Share

7

"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.

Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.

Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.

Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, malas. Dekat-dekat saja tak mau apalagi menikah? Ini tak boleh sampai terjadi. Pokoknya, jangan sampai terjadi.

"Yang kucintai Mas Rofi, Bu. Bukan Mas Rasya," kataku sambil duduk di dekat Mama. Mas Rasya mengangguk membenarkan.

"Benar itu," imbuh Mas Rasya.

"Dan aku tak suka sama perempuan manja sepertinya. Tak bisa apa-apa dan kekanak-kanakkan." Mas Rasya menambahkan. Tatapannya memancar sinis saat lagi-lagi kami bersitatap.

"Aku juga gak suka sama lelaki sinis dan jutek." Aku tak mau kalah. Kupandang Mas Rasya tak kalah sengit.

"Seperti tak ada perempuan lain saja!" Lagi-lagi Mas Rasya berkata, menatapku mencibir. Bapak menggelengkan kepala.

"Kamu ini bagaimana tho, Le. Jadi orang kok plin-plan. Semalam siapa yang terus ngajak ngobrol pengen nikahnya di Taman Mini, pengen beli gaun yang menyapu lantai untuk Puspita? Mau undang berapa tamu? Seribu? Dua ribu?" Ibu mengernyit sambil menggelengkan kepalanya.

"Sampai-sampai kita tak tidur ya, Pak e?"

Bapak mengangguk kecil.

"Karena kamu semalam tampak begitu semangat, habis subuh, ya, ibu langsung ke kamar ganti baju dan ke sini. Karena ibu juga tak bisa tidur."

"Iya." Bapak menimpali.

Terlihat kekagetan di wajah Mas Rasya. Aku mencibir lantas menyentak napas kesal. Katanya, dia kalau ngomong sudah dipikirkan terlebih dulu. Mana? Karena omongan ngawurnya, Ibu jadi ke sini.

Kusenggol bahu Mama yang terus mengajak Qila mengobrol. Biasanya, Mama yang akan langsung membela anak kesayangannya ini. Perempuan menor bertubuh langsing di sampingku langsung menoleh. Bibirnya yang dipoles merah terang mengembang lebar.

"Mama pikir nggak ada salahnya, Pit. Mama jadi  nggak perlu adaptasi lagi."

Ucapan Mama disambut anggukan penuh kemenangan oleh Ibu dan Bapak. Papa juga ikut-ikutan mengangguk. Lihatlah yang duduk di kursi seberangku, sangat jutek seolah hanya ia yang berada dalam bahaya. Aku juga. Sungguh amat menakutkan jika aku menikah dengan harimau. Hanya membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.

"Aku gak mau sama Mas Rasya pokoknya, Ma! Mending aku jadi janda seumur hidup!" Sentakku. Aku sama sekali tak pernah bersikap begini di depan Ibu dan Bapak, tapi kalau dengan bersikap begini akan membuatnya ilfil dan mengurungkan niat menjodohkan kami, kenapa tidak?

"Aku juga!" Mas Rasya berkata tak kalah sengit.

"Oh, ya, sudah kalau begitu. Ibu tak akan memaksa, kok. Kalau gak cinta mau bagaimana lagi," ucap Ibu santai yang membuatku langsung menghela napas dalam. Syukurlah. Sungguh lega rasanya.

"Tapi, Qila biar ibu yang urus." Ibu menambahkan. Ucapan Ibu langsung membuat Mama tersentak. Wanita berpakaian elegan di sampingku langsung menegakkan tubuh.

"Ya nggak bisa, Bu. Qila butuh ibunya." Mama berpaling dan menatapku. "Nikah sama Rasya apa salahnya, sih, Pit. Coba kamu pandang dia. Ganteng juga kok, dia. Masih satu produk sama suamimu." Mama mengerling genit. Dan meringis saat mendapat pelototan dari Papa. Syukuriin kamu, Ma. Habis, enak sekali ngomongnya. Seolah nikah bagai disuruh mencicipi makanan saja. Brownies iya aku mau. Nikah sama Mas Rasya ... aku menggeleng kuat.

