"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.
Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.
Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.
Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, malas. Dekat-dekat saja tak mau apalagi menikah? Ini tak boleh sampai terjadi. Pokoknya, jangan sampai terjadi.
"Yang kucintai Mas Rofi, Bu. Bukan Mas Rasya," kataku sambil duduk di dekat Mama. Mas Rasya mengangguk membenarkan.
"Benar itu," imbuh Mas Rasya.
"Dan aku tak suka sama perempuan manja sepertinya. Tak bisa apa-apa dan kekanak-kanakkan." Mas Rasya menambahkan. Tatapannya memancar sinis saat lagi-lagi kami bersitatap.
"Aku juga gak suka sama lelaki sinis dan jutek." Aku tak mau kalah. Kupandang Mas Rasya tak kalah sengit.
"Seperti tak ada perempuan lain saja!" Lagi-lagi Mas Rasya berkata, menatapku mencibir. Bapak menggelengkan kepala.
"Kamu ini bagaimana tho, Le. Jadi orang kok plin-plan. Semalam siapa yang terus ngajak ngobrol pengen nikahnya di Taman Mini, pengen beli gaun yang menyapu lantai untuk Puspita? Mau undang berapa tamu? Seribu? Dua ribu?" Ibu mengernyit sambil menggelengkan kepalanya.
"Sampai-sampai kita tak tidur ya, Pak e?"
Bapak mengangguk kecil.
"Karena kamu semalam tampak begitu semangat, habis subuh, ya, ibu langsung ke kamar ganti baju dan ke sini. Karena ibu juga tak bisa tidur."
"Iya." Bapak menimpali.
Terlihat kekagetan di wajah Mas Rasya. Aku mencibir lantas menyentak napas kesal. Katanya, dia kalau ngomong sudah dipikirkan terlebih dulu. Mana? Karena omongan ngawurnya, Ibu jadi ke sini.
Kusenggol bahu Mama yang terus mengajak Qila mengobrol. Biasanya, Mama yang akan langsung membela anak kesayangannya ini. Perempuan menor bertubuh langsing di sampingku langsung menoleh. Bibirnya yang dipoles merah terang mengembang lebar.
"Mama pikir nggak ada salahnya, Pit. Mama jadi nggak perlu adaptasi lagi."
Ucapan Mama disambut anggukan penuh kemenangan oleh Ibu dan Bapak. Papa juga ikut-ikutan mengangguk. Lihatlah yang duduk di kursi seberangku, sangat jutek seolah hanya ia yang berada dalam bahaya. Aku juga. Sungguh amat menakutkan jika aku menikah dengan harimau. Hanya membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.
"Aku gak mau sama Mas Rasya pokoknya, Ma! Mending aku jadi janda seumur hidup!" Sentakku. Aku sama sekali tak pernah bersikap begini di depan Ibu dan Bapak, tapi kalau dengan bersikap begini akan membuatnya ilfil dan mengurungkan niat menjodohkan kami, kenapa tidak?
"Aku juga!" Mas Rasya berkata tak kalah sengit.
"Oh, ya, sudah kalau begitu. Ibu tak akan memaksa, kok. Kalau gak cinta mau bagaimana lagi," ucap Ibu santai yang membuatku langsung menghela napas dalam. Syukurlah. Sungguh lega rasanya.
"Tapi, Qila biar ibu yang urus." Ibu menambahkan. Ucapan Ibu langsung membuat Mama tersentak. Wanita berpakaian elegan di sampingku langsung menegakkan tubuh.
"Ya nggak bisa, Bu. Qila butuh ibunya." Mama berpaling dan menatapku. "Nikah sama Rasya apa salahnya, sih, Pit. Coba kamu pandang dia. Ganteng juga kok, dia. Masih satu produk sama suamimu." Mama mengerling genit. Dan meringis saat mendapat pelototan dari Papa. Syukuriin kamu, Ma. Habis, enak sekali ngomongnya. Seolah nikah bagai disuruh mencicipi makanan saja. Brownies iya aku mau. Nikah sama Mas Rasya ... aku menggeleng kuat.
"Kok Mama jadi gini, Ma? Padahal, mama dulu bilang apa aku yakin mau nikah sama Mas Rofi yang punya kakak galak."
Mama nyengir kecil saat bersitatap dengan Ibu. Secepat kilat, tangan Mama mengibas di udara. "Itu, kan, du-luuu. Jadi gimana? Taman Mini apa Ragunan?" Mama memandang Ibu dengan wajah antusias.
