Share

Bab 2

last update Last Updated: 2025-06-10 09:43:21

Tepat tiga hari setelah Gallen datang melamar, pria itu benar-benar menikahi Alina.

Hari pernikahan mereka berlangsung kemarin, dengan prosesi sederhana yang digelar di halaman rumah keluarga Sankara. 

Tanpa sorotan media, tanpa publikasi apa pun. 

Semua itu dilakukan demi menghindari pembicaraan publik, sekaligus sebagai bentuk penghormatan untuk mendiang Rakha yang belum genap sebulan wafat.

Pernikahan itu hanya dihadiri oleh beberapa kerabat dari pihak keluarga Gallen dan Alina. Kini, mereka resmi menjadi sepasang suami istri.

***

“Silakan, Nyonya.” Andreas menunduk sopan sambil membukakan pintu, lalu mengantar Alina menuju ruang tengah. 

Sore ini, asisten pribadi Gallen itu menjemput Alina untuk pindah ke rumah baru. Sebuah bangunan megah di kawasan perumahan elite, jauh melebihi apa pun yang pernah Alina bayangkan.

Sebenarnya, nenek Gallen tidak menyetujui rencana mereka pindah rumah. Ia lebih menyarankan agar pasangan baru itu tinggal bersamanya di mansion keluarga. 

Namun, sejak Gallen mengambil alih perusahaan, jadwalnya semakin padat dan ia sering pulang larut malam. Jarak dari kantor ke mansion pun cukup jauh, sehingga rumah ini dianggap pilihan terbaik demi menunjang mobilitasnya.

“Tuan Gallen sedang dalam perjalanan kemari. Nyonya bisa istirahat sebentar sementara menunggu beliau. Apa ingin dibawakan makanan atau camilan?”

Panggilan itu masih terasa asing di telinga Alina. Ia sudah beberapa kali meminta Andreas untuk menyebut namanya saja, tetapi lelaki itu tetap teguh memanggilnya demikian.

“Oh, tidak perlu,” tolak Alina sopan. “Aku tidak lapar.”

“Kalau begitu, saya melanjutkan pekerjaan. Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya di depan.” Andreas kembali membungkukkan badan, lalu mundur beberapa langkah, dan pergi meninggalkan Alina seorang diri.

Beberapa orang pembantu berseliweran, mereka sedang sibuk mengangkut barang-barang Alina dan Gallen ke dalam rumah ini.

Alina berdiri mematung di tengah ruang yang begitu luas. Matanya mengedarkan pandangan ke segala penjuru, menyusuri tiap sudut ruangan yang seolah tak habis-habis. 

Ia mengamati ornamen-ornamen dinding yang berpahat halus, juga dekorasi interior yang tampak begitu mewah—mungkin terlalu mewah untuk seseorang sepertinya.

Langit-langit rumah ini terlalu tinggi untuk perasaannya yang rendah diri. Nyonya Sankara, bahkan nama ini terasa seperti nama orang lain.

Saat sedang asik menikmati pemandangan itu, suara langkah lain mengambil alih perhatiannya. Gallen datang membawa sebuah map berwarna hitam. Pria itu belum berganti baju, masih dengan setelan jas kerjanya yang berwarna senada dengan map.

Ia menghentikan langkahnya tak jauh dari tempat Alina berdiri, Tatapan mereka bertemu sejenak.

“Ikut saya!” ucapnya pendek, tanpa penjelasan.

Bagai kerbau dicongok hidungnya, Alina refleks mengikuti langkah Gallen menuju lift yang tersembunyi di balik lorong samping.

Pintu terbuka dengan suara desis pelan, dan keduanya masuk tanpa sepatah kata.

Hening.

Alina bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat berdiri di samping pria itu. Jarak mereka tak sampai satu meter, tapi aura Gallen seolah menciptakan hujan salju di antara mereka.

Lift berhenti di lantai dua.

