LOGIN
Langit malam bergemerlap, tapi tak bisa menandingi cahaya dari chandelier kristal yang menggantung megah di langit-langit mansion keluarga Laurent. Malam itu, aula utama rumah warisan yang luas itu dipenuhi tamu berpakaian mahal dan mewah.
Pesta ulang tahun ke-75 Nyonya Agatha Laurent adalah acara keluarga besar dan relasi bisnis yang paling ditunggu-tunggu.
Para kolega, pejabat, dan kalangan sosialita kelas menengah berkumpul dalam tawa, anggur mahal, dan basa-basi.
Lalu pintu masuk terbuka. Kael datang.
Dia mengenakan pakaian sederhana—kemeja hitam tanpa merek terkenal, sepatu kulit biasa, dan celana panjang hitam polos. Di tangannya hanya satu kotak kaca kecil persegi, dibungkus kain merah.
Beberapa kepala menoleh. Bibir mereka mulai bergerak. Tertawa. Berbisik.
"Itu dia… menantu sampah keluarga Laurent."
"Katanya nganggur, kan? Sungguh pengangguran dengan nyali besar datang pakai wajah itu."
"Lihat bajunya… kasihan. Pasti bekas."
Salah satu sepupu Evelyne, gadis bermata sipit dengan rambut ikal pirang terang, berujar keras sambil tersenyum merendahkan, "Hei, Kael! Ini pesta, bukan wawancara jadi satpam mall!"
Tawa langsung pecah di sekitarnya.
Memang selama tiga tahun menjadi menantu keluarga Laurent, Kael tak pernah dianggap. Apalagi, dia memang tidak memiliki pekerjaan, full-time menganggur untuk mengabdi sepenuhnya pada keluarga itu. Namun, orang-orang di keluarga itu langsung memanggilnya sampah, beban, menantu tidak tahu diri.
Bahkan, salah satu bibi di rumah keluarga Laurent yang memiliki alis tebal pun tak segan mengatakan bahwa Kael lebih rendah dari anjing peliharaan mereka.
Namun, Kael masih menahan diri karena permintaan terakhir mendiang kakeknya. Jadi, selama ini dia tak pernah mengambil pusing semua hinaan itu.
Kael hanya melirik dan menjawab ringan, "Oh, kupikir ini pesta cosplay. Jadi aku pilih karakter: 'Orang miskin yang bahagia'. Ternyata kebanyakan di sini pilih 'Orang kaya yang nyebelin' ya?"
Tawa di sekitar langsung terhenti, berubah menjadi ekspresi dingin. Seperti biasa, bajingan ini benar-benar tidak tahu malu.
Sekali lagi, itu semua topeng Kael untuk tetap bertahan di keluarga ini, agar tidak membuatnya semakin gila.
Grace Laurent, ibu mertua Kael, menyela dengan ekspresi penuh penghinaan di matanya.
"Kael... akhirnya datang juga. Kami semua sudah menunggu 'kejutanmu' malam ini. Atau... kehadiranmu itu adalah kejutan itu sendiri?"
Kael menjawab datar, "Apakah kau kecewa, Ibu, aku tidak datang telanjang? Padahal pasti lebih seru."
Grace mengabaikan balasan itu, matanya tertuju ke kotak kaca kecil di tangan Kael.
"Itu hadiahmu? Kami semua membawa hadiah bernilai ratusan ribu. Lalu, apa yang kau bawa itu?"
"Oh, ini sangat berharga," jawab Kael santai. "Dijaga di ruang tertutup. Banyak yang ingin memilikinya, tapi hanya aku yang mendapatkannya."
Grace tertawa. Dia sepenuhnya menganggap Kael melontarkan omong kosong. Baginya, setiap hal yang dilakukan Kael hanyalah lelucon!
Benar-benar aib bagi keluarga!
Ini membuat Grace semakin bertanya-tanya, mengapa ayah mertuanya menikahkan putri kesayangannya dengan sampah ini?
Sungguh, itu adalah keputusan terbodoh!
"Kalau begitu tunjukkan jika itu benar-benar hadiah yang hebat!" balas Grace dengan senyum merendahkan.
