Mendengar itu, Kael tertawa pelan, bukan mengejek, tapi penuh rasa geli yang tak bisa ditahan.
Apakah dia sungguh terlihat seperti pria yang baik? Sejujurnya, jika bukan karena permintaan kakeknya, dia tidak akan menikah. Dia lebih suka menghabiskan waktunya dengan berlatih atau meramu ramuan obat daripada mendengarkan ocehan wanita. Namun, setelah menikah dengan Evelyne, Kael menyadari bahwa ini tidak terlalu buruk. Seiring berjalannya waktu, dia mulai mencintai Evelyne, dan hanya ingin bersamanya. Karenanya, Kael menatap Gerard dengan santai sebelum akhirnya membalas, “Maaf, Pak tua, saya sudah punya istri. Dan meskipun keluarganya memperlakukan saya seperti sampah... saya bukan tipe pria yang melirik ke rumah sebelah hanya karena ditawari atap yang lebih bagus.” Saat Kael mengatakan itu, dia melirik sedikit ke arah Evelyne, memberikan senyum tipis, yang seolah mengatakan, 'hanya kau yang kuinginkan'. Evelyne yang melihat itu, wajahnya seketika memerah. Entah karena malu, tersentuh, atau bingung dengan perasaan sendiri yang tak bisa dijelaskan. Baru saja pria yang selama ini ia abaikan, yang ia anggap beban... menolak kesempatan besar demi mempertahankan pernikahan mereka—pernikahan yang bahkan ia sendiri ragukan bertahan lebih lama. Mendengar jawaban Kael, Gerard jelas kecewa, tapi dia tidak menunjukkannya di permukaan. Dia berkata sembari memaksakan senyum di wajahnya, "Baiklah jika kau memilih bertahan di tempat yang menganggapmu sampah, Anak muda. Namun, jika kau berubah pikiran, kami akan selalu menyambut kedatanganmu." Gerard kemudian menyodorkan kartu nama hitamnya kepada Kael, melanjutkan, "Ini tolong terima kartu namaku. Ketika kau membutuhkan bantuan, aku dengan senang hati membantumu, tidak peduli sesulit apa pun itu. Hubungi saja aku. Jangan ragu." Namun, Kael menolak sekali lagi. "Aku tidak butuh ini, Pak tua. Jika kau benar-benar ingin membalas kebaikanku, lakukan saja kepada keluarga Laurent. Mereka lebih membutuhkannya daripada aku." "Ah, baiklah jika itu yang kau inginkan," balas Gerard dengan ekspresi canggung, sembari menyimpan kembali kartu namanya di saku jasnya. Sejujurnya, dia tidak ingin melanjutkan kerjasama bisnis ini. Dia lebih tertarik pada Kael. Namun, karena Kael memilih untuk bertahan di keluarga Laurent, dia mau tidak mau melanjutkan kerjasama ini. Setidaknya, dia tidak kehilangan keberadaan Kael. Sementara itu, Damian mengepalkan kedua tangannya dengan keras, rahangnya mengatup. Ia datang hari ini dengan satu tujuan—menjatuhkan Kael di depan semua orang, mempermalukannya hingga Evelyne tak sudi menatap pria itu lagi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Semua mata kini tertuju pada Kael... bukan dengan hinaan, melainkan dengan kekaguman. Bagaimana bisa pria itu—yang bahkan tidak tahu cara berpakaian layak untuk acara formal—berbalik menjadi pusat perhatian? Mengapa Gerard Whitmore, tokoh yang paling sulit dipengaruhi, justru ingin menjadikannya bagian dari keluarganya? Ini tidak masuk akal. Semua rencananya terasa runtuh... hanya karena satu detak jantung yang diselamatkan. Secara alami, kebenciannya terhadap Kael semakin besar dan besar. Sekarang, kebenciannya tidak hanya datang karena Kael menikahi Evelyne, tapi juga karena Kael merebut semuanya yang seharusnya menjadi miliknya! Dia bersumpah, dia akan menghancurkan hidup Kael dengan tangannya sendiri! Dia akan pastikan Kael hancur berkeping-keping, tidak menyisakan apa pun selain penyesalan karena telah dilahirkan di dunia! Setelahnya, diskusi dilanjutkan, tapi tidak dengan suasana cair seperti sebelumnya. Ini hanya sekedar formalitas. Tidak