Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut.
"Darimana kau tahu?"
Aku menatapnya, kemudian meletakkan buku katalog tebal di sebelah komputer. Otakku berputar mencari alasan yang masuk logika. Lucu, kalau baru satu hari penyamaranku sudah terbongkar.
"Sa-saya pernah dengar dari majikan sebelumnya, Den Ajeng. Dia mempunyai barang yang dijual ke luar negeri. Karena saya yang membersihkan kantor, jadi saya sering dengar gituan."
Den Ajeng mengangguk-angguk, sambil berguman, "Aku pikir kamu tahu beneran. Ya tidak mungkinlah. Mosok orang seperti kamu ngerti multi-multian!"
"Yo, wes! Aku tinggal dulu. Ingat! Yang bersih dan rapi!" teriaknya dengan tangan menjulur ke atas rak folder. Kemudian dia memperhatikan jemarinya, terakhir tersenyum, mungkin itu tanda puas.
Lega rasanya.
Aku lolos.
***
Rumah ini lumayan besar. Kelihatan sekali mereka dulu orang berada.
Bangunan dengan ornamen ukiran kayu dimana-mana. Bagus, namun aku tidak terlalu suka, karena pencahayaan yang kurang, terasa suram. Banyak jendela dan pintu yang jarang dibuka, terlihat dari engsel yang berkarat. Aku merasa ada kemuraman di sini.
Selain aku, ada dua pekerja di sini, Pak Salim sopir merangkap tukang kebun, dan Bulek Ningsih yang membantu Den Ajeng memasak.
Kata mereka, keadaan di rumah seperti ini terjadi semenjak suami Den Ajeng meninggal. Celakanya, dia kecelakaan bersama anak sulungnya yang selama ini membantu di perusahaan. Dikarenakan itulah, Den Langit yang tidak dipersiapkan memegang perusahaan, terpaksa harus turun tangan.
Mereka juga bercerita, bagian kebersihan yang menjadi bagianku ini, sudah tak terhitung berapa kali keluar masuk. Den Ajeng pencinta kebersihan dan Den Langit yang pemarah, penyebabnya.
Jadi penasaran dengan yang namanya, Langit Baskoro. Modelnya seperti apa dia?
Sebenarnya, cerita ini sudah diperingatkan Laila. Ternyata benar, hanya perlu pembuktian. Aku ingin cepat merasakan menjadi pembantu yang teraniaya.
"Siapa yang masuk ruang kerjaku?!"
Suara keras mengagetkan kami, Bulek Ningsih memberi isyarat untuk diam dan berbisik, "Ssst .... Itu, Den Langit."
Langkah kaki terdengar mendekati dapur, kemudian terlihat sosok tinggi menjulang, kurus, dan berkulit bersih.
"I-iya, Den?" Bulek Ningsih langsung menghampiri laki-laki itu, dengan badan membungkuk.
Rambut ikal panjang sebahu dan berewokan, diperparah mata melebar dan dengusan kesal, dia terlihat marah. Seharusnya, seseorang di posisiku merasa takut, tetapi aku tidak bisa merasakan hal itu.
Ini, satu alasan kenapa harus menjalani riset seperti ini. Aku tidak bisa merasakan rasa yang seharusnya. Bagiku, dia tidak menakutkan seperti dikatakan mereka.
"Hei! Ini pasti kamu, kan? Yang mengobrak-abrik meja kerja saya? Kamu orang baru! Siapa nama kamu?!" tanyanya dengan menunjuk ke arahku.
Tindakan yang tidak sopan. Kepada siapapun, seharusnya tidak bersikap sedemikian, walaupun kepada pembantu. Bukannya takut, aku malah terikut kesal.
"Saya Astuti, baru mulai kerja hari ini. Tadi saya disuruh Den Ajeng untuk menata ruang kerja. Kalau, Den Langit ada yang dicari, saya bisa membantu," ucapku sambil meredam rasa kesal ini.
Aku menatap wajah yang hampir ditutupi oleh bulu-bulu halus itu. Membayangkan, bagaimana wajah aslinya kalau dicukur bersih. Pasti tidak seseram seperti sekarang.
"Sini! Kamu carikan invoice yang baru saya tulis hari kemarin! Kamu ini mindah-mindah tanpa ijin! Membuat saya susah saja!"
Dia berbalik dan aku segera mengikutinya setelah Bulek Ningsih mencolek dan mendorongku.
"Ada dua nota di tanggal kemarin. Ini dan ini." ucapku menyodorkan dua lembar kertas yang dimaksud.
Tadi saat merapikan tempat ini,
aku tahu, kemungkinan kejadian seperti sekarang pasti terjadi. Karena itulah, aku mengingat dimana saja aku letakkan berkas. Semua aku susun rapi, untuk mempermudah mencari sesuatu.