Kael kemudian melangkah ke tengah aula, mendekati kursi besar tempat Nyonya Agatha Laurent duduk seperti ratu di singgasananya. Di sekelilingnya ada lebih dari 20 kado, semua mewah; perhiasan, lukisan, parfum langka.
Kael membuka kotaknya dan mengeluarkan sebuah lonceng kecil berwarna perunggu, bersinar tenang di bawah lampu gantung.
Hening. Lalu... ledakan tawa.
"Astaga, itu... lonceng sapi?"
"Serius? Hadiah ulang tahun nenek ke-75 dari menantu adalah lonceng kumuh?"
"Mungkin dia pikir itu cocok untuk nenek: tinggal di rumah, pakai lonceng."
Agatha menatap benda itu dengan ekspresi dingin, sebelum akhirnya berkata, "Apa ini mainan anak-anak? Apakah pesta ini lelucon bagimu?! Aku belum pernah mendapatkan sesuatu sekosong ini sebelumnya!"
Tawa kecil pun kembali terdengar di sudut ruangan.
Bibi, paman, dan sepupu-sepupu istri Kael semua tampak senang bisa melihat Kael kembali mempermalukan dirinya sendiri.
Evelyne Laurent, istri Kael, yang duduk tak jauh, menahan napas. Wajahnya sedikit pucat, bercampur kesal.
"Kael, aku tadi sudah mentransfer lima puluh ribu... tapi kenapa hanya lonceng? Aku menyesal telah memintamu membeli hadiah!" bisiknya, nyaris tak terdengar.
Kael hanya melirik sekilas istrinya yang tampak kesal. Kemudian, dia menatap sang nenek dengan tenang, lalu berkata, "Bukan, Nek. Itu bukan mainan... itu adalah Lonceng Jiwa. Dulu digunakan oleh para biarawan di era transenden untuk menenangkan batin, menyucikan ruangan, dan memperdalam meditasi."
Beberapa orang langsung berhenti tertawa.
Kael melanjutkan dengan nada ringan, namun terselip ketajaman, "Saya lihat nenek sering meditasi dan ikut kelas yoga. Saya pikir, kalau semua orang memberi perhiasan dan barang pameran, itu terlalu biasa. Saya ingin memberi sesuatu yang benar-benar bisa membuat jiwa tenang."
"Tapi kalau nenek lebih suka menyebutnya mainan... ya, mungkin itu karena nenek tidak bisa memahami nilai kedamaian."
Mendengar itu, wajah Agatha memerah karena marah. Beraninya bajingan ini menghinanya sambil berbohong?!
Apa menurutnya dia akan percaya itu benar-benar Lonceng Jiwa?!
Itu pasti sampah yang dia temukan di toko barang bekas!
Agatha bahkan ragu harganya mencapai seratus dolar.
Karenanya, Agatha mengambil lonceng itu, mengangkatnya ke udara, berencana membantingnya ke lantai dengan keras. Ini tidak lebih dari sampah!
Namun, sebelum Agatha melakukannya, dari kerumunan, seorang pria setengah baya dengan dasi kupu-kupu dan kaca mata bundar melangkah maju.
Jasnya abu-abu tua, dan di dadanya tergantung pin kecil berbentuk phénix—simbol asosiasi kolektor antik nasional.
Dia adalah Jason Mrazy, salah satu petinggi di asosiasi kolektor antik nasional.
"Mohon maaf, Nyonya Agatha, boleh saya... memeriksa benda itu sebentar?"
Semua orang menoleh.
Agatha mengerutkan kening, bertanya dengan penasaran, "Mengapa Anda tertarik dengan sampah ini, Tuan Mrazy?"
Jason menjawab, "Sebagai seseorang yang bekerja di industri barang antik, saya telah melihat ratusan barang antik dalam hidup saya, dan bisa memastikan apakah suatu barang itu asli atau palsu. Dan ketika saya melihat lonceng itu, saya merasa itu asli. Karenanya, saya ingin memastikan apakah itu benar atau tidak dengan melihatnya lebih dekat."