Ruangan di atas jauh lebih tenang, dengan desain interior yang elegan. Ada ruang bersantai dengan sofa lebar, rak buku, dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Tapi Alina nyaris tak sempat mengamati karena Gallen langsung membuka pintu sebuah kamar.

“Ini kamarmu. Kamu boleh menggunakan semua ruangan di rumah ini, kecuali area pribadi saya yang ada di sayap kanan!" Gallen mengarahkan telunjuknya tepat pada kedua ruangan yang dibangun bersebrangan di sudut kanan.

Alin hanya mengangguk. Cukup masuk akal jika Gallen minta tidur terpisah.

“Tanda tangani ini.” Gallen akhirnya menyerahkan map hitam yang sedari tadi ia bawa.

“Apa ini?” tanya Alina, menatap map itu ragu-ragu.

“Baca saja,” balas Gallen datar, lalu berjalan ke sofa dan mendaratkan tubuhnya di sana. 

Alina yang masih berdiri lantas membuka map di tangannya, perlahan membaca kalimat demi kalimat yang tercetak di lembaran kertas itu. 

Sebuah perjanjian dimana Gallen hanya menikahinya sampai anak dalam kandungan Alina lahir. Setelahnya mereka akan bercerai dan hak asuh anaknya akan jatuh ke keluarga Sankara. 

Gallen bahkan sudah memberikan kompensasi pasca perceraian. Tidak hanya itu pasal demi pasal yang tertulis menjelaskan semua larangan dan hal yang diperbolehkan selama menikah. 

Terakhir, Gallen menegaskan bahwa ia hanya akan memenuhi kebutuhan lahiriah, tanpa ikatan emosional, tanpa keterlibatan pribadi. Ia tak akan mencampuri urusan Alina, begitu pula sebaliknya.

Alina terdiam sejenak. Meskipun dalam hatinya ia merasa cukup diuntungkan di sini karena ia tidak akan berlama-lama menyandang status sebagai istri Gallen, tetapi ia masih merasa penasaran dengan satu hal.

"Kalau pada akhirnya kamu kasih perjanjian ini untuk apa kita menikah secara resmi?" tanya Alina penasaran. 

"Legalitas hak asuh, harus ada pernikahan resmi," jawab Gallen tanpa ragu.

Dahi Alina spontan berkerut. Pantas saja pria itu begitu ngotot ingin menikahinya, bahkan tanpa ragu menggelontorkan ratusan juta rupiah. 

Demi ambisinya itu, karena merasa punya kuasa dan uang, dia pikir bisa mempermainkan hidup orang lain sesukanya?

Tapi... Alina tidak ingin memikirkannya lagi. Ini terasa lebih baik untuknya, sebab jika pernikahan ini memang hanya akan berlangsung singkat, maka semakin cepat berakhir, semakin baik. 

Ia hanya perlu membuat pria itu percaya bahwa kandungan itu tak akan bertahan.

Dengan begitu, semuanya bisa selesai. Ia akan bebas dari pernikahan ini, dari pria sedingin Antartika ini. 

Di saat yang sama, Gallen menangkap senyum tipis yang terukir di bibir Alina. 

Matanya menyipit ketika menyadari wanita itu justru terlihat tidak keberatan sedikitpun dengan perjanjian yang baru saja ia sodorkan.

“Sekarang, kamu hanya perlu menjaga kandungan itu. Jangan sampai terjadi apa-apa dengan darah daging keluarga saya,” ucap Gallen dengan tegas.

Usai mengucapkan itu, Gallen membalikkan tubuh dan bersiap melangkah pergi. Namun, langkahnya tertahan saat suara Alina terdengar dari belakang.

“Tapi bagaimana kalau anak ini tidak bisa bertahan lama?” tanya Alina tanpa basa-basi karena ini yang akan membantunya mempercepat rencananya.

Namun, saat itu juga nyali Alina tiba-tiba menciut melihat Gallen mengepalkan jari-jarinya. Ia bisa merasakan tatapan Gallen mengeras meski pria itu tidak membalikkan badan. 