"Kok Mama jadi gini, Ma? Padahal, mama dulu bilang apa aku yakin mau nikah sama Mas Rofi yang punya kakak galak."

Mama nyengir kecil saat bersitatap dengan Ibu. Secepat kilat, tangan Mama mengibas di udara. "Itu, kan, du-luuu. Jadi gimana? Taman Mini apa Ragunan?" Mama memandang Ibu dengan wajah antusias.

"Aku tak mau nikah!" ucap Mas Rasya tegas. Aku mengangguk setuju. Dikiranya kami hewan apa main dipasang-pasangkan?

"Ibu, ambilkan garam di dapur. Ayo cepat ambilkan garam di dapur, Bu," kata Bapak tiba-tiba yang sejak tadi lebih banyak diam.

"Buat apa to garam, Pak ee?" Ibu menggelengkan kepala dengan wajah bingung.

"Buat bapak kunyah-kunyah biar darah tinggi bapak kambuh. Nanti, kalau bapak sakit lalu nyusul Rofi, anakmu pasti nyesal!"

Mas Rasya menghela napas. Lalu mengembuskannya pelan. Mimiknya terlihat ngeri saat berkata, "Aku tak mau ada resepsi!"

Eh. Maksudnya apa itu? Resepsi. Resepsi? Aku membelalak saat menyadarinya. Dia setuju? Lelaki itu pasti gila. Hanya karena ancaman Bapak langsung saja mau dipaksa.

"Tapi aku gak mau!" Kataku, memandangnya penuh kengerian. Dekat-dekat saja tak sudi apalagi menikah? Seumur hidup bersama. "Aku gak kenal sama dia! Aku gak mau nikah sama orang yang gak kukenal."

Bukan hanya Ibu yang menatapku penuh keheranan, tapi Mama dan Papa juga. Sementara Bapak menggelengkan kepala.

"Tidak kenal bagaimana to, Pus?" Ibu menatapku. Mas Rasya memicingkan sebelah mata, sinis seperti biasa.

"Ya gak kenal. Tujuh tahun bersama Mas Rofi, aku hanya beberapa kali tegur sapa sama dia. Aku gak tau dia orangnya gimana, gimana, gimma .. nna," ucapanku menelan saat Mas Rasya menyilangkan jari telunjuk ke jidatnya. Tuh, kan, dia sangat menyebalkan. Aku menikah sama dia ... amit-amit, deh.

"Kamu ini Pus, Pus, sama kakak ipar sendiri kok nggak ke-naaal. Padahal, rumahmu sama Rasya dekatan." Mama menggelengkan kepala.

"Dia jarang di rumah!" Aku tak mau kalah.

Mas Rasya menyentak napas.

"Jadi aku gak mau nikah sama orang gak kukenal." Putusku yang langsung membuat orang-orang terdiam. Aku menatap ke arah tangga berharap Mas Hanif atau Mas Fadil turun lalu membelaku. Di mana sih si kembar itu?

Ibu yang akhirnya mengakhiri kebisuan ini. "Oh, ya, gampang itu. Pernikahan kalian kan masih sebulan lagi. Jadi, kalian masih bisa kenalan."

Mama mengangguk dengan mata berbinar. Aku yakin, perempuan di sampingku ini tak benar-benar setuju. Pasti, ia begini karena takut Qila diambil ibu mertua.

"Besok, kalian mulai ngedate, yaa? Mama atur tempatnya."

"Ngedate?" Suaraku dan Mas Rasya terdengar kompak. Wajah Mas Rasya terlihat ngeri. Gila. Sepertinya, semua yang ada di sini gila semua selain aku dan Qila.

***

Aku menoleh ke arah pintu yang mengayun membuka. Di ambang pintu, Mama tersenyum lebar. Ia melangkah mendekat lalu duduk di samping aku berbaring miring tengah menyusui Qila.

"Rasya sudah menunggu, tuh, di ruang tamu." Mama mengerling menggoda.

Aku membeliak tak percaya. "Apa, Ma?!"

