공유

8

Pov Rasya

 

Aku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. 

 

"Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!

 

Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. 

 

"Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"

 

Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. 

 

Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"

 

Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku mengatakan tak ingin menikah dengan si Bocah manja itu, tetap saja memaksa. Semalam, Ibu sebentar-sebentar terus menghubungi mengingatkan kalau aku harus ke rumah si bocah manja itu mengajaknya ngedate. Gila. Aku sama dia? Aku benar-benar tak habis pikir Bapak bisa punya ide untuk menikahkan kami. Seolah tak ada perempuan lain saja. 

 

Entahlah. Sejak pertama kali Rofi mengajak Bocah itu ke rumah, aku langsung tak menyukainya karena sifatnya yang manja. Ditinggal Rofi ke pasar sebentar bocah itu sudah panik bukan main, seolah aku yang menemaninya saat itu bakal menggigitnya. Kunasihati Rofi agar mengakhiri hubungan dengannya, tapi adikku itu mengatakan kalau Bocah itu cinta pertamanya. Dua tahun baru bisa menaklukkannya. Aiish. Gombal banget seperti di drama.

 

"Le, bapakmu ngunyah garam kalau tidak dibuka juga!"

 

Itu suara Bapak. Aku menyentak napas kesal. Pakai main ancam segala.

 

Karena suara Ibu dan Bapak yang terus sambung-menyambung semakin heboh, akhirnya aku beranjak menuju ruang tamu, mengintip dari lubang kunci. Tampak Ibu dan Bapak yang tengah membawa bungkus garam dapur ukuran sedang. Tobat. Tobaat. Kenapa aku bisa memiliki orang tua yang selalu kompak dan suka mengancam? Untung, sayang, kalau tidak, sudah kutinggal minggat keluar kota dua orang tua keras kepala itu.

 

"Le, cepet to, buka! Bapakmu sudah mau makan garam ini, lho!" kata Ibu sambil terus mengetuk pintu. Kusentak napas sebal lalu memutar kunci. Ibu langsung mendelik saat pintu mengayun membuka. Bapak menyentak tubuhnya ke sofa.

 

"Dari tadi dibangunin juga." Ibu menatapku kesal. Aku sudah biasa dengan sikapnya yang seperti ini.

 

"Mana Adnan, Bu?" Tanyaku sambil mengenyakkan diri di sofa yang langsung disambut pelototan Ibu. 

 

"Kamu ini bagaimana, to! Siapa yang nyuruh duduk? Cepat siap-siap!" Ibu menyentak napas. "Adnan masih tidur. Tenang ada Mbak Iin. Ayo cepetan!" Ibu terlihat tak sabar. Ia menatap jam dinding dan melotot galak.

 

"Bu, lebih baik pikir-pikir dulu perjodohan ini. Ibu kan tahu bocah itu seperti apa. Ibu tidak bosan apa punya mantu dia lagi?" Aku mencoba menghasut pikiran Ibu yang biasanya mudah sekali terpengaruh. 

 

"Dia manja dan kekanak-kanakkan. Ibu juga bilang begitu dulu." Aku mengingatkan ucapan Ibu saat pertama Rofi membawa bocah itu ke rumah. 

 

Dulu, Ibu begitu keberatan anak kesayangannya menikahi bocah manja. Tapi tak bisa berbuat banyak karena Rofi sakit sampai seminggu. Obatnya ya itu, nikah sama si Bocah itu. Heran. Apa sih istimewanya? Sudah manja, kekanak-kanakan, tidak bisa apa-apa lagi. Pernah Ibu menyuruhnya menggorengkan ikan karena Mbak Iin pulang kampung, yang ada, itu makanan jadi seperti arang. Aku menikah sama dia? Aku bergidik ngeri.

 

Tangan Ibu yang mengibas di udara mengagetkanku. "Ibu sudah terlanjur sayang sama si Pus. Makanya, kamu harus nikahin dia sebelum keduluan orang lain. Ayo cepat, kok malah duduk terus, to Le, Le!"

 

Memang benar-benar jelmaan nenek lampir mungkin ibuku ini. 

 

"Ayo cepat!" Ibu menarik tanganku menuju kamar mandi. Sebentar-sebentar menggedor pintu menyuruh cepat keluar.

 

"Pakai baju itu!" Ibu menunjuk baju yang terbungkus plastik transparan begitu aku keluar dari kamar mandi. Aku membukanya dan menggelengkan kepala, lalu menghela napas dalam mencoba sabar. Aku memakai baju ini?

 

Astagaa. Aku bukan anak ABG lagi. Umurku 32 tahun 25 Juli nanti.

 

"Nah, sudah." Ibu mengusap-usap rambutku. "Ganteng kamu. Buat Pus klepek-klepek sama kamu, ya?"

 

Aku mendenmgus sebal. "Malas!"

 

Ibu langsung melotot. Ia berjalan keluar saat kuisyaratkan mau memakai jins.

 

"Ayo, Le, cepat!" Teriak Ibu saat aku keluar dari pintu dan menguncinya. Tangannya keluar dari jendela mobil dan melambai-lambai. Sesekali, Ibu tersenyum lebar pada tetangga yang melintas.

 

"Ibu kenapa kok naik?" Aku menatap Ibu lalu ganti menatap Bapak yang bersikap cuek. Bungkus garam dia pegang erat. Ampun, deh, orang tua seperti ini. Tobat. Tobaat.

 

"Ibu mau ikut sampai Tanggerang, kangen ibu sama Qila."

 

"No no no! Tidak bisa ibu harus turun di sini!"

 

"Ibu kan kangen sama Qila."

