Share

Bab 002

last update Last Updated: 2025-09-01 15:57:15

Ruangan mendadak hening.

Jason melanjutkan dengan suara serius, "Nilai pasarnya bisa melampaui... tujuh ratus ribu dolar. Bahkan jika dibawa ke rumah lelang, nilainya bisa mencapai satu setengah juta. Tapi nilai historis dan spiritualnya jauh lebih dari itu. Ini bukan hadiah biasa. Ini... artefak."

Wajah-wajah membeku. Seperti disambar petir, seluruh aula terdiam.

Sepupu Evelyne yang tadi menertawakan Kael kini menunduk dalam-dalam, pipinya memerah seperti kepiting rebus.

Salah satu tamu wanita menjatuhkan gelas sampanye dari tangannya tanpa sadar. Grace terlihat seperti kehilangan kemampuan bicara.

Evelyne sendiri terdiam—matanya terpaku pada benda mungil itu, lalu berpindah ke wajah Kael, yang masih berdiri santai dengan satu tangan di saku.

“K-Kael…” bisiknya tanpa sadar. “Dari mana kamu dapat benda seperti itu?”

Kael hanya mengangkat bahu ringan. "Katanya tadi itu lonceng sapi... ternyata lonceng sapi yang setara dengan villa."

Sementara itu, Agatha yang masih menunjukkan ekspresi tidak percaya, kembali bertanya, "Apakah Anda benar-benar yakin itu Lonceng Jiwa, Tuan Mrazy?"

Jason menjawab tanpa ragu, "Saya yakin, Nyonya Agatha. Bentuknya utuh, ukiran spiritualnya masih tajam. Dan lihat ini—ukiran mantra Sanskerta di bagian dalam. Ini jelas bukan replika. Ini 100% asli!"

Dia kemungkinan menyerahkannya kembali kepada Agatha, melanjutkan, "Hadiah seperti ini bukan sekadar benda... ini adalah sejarah, spiritualitas, dan niat mulia. Hanya orang yang benar-benar mengerti makna kedamaian yang akan memberikannya."

Pada titik ini, Agatha menunjukkan ekspresi rumit. Bagaimana mungkin bajingan tidak berguna ini mendapatkan benda sebagus ini?

Apakah dia mencurinya?

Atau dia menipu seorang penjual barang antik?

Ya, itu pasti!

Dengan nada tajam dan sorot mata yang menyipit, ia mendongak menatap Kael.

"Jadi kau ingin kami percaya... bahwa kau, yang tak bekerja, tak punya bisnis, tak punya nama… bisa begitu saja membeli benda senilai satu setengah juta dolar?"

"Jangan main-main denganku," lanjut Agatha dengan suara lebih keras, "Apa kau... mencurinya?"

Semua kepala segera memberikan anggukan setuju.

Itu benar, Kael pasti mencurinya!

Tidak mungkin dia mampu membeli hadiah sebagus dan semahal itu.

Sudah pasti dia mencurinya atau menipu seorang penjual.

Di sisi lain, Kael hanya tersenyum kecil. Bukan senyum sombong—melainkan senyum orang yang sudah terlalu sering dianggap rendah… dan terlalu sabar untuk tersulut. 

Kael menatap langsung ke mata Agatha, lalu berkata pelan namun jelas. "Tuduhan tanpa bukti adalah cara orang lemah untuk menenangkan hatinya yang tak bisa menerima kenyataan."

Kael melangkah perlahan mendekat, lalu berdiri tepat di depan meja Agatha.

"Saya tidak heran kalau nenek sulit percaya. Saya pun akan sulit percaya… jika orang yang selama ini saya rendahkan tiba-tiba menunjukkan bahwa penilaianku selama ini ternyata hanya cermin dari kesombongan sendiri."

Agatha menggertakkan gigi, tapi tak menjawab.

Kael melanjutkan, dengan suara yang tetap tenang, "Saya tidak mencuri benda ini, Nek. Saya juga tidak perlu mencurinya. Saya memberikannya… karena saya ingin. Karena saya menghormati nenek."

Kael tersenyum, lalu menundukkan sedikit tubuhnya sopan. "Tapi jika penghormatan dianggap sebagai kebohongan hanya karena datang dari orang yang tak dianggap... mungkin yang perlu direnungkan bukan siapa saya, tapi siapa yang sedang menilai."

Seketika, ruangan kembali hening.

Kael memang tidak mencuri hadiah itu. Namun, semua orang pasti tak akan percaya jika dia mengatakan bahwa dia mendapatkannya dari acara lelang dengan harga tiga juta dolar.

Oh tidak, bahkan sebenarnya Kael hampir tidak perlu membayar untuk barang itu karena Paul William, si penguasa dunia bawah Kota Elmridge mengetahui siapa Kael sebenarnya. Namun, Kael tetap membayar barang itu.

Beberapa tamu terdiam dengan ekspresi campur aduk. Beberapa tampak kagum, sebagian menunduk malu, dan sebagian lainnya hanya menatap Kael dengan rasa ingin tahu.

Agatha terdiam membisu. Di wajahnya, untuk pertama kalinya malam itu, ada yang tak biasa: keraguan pada dirinya sendiri.