Agatha mengangguk mengerti, lalu memberikan lonceng itu kepada Jason.
Jason adalah salah satu tamu penting mereka, jadi dia tidak ingin mengecewakannya dengan menolak.
Tentu saja, Agatha yakin Jason hanya salah lihat, dan lonceng itu tidak lebih dari sampah.
Namun, setelah beberapa saat Jason memperhatikan lonceng itu dengan mata tajam, dia tiba-tiba berkata dengan ekspresi tidak percaya.
"T-Tidak mungkin..." gumamnya. "Ini benar-benar Lonceng Jiwa dari era transenden. Campuran logam suci, hanya dibuat oleh biarawan spiritual kelas tertinggi. Tidak lebih dari empat yang diketahui masih ada di dunia..."
Setelah selesai sarapan, Kael membawa Lily kembali ke Maple Inn."Lily, kau mandi dulu. Setelahnya kita akan pergi membeli pakaian."Mata Lily langsung berbinar. "Pakaian baru?! Benarkah, Paman?!"Kael tersenyum. "Tentu saja. Kau akan mulai sekolah, tidak mungkin masih pakai pakaian yang kotor, robek, dan kebesaran seperti ini, bukan?"Lily mengangguk dengan semangat, lalu berlari masuk ke kamar mandi dengan penuh antusias.Tak lama kemudian, mereka sudah berada di jalan menuju mall terdekat.Lily berjalan di samping Kael dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Membeli pakaian baru? Dia belum pernah melakukan ini sebelumnya!---Mall itu ramai. Orang-orang berlalu-lalang dengan tas belanjaan di tangan, suara musik latar mengalun lembut, dan aroma parfum bercampur dengan kopi dari kafe-kafe kecil.Kael membawa Lily ke toko pakaian anak-anak yang terlihat rapi dan nyaman."Lily, pilih pakaian yang kau suka. Ambil lima, minimal," kata Kael dengan nada lembut.Lily men
KANTOR POLISI KOTA SILVERTON - PAGI HARI.Ruangan Kepala Kepolisian.Seorang pria bertubuh besar dengan rambut hitam pendek yang mulai beruban di pelipis, duduk di belakang meja kerjanya—Inspektur Richard Donovan, Kepala Kepolisian Kota Silverton. Usianya sekitar pertengahan lima puluhan, dengan tatapan tajam dan dagu yang tegas.Ia sedang membaca laporan rutin pagi itu ketika pintu ruangannya diketuk dengan keras.TOK! TOK! TOK!"Masuk," katanya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka. Seorang detektif muda dengan wajah pucat masuk dengan tergesa-gesa—napasnya terengah-engah, tangannya memegang setumpuk dokumen dengan erat."Pak! Ada berita penting!"Richard mengangkat kepalanya dengan alis terangkat. Jarang sekali bawahannya terlihat sepanik ini."Apa?"Detektif itu menelan ludah, lalu berkata dengan suara yang sedikit bergetar."Marcus 'The Reaper' Volkov... dia mati, Pak. Di markasnya. Tadi malam."Richard membeku.Keheningan singkat.Lalu—BRAK!!!Ia bangkit dari kursinya dengan c
Pria pekerja bertubuh sedang dengan wajah tegas itu berjalan mendekati Kael. Langkahnya gemetar, tapi ia memaksakan diri untuk tetap terlihat sopan.“Ta-tuan… dia sudah mati,” ucapnya pelan.Kael menoleh sekilas ke arah tubuh Diana—kepalanya hancur, darah berceceran di tanah, tubuhnya tidak lagi bernyawa. Kael mengamati sebentar, lalu mengangguk pendek.“Bagus,” katanya tenang. “Sekarang kau boleh pergi.”Wajah pria itu langsung berubah lega. “Te-terima kasih! Terima kasih banyak!”Ia hampir berlari ketika pergi, seolah takut Kael akan berubah pikiran jika ia menunda sedetik pun.Para pekerja lain memandanginya dengan iri—sangat iri.“Andaikan aku yang mengambil tugas itu,” gumam salah satu dengan nada menyesal.“Dia benar-benar pergi… kita masih di sini,” ujar pekerja lainnya lirih, penuh kecemasan.Kael menatap mereka satu per satu, lalu berbicara dengan nada datar namun tegas.“Turunkan kontainernya. Sekarang.”Para pekerja itu langsung mengangguk cepat—tak satu pun berani membanta
