Tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya cemburu, nampak jelas di pancaran matanya. Aku melepas genggaman Mas Aris, dengan menarik tanganku.
"Rena siapin makannya dulu, mas," ucapku, aku bergegas berjalan melewati Indah menuju dapur. Nasi goreng yang terbungkus kertas itu aku pindahkan satu persatu, kemudian menatanya di atas meja. Minuman hangat juga aku siapkan untuk semua. Masih kudengar tanya Indah berulang, dan jawaban tidak jelas dari Mas Aris.Selepas menyiapkan makan, aku masuk kemar, berjalan ke lemari. Aku tarik sebuah kaos dan celan pendek lengkap dengan dalaman. "Sudahlah sayang, suamimu baru pulang jangan cemburu buta seperti itu, palingan juga ketemu di depan," terdengar suara Ibu, menenangkan Indah."Mas, mandi dulu aku sudah siapkan bajunya," panggilku selepas keluar kamar, Mas Aris tampak berjalan menuju ke arahku. Baju ganti telah berpindah ke tangannya."Jangan lama-lama mandinya, keburu dingin nasi gorengnya," ucapku padangya. Mas Aris menjawabnya dengan sebuah anggukan."Makan nasi goreng, paling enak pakai kerupuk udang," ucap Ibu, kemudian berdiri dari duduknya. Bunda terlihat fokus pada tayangan sinetron di tv, tak memperdulikan sekitarnya."Indah sayang, bantu Ibu goreng kerupuk yuk, kesukaan Aris, makanya Ibu bawain kemarin.""Ini udah malam, Bu. Mau goreng-goreng kan bau," protes Indah kemudian. Dia terlihat masih kesal melihatku dan Mas Aris datang bareng barusan."Kesempatan, mumpung ada Aris, biar dia lihat betapa rajinnya kamu. Sudah anak orang kaya yang rajin, penurut dan cantik, istri yang sempurna," bujuk Ibu kemudian."Biar Rena saja, Bu. Kan biasanya Rena juga yang suka gorengin buat Mas Aris," ucapku, hendak melangkah ke dapur."Indah saja yang goreng,Bu." Indah berjalan melewatiku menuju dapur, Ibu mengekor di belakang Indah. Sebuah jempol ditunjukkan saat melewatiku. Aku hanya tersenyum tipis.Terdengar suara kompor di cetek, dan tak berapa lama bau minyak panas. "Kalau goreng ini, minyak jangan terlalu panas." Suara Ibu, terdengar sedang menjelaskan. "Ini kesukaan Aris,loh," jelas Ibu lagi.Aku masih berdiri di depan kamar, mas Aris nampak keluar dari kamar mandi dan melempar baju kotornya ke dalam keranjang. Sambil mengeringkan bajunya pandangan matanya terlihat mengarah ke arah dapur.Wajah sedih kembali aku pasang, bukan pura-pura. Hatiku benar-benar hancur dan terluka saat ini. Mas Aris menghampiriku, dan menatap Iba padaku. Aku menarik tanganku saat dia ingin menggapainya."Aris, makan dulu Nak," panggil Ibu, dari arah dapur."Makan dulu," ucap mas Aris padaku."Bunda, makan dulu," panggil mas Aris ke Bunda. Tak ada sahutan dari Bunda, hanya langsung beranjak bangun dari duduknya.Bunda berjalan ke arah dapur, menarik tanganku saat tiba di depanku. Menatap dengan wajah ketus ke arah Aris. Di dapur Ibu dan Indah masih sibuk menggoreng kerupuk. Sebagian yang sudah digoreng Ibu masukkan ke toples dan menaruhnya di atas meja makan.Mas Aris, menarikkan kursi untuk Bunda dan juga untukku. Tampak Ibu ikut duduk di samping mas Aris yang juga sudah duduk setelah aku."Ini, kerupuk kesukaanmu, Indah loh yang gorengin buat kamu," ucap Ibu dengan suara keras, terlihat Indah yang berdiri membelakangiku menoleh dan tersenyum. Ibu membuka toples dan menyodorkan ke mas Aris, kembali pria itu menatapku. Aku membuang pandanganku."Indah sayang, digoreng sekalian yang dibungkus satunya ya, Nak. Nanggung …." Ibu berucap sambil menarik nasi goreng membawa ke depannya."I… iya, Bu," jawab Indah kemudian.Terlihat semua mulai menikmati santap malamnya, Indah masih berdiri di depan kompor. Sebenarnya nasi goreng ini sangat enak, sesuai sekali dengan seleraku. Namun, sekarang rasanya begitu hambar aku rasa, sama sekali tak