Apakah dia telah salah menilai Kael?

Saat semua orang terdiam canggung akibat kejutan besar dari Kael, pintu utama mansion tiba-tiba terbuka.

Seorang pria berjas hitam masuk dengan langkah ringan tapi percaya diri. Di belakangnya, dua asisten membawa masing-masing satu kotak hadiah berukuran cukup besar, dibungkus dengan pita emas dan merah marun.

Semua orang otomatis menoleh.

Seorang sepupu Evelyne berbisik, terkejut.

"Eh… itu Damian?"

"Damian Armand?" bisik yang lain, bahkan lebih kaget.

"Bukannya dia pindah ke Dravelle empat tahun lalu?"

Nyonya Agatha, yang awalnya tidak mengenali, langsung berdiri begitu pria itu mendekat dan melepas kacamata hitamnya.

"Damian?" serunya. "Astaga… benarkah ini kamu?"

Pria itu tersenyum sopan, membungkuk sedikit sambil mencium punggung tangan sang nenek.

"Selamat ulang tahun, Nyonya Agatha Laurent. Maaf aku datang tanpa kabar lebih dulu. Aku baru tiba di Elmridge pagi ini."

Senyum Agatha langsung mengembang. Aura dingin di wajahnya menguap seketika. Dia bahkan melupakan sepenuhnya Lonceng Jiwa pemberian Kael.

"Kau anak yang manis. Masih ingat ulang tahunku setelah sekian lama di luar negeri?"

"Tentu saja," jawab Damian. Ia melirik sekilas ke arah Evelyne, yang berdiri mematung beberapa meter darinya.

"Aku tidak pernah lupa hari ulang tahun orang yang sangat dihormati… juga orang yang pernah begitu berarti."

Semua orang langsung paham arah kata-kata itu.

Dan semua mata kini otomatis berpaling ke satu sosok: Evelyne.

Damian kemudian membuka hadiah pertamanya: sebuah kotak kayu hitam berlapis kaca, berisi liontin safir berbentuk bunga lily.

"Hadiah pertamaku, perhiasan antik dari Elmand. Hanya dibuat satu di dunia."

Hadiah kedua: vas porselen berusia dua abad dari Yongkokh.

"Keduanya untuk Nyonya Agatha, sebagai rasa hormatku dan kenanganku akan keluarga Laurent."

Hampir semua keluarga besar langsung bersorak dan berdecak kagum.

"Luar biasa!"

"Anak ini memang selalu perhatian!"

"Lihat betapa kontrasnya dia dengan Kael..."

Menyadari bahwa dia sekarang menjadi pusat perhatian, Damian tersenyum puas. Sekarang dia bisa melakukan rencananya, yaitu mempermalukan Kael, suami Evelyne!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 265

    Setelah selesai sarapan, Kael membawa Lily kembali ke Maple Inn."Lily, kau mandi dulu. Setelahnya kita akan pergi membeli pakaian."Mata Lily langsung berbinar. "Pakaian baru?! Benarkah, Paman?!"Kael tersenyum. "Tentu saja. Kau akan mulai sekolah, tidak mungkin masih pakai pakaian yang kotor, robek, dan kebesaran seperti ini, bukan?"Lily mengangguk dengan semangat, lalu berlari masuk ke kamar mandi dengan penuh antusias.Tak lama kemudian, mereka sudah berada di jalan menuju mall terdekat.Lily berjalan di samping Kael dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Membeli pakaian baru? Dia belum pernah melakukan ini sebelumnya!---Mall itu ramai. Orang-orang berlalu-lalang dengan tas belanjaan di tangan, suara musik latar mengalun lembut, dan aroma parfum bercampur dengan kopi dari kafe-kafe kecil.Kael membawa Lily ke toko pakaian anak-anak yang terlihat rapi dan nyaman."Lily, pilih pakaian yang kau suka. Ambil lima, minimal," kata Kael dengan nada lembut.Lily men

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 264

    KANTOR POLISI KOTA SILVERTON - PAGI HARI.Ruangan Kepala Kepolisian.Seorang pria bertubuh besar dengan rambut hitam pendek yang mulai beruban di pelipis, duduk di belakang meja kerjanya—Inspektur Richard Donovan, Kepala Kepolisian Kota Silverton. Usianya sekitar pertengahan lima puluhan, dengan tatapan tajam dan dagu yang tegas.Ia sedang membaca laporan rutin pagi itu ketika pintu ruangannya diketuk dengan keras.TOK! TOK! TOK!"Masuk," katanya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka. Seorang detektif muda dengan wajah pucat masuk dengan tergesa-gesa—napasnya terengah-engah, tangannya memegang setumpuk dokumen dengan erat."Pak! Ada berita penting!"Richard mengangkat kepalanya dengan alis terangkat. Jarang sekali bawahannya terlihat sepanik ini."Apa?"Detektif itu menelan ludah, lalu berkata dengan suara yang sedikit bergetar."Marcus 'The Reaper' Volkov... dia mati, Pak. Di markasnya. Tadi malam."Richard membeku.Keheningan singkat.Lalu—BRAK!!!Ia bangkit dari kursinya dengan c