"Lho, kok kamu terkejut begitu?!Kemarin kan sudah diatur jadwal ngedate kamu sama Rasya. Sudah sana ganti baju, lalu temui calon suamimu itu."

Kubenarkan posisi kepala Qila di bantal hello Kitty lalu menarik tangan Mama keluar kamar.

"Mama ini apa-apaan, sih? Kan aku gak mau nikah sama harimau itu!"

Mama menempelkan telunjuk ke bibirnya sendiri. "Jangan bilang begitu."

"Kok mama jadi gini? Mama dikasih apa sih sama ibu?"

"Nggak dikasih apa-apa. Daripada kamu sendiri, lebih baik sama Rasya, Pit. Biar anakmu tak kehilangan sosok ayah. Dia kan pakdenya, nggak mungkin diapa-apain anakmu itu!" Jari Mama yang lentik berkutek ungu terang menuding kearah Qila yang terlelap damai.

Kupandang Mama dengan wajah tak mengerti.

"Gini, lho. Ibumu itu bilang, bahaya kalau kamu nikah sama lelaki selain Rasya. Anakmu bisa di ...." Mama memelankan suaranya lalu mencondongkan badan ke arahku. "Sekarang, Pit, banyak kasus kayak gitu di TV."

Hits, Mama. Pasti, Ibu menghasut Mama.

"Tuuh ditunggu Rasya," kata Mas Hanif sambil berjalan ke arahku.

"Mas, bantu aku. Adikmu ini gak mau nikah sama dia."

"Mas juga sebenarnya tak setuju kamu sama si kunyuk it--" Mas Hanif berhenti berkata saat mama memelototinya.

"Cepat kamu ganti baju! Mama temuin Rasya dulu." Mama mengerling menggoda lalu membalikkan badan.

Kulayangkan tatapan memohon pada Mas Hanif. "Maas, aku gak mau nikah sama dia. Mas Hanif tak mau bawa aku ke mana, gitu?"

Mas Hanif langsung menggeleng dengan wajah ngeri. "Mama bisa marah. Bisa-bisa, mas dipecat nanti dari perusahaan. Anak istri mas mau makan apa. Susah cari kerjaan."

Aku menyentak napas. Mama ratu di rumah ini. Papa selalu nurut pada apa pun yang dikatakan Mama. Heran, aku.

Aku bergidik membayangkan aku harus pergi dengan Mas Rasya.

"Nanti kalau aku diapa-apain sama Mas Rasya gimana, Mas?"

Mas Hanif mengerutkan kening.

"Ditinggalin di tempat terpencil, mungkin. Kalau aku gak kembali ke rumah, otomatis kami gak menikah dan Qila dibawa ibu."

Mas Hanif menatapku cukup lama, lalu mengangguk-angguk. "Benar juga," katanya. Lalu sesaat kemudian ia menjentikkan jari ke udara. "Tenang. Nanti mas akan awasi kalian dari jauh."

"Serius, Mas?"

Mas Hanif mengangguk-angguk. Aku segera menuju kamar lalu mengganti baju dengan dres hijau yang melebar di bagian bawah dipadu dengan jilbab instan warna senada. Saat aku menuruni tangga, Mas Rasya tengah mengobrol dengan Mama dan Papa, terlihat begitu akrab. Ia mengenakan jins di bawah lutut dan kaus tanpa lengan bergambar bola yang membuat tubuhnya terlihat begitu atletis.

"Aku pergi dulu, Ma," kataku sambil cemberut saat Mas Rasya berdiri lalu melangkah cepat menuju mobilnya diparkir. Aku mengikuti langkahnya dengan jantung berdetak kencang.

Tubuhku terasa panas dingin saat membuka pintu dan duduk di sebelahnya. Mas Rasya meraih buket bunga warna-warni di dasboard lalu menyerahkannya padaku dengan wajah datar.

"Dari ibu," katanya, menatapku tak suka. Lalu melajukan mobil setelah aku menerimanya dengan dada bergemuruh hebat. Kuusap keringat dingin di wajah karena begitu tegang.  Ini aku beneran mau ngedate sama Mas Rasya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status