Share

Bab 2. Hampir Saja

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-17 22:54:25

Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut.

"Darimana kau tahu?" 

Aku menatapnya, kemudian meletakkan buku katalog tebal di sebelah komputer. Otakku berputar mencari alasan yang masuk logika. Lucu, kalau baru satu hari penyamaranku sudah terbongkar.

"Sa-saya pernah dengar dari majikan sebelumnya, Den Ajeng. Dia mempunyai barang yang dijual ke luar negeri. Karena saya yang membersihkan kantor, jadi saya sering dengar gituan."

Den Ajeng mengangguk-angguk, sambil berguman, "Aku pikir kamu tahu beneran. Ya tidak mungkinlah. Mosok orang seperti kamu ngerti multi-multian!"

"Yo, wes! Aku tinggal dulu. Ingat! Yang bersih dan rapi!" teriaknya dengan tangan menjulur ke atas rak folder. Kemudian dia memperhatikan jemarinya, terakhir tersenyum, mungkin itu tanda puas.

Lega rasanya.

Aku lolos.

***

Rumah ini lumayan besar. Kelihatan sekali mereka dulu orang berada. 

Bangunan dengan ornamen ukiran kayu dimana-mana. Bagus, namun aku tidak terlalu suka, karena pencahayaan yang kurang, terasa suram. Banyak jendela dan pintu yang jarang dibuka, terlihat dari engsel yang berkarat. Aku merasa ada kemuraman di sini.

Selain aku, ada dua pekerja di sini, Pak Salim sopir merangkap tukang kebun, dan Bulek Ningsih yang membantu Den Ajeng memasak.

Kata mereka, keadaan di rumah seperti ini terjadi semenjak suami Den Ajeng meninggal. Celakanya, dia kecelakaan bersama anak sulungnya yang selama ini membantu di perusahaan. Dikarenakan itulah, Den Langit yang tidak dipersiapkan memegang perusahaan, terpaksa harus turun tangan. 

Mereka juga bercerita, bagian kebersihan yang menjadi bagianku ini, sudah tak terhitung berapa kali keluar masuk. Den Ajeng pencinta kebersihan dan Den Langit yang pemarah, penyebabnya.

Jadi penasaran dengan yang namanya, Langit Baskoro. Modelnya seperti apa dia?

Sebenarnya, cerita ini sudah diperingatkan Laila. Ternyata benar, hanya perlu pembuktian. Aku ingin cepat merasakan menjadi pembantu yang teraniaya.

"Siapa yang masuk ruang kerjaku?!" 

Suara keras mengagetkan kami, Bulek Ningsih memberi isyarat untuk diam dan berbisik, "Ssst .... Itu, Den Langit."

Langkah kaki terdengar mendekati dapur, kemudian terlihat sosok tinggi menjulang, kurus, dan berkulit bersih. 

"I-iya, Den?" Bulek Ningsih langsung menghampiri laki-laki itu, dengan badan membungkuk.

Rambut ikal panjang sebahu dan berewokan, diperparah mata melebar dan dengusan kesal, dia terlihat marah. Seharusnya, seseorang di posisiku merasa takut, tetapi aku tidak bisa merasakan hal itu. 

Ini, satu alasan kenapa harus menjalani riset seperti ini. Aku tidak bisa merasakan rasa yang seharusnya.  Bagiku, dia tidak menakutkan seperti dikatakan mereka.

"Hei! Ini pasti kamu, kan? Yang mengobrak-abrik meja kerja saya? Kamu orang baru! Siapa nama kamu?!" tanyanya dengan menunjuk ke arahku. 

Tindakan yang tidak sopan. Kepada siapapun, seharusnya tidak bersikap sedemikian, walaupun kepada pembantu. Bukannya takut, aku malah terikut kesal. 

"Saya Astuti, baru mulai kerja hari ini. Tadi saya disuruh Den Ajeng untuk menata ruang kerja. Kalau, Den Langit ada yang dicari, saya bisa membantu," ucapku sambil meredam rasa kesal ini. 