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 263

    Pria pekerja bertubuh sedang dengan wajah tegas itu berjalan mendekati Kael. Langkahnya gemetar, tapi ia memaksakan diri untuk tetap terlihat sopan.“Ta-tuan… dia sudah mati,” ucapnya pelan.Kael menoleh sekilas ke arah tubuh Diana—kepalanya hancur, darah berceceran di tanah, tubuhnya tidak lagi bernyawa. Kael mengamati sebentar, lalu mengangguk pendek.“Bagus,” katanya tenang. “Sekarang kau boleh pergi.”Wajah pria itu langsung berubah lega. “Te-terima kasih! Terima kasih banyak!”Ia hampir berlari ketika pergi, seolah takut Kael akan berubah pikiran jika ia menunda sedetik pun.Para pekerja lain memandanginya dengan iri—sangat iri.“Andaikan aku yang mengambil tugas itu,” gumam salah satu dengan nada menyesal.“Dia benar-benar pergi… kita masih di sini,” ujar pekerja lainnya lirih, penuh kecemasan.Kael menatap mereka satu per satu, lalu berbicara dengan nada datar namun tegas.“Turunkan kontainernya. Sekarang.”Para pekerja itu langsung mengangguk cepat—tak satu pun berani membanta

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 262

    Kael berdiri dengan tenang di tengah dermaga, menatap keempat kultivator yang masih membeku dengan ketakutan, lalu menatap Diana dan para pekerja yang juga gemetar.Lalu ia bertanya dengan nada dingin."Siapa pemimpinnya?"Hening.Tidak ada yang menjawab.Semua orang diam, walaupun beberapa di antara mereka, terutama para pekerja, memandang Diana sebagai jawaban.Diana di sisi lain, juga diam—tidak mengatakan apa pun.Ia tidak perlu pintar untuk tahu bahwa dia akan bernasib buruk jika mengaku.Karenanya, ia menatap dingin para anggotanya—tatapan yang penuh dengan ancaman, yang memerintahkan mereka untuk menutup mulut!Kael menunggu beberapa detik.Namun tidak ada jawaban.Lalu ia berkata dengan nada tenang, namun di balik ketenangan itu, ada ancaman yang sangat mengerikan."Jika tidak ada yang mengaku, aku akan menganggap kalian semua sebagai pemimpinnya, dan tidak ada satu pun yang selamat!"Lalu—WUUUUUUMMMMM!!!Kael mengeluarkan sedikit energinya—sangat sedikit, hanya sebagian keci

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 261

    PELABUHAN TUA - PUKUL 00:20 DINI HARI.Di sebuah pelabuhan tua yang gelap dan sepi, dengan dermaga kayu yang sudah lapuk dan lampu-lampu redup yang hampir mati, sebuah kapal kargo besar sedang bersandar di tepi dermaga.Para pekerja dengan wajah keras dan tatapan dingin sedang sibuk mengangkat dua kontainer besar dengan derek—kontainer besi yang berbobot lebih dari satu ton, dengan pintu yang tertutup rapat dan dikunci dengan gembok tebal.BANG! BANG! BANG!"TOLONG! KELUARKAN KAMI!""KUMOHON! SELAMATKAN KAMI!""TOLONG! SIAPAPUN?!"Teriakan minta tolong terdengar dari dalam kontainer—teriakan yang penuh dengan kepanikan, dengan ketakutan, dengan keputusasaan.Itu membuat seorang wanita yang berdiri di dekat kontainer—wanita bertubuh kekar seperti binaragawan, dengan otot-otot yang menonjol di lengan dan kakinya, berusia sekitar akhir 30-an—menatap kontainer dengan tatapan kesal.Namanya Diana "The Iron Lady" Cross.Ia adalah bos dari sebuah sindikat perdagangan manusia, sindikat yang s

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 260

    Kael berdiri di tengah ruangan dengan tenang, menatap dua puluh preman yang berlari ke arahnya dengan senjata tajam dan beberapa senjata api.Lalu—Kael mengeluarkan sedikit auranya.WUUUUUUMMMMM!!!Aura perak yang sangat kuat meledak dari tubuhnya—aura yang menciptakan tekanan yang luar biasa besar, yang membuat seluruh gudang bergetar hebat.WHOOOOOOSSSSHHHHH!!!Sebagian besar preman langsung terlempar mundur dengan keras—tubuh mereka melayang di udara seperti daun yang tertiup angin badai.BANG! BANG! BANG! BANG!Beberapa dari mereka menabrak dinding dengan keras, tulang mereka retak, tubuh mereka jatuh dengan lemas.Beberapa menabrak tumpukan besi, kepala mereka berdarah, disertai pusing hebat.Bahkan beberapa menabrak rekan mereka yang lain, menciptakan tumpukan tubuh yang saling bertabrakan.Hanya dalam sekejap—Enam belas preman sudah tergeletak di tanah dengan luka-luka parah.Namun ada sekitar empat orang yang masih berdiri—empat preman dengan senjata api di tangan mereka.Me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status