Share

7

Penulis: FitriSoh
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-21 14:19:47

"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.

Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.

Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.

Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, malas. Dekat-dekat saja tak mau apalagi menikah? Ini tak boleh sampai terjadi. Pokoknya, jangan sampai terjadi.

"Yang kucintai Mas Rofi, Bu. Bukan Mas Rasya," kataku sambil duduk di dekat Mama. Mas Rasya mengangguk membenarkan.

"Benar itu," imbuh Mas Rasya.

"Dan aku tak suka sama perempuan manja sepertinya. Tak bisa apa-apa dan kekanak-kanakkan." Mas Rasya menambahkan. Tatapannya memancar sinis saat lagi-lagi kami bersitatap.

"Aku juga gak suka sama lelaki sinis dan jutek." Aku tak mau kalah. Kupandang Mas Rasya tak kalah sengit.

"Seperti tak ada perempuan lain saja!" Lagi-lagi Mas Rasya berkata, menatapku mencibir. Bapak menggelengkan kepala.

"Kamu ini bagaimana tho, Le. Jadi orang kok plin-plan. Semalam siapa yang terus ngajak ngobrol pengen nikahnya di Taman Mini, pengen beli gaun yang menyapu lantai untuk Puspita? Mau undang berapa tamu? Seribu? Dua ribu?" Ibu mengernyit sambil menggelengkan kepalanya.

"Sampai-sampai kita tak tidur ya, Pak e?"

Bapak mengangguk kecil.

"Karena kamu semalam tampak begitu semangat, habis subuh, ya, ibu langsung ke kamar ganti baju dan ke sini. Karena ibu juga tak bisa tidur."

"Iya." Bapak menimpali.

Terlihat kekagetan di wajah Mas Rasya. Aku mencibir lantas menyentak napas kesal. Katanya, dia kalau ngomong sudah dipikirkan terlebih dulu. Mana? Karena omongan ngawurnya, Ibu jadi ke sini.

Kusenggol bahu Mama yang terus mengajak Qila mengobrol. Biasanya, Mama yang akan langsung membela anak kesayangannya ini. Perempuan menor bertubuh langsing di sampingku langsung menoleh. Bibirnya yang dipoles merah terang mengembang lebar.

"Mama pikir nggak ada salahnya, Pit. Mama jadi  nggak perlu adaptasi lagi."

Ucapan Mama disambut anggukan penuh kemenangan oleh Ibu dan Bapak. Papa juga ikut-ikutan mengangguk. Lihatlah yang duduk di kursi seberangku, sangat jutek seolah hanya ia yang berada dalam bahaya. Aku juga. Sungguh amat menakutkan jika aku menikah dengan harimau. Hanya membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.

"Aku gak mau sama Mas Rasya pokoknya, Ma! Mending aku jadi janda seumur hidup!" Sentakku. Aku sama sekali tak pernah bersikap begini di depan Ibu dan Bapak, tapi kalau dengan bersikap begini akan membuatnya ilfil dan mengurungkan niat menjodohkan kami, kenapa tidak?

"Aku juga!" Mas Rasya berkata tak kalah sengit.

"Oh, ya, sudah kalau begitu. Ibu tak akan memaksa, kok. Kalau gak cinta mau bagaimana lagi," ucap Ibu santai yang membuatku langsung menghela napas dalam. Syukurlah. Sungguh lega rasanya.

"Tapi, Qila biar ibu yang urus." Ibu menambahkan. Ucapan Ibu langsung membuat Mama tersentak. Wanita berpakaian elegan di sampingku langsung menegakkan tubuh.

"Ya nggak bisa, Bu. Qila butuh ibunya." Mama berpaling dan menatapku. "Nikah sama Rasya apa salahnya, sih, Pit. Coba kamu pandang dia. Ganteng juga kok, dia. Masih satu produk sama suamimu." Mama mengerling genit. Dan meringis saat mendapat pelototan dari Papa. Syukuriin kamu, Ma. Habis, enak sekali ngomongnya. Seolah nikah bagai disuruh mencicipi makanan saja. Brownies iya aku mau. Nikah sama Mas Rasya ... aku menggeleng kuat.

"Kok Mama jadi gini, Ma? Padahal, mama dulu bilang apa aku yakin mau nikah sama Mas Rofi yang punya kakak galak."

Mama nyengir kecil saat bersitatap dengan Ibu. Secepat kilat, tangan Mama mengibas di udara. "Itu, kan, du-luuu. Jadi gimana? Taman Mini apa Ragunan?" Mama memandang Ibu dengan wajah antusias.

"Aku tak mau nikah!" ucap Mas Rasya tegas. Aku mengangguk setuju. Dikiranya kami hewan apa main dipasang-pasangkan?

"Ibu, ambilkan garam di dapur. Ayo cepat ambilkan garam di dapur, Bu," kata Bapak tiba-tiba yang sejak tadi lebih banyak diam.