Kael berdiri dengan tenang di tengah dermaga, menatap keempat kultivator yang masih membeku dengan ketakutan, lalu menatap Diana dan para pekerja yang juga gemetar.Lalu ia bertanya dengan nada dingin."Siapa pemimpinnya?"Hening.Tidak ada yang menjawab.Semua orang diam, walaupun beberapa di antara mereka, terutama para pekerja, memandang Diana sebagai jawaban.Diana di sisi lain, juga diam—tidak mengatakan apa pun.Ia tidak perlu pintar untuk tahu bahwa dia akan bernasib buruk jika mengaku.Karenanya, ia menatap dingin para anggotanya—tatapan yang penuh dengan ancaman, yang memerintahkan mereka untuk menutup mulut!Kael menunggu beberapa detik.Namun tidak ada jawaban.Lalu ia berkata dengan nada tenang, namun di balik ketenangan itu, ada ancaman yang sangat mengerikan."Jika tidak ada yang mengaku, aku akan menganggap kalian semua sebagai pemimpinnya, dan tidak ada satu pun yang selamat!"Lalu—WUUUUUUMMMMM!!!Kael mengeluarkan sedikit energinya—sangat sedikit, hanya sebagian keci
PELABUHAN TUA - PUKUL 00:20 DINI HARI.Di sebuah pelabuhan tua yang gelap dan sepi, dengan dermaga kayu yang sudah lapuk dan lampu-lampu redup yang hampir mati, sebuah kapal kargo besar sedang bersandar di tepi dermaga.Para pekerja dengan wajah keras dan tatapan dingin sedang sibuk mengangkat dua kontainer besar dengan derek—kontainer besi yang berbobot lebih dari satu ton, dengan pintu yang tertutup rapat dan dikunci dengan gembok tebal.BANG! BANG! BANG!"TOLONG! KELUARKAN KAMI!""KUMOHON! SELAMATKAN KAMI!""TOLONG! SIAPAPUN?!"Teriakan minta tolong terdengar dari dalam kontainer—teriakan yang penuh dengan kepanikan, dengan ketakutan, dengan keputusasaan.Itu membuat seorang wanita yang berdiri di dekat kontainer—wanita bertubuh kekar seperti binaragawan, dengan otot-otot yang menonjol di lengan dan kakinya, berusia sekitar akhir 30-an—menatap kontainer dengan tatapan kesal.Namanya Diana "The Iron Lady" Cross.Ia adalah bos dari sebuah sindikat perdagangan manusia, sindikat yang s
Kael berdiri di tengah ruangan dengan tenang, menatap dua puluh preman yang berlari ke arahnya dengan senjata tajam dan beberapa senjata api.Lalu—Kael mengeluarkan sedikit auranya.WUUUUUUMMMMM!!!Aura perak yang sangat kuat meledak dari tubuhnya—aura yang menciptakan tekanan yang luar biasa besar, yang membuat seluruh gudang bergetar hebat.WHOOOOOOSSSSHHHHH!!!Sebagian besar preman langsung terlempar mundur dengan keras—tubuh mereka melayang di udara seperti daun yang tertiup angin badai.BANG! BANG! BANG! BANG!Beberapa dari mereka menabrak dinding dengan keras, tulang mereka retak, tubuh mereka jatuh dengan lemas.Beberapa menabrak tumpukan besi, kepala mereka berdarah, disertai pusing hebat.Bahkan beberapa menabrak rekan mereka yang lain, menciptakan tumpukan tubuh yang saling bertabrakan.Hanya dalam sekejap—Enam belas preman sudah tergeletak di tanah dengan luka-luka parah.Namun ada sekitar empat orang yang masih berdiri—empat preman dengan senjata api di tangan mereka.Me