Laki-laki ini hanya diam menatap dan mengernyitkan dahi, membiarkan tanganku terkatung di udara. Aku juga berbalik menatapnya, berpikir kenapa dia bersikap seperti itu. Apakah aku salah lagi?
"Dari tadi saya tidak pernah ngomong nota. Saya bilang invoice. Darimana kamu tahu, saya mencari nota?" tanyanya setelah beberapa saat tadi terdiam.
Aku menunduk menatap nota di tanganku, mencerna ucapannya.
Duh!
Aku melakukannya lagi. Kata invoice jarang-jarang digunakan sehari-hari. Harusnya, seperti aku sekarang ini, tidak mengerti apa yang dia katakan. Pemilihan kata, ternyata juga menentukan siapa orang itu.
Bisa jadi aku diusut lagi. Aku harus cari alasan supaya penyamaran tetap aman.
"Eh, maaf, Den. Saya tadi merapikan sambil membaca ada tulisan ini," ucapku sambil menunjukkan tulisan di bagian atas. "Saya pikir, ini seperti nota dari toko. Ada barang dan harga. Makanya saya mikirnya ini. Saya salah, ya, Den?"
Aku menunduk, bukan karena takut, namun menghindari tatapan yang menyelidik. Aku harus mencari cara untuk kemungkinan yang terjadi berikutnya.
Huuft ...!
Menyamar ternyata susah. Pantas saja, artis dibayar mahal, padahal hanya untuk berpura-pura, namun menyakinkan. Kabarnya, semakin meyakinkan penonton, semakin mahal. Begitu juga tulisan, semakin meyakinkan pembaca dan membuatnya larut, semakin berkualitas. Aku ingin seperti itu.
Aku tetap berdiri dengan sedikit membungkukan badan, meniru sikap Bulik Ningsih saat bicara dengan Den Ajeng. Sesekali mataku melirik dia, yang masih berputar mengelilingi ruangan. Tangannya meneliti setiap folder file yang aku rapikan tadi. Memeriksa semua map yang aku susun di meja.
Apakah, tindakanku ini salah lagi? Menata sebegitu rapi dan terorganisir. Seharusnya, aku menata dengn asal, walaupun harus menahan gatal di tangan. Sesuatu yang berantakan, membuatku tersiksa.
"Buatkan saya teh manis!" perintahnya setelah duduk di belakang meja kerja. Aku menatapnya dan menunduk lagi, sikap yang seharusnya.
"Baik, Den. Saya suruh Lek Ningsih," ucapku, kemudian mundur beberapa langkah, kemudian baru berbalik.
"Eh, kamu!"
Teriakkannya menghentikan langkahku, kemudian pelan, kubalikkan badan.
"Kamu saja yang membawa ke sini. Bantu saya mencari data lainnya!" perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas ditangannya.
Duh!
Aktingku harus berlanjut lagi, padahal aku sudah merasa kewalahan menjadi orang lain. Di depannya, sepertinya harus lebih hati-hati. Dia bukan orang yang bisa dikibuli dengan mudah.
Huuft ....
*******
"Beneran, ini yang nganter sampeyan?" tanya Lek Ningsih memastikan. Tadi dia sempat heran, kenapa Den Langit menyuruhku yang mengantar minumannya. Katanya, dia paling anti dengan orang baru."Sini dulu, Tik," pintanya, menarikku lebih dekat. Dia mengendus-endus rambut dan bajuku. "Aman! Den Langit itu, paling tidak suka dengan orang jorok. Juga bau wangi parfum seperti minyak nyong-nyong. Sampeyan tidak bau, malah seger."Dia belum tahu, ini titik terendah keadaanku. Tanpa perawatan apapun, hanya roll on dengan aroma shea butter favoritku."Ini, Den Langit." Aku menyodorkan teh di sebelahnya, kemudian segera akan berlalu. "Heh, siapa yang menyuruhmu keluar? Kamu harus di sini! Siapa nama kamu?!" Teriaknya setelah menyesap teh."Saya Astuti."Dia meletakkan berkas di tangannya, dan berdiri mendekatiku. Bau wewangian kayu menguar lekat bersamaan jarak yang mulai terkikis. Aku mulai sesak napas, dia begitu dekat."Minggir kamu, Tik!" ucapnya dengan memegang kedua bahu ini dan mendoron
"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. "Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah."Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?"Ha-ha-ha ...!" Ta
Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pe
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen
Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai. Jadi, pagi-pagi aku harus memulai bersih-bersih rumah.Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita di bab pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Nyonya. Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun, atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?