Aku menatap wajah yang hampir ditutupi oleh bulu-bulu halus itu. Membayangkan, bagaimana wajah aslinya kalau dicukur bersih. Pasti tidak seseram seperti sekarang. 

"Sini! Kamu carikan invoice yang baru saya tulis hari kemarin! Kamu ini mindah-mindah tanpa ijin! Membuat saya susah saja!" 

Dia berbalik dan aku segera mengikutinya setelah Bulek Ningsih mencolek dan mendorongku.

"Ada dua nota di tanggal kemarin. Ini dan ini." ucapku menyodorkan dua lembar kertas yang dimaksud. 

Tadi saat merapikan tempat ini,

aku tahu, kemungkinan kejadian seperti sekarang pasti terjadi. Karena itulah, aku mengingat dimana saja aku letakkan berkas. Semua aku susun rapi, untuk mempermudah mencari sesuatu.

Laki-laki ini hanya diam menatap dan mengernyitkan dahi, membiarkan tanganku terkatung di udara. Aku juga berbalik menatapnya, berpikir kenapa dia bersikap seperti itu. Apakah aku salah lagi?

"Dari tadi saya tidak pernah ngomong nota. Saya bilang invoice. Darimana kamu tahu, saya mencari nota?" tanyanya setelah beberapa saat tadi terdiam.

Aku menunduk menatap nota di tanganku, mencerna ucapannya. 

Duh!

Aku melakukannya lagi. Kata invoice jarang-jarang digunakan sehari-hari. Harusnya, seperti aku sekarang ini, tidak mengerti apa yang dia katakan. Pemilihan kata, ternyata juga menentukan siapa orang itu.

Bisa jadi aku diusut lagi. Aku harus cari alasan supaya penyamaran tetap aman.

"Eh, maaf, Den. Saya tadi merapikan sambil membaca ada tulisan ini," ucapku sambil menunjukkan tulisan di bagian atas. "Saya pikir, ini seperti nota dari toko. Ada barang dan harga. Makanya saya mikirnya ini. Saya salah, ya, Den?" 

Aku menunduk, bukan karena takut, namun menghindari tatapan yang menyelidik. Aku harus mencari cara untuk kemungkinan yang terjadi berikutnya.

Huuft ...!

Menyamar ternyata susah. Pantas saja, artis dibayar mahal, padahal hanya untuk berpura-pura, namun menyakinkan. Kabarnya, semakin meyakinkan penonton, semakin mahal. Begitu juga tulisan, semakin meyakinkan pembaca dan membuatnya larut, semakin berkualitas. Aku ingin seperti itu.

Aku tetap berdiri dengan sedikit membungkukan badan, meniru sikap Bulik Ningsih saat bicara dengan Den Ajeng. Sesekali mataku melirik dia, yang masih berputar mengelilingi ruangan. Tangannya meneliti setiap folder file yang aku rapikan tadi. Memeriksa semua map yang aku susun di meja. 

Apakah, tindakanku ini salah lagi? Menata sebegitu rapi dan terorganisir. Seharusnya, aku menata dengn asal, walaupun harus menahan gatal di tangan. Sesuatu yang berantakan, membuatku tersiksa.

"Buatkan saya teh manis!" perintahnya setelah duduk di belakang meja kerja. Aku menatapnya dan menunduk lagi, sikap yang seharusnya.

"Baik, Den. Saya suruh Lek Ningsih," ucapku, kemudian mundur beberapa langkah, kemudian baru berbalik.

"Eh, kamu!" 

Teriakkannya menghentikan langkahku, kemudian pelan, kubalikkan badan. 

"Kamu saja yang membawa ke sini. Bantu saya mencari data lainnya!" perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas ditangannya. 

Duh!

Aktingku harus berlanjut lagi, padahal aku sudah merasa kewalahan menjadi orang lain. Di depannya, sepertinya harus lebih hati-hati. Dia bukan orang yang bisa dikibuli dengan mudah.

Huuft ....

*******

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 54.  Selamanya

    Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 53. Kehilangan

    Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 52.  Mahardika yang Keterlaluan

    Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 51. Aku Serahkan

    Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 50. Istri

    POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 49.  Papa dan Paman

    POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status