinya setelah itu ia menjodohkan Lestari kepada seorang ASN dan sekaligus anak kepala desa. Hal itu untuk membuat warga diam. Namun, apa hendak dikata. Kembali kotoran dilempar ke wajah mereka ketika ketahuan kalau lelaki yang hendak dijodohkannya kepada sang putri adalah seorang yang mempunyai kelainan orientasi seksual. Lelaki itu suka dengan sesama jenis. Apabila ditambah lagi dengan kasus utang piutangnya ini ... bahkan ia terancam dipenjara, tentu saja akan menambah buruk nama keluarga mereka yang selama ini ia jaga. "Pak Gunawan, ide itu boleh disampaikan kepada Pak Rayyan. Mudah-mudahan dia bisa menerima saya sebagai istrinya," ujar Lestari kepada Gunawan. Gunawan menoleh ke arah Dinar Abdullah yang terkenal berwibawa di desa itu. Namun, wajah tua tersebut kini hanya bisa tertunduk dan tak berkutik. "Ma–Maaf ... beneran ini, Gan? Saya nggak mau kalau Agan nggak setuju," ujar lelaki tambun itu ke arah sang juragan. "Yah," panggil Lestari kepada ayahnya. Ia ingin meyakinkan sang ayah atas keputusan ini. Dinar pun menatap putrinya dengan tatapan yang sendu. Ia menoleh ke arah istrinya yang juga tidak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang mengalir di pipi tua wanita itu. "Kita nggak punya pilihan lain lagi, Yah .... Ini usaha kita untuk memperbaiki nama baik keluarga. Pak Rayyan orang kaya raya. Tentu warga akan segan dengan Ayah lagi." Dinar menatap kedua mata putrinya. Ya, apa yang Lestari bilang itu, boleh jadi benar. Penghormatan para warga yang memudar akan kembali lagi kalau ia mendapatkan seorang menantu pengusaha kaya raya. Ia kemudian mengangguk tegas. "Baik! Kamu benar, Nak. Mas Rayyan pengusaha sukses di kota. Kamu juga pasti bakal bahagia punya suami kaya kayak dia." Selarik senyuman bangga pun tercipta dari wajah lelaki tua itu. Ya, bukankah sejak dulu Dinar sangat ingin memiliki seorang menantu yang kaya raya? Inilah momennya. Orang lain tidak perlu tahu bagaimana ia mendapatkan menantu kaya. Yang penting, penghormatan warga kepadanya akan kembali lagi seperti dulu. "Mas Gunawan," panggil orang tua itu. "Iya, Juragan?" "Oke, saya setuju dengan usulan Mas. Tapi, tolong hal ini jangan sampai ada orang lain yang tahu. Mas bisa menjaga rahasia, 'kan? Saya nggak mau orang kampung malah kembali mengejek kami dan mengatakan saya menjual anak." Bibir Gunawan pun tersenyum manis. Apa yang telah diinstruksikan oleh Bobby beberapa hari lalu berjalan sesuai harapan. "Oke, Gan! Tenang aja. Ini hanya antara kita aja yang tahu." "Baik. Kapan Mas Gunawan menyampaikan tawaran ini kepada Mas Rayyan?" tanya Dinar. "Besok saya bakal langsung ke kota menyampaikan hal ini, Gan!" Dinar pun mengangguk sembari tersenyum. Lestari dan ibunya lalu kembali masuk ke bagian dalam rumah. Langkah lunglai kaki gadis itu terus saja menuju ke kamarnya. Sang ibu turut mengiringi langkah sang putri kesayangan. Sebagai ibu ia tahu, kalau putrinya terpaksa melakukan ini semua. Padahal sang ayah-lah yang selalu berbuat ulah, tetapi mereka semua harus menanggung segala konsekwensinya. "Nak ... kenapa kamu mau aja ditumbalkan dalam permasalahan ayahmu?" tanya sang ibu ketika keduanya sudah duduk di pinggir ranjang Lestari. "Mau nggak mau, Bu. Kasian nanti ayah dikatain macam-macam oleh warga desa. Aku juga nggak mau kalau ayah masuk