Share

Bab 002

Penulis: BOSSSESamaaaaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-01 15:57:15

Kael menatap sang nenek dengan tenang, lalu berkata, "Bukan, Nek. Itu bukan mainan... itu adalah Lonceng Jiwa. Dulu digunakan oleh para biarawan di era transenden untuk menenangkan batin, menyucikan ruangan, dan memperdalam meditasi."

Beberapa orang langsung berhenti tertawa.

Kael melanjutkan dengan nada ringan, namun terselip ketajaman, "Saya lihat nenek sering meditasi dan ikut kelas yoga. Saya pikir, kalau semua orang memberi perhiasan dan barang pameran, itu terlalu biasa. Saya ingin memberi sesuatu yang benar-benar bisa membuat jiwa tenang."

"Tapi kalau nenek lebih suka menyebutnya mainan... ya, mungkin itu karena nenek tidak bisa memahami nilai kedamaian."

Mendengar itu, wajah Agatha memerah karena marah. Beraninya bajingan ini menghinanya sambil berbohong?!

Apa menurutnya dia akan percaya itu benar-benar Lonceng Jiwa?!

Itu pasti sampah yang dia temukan di toko barang bekas!

Agatha bahkan ragu harganya mencapai seratus dolar.

Karenanya, Agatha mengambil lonceng itu, mengangkatnya ke udara, berencana membantingnya ke lantai dengan keras. Ini tidak lebih dari sampah!

Namun, sebelum Agatha melakukannya, dari kerumunan, seorang pria setengah baya dengan dasi kupu-kupu dan kaca mata bundar melangkah maju.

Jasnya abu-abu tua, dan di dadanya tergantung pin kecil berbentuk phénix—simbol asosiasi kolektor antik nasional.

Dia adalah Jason Mrazy, salah satu petinggi di asosiasi kolektor antik nasional.

"Mohon maaf, Nyonya Agatha, boleh saya... memeriksa benda itu sebentar?"

Semua orang menoleh.

Agatha mengerutkan kening, bertanya dengan penasaran, "Mengapa Anda tertarik dengan sampah ini, Tuan Mrazy?"

Jason menjawab, "Sebagai seseorang yang bekerja di industri barang antik, saya telah melihat ratusan barang antik dalam hidup saya, dan bisa memastikan apakah suatu barang itu asli atau palsu. Dan ketika saya melihat lonceng itu, saya merasa itu asli. Karenanya, saya ingin memastikan apakah itu benar atau tidak dengan melihatnya lebih dekat."

Agatha mengangguk mengerti, lalu memberikan lonceng itu kepada Jason.

Jason adalah salah satu tamu penting mereka, jadi dia tidak ingin mengecewakannya dengan menolak.

Tentu saja, Agatha yakin Jason hanya salah lihat, dan lonceng itu tidak lebih dari sampah.

Namun, setelah beberapa saat Jason memperhatikan lonceng itu dengan mata tajam, dia tiba-tiba berkata dengan ekspresi tidak percaya.

"T-Tidak mungkin..." gumamnya. "Ini benar-benar Lonceng Jiwa dari era transenden. Campuran logam suci, hanya dibuat oleh biarawan spiritual kelas tertinggi. Tidak lebih dari empat yang diketahui masih ada di dunia..."

Ruangan mendadak hening. Jason melanjutkan dengan suara serius, "Nilai pasarnya bisa melampaui... tujuh ratus ribu dolar. Bahkan jika dibawa ke rumah lelang, nilainya bisa mencapai satu setengah juta. Tapi nilai historis dan spiritualnya jauh lebih dari itu. Ini bukan hadiah biasa. Ini... artefak."

Wajah-wajah membeku. Seperti disambar petir, seluruh aula terdiam.

Sepupu Evelyne yang tadi menertawakan Kael kini menunduk dalam-dalam, pipinya memerah seperti kepiting rebus.

Salah satu tamu wanita menjatuhkan gelas sampanye dari tangannya tanpa sadar. Grace terlihat seperti kehilangan kemampuan bicara.

Evelyne sendiri terdiam—matanya terpaku pada benda mungil itu, lalu berpindah ke wajah Kael, yang masih berdiri santai dengan satu tangan di saku.

“K-Kael…” bisiknya tanpa sadar. “Dari mana kamu dapat benda seperti itu?”

Kael hanya mengangkat bahu ringan.

"Katanya tadi itu lonceng sapi... ternyata lonceng sapi yang setara dengan villa."

Sementara itu, Agatha yang masih menunjukkan ekspresi tidak percaya, kembali bertanya, "Apakah Anda benar-benar yakin itu Lonceng Jiwa, Tuan Mrazy?"

Jason menjawab tanpa ragu, "Saya yakin, Nyonya Agatha. Bentuknya utuh, ukiran spiritualnya masih tajam. Dan lihat ini—ukiran mantra Sanskerta di bagian dalam. Ini jelas bukan replika. Ini 100% asli!"