menggoda seleraku seperti biasanya.Beberapa kali terlihat mas Aris melihat ke arahku, terlebih saat pujian keluar dari mulut Ibu untuk Indah. Bunda sesekali menyahut dengan celetukan sinisnya. Sedangkan aku sibuk memainkan sendok di piring tanpa berhasrat menyantapnya."Kok cuma diaduk aja makannya?" tanya Mas Aris padaku, aku hanya menggelengkan kepalaku pelan."Halah, cari perhatian," celetuk Ibu."Makan! Bunda nggak mau kamu sakit karena mikirin suami gila macam dia," ucap Bunda padaku."Bunda, jangan bilang gitu," belaku ke mas Aris."Kenyataan kan, mana ada suami waras, bisa berbuat seperti itu.""Anakmu aja yang nggak bisa urus anak ku," balas Ibu."Ibu, tolong jangan bicara seperti itu, itu nggak bener." Ganti mas Aris yang membelaku di depan Ibu."Yo opo seh kamu itu, Ris?" seru Ibu pada Mas Aris karena membelaku.Pertengkaran kembali terulang antara Bunda dan Ibu, saling menyahut dengan kata-kata pedas dan suara keras. Total sekali sandiwara dua sahabat ini. "Bau apa ini?" tanya Ibu, seketika semua menoleh ke arah kompor. Bagaimana kami tak menyadari kalau sudah tak ada Indah di sana."Walah, gosong," teriak Ibu, langsung berlari ke arah kompor dan mematikannya."Kemana anak ini tadi?" Ibu terlihat bingung, aku dan Bunda saling berpandangan. Kemudian bersamaan berdiri dari tempat duduk.Terdengar suara tangisan dari dalam kamar, serempak kami beranjak, menuju kamar Ibu. Indah tampak menangis sambil memeganggi tangannya tampak tanda merah bergaris di tangan putihnya."Kamu kenapa?" tanya Ibu mendekat. Aku dan yang lain juga mendekati Indah yang duduk di tepian ranjang sambil menangis. Tanganya terluka, seperti luka bakar."Hiks … hiks, tangan Indah kena wajan panas. Tak ada yang perduli, semua ribut sendiri," teriaknya kemudian.Aku dan Bunda saling berpandangan."Walah, kok bisa sih. Waduh … sampai melepuh kayak giti. Duh, Ris gimana ini?" tanya Ibu kemudian."Hmm, itu baru panasnya wajan, biasanya akan ada karma buat perempuan perusak rumah tangga orang, kena azab, tau to kamu azab," oceh Bunda."He em, Azab ini," timpal Ibu keceplosan, "Ehh, maksudmu azab apa? Sembarangan kalau ngomong." "Ya, azab pelakor lah, perusak rumah tangga orang," teriak Bunda.Pertengkaran kembali terjadi, tanpa perduli Indah yang kesakitan."Mas, ambilin lidah buaya di teras," pintaku ke Mas Aris, pria itu mengangguk dan bergegas, tak berapa lama dia kembali dengan tanaman lidah buaya di tangannya.Aku mendekati madu yang tak manis itu, dia menatapku sinis, dengan mata yang masih basah."Ini bagus buat luka bakar," ucapku, menyodorkan potongan tanaman lidah buaya itu."Nggak usah sok simpati," ucapnya kemudian, menepis tanganku."Mas, anter aku ke dokter, sakit …." Tangis Indah kembali terdengar.Ibu mengambil lidah buaya dari tanganku, kemudian mengusir kami semua pergi dari kamarnya."Sudah, Ibu yang urus, kalian semua pergi," herdik Ibu kemudian.Kami keluar kamar satu persatu, suara tangisan masih terdengar dari dalam kamar. Ibu masuk kamar, aku dan mas Aris duduk di sofa depan tv. Sesekali dia mengacak rambutnya terlihat sekali dia sedang frustasi."Kepala mas pusing," keluhnya kemudian."Kan, mas yang buat masalah sendiri," timpalku."Rena, masuk!" teriak Bunda dari dalam kamar. Aku beranjak, mas Aris menahan tanganku."Temani mas sebentar," pintanya."Rena, masuk …."Mas Aris menaut jariku, seolah ingin menahanku, namun, teriakan Bunda terdengar semakin keras. Aku melepas pegangannya dan berjalan masuk ke kamar.Terlihat sekali pikirannya sedang kacau saat ini. Itu hal yang pantas dia dapatkan bukan? mas Aris juga harus mendapatkan balasan atas penghianatan yang sudah dia lakukan. Larut mendekap malam, Bunda sudah lelap dalam tidurnya. Mataku sulit sekali terpejam, wanita lain