penjara ...." Sang ibu menghela napas panjang. Ia tidak bisa membantah kemungkinan buruk itu. "Ibu nggak nyangka masalah menimpa kita bertubi-tubi seperti ini, Nak." Lestari menatap ibunya dengan raut yang sama-sama mendung. "Apa ini tulah?" Lestari mengernyitkan dahinya. "Tulah bagaimana maksudnya, Bu?" tanya gadis itu heran. "Ya, semenjak ayahmu menghina dan menolak mentah-mentah Nak Gilang, kemudian Nak Gilang pun meninggal dunia. Mungkin ini merupakan tulah buat kita. Ini balasan Allah atas dosa keluarga kita kepada Nak Gilang ...." Deg! . .Sesampainya di rumah, Rayyan memanggil Nunung ke ruang tengah. Ia menceritakan semuanya—tentang hak rujuk, tentang kehadiran Lestari yang sangat ia rindukan.“Bi, Bibi bisa tolong saya, 'kan ...? Tolong bujuk Tari. Minta dia pulang ke rumah. Katakan padanya saya tidak ingin perceraian ini berlanjut.”Nunung awalnya ragu. “Saya nggak tahu apa masih bisa, Tuan. Tapi saya akan coba ya," ucap wanita tua itu dengan senyum kecil di wajahnya. Nunung juga berharap kalau pernikahan kedua majikannya bisa kembali terjalin. Toh, Rayyan sudah banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang kasar seperti dulu.*Beberapa hari kemudian, Nunung menelepon Lestari. Suaranya pelan dan dibuat lemah.“Nya ... saya kurang enak badan. Gimana ya, Nya ... saya di rumah sendiri, nggak ada yang ngurus. Tuan Rayyan ke luar kota.”Lestari yang mendengar itu langsung panik. “Bi Nunung di rumah Mas Rayyan sekarang?” Selama ini Lestari mengira Nunung masih di rumah Gilang.“Iya. Saya sendirian, Nya ... lemas.”“Baik, Bi.
Lestari diam sesaat, lalu mengangguk. Tidak seperti kepada Gilang, ia paham kalau dirinya masih di masa iddah dan Rayyan masih berhak atasnya, sebenarnya.Mereka lalu duduk di ruang tamu sederhana itu. Rayyan memandang sekeliling—semuanya masih tampak sama. Tapi suasananya terasa berbeda karena tidak ada lagi Dinar dan Nurmala."Mas datang ... untuk bicara tentang pernikahan kita," kata Rayyan membuka pembicaraan. Lestari menatapnya, tatapannya tenang tapi menjaga jarak. "Pernikahan yang mana, Mas? Bukannya kita sudah bercerai? Mas sudah menjatuhkan talak ke aku."Rayyan menggenggam jemari tangannya sendiri di atas lutut. "Mas salah, Tari. Mas terlalu terburu-buru. Mas tahu kamu terluka karena sikap Mas seperti itu. Mas diam juga karena terlalu sibuk membenarkan diri sendiri."Lestari menghela napas panjang. "Mas Rayyan, aku sudah lelah. Aku menunggu Mas tadinya. Tapi Mas malah ... dan saat akhirnya aku pergi, Mas juga nggak menyusul aku. Jadi, sebaiknya memang kita sudahi seperti re
Langit Jakarta sedikit mendung saat Rayyan menapakkan kaki di lobi kantornya. Dua pekan di Singapura nyatanya tak cukup menenangkan gejolak pikirannya. Ya, bukan hanya 5 hari. Ternyata ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan diri.Pagi ini pria tampan itu kembali sebagai Presiden Direktur seperti biasanya, tetapi hatinya masih terasa seperti kapal tanpa jangkar, sebagai seorang suami yang 'gagal' mempertahankan rumah tangganya sendiri.Bobby menyambut Rayyan dengan ramah di depan lift pribadi. "Selamat datang kembali, Boss." Pria muda itu melebarkan senyumnya."Nggak usah basa-basi kamu, Bob!" Rayyan mendengkus kecil. "Gimana perkembangan terakhir di kantor? Nggak kamu obrak-abrik, 'kan, perusahaan saya?" sindir Rayyan dengan wajah dinginnya."Ya elah si Boss. Tenang ajaa. Stabil, Boss. Tapi ada hal penting soal pernikahan Bos, nih!"Rayyan memicingkan mata."Pengadilan sudah menjadwalkan sidang mediasi tiga hari lagi. Terkait permohonan cerai dari pihak Boss." Bobby menat