Dia kemungkinan menyerahkannya kembali kepada Agatha, melanjutkan, "Hadiah seperti ini bukan sekadar benda... ini adalah sejarah, spiritualitas, dan niat mulia. Hanya orang yang benar-benar mengerti makna kedamaian yang akan memberikannya."

Pada titik ini, Agatha menunjukkan ekspresi rumit. Bagaimana mungkin bajingan tidak berguna ini mendapatkan benda sebagus ini?

Apakah dia mencurinya?

Atau dia menipu seorang penjual barang antik?

Ya, itu pasti!

Dengan nada tajam dan sorot mata yang menyipit, ia mendongak menatap Kael.

"Jadi kau ingin kami percaya... bahwa kau, yang tak bekerja, tak punya bisnis, tak punya nama… bisa begitu saja membeli benda senilai satu setengah juta dolar?"

"Jangan main-main denganku," lanjut Agatha dengan suara lebih keras, "Apa kau... mencurinya?"

Semua kepala segera memberikan anggukan setuju.

Itu benar, Kael pasti mencurinya!

Tidak mungkin dia mampu membeli hadiah sebagus dan semahal itu.

Sudah pasti dia mencurinya atau menipu seorang penjual.

Di sisi lain, Kael hanya tersenyum kecil. Bukan senyum sombong—melainkan senyum orang yang sudah terlalu sering dianggap rendah… dan terlalu sabar untuk tersulut.

Ia menatap langsung ke mata Agatha, lalu berkata pelan namun jelas.

"Tuduhan tanpa bukti adalah cara orang lemah untuk menenangkan hatinya yang tak bisa menerima kenyataan."

Ia melangkah perlahan mendekat, lalu berdiri tepat di depan meja Agatha.

"Saya tidak heran kalau nenek sulit percaya. Saya pun akan sulit percaya… jika orang yang selama ini saya rendahkan tiba-tiba menunjukkan bahwa penilaianku selama ini ternyata hanya cermin dari kesombongan sendiri."

Agatha menggertakkan gigi, tapi tak menjawab.

Kael melanjutkan, dengan suara yang tetap tenang, "Saya tidak mencuri benda ini, Nek. Saya juga tidak perlu mencurinya. Saya memberikannya… karena saya ingin. Karena saya menghormati nenek."

Ia tersenyum, lalu menundukkan sedikit tubuhnya sopan.

"Tapi jika penghormatan dianggap sebagai kebohongan hanya karena datang dari orang yang tak dianggap... mungkin yang perlu direnungkan bukan siapa saya, tapi siapa yang sedang menilai."

Seketika, ruangan kembali hening.

Beberapa tamu terdiam dengan ekspresi campur aduk. Beberapa tampak kagum, sebagian menunduk malu, dan sebagian lainnya hanya menatap Kael dengan rasa ingin tahu.

Agatha terdiam membisu. Di wajahnya, untuk pertama kalinya malam itu, ada yang tak biasa: keraguan pada dirinya sendiri.

Apakah dia telah salah menilai Kael?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 046

    Pada titik ini, Kael menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Jika Evelyne melihat kamarnya berantakan seperti ini, dia akan marah. Aku membutuhkan bantuan Vale lagi untuk ini."Ia mengambil ponsel yang ada di dekat kasurnya dan langsung menelepon Grand Elder Vale.Nada tunggu hanya berbunyi sekali sebelum suara dalam dan sopan terdengar dari seberang.“Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia Penguasa Sekte Naga Langit?"“Vale... aku butuh bantuanmu lagi,” ujar Kael pelan, matanya memandangi noda darah yang mengalir di lantai, hampir mengenai kakinya. “Aku butuh pembersihan. Sekarang juga di mansion keluarga Laurent.”Terdengar keheningan sesaat dari seberang, lalu pertanyaan cepat, “Tingkat prioritas?”“Prioritas emas. Jendela sisi timur lantai tiga mansion keluarga Laurent—bingkai persegi kayu jati. Sementara kacanya... hmm... kukirim saja fotonya agar lebih detail. Warna tembok: abu keperakan, sedikit mengilap, tinggi empat meter. Ada retakan lebar akibat benturan tubuh, sekitar satu

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 045

    Pale Raven tidak menjawab. Tapi matanya mengerut sedikit. Ada tekanan yang aneh, seolah dia yang sedang dinilai.Kael berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya kini sepenuhnya serius. Tidak ada kesan ‘menantu tidak berguna’ di matanya. Yang berdiri di hadapan Raven sekarang adalah sesuatu yang jauh berbeda dari yang dikatakan Hector."Semua orang ingin aku mati, tapi hanya sedikit yang cukup bodoh untuk mencobanya langsung. Dan perlu kau ketahui, tidak ada satu pun dari mereka yang selamat," kata Kael dengan nada mengejek.Detik berikutnya, suhu kamar seolah menurun. Bukan karena sihir, tapi karena kehadiran, dominasi, dan aura dari seseorang yang dianggap sampah dan beban.Ini membuat Pale Raven menyadari satu hal. Kael akan menjadi lawan terberat yang pernah dia hadapi selama karirnya.Pada titik ini, dia diam. Dalam pikirannya, kalkulasi baru mulai terbentuk. Metode awal—meniru surat bunuh diri, terlebih memaksanya untuk menulis suratnya sendiri—semuanya mustahil dilakukan.Pria ini... buk