"Buat apa to garam, Pak ee?" Ibu menggelengkan kepala dengan wajah bingung.

"Buat bapak kunyah-kunyah biar darah tinggi bapak kambuh. Nanti, kalau bapak sakit lalu nyusul Rofi, anakmu pasti nyesal!"

Mas Rasya menghela napas. Lalu mengembuskannya pelan. Mimiknya terlihat ngeri saat berkata, "Aku tak mau ada resepsi!"

Eh. Maksudnya apa itu? Resepsi. Resepsi? Aku membelalak saat menyadarinya. Dia setuju? Lelaki itu pasti gila. Hanya karena ancaman Bapak langsung saja mau dipaksa.

"Tapi aku gak mau!" Kataku, memandangnya penuh kengerian. Dekat-dekat saja tak sudi apalagi menikah? Seumur hidup bersama. "Aku gak kenal sama dia! Aku gak mau nikah sama orang yang gak kukenal."

Bukan hanya Ibu yang menatapku penuh keheranan, tapi Mama dan Papa juga. Sementara Bapak menggelengkan kepala.

"Tidak kenal bagaimana to, Pus?" Ibu menatapku. Mas Rasya memicingkan sebelah mata, sinis seperti biasa.

"Ya gak kenal. Tujuh tahun bersama Mas Rofi, aku hanya beberapa kali tegur sapa sama dia. Aku gak tau dia orangnya gimana, gimana, gimma .. nna," ucapanku menelan saat Mas Rasya menyilangkan jari telunjuk ke jidatnya. Tuh, kan, dia sangat menyebalkan. Aku menikah sama dia ... amit-amit, deh.

"Kamu ini Pus, Pus, sama kakak ipar sendiri kok nggak ke-naaal. Padahal, rumahmu sama Rasya dekatan." Mama menggelengkan kepala.

"Dia jarang di rumah!" Aku tak mau kalah.

Mas Rasya menyentak napas.

"Jadi aku gak mau nikah sama orang gak kukenal." Putusku yang langsung membuat orang-orang terdiam. Aku menatap ke arah tangga berharap Mas Hanif atau Mas Fadil turun lalu membelaku. Di mana sih si kembar itu?

Ibu yang akhirnya mengakhiri kebisuan ini. "Oh, ya, gampang itu. Pernikahan kalian kan masih sebulan lagi. Jadi, kalian masih bisa kenalan."

Mama mengangguk dengan mata berbinar. Aku yakin, perempuan di sampingku ini tak benar-benar setuju. Pasti, ia begini karena takut Qila diambil ibu mertua.

"Besok, kalian mulai ngedate, yaa? Mama atur tempatnya."

"Ngedate?" Suaraku dan Mas Rasya terdengar kompak. Wajah Mas Rasya terlihat ngeri. Gila. Sepertinya, semua yang ada di sini gila semua selain aku dan Qila.

***

Aku menoleh ke arah pintu yang mengayun membuka. Di ambang pintu, Mama tersenyum lebar. Ia melangkah mendekat lalu duduk di samping aku berbaring miring tengah menyusui Qila.

"Rasya sudah menunggu, tuh, di ruang tamu." Mama mengerling menggoda.

Aku membeliak tak percaya. "Apa, Ma?!"

"Lho, kok kamu terkejut begitu?!Kemarin kan sudah diatur jadwal ngedate kamu sama Rasya. Sudah sana ganti baju, lalu temui calon suamimu itu."

Kubenarkan posisi kepala Qila di bantal hello Kitty lalu menarik tangan Mama keluar kamar.

"Mama ini apa-apaan, sih? Kan aku gak mau nikah sama harimau itu!"

Mama menempelkan telunjuk ke bibirnya sendiri. "Jangan bilang begitu."

"Kok mama jadi gini? Mama dikasih apa sih sama ibu?"

"Nggak dikasih apa-apa. Daripada kamu sendiri, lebih baik sama Rasya, Pit. Biar anakmu tak kehilangan sosok ayah. Dia kan pakdenya, nggak mungkin diapa-apain anakmu itu!" Jari Mama yang lentik berkutek ungu terang menuding kearah Qila yang terlelap damai.

Kupandang Mama dengan wajah tak mengerti.

"Gini, lho. Ibumu itu bilang, bahaya kalau kamu nikah sama lelaki selain Rasya. Anakmu bisa di ...." Mama memelankan suaranya lalu mencondongkan badan ke arahku. "Sekarang, Pit, banyak kasus kayak gitu di TV."

Hits, Mama. Pasti, Ibu menghasut Mama.

"Tuuh ditunggu Rasya," kata Mas Hanif sambil berjalan ke arahku.

"Mas, bantu aku. Adikmu ini gak mau nikah sama dia."

"Mas juga sebenarnya tak setuju kamu sama si kunyuk it--" Mas Hanif berhenti berkata saat mama memelototinya.

