Memori Lestari seketika melayang kembali pada kejadian malam di mana seorang pemuda yang ia sukai—Gilang Hardian—datang dan menyampaikan pinangannya kepada sang ayah.
"Maaf, Lestari ini anak kami satu-satunya. Saya tidak mungkin menyerahkan dia ke laki-laki nggak berbobot macam kamu." Nada suara itu memang terdengar datar. Namun, omongan yang sangat merendahkan itu terasa begitu menusuk sampai ke ulu hati Gilang. Dirinya memang bukan orang yang kaya. Namun, dirinya sangat mencintai Lestari, seorang kembang di desa itu. "Yah ... kok, Ayah seperti itu?" Lestari menatap sang ayah dengan sorot sedih. Dirinya juga mencintai Gilang. Ia sengaja menyuruh pria itu untuk segera melamar, karena memang banyak pria dari perjaka sampai duda yang naksir kepadanya. Ia khawatir jika salah satu di antara orang-orang itu datang melamar lebih dulu, maka sang ayah akan menerima. Gilang hanya bisa tertunduk mendengar hinaan ayah dari sang gadis. Pria itu memang hanyalah seorang guru honorer di Desa Harapan. Namun, dirinya yakin kalau kelak akan bisa sukses karena ia juga sudah punya usaha rintisan di kota di mana ia bekerjasama dengan kakak angkatnya. "Ayah sudah bilang sama kamu! Jangan pernah berhubungan dengan laki-laki kayak begini! Udahlah datang sendiri tanpa keluarga, anak nggak jelas! Cuma guru honor, bisa apa, hah? Untung-untung bisa makan sehari-hari. Tapi, hidup itu bukan cuma untuk makan! Paham kamu?" tegas Dinar Abdullah di depan sang putri, istrinya, dan juga Gilang bersama temannya yang kini wajah mereka merah padam karena menahan malu dihina seperti itu. Lestari menatap pelas ke arah pria yang ia kasihi di sana. Sungguh dirinya tidak menyangka kalau sang ayah akan melontarkan kata-kata merendahkan seperti itu. Selama ini ia memang memahami kalau sang ayah menilai orang dari materi. Meskipun demikian, ayahnya selalu menjaga image agar tampak rendah hati dan bijaksana di hadapan warga. Akan tetapi, mengapa ayahnya sekarang menghina orang lain dengan kata-kata sekasar itu? Ayahnya tidak pernah bersikap demikian selama ini di hadapan orang lain. "Yah, sudah ... kalau didengar orang, malu kita," ucap Nurmala—ibu Lestari—sembari memegang bahu suaminya. "Ayah sudah akan menjodohkan Lestari dengan anaknya Pak Salim. Dia juga sarjana. Tapi dia sudah ASN. Nggak seperti anak ini. Masih honorer sudah sok mau ngelamar anak orang!" cibir Dinar. Kedua rahang Gilang mengeras. Kalau tidak ingat dia adalah seorang pria, mungkin dirinya sudah menangis kencang sebab terus dipermalukan seperti itu. Dirinya memang seorang yatim piatu saat ini, sementara sang kakak angkat pun masih berada di luar negeri, jadinya dirinya tidak bisa membawa seorang pun kerabat untuk menemaninya melamar Lestari. Ia hanya membawa sahabatnya—Burhan—yang dari tadi juga ikut terdiam karena terkejut dengan sikap sang tokoh tetua desa yang terkenal ramah dan rendah hati di desa itu. "Tapi, Yah. Tari mmm ... Ta–Tari sukanya sama Mas Gilang, Yah. Dia baik, sopan, rajin ibadah, dan ...." "Cukup!" bentak sang ayah sambil bangkit berdiri, "Ayah nggak mau dengar lagi! Suka, suka! Tahu apa kamu soal suka pada lawan jenis? Kalau Nak Fadil sudah datang kemari, Ayah akan jodohkan kamu dengan dia. Keluarganya lebih pantas dengan keluarga kita!" tegas Dinar tidak mau dibantah. Dengan perasaan terhina dan sedih, Gilang berdiri dengan lutut yang terasa lemas karena hati yang sangat terluka. "Se–Sebaiknya saya permisi dulu. Maaf, memang saya tidak pantas bersanding dengan Lestari," ujarnya sedih. Burhan menyusul Gilang yang bangkit berdiri. "Bagus kalau kamu sadar diri! Baik, silakan pergi dari sini!" usir Dinar. Sejurus kemudian, pria paruh baya itu pun melangkah lebar menuju ke dalam kamarnya. Nurma awalnya menatap dengan perasaan tidak nyaman karena kasihan ke arah