ada lagi senyuman, saling menyanjung, sampai akhirnya acara makan siang berakhir. --- Pada titik ini, para investor telah kembali, menyisakan anggota keluarga Laurent, Damian, dan Kael dalam suasana yang hening. Nyonya Agatha akhirnya angkat suara, suaranya tajam dan sarat dengan rasa tak percaya. "Baiklah, kita semua lihat sendiri apa yang terjadi tadi. Tapi ada satu hal yang perlu dijelaskan." Ia menatap Kael tajam, alisnya terangkat. “Dari mana kau bisa melakukan hal seperti itu? Apa kau seorang dokter? Atau… kau belajar dari mana?" Mariana ikut mengangkat alis, tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, “Mengapa kau menyembunyikan ini dari kami?! Jika kau adalah dokter, mengapa kau tidak pernah memberitahu kami?" Damian, yang masih terbakar oleh penghinaan tak langsung dari Gerard, menahan ejekannya tapi tidak bisa menahan sorot sinis di matanya. Dia jelas menunggu jawaban dari Kael, penasaran dengan apa yang terjadi. Kael menghela napas pelan, lalu menjawab santai, “Kakekku mengajariku. Dulu dia seorang tabib. Dia menggunakan teknik pengobatan kuno, perpaduan titik akupresur dan energi tubuh.” Hening selama beberapa saat. Lalu detik berikutnya, tawa meledak dari Mariana. "Oh astaga, tabib? Teknik kuno? Ini tahun berapa, Kael? Apa kita sekarang berada di era dinasti?" Nyonya Agatha mencibir. “Jadi kau menyelamatkan nyawa investor miliaran dolar... dengan ilmu sihir dari kakekmu? Apa selanjutnya? Kau akan terbang dengan karpet ajaib?” Damian yang tadi murung, sekarang bisa tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Dia berkata, “Sungguh luar biasa. Bahkan ketika melakukan sesuatu yang hebat, kau tetap membuatnya terlihat... murahan.” Jawaban Kael membuat mereka merasa lega. Mereka pikir Kael dulunya adalah dokter yang hebat atau semacamnya, tapi ternyata hanya seseorang yang pernah belajar teknik pengobatan kuno dari kakeknya. Dengan ini jelas, Kael hanya beruntung! Dia menekan beberapa titik acak di tubuh Gerard, lalu secara kebetulan, itu menyembuhkannya. Mereka yang awalnya mengira Kael menyimpan sesuatu yang luar biasa, ternyata hanya trik murahan kuno. Di sisi lain, Kael hanya tersenyum kecil, tidak terpancing. “Ilmu kuno mungkin terlihat murahan di mata kalian,” katanya tenang. “Tapi nyawa pria tua itu bukan diselamatkan oleh cemoohan, atau gelar medis dari universitas ternama... tapi oleh sesuatu yang kalian anggap ‘rendahan’.” Mendengar itu, senyum mereka langsung hilang. Tak ada yang langsung menjawab, karena mereka tahu Kael benar. Namun, tidak satu pun dari mereka yang rela mengakuinya. Pada akhirnya, Hector yang berbicara, "Jangan sombong hanya karena memiliki sedikit keberuntungan, Kael. Bagi kami kau masih menantu yang tidak berguna! Status itu sama sekali tidak berubah!" Salah satu sepupu Evelyne menambahkan, "Sejujurnya, kau membuat keputusan yang tepat dengan menolak tawaran Tuan Gerard, Kael. Jika kau menikah dengan salah satu cucunya, itu hanya akan menghancurkan hidup wanita itu. Kau hanya akan menjadi beban baginya. Cukup Evelyne yang menjadi korban, jangan sampai wanita lain mengalaminya." "Kau benar. Dimanapun dia berada, dia tetap jadi beban." Sepupu lain tertawa, seolah mereka lupa siapa yang baru saja menyelamatkan miliaran dolar mereka. Evelyne yang berada di antara mereka, diam dengan ekspresi pahit. Tawa keluarganya bergema di ruangan, tapi entah kenapa, baginya semua itu terasa... hampa. Tidak lucu. Tidak menyenangkan. Matanya tertuju pada Kael, pria yang duduk di sudut meja tanpa membela diri, tanpa marah, tanpa mengangkat suara—hanya dengan senyum kecil dan tatapan yang