Semua rencana indah yang sempat ia bayangkan sebelumnya kini menguap begitu saja.

Ia pikir semuanya akan berjalan mudah. Namun, cara Gallen bereaksi tadi membuatnya merasa ragu. Pria itu... benar-benar sulit dipahami.

Merasa telah menyulut kemarahan, Alina buru-buru mencari alasan yang bisa meredakan situasi. “Maksudku …. Dokter pernah bilang kandunganku lemah. Seandainya saja bayi ini tidak bisa—”

“Saya tidak akan segan untuk menghabisimu juga.” Suara Gallen memotong pelan.

Alina merasakan bulu kuduknya berdiri, dan untuk sejenak ia lupa bernapas. Ia sadar itu bukan sekadar pernyataan, tetapi peringatan.

“Jangan harap kamu sempat menyesal!” tambah Gallen.

Gallen tidak menoleh sedikitpun. Ia hanya kembali melangkah, meninggalkan Alina yang berdiri membeku di tempatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 93

    Aluna terdiam membeku. Lidahnya terasa begitu berat, seakan ada simpul tak kasatmata yang mengikatnya rapat. Tenggorokannya kering, napasnya tertahan. Tatapan tajam Gallen menekan seperti bilah pisau yang siap menembus pertahanannya kapan saja.“Jangan paksa saya untuk menggunakan cara kejam, Aluna!” Suara Gallen merendah, namun justru terdengar semakin mengancam. Aura dingin memancar dari sorot matanya yang gelap, membuat udara di antara mereka terasa kian menyesakkan.“Jawab! Kalau kamu berhubungan dengan kakak saya, mengapa bisa berhubungan dengan pria lain?!”Tubuh Aluna tersentak kecil. Jari-jarinya meremas kain gaun yang ia kenakan hingga kusut. Kedua matanya menunduk, menghindari tatapan pria itu. Butuh waktu baginya untuk menarik napas panjang, memaksa suaranya keluar.“Saya… akui, saya salah,” bisiknya lirih, nyaris seperti pengakuan dosa yang terpaksa keluar dari bibirnya. “Awalnya saya tidak tahu siapa itu Rakha. Waktu itu Alina bekerja di butik, dan dia pernah mengantar se

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 92

    Aluna menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, tangan yang menggenggam perangkat itu bergetar halus, seolah berat menahan beban kecemasan yang mencekam. Ia menekan tombol panggil ulang berkali-kali, namun suara nada dering yang monoton terus berputar tanpa ada jawaban di ujung sana.“Tristan! Jawab, tolong!” Suaranya pecah, bergetar penuh kepanikan. Nafasnya tersengal, dada sesak seolah ada beban berat menindihnya.Setiap detik berlalu seperti menyeret waktu menjadi sangat lambat. Matanya melirik ke sekeliling ruang tamu vila yang mewah, dinding putih yang bersih dan perabotan elegan terasa sunyi dan dingin, sama sekali tak memberi ketenangan. Hanya ada suara detak jam dinding yang kian memperbesar rasa gelisah di dalam dadanya.Aluna berdiri, langkahnya mulai mondar-mandir tanpa tujuan pasti, tangan terkepal rapat, berusaha menenangkan diri namun gagal. Kepalanya berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.“Kenapa kamu tidak mengangkat? Apa yang seben

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 91

    Begitu tiba di rumah sakit, Gallen tak membuang waktu. Langkahnya lebar dan cepat, nyaris seperti berlari melewati lorong-lorong yang dipenuhi bau menyengat antiseptik. Udara dingin dari pendingin ruangan seakan tak mampu meredam panas amarah dan cemas yang membakar dadanya.Ia langsung mendorong pintu ruang UGD, tatapannya segera tertuju pada sosok Alina yang terbaring di atas brankar. Wajah istrinya pucat, mata terpejam, dan oksigen tipis menggantung di hidungnya. Selang infus menempel di lengan, menyalurkan cairan bening yang menetes pelan.Di sisi brankar, dokter Sarah berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya penuh keseriusan.“Bagaimana keadaannya?” suara Gallen terdengar dalam, tegang, nyaris pecah. Ia menarik kursi kecil dan duduk di tepi brankar, jemarinya langsung meraih lengan Alina yang diinfus, menggenggamnya seolah takut kehilangan.Dokter Sarah menghela napas pelan sebelum menjawab, “Meskipun terjatuh cukup kencang, untungnya janin dalam kandungan Nyonya cukup kuat.