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 044

    Napas Bella tersenggal, tubuhnya masih bergetar dalam selimut tipis yang menyelimuti sebagian tubuhnya. Lampu temaram di langit-langit menggantung seperti bintang-bintang palsu, dan udara malam yang masuk dari celah jendela terbuka membawa dingin samar yang justru membuat peluh di kulit terasa lebih nyata.Ia berbaring di sisi ranjang, rambutnya terurai di atas bantal satin berwarna abu-abu gelap. Vincent duduk di sisi ranjang, membelakanginya, menyisakan punggung tegap dan garis bahu yang seolah tak pernah menunduk untuk siapa pun. Ia belum berbicara sejak tadi. Hanya diam, menatap ke kaca besar yang menghadap ke kota dengan ekspresi tak terbaca.Bella, dengan mata setengah terpejam dan senyum kecil yang masih tergantung di bibir, meraih lengannya dan bersandar pelan ke punggung pria itu.“Aku… merasa baru saja dilahirkan kembali,” bisiknya.Tak ada jawaban.Ia tertawa kecil, lembut, seperti seseorang yang baru saja menang dalam pertarungan panjang. “Terima kasih… karena telah memili

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 043

    Langit malam menggantung tenang di atas kota, diselingi kerlip lampu-lampu gedung pencakar langit. Di antara semua bangunan megah itu, hanya satu yang menjulang paling angkuh: Albrecht Tower. Dinding kacanya memantulkan cahaya malam dengan kemewahan yang menyilaukan, seperti istana kaca dari masa depan.Sebuah mobil coupe mewah berhenti di pintu masuk utama. Dari dalamnya, Bella Laurent melangkah turun dengan anggun. Gaun beludru hitam yang membalut tubuhnya menonjolkan lekuk tanpa berlebihan, sementara anting berlian kecil di telinganya memantulkan kilau halus setiap kali ia bergerak.Petugas lobi membungkuk tanpa banyak bicara, dan dalam hitungan detik, Bella sudah dibawa naik dengan lift pribadi—menuju lantai 51.Pintu lift terbuka dengan suara mendesing halus. Di depannya, terbentang koridor sunyi berlapis karpet kelabu, diterangi cahaya lampu gantung minimalis. Di ujung lorong, berdiri dua pria berjas hitam dengan earpiece—tak menyapa, hanya memeriksa wajahnya, lalu membuka pintu

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 042

    Jam menunjukkan pukul satu siang ketika cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis kamar Bella Laurent. Ia sedang duduk santai di sofa beludru di samping jendela, mengenakan gaun santai berwarna krem muda, sambil memutar-mutar gelas infused water yang belum disentuh.Di pangkuannya, tablet menyala menampilkan katalog tas terbaru dari rumah mode luar negeri, tapi pikirannya melayang. Kemarin malam—makan malam di mana tatapan Vincent Albrecht sempat bersinggungan dengan matanya, hanya sekejap... tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak kencang."Aku yakin dia melihatku," bisiknya pelan.Dan seolah menjawab pikirannya sendiri, ponsel di meja kecil tiba-tiba berbunyi. Notifikasi dari aplikasi eksklusif bernama LionLine, platform komunikasi terenkripsi milik kalangan ultra-elit.Bella mematung. Jarang sekali ada notifikasi dari aplikasi itu. Saat ia meraih ponsel dan membuka pesannya, matanya langsung membelalak.Pengirim: Vincent AlbrechtWaktu: 13.02Pesan itu pendek, tapi cuku

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 041

    Setelah pintu tertutup dan langkah kaki mereka menghilang di lorong, keheningan perlahan mengisi kamar itu. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah ikut menahan napas.Kael berdiri diam di samping Evelyne, matanya masih menatap pintu, seakan memastikan tidak ada yang kembali. Setelah beberapa detik, ia berbalik, memandang perempuan itu dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya.“Terima kasih,” ucapnya pelan. "Aku terharu kau berada di pihakku kali ini."Evelyne menatap Kael. Sorot matanya tajam namun tak sepenuhnya keras.“Aku melakukan ini karena wasiat Kakekku,” katanya dengan suara datar. “Tidak lebih.”Kael tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya menatapnya dalam diam.“Aku menghormati Kakek lebih dari siapa pun di dunia ini,” lanjut Evelyne. “Dan karena itulah aku berdiri di sampingmu tadi. Jadi jangan salah paham, Kael.”Ia mengambil satu langkah menjauh darinya. “Namun aku penasaran… kenapa kau menantang Vincent?”Kael tetap diam, menunggu Evelyne menyelesaikan pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status