 

"Ibuu." Aku menatapnya dengan jengkel. Ibu mengerucutkan bibirnya. Ibu mendekatkan kepala ke arah Bapak lantas berbisik. "Nanti kita naik ojek aja Pak E seperti kemarin. Lebih cepat juga."

 

"Aku dengar, Bu. Cepat keluar!"

 

Ibu kembali mengerucutkan bibir. Bapak tersenyum mengejek. Kalau campur bersama mereka berdua, nih, kesabaranku lagi-lagi berada diujung tanduk. Rasanya aku mau meledak-ledak saja pengen marah. Tapi Ibu tak seberapa jika dibandingkan dengan bocah itu. Bahkan hanya dengan melihat tingkahnya saja aku sudah muak. Lalu aku mau ngedate sama dia?

 

"Ya, wes, ibu keluar. Jangan lupa belikan makanan untuk calon mertuamu." Pesan Ibu sebelum turun.

 

Aku menjambak rambut frustrasi. Lalu mengemudi kencang. Lebih cepat sampai dan ngedate bareng si bocah itu lebih baik. Aku akan lebih cepat pulang juga. Kata Ibu, yang terpenting, mereka diberi bukti foto kalau aku memang benar-benar pergi dengan si Bocah itu.

 

Kutepikan mobil lalu melangkah mendekati penjual martabak manis dan susu kedelai. Sambil menunggu, aku duduk di kursi menatap ke sana-kemari. Seperti biasa, pasar Kam selalu ramai oleh perempuan-perempuan yang kebanyakan mengenakan daster tengah membeli sayuran. Sejajar denganku berdiri, tampak seorang cowok tanggung sedang menjajakan pakaian. Suaranya begitu heboh menyemarakkan pagi. Tampak ibu-ibu mengerubungi, memilah-milah sambil menawar.

 

"Mas, bunganya sekalian," kata seorang bapak yang duduk tak jauh dariku. Dihadapannya, tampak beragam bunga segar warna-warni. Ekspresi bapak itu yang begitu berharap membuatku tak tega. Kubayangkan kalau seandainya dia adalah Bapak. Aku meraih satu buket lalu mengulurkan selembar seratus ribu.

 

Kurogoh saku celana saat HP yang bergetar membuatku geli. "Ya, Bu," kataku sambil mengangkatnya.

 

"Kok kamu masih di dekat sini to, Le."

 

Lupa lagi mematikan GPS. Langsung kumatikan telepon dan menonaktifkannya. Dengan begini, tak akan diganggu Ibu. Yaelah, seperti Adnan saja pakai diawasi.

 

Begitu pesanan selesai dibuatkan, aku segera naik dan mengemudikannya kencang. Sesekali, tatapanku turun ke bawah memperhatikan bunga warna-warni. Buat apa juga ini bunga? Aku mendesah saat ingat ucapan Rofi kalau istrinya sangat menyukai bunga warna-warni. Hampir tiap hari, adikku itu membeli bunga untuk Bocah itu. 

 

Aku bergidik saat tiba-tiba teringat ucapan Ibu si bocah itu. Katanya, aku dan Rofi masih satu produk. Seolah aku bakal mau 'tidur' dengnnya saja 

 

Bahkan hanya dengan membayangkannya saja, aku sudah merinding sendiri. Dua kali melihatnya manja-manjaan di ruang tamu rumah Ibu membuatku merinding.

 

Akhirnya, aku sampai ditujuan. Baru saja turun, tiba-tiba seseorang menarik kerah bajuku, membuatku tersentak dan langsung membalikkan badan. Ternyata, si preman Bocah itu.

 

"Awas lo kalau sampai buat adek gue nangis!"

 

Aku hanya mendengkus. Lalu berjalan menuju rumah saat ibu Bocah itu melambai di depan pintu dengan wajah terlihat riang gembira. Aku dipersilakan duduk, sementara dia langsung berlari menaiki tangga.

 

"Pita! Pitaaa!" Panggilnya. Rempong banget, mirip Ibu. Selalu klop saat mereka bertemu.

 

Sampai  jenuh aku menunggu si Bocah itu muncul. Langsung kuulurkan bunga saat ia masuk ke dalam mobil, menatap keluar dengan wajah tak nyaman. 

 

"Dari ibu."

 

Cukup lama, mobil yang kukendarai hanya berputar-putar. Kemana seharusnya membawa si Bocah ini pergi? Sempat terbersit mengajaknya ke kebun raya Bogor lalu meninggalkannya. Dia itu tak hafal jalan.

 

"Mas kita mau ke mana?" Ia menoleh padaku. 

 

"Berisik. Nanti juga tahu!" Padahal, aku juga bingung mau mengajaknya ke mana. Saat melihat warung bakso, aku langsung menepikan mobil dan turun meninggalkannya.

 

Hanya beberapa menit menunggu pesanan sudah dibuatkan. Aku segera memakan bakso dengan cepat sementara si Bocah di sampingku hanya menyendoki kuahnya saja.

 

Yaelah. Apa enaknya sih makan kuahnya saja? Bakso yang dipotongnya menjadi beberapa bagian ia biarkan begitu saja. Kalau makannya lelet begitu, kapan selesainya? Hari semakin sore dan aku sudah janji mau ketemu sama klien. Aku menatap si Bocah, matanya tampak berkaca-kaca. Tiba-tiba, teringat olehku ia sering makan di teras rumahnya suap-suapan dengan Rofi. Pasti, dia sedang teringat suaminya.

 

Akhirnya kutusukkan sendok garpu ke potongan bakso miliknya kemudian mengarahkan ke mulutnya. 

 

"Apaa?!" kataku tak sabar. Bukannya cepat dimakan malah menatapku terpana.

댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Babams Tokh
kenapa bab selanjutnya gk bisa dbuka??
댓글 모두 보기

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status