nyaris kasihan kepada mereka semua. Bukan karena dia merasa lebih baik... tapi karena dia tahu, mereka tidak akan pernah benar-benar mengerti. Seseorang menyelamatkan masa depan keluargamu... lalu kau tertawa di wajahnya? pikir Evelyne getir. Dia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan. Ada rasa malu. Marah. Dan... sakit. Tapi bukan karena orang lain—melainkan karena dirinya sendiri. Selama ini, ia ikut menjadi bagian dari itu semua. Ia ikut mencibir Kael. Kadang ia ikut tertawa. Ia ikut memalingkan wajah saat Kael terluka diam-diam. Dan kini, ketika semua orang mencaci pria itu karena menyelamatkan nyawa seseorang dengan cara yang tidak bisa mereka mengerti… justru Kael yang tetap tenang. Tak sekalipun dia membalas. Tak sekalipun dia meminta balas jasa. Bahkan, dia menolak tawaran Tuan Gerard... demi dirinya. Dan sekarang, dia yang hanya bisa duduk diam. Hatinya seperti dicengkeram. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Evelyne ingin berkata sesuatu untuk membela Kael. Untuk berdiri di sisinya. Tapi... lidahnya kelu. Sebab hatinya sendiri belum selesai dihukum oleh rasa bersalah.Pada titik ini, Kael menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Jika Evelyne melihat kamarnya berantakan seperti ini, dia akan marah. Aku membutuhkan bantuan Vale lagi untuk ini."Ia mengambil ponsel yang ada di dekat kasurnya dan langsung menelepon Grand Elder Vale.Nada tunggu hanya berbunyi sekali sebelum suara dalam dan sopan terdengar dari seberang.“Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia Penguasa Sekte Naga Langit?"“Vale... aku butuh bantuanmu lagi,” ujar Kael pelan, matanya memandangi noda darah yang mengalir di lantai, hampir mengenai kakinya. “Aku butuh pembersihan. Sekarang juga di mansion keluarga Laurent.”Terdengar keheningan sesaat dari seberang, lalu pertanyaan cepat, “Tingkat prioritas?”“Prioritas emas. Jendela sisi timur lantai tiga mansion keluarga Laurent—bingkai persegi kayu jati. Sementara kacanya... hmm... kukirim saja fotonya agar lebih detail. Warna tembok: abu keperakan, sedikit mengilap, tinggi empat meter. Ada retakan lebar akibat benturan tubuh, sekitar satu
Pale Raven tidak menjawab. Tapi matanya mengerut sedikit. Ada tekanan yang aneh, seolah dia yang sedang dinilai.Kael berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya kini sepenuhnya serius. Tidak ada kesan ‘menantu tidak berguna’ di matanya. Yang berdiri di hadapan Raven sekarang adalah sesuatu yang jauh berbeda dari yang dikatakan Hector."Semua orang ingin aku mati, tapi hanya sedikit yang cukup bodoh untuk mencobanya langsung. Dan perlu kau ketahui, tidak ada satu pun dari mereka yang selamat," kata Kael dengan nada mengejek.Detik berikutnya, suhu kamar seolah menurun. Bukan karena sihir, tapi karena kehadiran, dominasi, dan aura dari seseorang yang dianggap sampah dan beban.Ini membuat Pale Raven menyadari satu hal. Kael akan menjadi lawan terberat yang pernah dia hadapi selama karirnya.Pada titik ini, dia diam. Dalam pikirannya, kalkulasi baru mulai terbentuk. Metode awal—meniru surat bunuh diri, terlebih memaksanya untuk menulis suratnya sendiri—semuanya mustahil dilakukan.Pria ini... buk