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 90

    Beberapa hari setelah Aluna melahirkan, bukannya suasana menjadi tenang, justru hati Alina terusik. Seolah setiap hal, sekecil apa pun, menjadi alasan bagi Aluna untuk merepotkan Gallen. Pagi ini saja, baru lewat pukul tujuh, telepon dari Aluna sudah berdering dengan nada panik. Suaranya terdengar terburu-buru, hampir seperti menangis. Katanya, bayinya muntah setelah menyusu, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Gallen yang saat itu tengah sarapan bersama Alina pun diminta segera datang. Untungnya, Gallen tidak pernah turun tangan sendiri. Pria itu selalu mengutus orang untuk datang ke rumah Aluna, entah itu bidan, dokter, atau staf rumah tangga yang bisa membantu. Setiap kali itu terjadi, Alina hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ibu baru bisa begitu bergantung, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya bisa ditangani sendiri. Malam ini pun sama. Menjelang tengah malam, ketika Alina baru saja hendak memejamkan mata, Andreas muncul di ambang

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 89

    Gallen mendongak, menatap istrinya. Secepat kilat, ekspresinya berubah menjadi lebih ramah, bahkan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang nyaris meyakinkan."Masalah pekerjaan," jawabnya singkat, suaranya terdengar santai—terlalu santai untuk seseorang yang baru saja memancarkan aura sedingin baja.Namun, Alina bisa merasakan bahwa di balik senyum itu, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Tatapan Gallen hanya bertahan sebentar sebelum ia meraih gelas kopinya, meneguk pelan seakan ingin mengakhiri pembicaraan.***Setelah makan, Gallen mengajak Alina menuju rumah sakit. Udara sore itu terasa sedikit pengap, bercampur aroma antiseptik begitu mereka memasuki lobi. Di bangsal rawat, Aluna sudah terbaring di ranjang pasien dengan wajah dibuat pucat memelas, meski riasan tipisnya masih terlihat rapi.Begitu melihat Gallen masuk, senyumnya langsung merekah. Ia menegakkan tubuh, lalu menggendong bayi mungil yang dibungkus kain bedong warna putih.“Tuan Gallen, lihatlah…” Sua

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 88

    Keesokan paginya, udara masih dingin saat Gallen dan Alina tiba di rumah sakit. Bau antiseptik langsung menyergap begitu mereka memasuki lobi. Suara langkah kaki para perawat dan denting alat medis berpadu menjadi irama yang tak pernah berhenti.Di depan ruang operasi, suasana penuh kecemasan. Yasmin sudah duduk di kursi tunggu, wajahnya pucat, jemari terus meremas sapu tangan seolah mencoba menyalurkan ketegangan. Begitu melihat Gallen dan Alina datang, ia berdiri terburu-buru."Bu? Bagaimana keadaan Aluna?" tanya Gallen. “Operasinya baru saja dimulai,” ucap Yasmin dengan suara pelan namun tergesa. “Dokter bilang butuh waktu sekitar satu jam.”Gallen hanya mengangguk singkat, sebelum berjalan mrndekat ke arah Andreas.Sementara Alina lalu duduk di kursi kosong. Dia ingin menyapa ibunya tapi Yasmin justru berpindah tempat, menjauh dari Alina. Dalam hati, Alinabtersenyum miris. "Hanya duduk berdamlingan saja, Yasmin menganggapnya seolah barang yang menjijikkan.""Ibu mau aku pesankan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status