"Aku tak mau nikah!" ucap Mas Rasya tegas. Aku mengangguk setuju. Dikiranya kami hewan apa main dipasang-pasangkan?
"Ibu, ambilkan garam di dapur. Ayo cepat ambilkan garam di dapur, Bu," kata Bapak tiba-tiba yang sejak tadi lebih banyak diam.
"Buat apa to garam, Pak ee?" Ibu menggelengkan kepala dengan wajah bingung.
"Buat bapak kunyah-kunyah biar darah tinggi bapak kambuh. Nanti, kalau bapak sakit lalu nyusul Rofi, anakmu pasti nyesal!"
Mas Rasya menghela napas. Lalu mengembuskannya pelan. Mimiknya terlihat ngeri saat berkata, "Aku tak mau ada resepsi!"
Eh. Maksudnya apa itu? Resepsi. Resepsi? Aku membelalak saat menyadarinya. Dia setuju? Lelaki itu pasti gila. Hanya karena ancaman Bapak langsung saja mau dipaksa.
"Tapi aku gak mau!" Kataku, memandangnya penuh kengerian. Dekat-dekat saja tak sudi apalagi menikah? Seumur hidup bersama. "Aku gak kenal sama dia! Aku gak mau nikah sama orang yang gak kukenal."
Bukan hanya Ibu yang menatapku penuh keheranan, tapi Mama dan Papa juga. Sementara Bapak menggelengkan kepala.
"Tidak kenal bagaimana to, Pus?" Ibu menatapku. Mas Rasya memicingkan sebelah mata, sinis seperti biasa.
"Ya gak kenal. Tujuh tahun bersama Mas Rofi, aku hanya beberapa kali tegur sapa sama dia. Aku gak tau dia orangnya gimana, gimana, gimma .. nna," ucapanku menelan saat Mas Rasya menyilangkan jari telunjuk ke jidatnya. Tuh, kan, dia sangat menyebalkan. Aku menikah sama dia ... amit-amit, deh.
"Kamu ini Pus, Pus, sama kakak ipar sendiri kok nggak ke-naaal. Padahal, rumahmu sama Rasya dekatan." Mama menggelengkan kepala.
"Dia jarang di rumah!" Aku tak mau kalah.
Mas Rasya menyentak napas.
"Jadi aku gak mau nikah sama orang gak kukenal." Putusku yang langsung membuat orang-orang terdiam. Aku menatap ke arah tangga berharap Mas Hanif atau Mas Fadil turun lalu membelaku. Di mana sih si kembar itu?
Ibu yang akhirnya mengakhiri kebisuan ini. "Oh, ya, gampang itu. Pernikahan kalian kan masih sebulan lagi. Jadi, kalian masih bisa kenalan."
Mama mengangguk dengan mata berbinar. Aku yakin, perempuan di sampingku ini tak benar-benar setuju. Pasti, ia begini karena takut Qila diambil ibu mertua.
"Besok, kalian mulai ngedate, yaa? Mama atur tempatnya."
"Ngedate?" Suaraku dan Mas Rasya terdengar kompak. Wajah Mas Rasya terlihat ngeri. Gila. Sepertinya, semua yang ada di sini gila semua selain aku dan Qila.
***
Aku menoleh ke arah pintu yang mengayun membuka. Di ambang pintu, Mama tersenyum lebar. Ia melangkah mendekat lalu duduk di samping aku berbaring miring tengah menyusui Qila.
"Rasya sudah menunggu, tuh, di ruang tamu." Mama mengerling menggoda.
Aku membeliak tak percaya. "Apa, Ma?!"
"Lho, kok kamu terkejut begitu?!Kemarin kan sudah diatur jadwal ngedate kamu sama Rasya. Sudah sana ganti baju, lalu temui calon suamimu itu."
Kubenarkan posisi kepala Qila di bantal hello Kitty lalu menarik tangan Mama keluar kamar.
"Mama ini apa-apaan, sih? Kan aku gak mau nikah sama harimau itu!"
Mama menempelkan telunjuk ke bibirnya sendiri. "Jangan bilang begitu."
"Kok mama jadi gini? Mama dikasih apa sih sama ibu?"
"Nggak dikasih apa-apa. Daripada kamu sendiri, lebih baik sama Rasya, Pit. Biar anakmu tak kehilangan sosok ayah. Dia kan pakdenya, nggak mungkin diapa-apain anakmu itu!" Jari Mama yang lentik berkutek ungu terang menuding kearah Qila yang terlelap damai.
Kupandang Mama dengan wajah tak mengerti.
