Share

Bab 2. Hampir Saja

Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut.

"Darimana kau tahu?" 

Aku menatapnya, kemudian meletakkan buku katalog tebal di sebelah komputer. Otakku berputar mencari alasan yang masuk logika. Lucu, kalau baru satu hari penyamaranku sudah terbongkar.

"Sa-saya pernah dengar dari majikan sebelumnya, Den Ajeng. Dia mempunyai barang yang dijual ke luar negeri. Karena saya yang membersihkan kantor, jadi saya sering dengar gituan."

Den Ajeng mengangguk-angguk, sambil berguman, "Aku pikir kamu tahu beneran. Ya tidak mungkinlah. Mosok orang seperti kamu ngerti multi-multian!"

"Yo, wes! Aku tinggal dulu. Ingat! Yang bersih dan rapi!" teriaknya dengan tangan menjulur ke atas rak folder. Kemudian dia memperhatikan jemarinya, terakhir tersenyum, mungkin itu tanda puas.

Lega rasanya.

Aku lolos.

***

Rumah ini lumayan besar. Kelihatan sekali mereka dulu orang berada. 

Bangunan dengan ornamen ukiran kayu dimana-mana. Bagus, namun aku tidak terlalu suka, karena pencahayaan yang kurang, terasa suram. Banyak jendela dan pintu yang jarang dibuka, terlihat dari engsel yang berkarat. Aku merasa ada kemuraman di sini.

Selain aku, ada dua pekerja di sini, Pak Salim sopir merangkap tukang kebun, dan Bulek Ningsih yang membantu Den Ajeng memasak.

Kata mereka, keadaan di rumah seperti ini terjadi semenjak suami Den Ajeng meninggal. Celakanya, dia kecelakaan bersama anak sulungnya yang selama ini membantu di perusahaan. Dikarenakan itulah, Den Langit yang tidak dipersiapkan memegang perusahaan, terpaksa harus turun tangan. 

Mereka juga bercerita, bagian kebersihan yang menjadi bagianku ini, sudah tak terhitung berapa kali keluar masuk. Den Ajeng pencinta kebersihan dan Den Langit yang pemarah, penyebabnya.

Jadi penasaran dengan yang namanya, Langit Baskoro. Modelnya seperti apa dia?

Sebenarnya, cerita ini sudah diperingatkan Laila. Ternyata benar, hanya perlu pembuktian. Aku ingin cepat merasakan menjadi pembantu yang teraniaya.

"Siapa yang masuk ruang kerjaku?!" 

Suara keras mengagetkan kami, Bulek Ningsih memberi isyarat untuk diam dan berbisik, "Ssst .... Itu, Den Langit."

Langkah kaki terdengar mendekati dapur, kemudian terlihat sosok tinggi menjulang, kurus, dan berkulit bersih. 

"I-iya, Den?" Bulek Ningsih langsung menghampiri laki-laki itu, dengan badan membungkuk.

Rambut ikal panjang sebahu dan berewokan, diperparah mata melebar dan dengusan kesal, dia terlihat marah. Seharusnya, seseorang di posisiku merasa takut, tetapi aku tidak bisa merasakan hal itu. 

Ini, satu alasan kenapa harus menjalani riset seperti ini. Aku tidak bisa merasakan rasa yang seharusnya.  Bagiku, dia tidak menakutkan seperti dikatakan mereka.

"Hei! Ini pasti kamu, kan? Yang mengobrak-abrik meja kerja saya? Kamu orang baru! Siapa nama kamu?!" tanyanya dengan menunjuk ke arahku. 

Tindakan yang tidak sopan. Kepada siapapun, seharusnya tidak bersikap sedemikian, walaupun kepada pembantu. Bukannya takut, aku malah terikut kesal. 

"Saya Astuti, baru mulai kerja hari ini. Tadi saya disuruh Den Ajeng untuk menata ruang kerja. Kalau, Den Langit ada yang dicari, saya bisa membantu," ucapku sambil meredam rasa kesal ini. 

