Share

Neraka 6

Tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya cemburu, nampak jelas di pancaran matanya. Aku melepas genggaman Mas Aris, dengan menarik tanganku. 

"Rena siapin makannya dulu, mas," ucapku, aku bergegas berjalan melewati Indah menuju dapur. Nasi goreng yang terbungkus kertas itu aku pindahkan satu persatu, kemudian menatanya di atas meja. Minuman hangat juga aku siapkan untuk semua. Masih kudengar tanya Indah berulang, dan jawaban tidak jelas dari Mas Aris.

Selepas menyiapkan makan, aku masuk kemar, berjalan ke lemari. Aku tarik sebuah kaos dan celan pendek lengkap dengan dalaman. 

"Sudahlah sayang, suamimu baru pulang jangan cemburu buta seperti itu, palingan juga ketemu di depan," terdengar suara Ibu, menenangkan Indah.

"Mas, mandi dulu aku sudah siapkan bajunya," panggilku selepas keluar kamar, Mas Aris tampak berjalan menuju ke arahku. Baju ganti telah berpindah ke tangannya.

"Jangan lama-lama mandinya, keburu dingin nasi gorengnya," ucapku padangya. Mas Aris menjawabnya dengan sebuah anggukan.

"Makan nasi goreng, paling enak pakai kerupuk udang," ucap Ibu, kemudian berdiri dari duduknya.  Bunda terlihat fokus pada tayangan sinetron di tv, tak memperdulikan sekitarnya.

"Indah sayang, bantu Ibu goreng kerupuk yuk, kesukaan Aris, makanya Ibu bawain kemarin."

"Ini udah malam, Bu. Mau goreng-goreng kan bau," protes Indah kemudian. Dia terlihat masih kesal melihatku dan Mas Aris datang bareng barusan.

"Kesempatan, mumpung ada Aris, biar dia lihat betapa rajinnya kamu. Sudah anak orang kaya yang rajin, penurut dan cantik, istri yang sempurna," bujuk Ibu kemudian.

"Biar Rena saja, Bu. Kan biasanya Rena juga yang suka gorengin buat Mas Aris," ucapku, hendak melangkah ke dapur.

"Indah saja yang goreng,Bu." Indah berjalan melewatiku menuju dapur, Ibu mengekor di belakang Indah. Sebuah jempol ditunjukkan saat melewatiku. Aku hanya tersenyum tipis.

Terdengar suara kompor di cetek, dan tak berapa lama bau minyak panas. 

"Kalau goreng ini, minyak jangan terlalu panas." Suara Ibu, terdengar sedang menjelaskan. "Ini kesukaan Aris,loh," jelas Ibu lagi.

Aku masih berdiri di depan kamar, mas Aris nampak keluar dari kamar mandi dan melempar baju kotornya ke dalam keranjang. Sambil mengeringkan bajunya pandangan matanya terlihat mengarah ke arah dapur.

Wajah sedih kembali aku pasang, bukan pura-pura. Hatiku benar-benar hancur dan terluka saat ini. Mas Aris menghampiriku, dan menatap Iba padaku. Aku menarik tanganku saat dia ingin menggapainya.

"Aris, makan dulu  Nak," panggil Ibu, dari arah dapur.

"Makan dulu," ucap mas Aris padaku.

"Bunda, makan dulu," panggil mas Aris ke Bunda. Tak ada sahutan dari Bunda, hanya langsung beranjak bangun dari duduknya.

Bunda berjalan ke arah dapur, menarik tanganku saat tiba di depanku. Menatap dengan wajah ketus ke arah Aris. Di dapur Ibu dan Indah masih sibuk menggoreng kerupuk. Sebagian yang sudah digoreng Ibu masukkan ke toples dan menaruhnya di atas meja makan.

Mas Aris, menarikkan kursi untuk Bunda dan juga untukku. Tampak Ibu ikut duduk di samping mas Aris yang juga sudah duduk setelah aku.

"Ini, kerupuk kesukaanmu, Indah loh yang gorengin buat kamu," ucap Ibu dengan suara keras, terlihat Indah yang berdiri membelakangiku menoleh dan tersenyum. 

Ibu membuka toples dan menyodorkan ke mas Aris, kembali pria itu menatapku. Aku membuang pandanganku.

"Indah sayang, digoreng sekalian yang dibungkus satunya ya, Nak. Nanggung …." Ibu berucap sambil menarik nasi goreng membawa ke depannya.

"I… iya, Bu," jawab Indah kemudian.