dalam sebuah rumah tangga, sesuatu hal yang sama sekali tak bisa aku terima. Bagaimana bisa? Dan mengapa?Banyak pertanyaan berorasi liar dalam benakku ,menuntut sebuah jawaban. Malam semakin larut, tak jua mata mau menutup. Meski hanya sebentar, cukuplah menjadi penawar, untuk sejenak menghalau pergi kesakitan dan kegelisahan.Mataku memanas, ada lelehan hangat menyeruak, ini sakit, sakit sekali. Suatu hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, harus menerima kenyataan bahwa, hati telah terbagi, raganya pernah menyatu dengan perempuan lain.Aku juga bukannya seorang wan
"Rena harus bantu Ibu, buat sarapan," ucapku kemudian."Sebentar saja," rengeknya.Mas Aris memang seperti bayi tua, dia suka bermanja padaku. Ah, semua terdengar begitu Indah, dulu. Indah … bocah bina* itu telah menghancurkan segalanya."Rena … Ren," panggil Bunda."Iya Bund," jawabku melepas genggaman tangan mas Aris dan beranjak.Bunda terlihat duduk di ruang tengah, sambil menyalakan tv di depannya."Bikinin Bunda teh hangat," ucap Bunda saat aku keluar, "Gula nya dikit aja ya," lanjutnya."Iya, Bund," jawabku, langsung bergegas ke dapur.Ibu baru keluar dari kamar mandi, Indah sepertinya ada di kanar. Ibu mengangkat dagunya sepertinya bertanya sedang apa, aku mengangkat gelas yang sudah aku isi dengan gula, Ibu mengangguk."Indah sayang," teriak Ibu, memanggil Indah."Iya, Bu," sahutnya, sesaat kemudian telah keluar dari kamarnya."Tau nggak sayang, Ibu tadi hampir kepleset di kamar mandi," cerita Ibu ke Indah yang sekarang berdiri di depannya."Tolong kamu sikat ya, biar nggak
Baru lihat ciuman bibir saja sudah begitu kesalnya, tapi kenapa nggak mikir bocah sunda* itu akan bagaimana perasaanku, yang di duakan karena kehadirannya."Mas, sepertinya aku menyerah. Aku tak sanggup berbagi. Lebih baik aku mundur," ucapku pelan.Mas Aris terdiam tak mengucap apapun, tangan kirinya berkacak pinggang, sedangkan tangan kanan menutup mulutnya.Kembali terdengar suara panci jatuh dari arah dapur."Suara apa?" tanya Mas Aris."Kucing mungkin," jawabku, "Mas ganti baju aja, biar Rena yang cek ke dapur," ucapku pada mas Aris.Aku bergegas keluar kamar, langsung menuju dapur. Nampak beberapa panci dan perabot lain tergelak di lantai dapur."Kamu, apa-apaan sih?" tanyaku kemudian. Indah bergeming, hanya menatap panci yang berserakan itu dengan melipat tangan di dada. "Kenapa? Cemburu? Sudah lihat sendiri kan, kalau mas Aris lebih memilih aku dibanding kamu," ucapku dengan suara pelan."Harusnya, kamu sadar diri, cepat pergi dari kehidupan kami. Perempuan kok murah banget,
"Ngapain kamu kesini, urus saja Istri mudamu, yang nggak tau diri itu," ucap Bunda ketus.Mas Aris tak menggubris ucapan Bunda, dia berjalan menghampiriku. "Maafkan mas," ucapnya kemudian."Mas, laki-laki lemah, pengecut, pecundang. Mas minta maaf.""Sudahlah, jangan dekati Rena lagi. Cukup sudah kamu menyakiti anakku. Urus saja bocah pelakor itu. Bunda mau bawa Rena pulang.""Bunda, Aris minta maaf ….""Keluar!" teriak Bunda sebelum mas Aris menyelesaikan kalimatnya. Bunda menarik mas Aris, mendorongnya keluar dan menutup pintu.Bunda memegang kepalanya, kemudian mengusap dadanya, sepertinya sedang mengendalikan emosinya yang mulai lepas kontrol.Aku mengusap air mataku, kulihat jam yang tertempel di dinding. Sekarang sudah jam setengah delapan lebih. Aku beranjak bersiap untuk ke kantor. Pagi yang berat, bukan hanya perihnya luka di badan. Tapi luka dihati, meski tak berdarah lebih sakit luar biasa."Pesan taksi online saja, jangan bawa kendaraan sendiri, apalagi berangkat sama Ari