Aku menatap wajah yang hampir ditutupi oleh bulu-bulu halus itu. Membayangkan, bagaimana wajah aslinya kalau dicukur bersih. Pasti tidak seseram seperti sekarang. 

"Sini! Kamu carikan invoice yang baru saya tulis hari kemarin! Kamu ini mindah-mindah tanpa ijin! Membuat saya susah saja!" 

Dia berbalik dan aku segera mengikutinya setelah Bulek Ningsih mencolek dan mendorongku.

"Ada dua nota di tanggal kemarin. Ini dan ini." ucapku menyodorkan dua lembar kertas yang dimaksud. 

Tadi saat merapikan tempat ini,

aku tahu, kemungkinan kejadian seperti sekarang pasti terjadi. Karena itulah, aku mengingat dimana saja aku letakkan berkas. Semua aku susun rapi, untuk mempermudah mencari sesuatu.

Laki-laki ini hanya diam menatap dan mengernyitkan dahi, membiarkan tanganku terkatung di udara. Aku juga berbalik menatapnya, berpikir kenapa dia bersikap seperti itu. Apakah aku salah lagi?

"Dari tadi saya tidak pernah ngomong nota. Saya bilang invoice. Darimana kamu tahu, saya mencari nota?" tanyanya setelah beberapa saat tadi terdiam.

Aku menunduk menatap nota di tanganku, mencerna ucapannya. 

Duh!

Aku melakukannya lagi. Kata invoice jarang-jarang digunakan sehari-hari. Harusnya, seperti aku sekarang ini, tidak mengerti apa yang dia katakan. Pemilihan kata, ternyata juga menentukan siapa orang itu.

Bisa jadi aku diusut lagi. Aku harus cari alasan supaya penyamaran tetap aman.

"Eh, maaf, Den. Saya tadi merapikan sambil membaca ada tulisan ini," ucapku sambil menunjukkan tulisan di bagian atas. "Saya pikir, ini seperti nota dari toko. Ada barang dan harga. Makanya saya mikirnya ini. Saya salah, ya, Den?" 

Aku menunduk, bukan karena takut, namun menghindari tatapan yang menyelidik. Aku harus mencari cara untuk kemungkinan yang terjadi berikutnya.

Huuft ...!

Menyamar ternyata susah. Pantas saja, artis dibayar mahal, padahal hanya untuk berpura-pura, namun menyakinkan. Kabarnya, semakin meyakinkan penonton, semakin mahal. Begitu juga tulisan, semakin meyakinkan pembaca dan membuatnya larut, semakin berkualitas. Aku ingin seperti itu.

Aku tetap berdiri dengan sedikit membungkukan badan, meniru sikap Bulik Ningsih saat bicara dengan Den Ajeng. Sesekali mataku melirik dia, yang masih berputar mengelilingi ruangan. Tangannya meneliti setiap folder file yang aku rapikan tadi. Memeriksa semua map yang aku susun di meja. 

Apakah, tindakanku ini salah lagi? Menata sebegitu rapi dan terorganisir. Seharusnya, aku menata dengn asal, walaupun harus menahan gatal di tangan. Sesuatu yang berantakan, membuatku tersiksa.

"Buatkan saya teh manis!" perintahnya setelah duduk di belakang meja kerja. Aku menatapnya dan menunduk lagi, sikap yang seharusnya.

"Baik, Den. Saya suruh Lek Ningsih," ucapku, kemudian mundur beberapa langkah, kemudian baru berbalik.

"Eh, kamu!" 

Teriakkannya menghentikan langkahku, kemudian pelan, kubalikkan badan. 

"Kamu saja yang membawa ke sini. Bantu saya mencari data lainnya!" perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas ditangannya. 

Duh!

Aktingku harus berlanjut lagi, padahal aku sudah merasa kewalahan menjadi orang lain. Di depannya, sepertinya harus lebih hati-hati. Dia bukan orang yang bisa dikibuli dengan mudah.

Huuft ....

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status