"Gini, lho. Ibumu itu bilang, bahaya kalau kamu nikah sama lelaki selain Rasya. Anakmu bisa di ...." Mama memelankan suaranya lalu mencondongkan badan ke arahku. "Sekarang, Pit, banyak kasus kayak gitu di TV."
Hits, Mama. Pasti, Ibu menghasut Mama.
"Tuuh ditunggu Rasya," kata Mas Hanif sambil berjalan ke arahku.
"Mas, bantu aku. Adikmu ini gak mau nikah sama dia."
"Mas juga sebenarnya tak setuju kamu sama si kunyuk it--" Mas Hanif berhenti berkata saat mama memelototinya.
"Cepat kamu ganti baju! Mama temuin Rasya dulu." Mama mengerling menggoda lalu membalikkan badan.
Kulayangkan tatapan memohon pada Mas Hanif. "Maas, aku gak mau nikah sama dia. Mas Hanif tak mau bawa aku ke mana, gitu?"
Mas Hanif langsung menggeleng dengan wajah ngeri. "Mama bisa marah. Bisa-bisa, mas dipecat nanti dari perusahaan. Anak istri mas mau makan apa. Susah cari kerjaan."
Aku menyentak napas. Mama ratu di rumah ini. Papa selalu nurut pada apa pun yang dikatakan Mama. Heran, aku.
Aku bergidik membayangkan aku harus pergi dengan Mas Rasya.
"Nanti kalau aku diapa-apain sama Mas Rasya gimana, Mas?"
Mas Hanif mengerutkan kening.
"Ditinggalin di tempat terpencil, mungkin. Kalau aku gak kembali ke rumah, otomatis kami gak menikah dan Qila dibawa ibu."
Mas Hanif menatapku cukup lama, lalu mengangguk-angguk. "Benar juga," katanya. Lalu sesaat kemudian ia menjentikkan jari ke udara. "Tenang. Nanti mas akan awasi kalian dari jauh."
"Serius, Mas?"
Mas Hanif mengangguk-angguk. Aku segera menuju kamar lalu mengganti baju dengan dres hijau yang melebar di bagian bawah dipadu dengan jilbab instan warna senada. Saat aku menuruni tangga, Mas Rasya tengah mengobrol dengan Mama dan Papa, terlihat begitu akrab. Ia mengenakan jins di bawah lutut dan kaus tanpa lengan bergambar bola yang membuat tubuhnya terlihat begitu atletis.
"Aku pergi dulu, Ma," kataku sambil cemberut saat Mas Rasya berdiri lalu melangkah cepat menuju mobilnya diparkir. Aku mengikuti langkahnya dengan jantung berdetak kencang.
Tubuhku terasa panas dingin saat membuka pintu dan duduk di sebelahnya. Mas Rasya meraih buket bunga warna-warni di dasboard lalu menyerahkannya padaku dengan wajah datar.
"Dari ibu," katanya, menatapku tak suka. Lalu melajukan mobil setelah aku menerimanya dengan dada bergemuruh hebat. Kuusap keringat dingin di wajah karena begitu tegang. Ini aku beneran mau ngedate sama Mas Rasya?
Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja."Le! Cepat bangun, Le!"Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja."Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya.Brak! Brak! Brak!"Le! Ini ibu
Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.)Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.)Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas
POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja.Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak k
"Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan taspink
POV RasyaCk. Ck. Ck. Dasar bocah! Aku bersikap masa bodoh melihat matanya yang berkaca-kaca saat Dewa merebut tas tangannya. Buat apa juga tolongin dia, yang ada, teman-teman malah jadi mengejekku nantinya.Sohib-sohibku tahu benar, sejak dulu, temannya ini tak menyukai perempuan manja itu. Tak jarang, aku mengeluh pada mereka kenapa ada orang model Puspita yang begitu manja. Beberapa kali, aku melihat Puspita suap-suapan dengan Rofi di rumah Ibu sambil menggelendot di lengan mediang adikku. Malu, kan, kalau ada tamu? Aku saja yang melihatnya sampai ilfil. Yaa bedalah kalau di kamar, kan?Langsung kusentak napas kesal saat bertemu tatap dengan Bocah itu, wajahnya begitu memohon. Ck ck ck. Jadi orang, kok, tidak ada pintar-pintarnya. Tepis, kek, tangannya Dewa. Bukannya terus diam menatap kakak iparnya dengan pandangan memelas. Entah kelewat bodoh atau apa tuh, Bocah. Tangan bu
Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini.Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dada
POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu?Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu."Hening."Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang be
Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu.Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang ter