"Cepat kamu ganti baju! Mama temuin Rasya dulu." Mama mengerling menggoda lalu membalikkan badan.

Kulayangkan tatapan memohon pada Mas Hanif. "Maas, aku gak mau nikah sama dia. Mas Hanif tak mau bawa aku ke mana, gitu?"

Mas Hanif langsung menggeleng dengan wajah ngeri. "Mama bisa marah. Bisa-bisa, mas dipecat nanti dari perusahaan. Anak istri mas mau makan apa. Susah cari kerjaan."

Aku menyentak napas. Mama ratu di rumah ini. Papa selalu nurut pada apa pun yang dikatakan Mama. Heran, aku.

Aku bergidik membayangkan aku harus pergi dengan Mas Rasya.

"Nanti kalau aku diapa-apain sama Mas Rasya gimana, Mas?"

Mas Hanif mengerutkan kening.

"Ditinggalin di tempat terpencil, mungkin. Kalau aku gak kembali ke rumah, otomatis kami gak menikah dan Qila dibawa ibu."

Mas Hanif menatapku cukup lama, lalu mengangguk-angguk. "Benar juga," katanya. Lalu sesaat kemudian ia menjentikkan jari ke udara. "Tenang. Nanti mas akan awasi kalian dari jauh."

"Serius, Mas?"

Mas Hanif mengangguk-angguk. Aku segera menuju kamar lalu mengganti baju dengan dres hijau yang melebar di bagian bawah dipadu dengan jilbab instan warna senada. Saat aku menuruni tangga, Mas Rasya tengah mengobrol dengan Mama dan Papa, terlihat begitu akrab. Ia mengenakan jins di bawah lutut dan kaus tanpa lengan bergambar bola yang membuat tubuhnya terlihat begitu atletis.

"Aku pergi dulu, Ma," kataku sambil cemberut saat Mas Rasya berdiri lalu melangkah cepat menuju mobilnya diparkir. Aku mengikuti langkahnya dengan jantung berdetak kencang.

Tubuhku terasa panas dingin saat membuka pintu dan duduk di sebelahnya. Mas Rasya meraih buket bunga warna-warni di dasboard lalu menyerahkannya padaku dengan wajah datar.

"Dari ibu," katanya, menatapku tak suka. Lalu melajukan mobil setelah aku menerimanya dengan dada bergemuruh hebat. Kuusap keringat dingin di wajah karena begitu tegang.  Ini aku beneran mau ngedate sama Mas Rasya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   21

    Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.Cara

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   20

    Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak menyiapkan keperluannya sama sekali. Bisa-bisanya mengandalkan Ibu. Jadi orang, tak ada pintar-pintarnya. Kubuka tas lalu mengeluarkan kaus, memakainya cepat. Saat akan kembali rebah, kulihat bahunya bergetar. Aku menyipitkan mata. Nangis lagi nih, jangan-jangan. Tobat, tobaat. Apa yang membuatnya sampai menangis begitu?“Kamu kenapa, sih?!”Tak ada sahutan.“Kenapa menangis lagi?!”Tak ada sahutan.“Pus!”Tetap hening. Hanya terdengar samar debur ombak. Akhirnya kusentuh bahunya lalu membalikkan badannya, ternyata dia terlelap. Wajah juga bibirnya tampak begitu pucat. Tanganku bergerak ke arah keningnya. Sangat panas. Tampak tubuhnya menggigil. Aku menghela napas saat teringat tadi dia hanya makan beberapa tusuk sate. Mungkin masuk angin.“Pus, bangun.” Kuguncang tubuhnya pelan.“Pus, bangun.”Dia membuka matanya sedikit. “Mas, peluk aku. Aku kedinginan.”Apa

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   19

    Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   18

    Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya.“Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak b

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   17

    Aku memicingkan sebelah mata, silau oleh cahaya lampu. Perlahan, kurentangkan tangan dan kaki, mengernyit saat merasakan kakiku tak dapat bergerak bebas. Aku menoleh dan tersentak kaget mendapati diri berada di lengan Mas Rasya sementara satu tangan Mas Rasya melingkari tubuhku.Dengan jantung berdegup kencang dan dada berdebar tak keruan, kuraih tangan Mas Rasya lalu menyingkirkannya dari tubuh. Dengan gerakan perlahan, aku bangkit dan berdiri, sontak membelalak saat tatapan terpacak ke jarum jam. Pukul 06.05. Sebaiknya, lekas salat subuh.Tak menunggu waktu lama, aku segera mengguyur tubuh asal basah dan mengambil wudu, lalu membuka lemari Mas Rasya yang sebagian telah diisi oleh baju-bajuku. Siapa lagi yang menata ini semua jika bukan Ibu? Di mana mukenanya, ya?Aku terlonjak dan refleks menoleh saat tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari belakang.&ldquo

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   16

    POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu.Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status