Gilang. Namun, wanita paruh baya itu tidak bisa berbuat apa-apa jika sang suami sudah berkeputusan. Gilang melangkah ke luar dari rumah sang tokoh tetua di Desa Harapan dengan perasaan yang hancur. Cintanya memang tidak bertepuk sebelah tangan, tetapi hatinya remuk berkeping-keping karena dihina sedemikian rupa oleh orang tua gadis yang ia cintai. Burhan menyusul Gilang dengan perasaan yang tidak kalah sedih melihat temannya dihina sedemikian rupa. Di dalam hati sebenarnya dirinya juga tertarik kepada Lestari, tetapi dirinya tidak punya nyali untuk melamar kembang desa itu. Pada akhirnya dia pun tahu, kalau sahabatnya sendiri juga mencintai gadis tersebut. "Mas! Mas Gilang, tunggu!" Lestari mengejar sang pria sampai di teras rumahnya. Gilang dan Burhan menghentikan langkah yang hampir sampai ke sepeda motor yang diparkir di halaman. Kedua lelaki itu menoleh ke arah sang gadis yang semakin mendekat. "Mas ... maafkan ayah. Aku juga minta maaf. Aku nggak nyangka ayah akan menghina Mas seperti ini." Lestari menyusut air matanya yang kini telah mengalir di kedua pipinya. "Saya nggak nyangka ayah kamu seperti itu, Tari," ucap Burhan menyayangkan sikap Dinar. Lestari tertunduk, sungguh ... dirinya juga merasa malu dengan sikap arogan sang ayah barusan. Namun, gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang begitulah watak sang ayah sebenarnya yang orang lain tidak ketahui. "Sudahlah ... Pak Dinar benar. Mas memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Hanya seekor pungguk yang merindukan bulan." Gilang tersenyum getir. "Mas, aku ... aku sebenarnya juga cinta sama Mas, tap–" "Jangan!" potong Gilang, "jangan bilang itu lagi, Tari. Sudah bagus selama ini kamu tidak menyatakan hal itu. Mas sadar diri, kita nggak mungkin bersatu. Benar kata ayah kamu. Mas tidak pantas bersanding dengan kamu. Kamu berhak mendapatkan pria yang lebih baik dari Mas," lanjut pria itu dengan senyum yang dipaksakan. Air mata Lestari kembali mengalir deras membanjiri pipi ranumnya yang halus. Dirinya tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Mas permisi dulu." Gilang bersama Burhan pun menaiki motor, lantas pergi menjauh dari pekarangan rumah tersebut. Dua hari berikutnya, Tari pun mendengar berita buruk. Burhan berkata, malam itu Gilang pergi dari kontrakannya, katanya hendak menenangkan diri. Akan tetapi, semalaman pria itu tidak pulang. Padahal hujan malam itu begitu lebat. Motor Gilang ditemukan dalam keadaan ringsek di samping pagar sebuah jembatan yang menghubungkan desa dan kota. Menurut investigasi polisi, Gilang menabrak pagar jembatan, lalu ia jatuh dan hanyut ke dalam sungai yang sedang pasang. Lelaki itu tidak ditemukan sampai sekarang. Ia dinyatakan meninggal dan hilang di derasnya arus sungai. . .Sesampainya di rumah, Rayyan memanggil Nunung ke ruang tengah. Ia menceritakan semuanya—tentang hak rujuk, tentang kehadiran Lestari yang sangat ia rindukan.“Bi, Bibi bisa tolong saya, 'kan ...? Tolong bujuk Tari. Minta dia pulang ke rumah. Katakan padanya saya tidak ingin perceraian ini berlanjut.”Nunung awalnya ragu. “Saya nggak tahu apa masih bisa, Tuan. Tapi saya akan coba ya," ucap wanita tua itu dengan senyum kecil di wajahnya. Nunung juga berharap kalau pernikahan kedua majikannya bisa kembali terjalin. Toh, Rayyan sudah banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang kasar seperti dulu.*Beberapa hari kemudian, Nunung menelepon Lestari. Suaranya pelan dan dibuat lemah.“Nya ... saya kurang enak badan. Gimana ya, Nya ... saya di rumah sendiri, nggak ada yang ngurus. Tuan Rayyan ke luar kota.”Lestari yang mendengar itu langsung panik. “Bi Nunung di rumah Mas Rayyan sekarang?” Selama ini Lestari mengira Nunung masih di rumah Gilang.“Iya. Saya sendirian, Nya ... lemas.”“Baik, Bi.