Terlihat semua mulai menikmati santap malamnya, Indah masih berdiri di depan kompor. Sebenarnya nasi goreng ini sangat enak, sesuai sekali dengan seleraku. Namun, sekarang rasanya begitu hambar aku rasa, sama sekali tak menggoda seleraku seperti biasanya.

Beberapa kali terlihat mas Aris melihat ke arahku, terlebih saat pujian keluar dari mulut Ibu untuk Indah. Bunda sesekali menyahut dengan celetukan sinisnya. Sedangkan aku sibuk memainkan sendok di piring tanpa berhasrat menyantapnya.

"Kok cuma diaduk aja makannya?" tanya Mas Aris padaku, aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

"Halah, cari perhatian," celetuk Ibu.

"Makan! Bunda nggak mau kamu sakit karena mikirin suami gila macam dia," ucap Bunda padaku.

"Bunda, jangan bilang gitu," belaku ke mas Aris.

"Kenyataan kan, mana ada suami waras, bisa berbuat seperti itu."

"Anakmu aja yang nggak bisa urus anak ku," balas Ibu.

"Ibu, tolong jangan bicara seperti itu, itu nggak bener." Ganti mas Aris yang membelaku di depan Ibu.

"Yo opo seh kamu itu, Ris?" seru Ibu pada Mas Aris karena membelaku.

Pertengkaran kembali terulang antara Bunda dan Ibu, saling menyahut dengan kata-kata pedas dan suara keras. Total sekali sandiwara dua sahabat ini. 

"Bau apa ini?" tanya Ibu, seketika semua menoleh ke arah kompor. Bagaimana kami tak menyadari kalau sudah tak ada Indah di sana.

"Walah, gosong," teriak Ibu, langsung berlari ke arah kompor dan mematikannya.

"Kemana anak ini tadi?" Ibu terlihat bingung, aku dan Bunda saling berpandangan. Kemudian bersamaan berdiri dari tempat duduk.

Terdengar suara tangisan dari dalam kamar, serempak kami beranjak, menuju kamar Ibu. Indah tampak menangis sambil memeganggi tangannya tampak tanda merah bergaris di tangan putihnya.

"Kamu kenapa?" tanya Ibu mendekat. 

Aku dan yang lain juga mendekati Indah yang duduk di tepian ranjang sambil menangis. Tanganya terluka, seperti luka bakar.

"Hiks … hiks, tangan Indah kena wajan panas. Tak ada yang perduli, semua ribut sendiri," teriaknya kemudian.

Aku dan Bunda saling berpandangan.

"Walah, kok bisa sih. Waduh … sampai melepuh kayak giti. Duh, Ris gimana ini?" tanya Ibu kemudian.

"Hmm, itu baru panasnya wajan, biasanya akan ada karma buat perempuan perusak rumah tangga orang, kena azab, tau to kamu azab," oceh Bunda.

"He em, Azab ini," timpal Ibu keceplosan, "Ehh, maksudmu azab apa? Sembarangan kalau ngomong." 

"Ya, azab pelakor lah, perusak rumah tangga orang," teriak Bunda.

Pertengkaran kembali terjadi, tanpa perduli Indah yang kesakitan.

"Mas, ambilin lidah buaya di teras," pintaku ke Mas Aris, pria itu mengangguk  dan bergegas, tak berapa lama dia kembali dengan tanaman lidah buaya di tangannya.

Aku mendekati madu yang tak manis itu, dia menatapku sinis, dengan mata yang masih basah.

"Ini bagus buat luka bakar," ucapku, menyodorkan potongan tanaman lidah buaya  itu.

"Nggak usah sok simpati," ucapnya kemudian, menepis tanganku.

"Mas, anter aku ke dokter, sakit …." Tangis Indah kembali terdengar.

Ibu mengambil lidah buaya dari tanganku, kemudian mengusir kami semua pergi dari kamarnya.

"Sudah, Ibu yang urus, kalian semua pergi," herdik Ibu kemudian.

Kami keluar kamar satu persatu, suara tangisan masih terdengar dari dalam kamar. Ibu masuk kamar, aku dan mas Aris duduk di sofa depan tv. Sesekali dia mengacak rambutnya terlihat sekali dia sedang frustasi.

"Kepala mas pusing," keluhnya kemudian.

"Kan, mas yang buat masalah sendiri," timpalku.

"Rena, masuk!" teriak Bunda dari dalam kamar. Aku beranjak, mas Aris menahan tanganku.

"Temani mas sebentar," pintanya.

"Rena, masuk …." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status