"Sayang, itu demi keluarga kita juga.""Sejak kapan mas berubah, tak berperasaan seperti ini?""Rena, bukan begitu. Aku mencintaimu, aku melakukannya agar kehidupan kita terjamin.""Apa yang terjadi, sejak kapan harta lebih penting dari cinta, mas harta nggak bisa jamin kita hidup bahagia. Rena tau, mas punya ambisi besar untuk sukses, tapi apa harus dengan jalan seperti ini. Mas gadaikan harga diri hanya demi harta dan jabatan, murah sekali, mas."Aku tak habis pikir, ada apa dengan suamiku ini. Mas Aris memang selalu ingin menjadi yang terbaik. Tapi, apa harus dengan cara seperti ini. Sungguh tak masuk dalam akalku."Atau, mas memang benar-benar suka sama Indah?" tanyaku, Mas Aris tak menjawabku."Hooh, naif sekali diriku, aku pikir suamiku hanya mencintai diriku, nyatanya aku salah. Siapa yang bisa menolak daging segar, dari seorang daun muda. Tidak juga suamiku, yang aku pikir setia." Aku tersenyum masam."Dirimu tetap yang terbaik, Ren. Aku mencintaimu."Aku tertawa sumbang, mend
Mas Aris terdiam."Itu, mau ditaruh dimana barang sebanyak itu," ucap Ibu yang tiba-tiba muncul di pintu."Barang apa lagi, Bu?" tanya Mas Aris."Mesin cuci, karpet tebal, sama meja makan. Yang tempat tidur, meja makan, meja rias, sama lemari aja nggak tau mau ditaruh mana," ucap Ibu kemudianMas Aris, mengacak rambutnya kemudian keluar, aku masih bergeming. Ibu mendekat, menaikkan dagunya."Rena lelah, Bu," ucapku. Ibu mengusap lenganku."Sabar ya, kita beri pelajaran bocah tak tau diri itu. Ibu minta maaf atas kelakuan anak Ibu," ucap Ibu pelan, masih mengusap lenganku. Ibu beranjak setelah menepuk bahuku dua kali untuk menguatkan. Aku masih berdiam, kepalaku sakit. Melipat tangan di dada, berjalan mondar mandir. Sekalipun Mas Aris mau meninggalkan Indah, apa Indah akan diam saja. Sepertinya tidak mungkin, dia pasti akan tetap mengejar mas Aris, bisa jadi tambah penasaran.Aku mengacak rambutku sendiri, pikiranku kacau.Tak berapa lama, mas Aris masuk kembali. Baru akan beranjak ma
"Iya, besok Bunda kabari. Ga sabar lihat besok," ucap Bunda tersenyum."Kok ada ya Bund, perempuan seperti itu. Kayak nggak ada laki-laki lain saja yang masih lajang," ucapku."Yah, godaan buat yang punya wajah tampan seperti Aris. Tapi, tidak sedikit kok pria tampan yang setia pada pasangannya, saking aja Aris juga gatel, minta di sunat lagi kayaknya," ucap Bunda geram."Tangan tak akan bisa bertepuk tanpa di sambut satu tangan lainnya, kaya orang selingkuh, kalau Aris tak menyambut, tak mungkin terjadi juga perselingkuhan. Tak melulu salah dari pihak penggoda, yang tergoda juga bersalah. Istri juga harus introspeksi kenapa suami bisa sampai tergoda, kalau dirasa tidak ada yang kurang, dalam pelayanan dan lainnya, berarti emang lakinya yang kurang ajar, dan perlu di kasih pelajaran," ucap Bunda panjang lebar.Bunda benar, kalau saja mas Aris tidak terlalu berambisi dia tak akan sebutan ini. Andai saja, mas Aris kuat iman, dan tahan godaan aku pasti akan menjadi wanita paling beruntun
"Sarapan di luar aja," ucap Mas Aris, "Sekalian berangkat." Aku mengangguk pelan. Mas Aris menuju kamar depan untuk mengambil laptop dan tas kerjanya. Aku juga mengambil barangku di kamar. "Bund, Rena berangkat dulu. Bu, Rena berangkat " pamitku pada Bunda, kemudian Ibu. Indah masih belum keluar dari kamar mandi. Setelah mas Aris berpamitan, kami berjalan bersisian menuju mobil."Mau makan apa?" tanya Mas Aris."Udah nggak lapar" jawabku."Mas yang lapar.""Terserah mas aja," jawabku."Terserah aku kan?" tanyanya kemudian.Mas Aris tiba-tiba menepikan mobilnya, kemudian membuka layar ponselnya. Tanganya mengusap layar benda pipih itu. Senyum tipis terbit setelahnya.Tak berapa lama mas Aris kembali melajukan kembali mobilnya. Aku sedikit mengernyitkan kening, saat mobil dibelokkan memasuki sebuah hotel."Mau sarapan di sini?" tanyaku heran."Iya," jawab mas Aris.Aku menur