Napas Bella tersenggal, tubuhnya masih bergetar dalam selimut tipis yang menyelimuti sebagian tubuhnya. Lampu temaram di langit-langit menggantung seperti bintang-bintang palsu, dan udara malam yang masuk dari celah jendela terbuka membawa dingin samar yang justru membuat peluh di kulit terasa lebih nyata.Ia berbaring di sisi ranjang, rambutnya terurai di atas bantal satin berwarna abu-abu gelap. Vincent duduk di sisi ranjang, membelakanginya, menyisakan punggung tegap dan garis bahu yang seolah tak pernah menunduk untuk siapa pun. Ia belum berbicara sejak tadi. Hanya diam, menatap ke kaca besar yang menghadap ke kota dengan ekspresi tak terbaca.Bella, dengan mata setengah terpejam dan senyum kecil yang masih tergantung di bibir, meraih lengannya dan bersandar pelan ke punggung pria itu.“Aku… merasa baru saja dilahirkan kembali,” bisiknya.Tak ada jawaban.Ia tertawa kecil, lembut, seperti seseorang yang baru saja menang dalam pertarungan panjang. “Terima kasih… karena telah memili
Langit malam menggantung tenang di atas kota, diselingi kerlip lampu-lampu gedung pencakar langit. Di antara semua bangunan megah itu, hanya satu yang menjulang paling angkuh: Albrecht Tower. Dinding kacanya memantulkan cahaya malam dengan kemewahan yang menyilaukan, seperti istana kaca dari masa depan.Sebuah mobil coupe mewah berhenti di pintu masuk utama. Dari dalamnya, Bella Laurent melangkah turun dengan anggun. Gaun beludru hitam yang membalut tubuhnya menonjolkan lekuk tanpa berlebihan, sementara anting berlian kecil di telinganya memantulkan kilau halus setiap kali ia bergerak.Petugas lobi membungkuk tanpa banyak bicara, dan dalam hitungan detik, Bella sudah dibawa naik dengan lift pribadi—menuju lantai 51.Pintu lift terbuka dengan suara mendesing halus. Di depannya, terbentang koridor sunyi berlapis karpet kelabu, diterangi cahaya lampu gantung minimalis. Di ujung lorong, berdiri dua pria berjas hitam dengan earpiece—tak menyapa, hanya memeriksa wajahnya, lalu membuka pintu
Jam menunjukkan pukul satu siang ketika cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis kamar Bella Laurent. Ia sedang duduk santai di sofa beludru di samping jendela, mengenakan gaun santai berwarna krem muda, sambil memutar-mutar gelas infused water yang belum disentuh.Di pangkuannya, tablet menyala menampilkan katalog tas terbaru dari rumah mode luar negeri, tapi pikirannya melayang. Kemarin malam—makan malam di mana tatapan Vincent Albrecht sempat bersinggungan dengan matanya, hanya sekejap... tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak kencang."Aku yakin dia melihatku," bisiknya pelan.Dan seolah menjawab pikirannya sendiri, ponsel di meja kecil tiba-tiba berbunyi. Notifikasi dari aplikasi eksklusif bernama LionLine, platform komunikasi terenkripsi milik kalangan ultra-elit.Bella mematung. Jarang sekali ada notifikasi dari aplikasi itu. Saat ia meraih ponsel dan membuka pesannya, matanya langsung membelalak.Pengirim: Vincent AlbrechtWaktu: 13.02Pesan itu pendek, tapi cuku
Setelah pintu tertutup dan langkah kaki mereka menghilang di lorong, keheningan perlahan mengisi kamar itu. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah ikut menahan napas.Kael berdiri diam di samping Evelyne, matanya masih menatap pintu, seakan memastikan tidak ada yang kembali. Setelah beberapa detik, ia berbalik, memandang perempuan itu dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya.“Terima kasih,” ucapnya pelan. "Aku terharu kau berada di pihakku kali ini."Evelyne menatap Kael. Sorot matanya tajam namun tak sepenuhnya keras.“Aku melakukan ini karena wasiat Kakekku,” katanya dengan suara datar. “Tidak lebih.”Kael tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya menatapnya dalam diam.“Aku menghormati Kakek lebih dari siapa pun di dunia ini,” lanjut Evelyne. “Dan karena itulah aku berdiri di sampingmu tadi. Jadi jangan salah paham, Kael.”Ia mengambil satu langkah menjauh darinya. “Namun aku penasaran… kenapa kau menantang Vincent?”Kael tetap diam, menunggu Evelyne menyelesaikan pe