Lestari diam sesaat, lalu mengangguk. Tidak seperti kepada Gilang, ia paham kalau dirinya masih di masa iddah dan Rayyan masih berhak atasnya, sebenarnya.Mereka lalu duduk di ruang tamu sederhana itu. Rayyan memandang sekeliling—semuanya masih tampak sama. Tapi suasananya terasa berbeda karena tidak ada lagi Dinar dan Nurmala."Mas datang ... untuk bicara tentang pernikahan kita," kata Rayyan membuka pembicaraan. Lestari menatapnya, tatapannya tenang tapi menjaga jarak. "Pernikahan yang mana, Mas? Bukannya kita sudah bercerai? Mas sudah menjatuhkan talak ke aku."Rayyan menggenggam jemari tangannya sendiri di atas lutut. "Mas salah, Tari. Mas terlalu terburu-buru. Mas tahu kamu terluka karena sikap Mas seperti itu. Mas diam juga karena terlalu sibuk membenarkan diri sendiri."Lestari menghela napas panjang. "Mas Rayyan, aku sudah lelah. Aku menunggu Mas tadinya. Tapi Mas malah ... dan saat akhirnya aku pergi, Mas juga nggak menyusul aku. Jadi, sebaiknya memang kita sudahi seperti re
Langit Jakarta sedikit mendung saat Rayyan menapakkan kaki di lobi kantornya. Dua pekan di Singapura nyatanya tak cukup menenangkan gejolak pikirannya. Ya, bukan hanya 5 hari. Ternyata ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan diri.Pagi ini pria tampan itu kembali sebagai Presiden Direktur seperti biasanya, tetapi hatinya masih terasa seperti kapal tanpa jangkar, sebagai seorang suami yang 'gagal' mempertahankan rumah tangganya sendiri.Bobby menyambut Rayyan dengan ramah di depan lift pribadi. "Selamat datang kembali, Boss." Pria muda itu melebarkan senyumnya."Nggak usah basa-basi kamu, Bob!" Rayyan mendengkus kecil. "Gimana perkembangan terakhir di kantor? Nggak kamu obrak-abrik, 'kan, perusahaan saya?" sindir Rayyan dengan wajah dinginnya."Ya elah si Boss. Tenang ajaa. Stabil, Boss. Tapi ada hal penting soal pernikahan Bos, nih!"Rayyan memicingkan mata."Pengadilan sudah menjadwalkan sidang mediasi tiga hari lagi. Terkait permohonan cerai dari pihak Boss." Bobby menat
Pagi-pagi sekali di rumah Gilang masih terasa sunyi, hanya terdengar suara serangga dari pekarangan dan detak jarum jam di dinding ruang tengah itu. Setelah Nunung menyuguhkan teh hangat dan camilan pagi, Gilang duduk berhadapan dengan Harun dan Delia. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah.Harun menatap Gilang dengan sorot mata yang tenang, tetapi cukup dalam dan penuh makna. "Gilang, Abah mau bicara jujur sekarang ini. Sebagai orang tua, Abah harus menanyakan ini. Delia sedang mengandung anakmu. Apa yang akan kamu lakukan?"Gilang menggenggam cangkir teh di tangannya. Uapnya perlahan mengabur di udara, seperti pikirannya sendiri."Aku tahu, Bah. Aku ... belum bisa memberi jawaban pasti saat ini," ujarnya akhirnya. "Aku masih butuh waktu untuk berpikir. Tentang semuanya."Delia menunduk, jemari tangannya bertaut di pangkuan. Harun menarik napas dalam-dalam."Abah nggak akan memaksakan kalian untuk rujuk kembali. Tapi, Abah minta satu hal saja. Tanggung jawab. Bukan hanya sampai ana
Suasana rumah Pak Toni sore itu tampak semarak, sebab beberapa kerabatnya cukup antusias menghadapi acara hari ini. Bobby duduk di ruang tamu, mengenakan batik maroon gelap, wajahnya terlihat gugup tapi penuh harap. Di sampingnya, ayah dan ibunya tersenyum bangga, ditemani beberapa kerabat dari luar kota.“Tenang, Bob. Nggak usah tegang kayak gitu,” bisik ibunya sambil menggenggam tangan Bobby."Iya, Ma. Aku cuma gugup." Bobby melirik ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi keluarga besar Toni. Beberapa orang di sekitar yang tidak ia kenal, duduk bersila di lantai beralaskan permadani. Tampak suguhan kue dan teh manis di hadapan. Akan tetapi, ada satu wajah yang sebenarnya ia harapkan untuk turut hadir—Rayyan. Meski demikian, itu hanyalah harapan kosong.“Eh, Mas Bob,” sapa suara berat dari balik bahu Bobby. Toni, si tuan rumah, sembari merapikan jasnya dan berdiri di hadapan Bobby dengan senyum setengah bingung. “Mana Pak Rayyan ya, Mas? Kata Mas Bobby sudah kabari tentang acara hari ini
"Bob, saya ke Singapura besok," ujar Rayyan dengan wajah yang tampak kusut. "Loh, kok, mendadak gini, Bos? Acara lamaranku gimana?" Bobby tercengang dengan ucapan bosnya barusan. Ia tadi masih di kantor ketika Rayyan tiba-tiba memanggil dan menyuruhnya datang. "Sorry, saya nggak bisa hadir. Memang ini mendadak, Mr. Harold menyerahkan kerjasama bisnis kita ke Soni. Jadi, saya mesti segera membereskan semuanya.""Oh ... gitu?" lirih Bobby sembari menghela napas. Ia pikir Rayyan akan menyuruhnya turut serta, padahal acara lamarannya yang sudah disiapkan jauh-jauh hari tentu tidak bisa dibatalkan begitu saja. "Setelah kamu lamaran, tolong urus perceraian saya dengan Tari.""Apa?!" Bobby terbelalak mendengar kejutan lainnya.Rayyan menarik napas dalam-dalam dan mendongak ke atas, kemudian ia bangkit berdiri. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Saya sudah menjatuhkan talak ke dia. Jadi, kamu segera urus perceraian saya dengan pengacara. Saya juga nggak mau ribet untuk da