Pagi-pagi sekali di rumah Gilang masih terasa sunyi, hanya terdengar suara serangga dari pekarangan dan detak jarum jam di dinding ruang tengah itu. Setelah Nunung menyuguhkan teh hangat dan camilan pagi, Gilang duduk berhadapan dengan Harun dan Delia. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah.Harun menatap Gilang dengan sorot mata yang tenang, tetapi cukup dalam dan penuh makna. "Gilang, Abah mau bicara jujur sekarang ini. Sebagai orang tua, Abah harus menanyakan ini. Delia sedang mengandung anakmu. Apa yang akan kamu lakukan?"Gilang menggenggam cangkir teh di tangannya. Uapnya perlahan mengabur di udara, seperti pikirannya sendiri."Aku tahu, Bah. Aku ... belum bisa memberi jawaban pasti saat ini," ujarnya akhirnya. "Aku masih butuh waktu untuk berpikir. Tentang semuanya."Delia menunduk, jemari tangannya bertaut di pangkuan. Harun menarik napas dalam-dalam."Abah nggak akan memaksakan kalian untuk rujuk kembali. Tapi, Abah minta satu hal saja. Tanggung jawab. Bukan hanya sampai ana
Suasana rumah Pak Toni sore itu tampak semarak, sebab beberapa kerabatnya cukup antusias menghadapi acara hari ini. Bobby duduk di ruang tamu, mengenakan batik maroon gelap, wajahnya terlihat gugup tapi penuh harap. Di sampingnya, ayah dan ibunya tersenyum bangga, ditemani beberapa kerabat dari luar kota.“Tenang, Bob. Nggak usah tegang kayak gitu,” bisik ibunya sambil menggenggam tangan Bobby."Iya, Ma. Aku cuma gugup." Bobby melirik ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi keluarga besar Toni. Beberapa orang di sekitar yang tidak ia kenal, duduk bersila di lantai beralaskan permadani. Tampak suguhan kue dan teh manis di hadapan. Akan tetapi, ada satu wajah yang sebenarnya ia harapkan untuk turut hadir—Rayyan. Meski demikian, itu hanyalah harapan kosong.“Eh, Mas Bob,” sapa suara berat dari balik bahu Bobby. Toni, si tuan rumah, sembari merapikan jasnya dan berdiri di hadapan Bobby dengan senyum setengah bingung. “Mana Pak Rayyan ya, Mas? Kata Mas Bobby sudah kabari tentang acara hari ini
"Bob, saya ke Singapura besok," ujar Rayyan dengan wajah yang tampak kusut. "Loh, kok, mendadak gini, Bos? Acara lamaranku gimana?" Bobby tercengang dengan ucapan bosnya barusan. Ia tadi masih di kantor ketika Rayyan tiba-tiba memanggil dan menyuruhnya datang. "Sorry, saya nggak bisa hadir. Memang ini mendadak, Mr. Harold menyerahkan kerjasama bisnis kita ke Soni. Jadi, saya mesti segera membereskan semuanya.""Oh ... gitu?" lirih Bobby sembari menghela napas. Ia pikir Rayyan akan menyuruhnya turut serta, padahal acara lamarannya yang sudah disiapkan jauh-jauh hari tentu tidak bisa dibatalkan begitu saja. "Setelah kamu lamaran, tolong urus perceraian saya dengan Tari.""Apa?!" Bobby terbelalak mendengar kejutan lainnya.Rayyan menarik napas dalam-dalam dan mendongak ke atas, kemudian ia bangkit berdiri. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Saya sudah menjatuhkan talak ke dia. Jadi, kamu segera urus perceraian saya dengan pengacara. Saya juga nggak mau ribet untuk da