Tepat tiga hari setelah Gallen datang melamar, pria itu benar-benar menikahi Alina.
Hari pernikahan mereka berlangsung kemarin, dengan prosesi sederhana yang digelar di halaman rumah keluarga Sankara.
Tanpa sorotan media, tanpa publikasi apa pun.
Semua itu dilakukan demi menghindari pembicaraan publik, sekaligus sebagai bentuk penghormatan untuk mendiang Rakha yang belum genap sebulan wafat.
Pernikahan itu hanya dihadiri oleh beberapa kerabat dari pihak keluarga Gallen dan Alina. Kini, mereka resmi menjadi sepasang suami istri.
***
“Silakan, Nyonya.” Andreas menunduk sopan sambil membukakan pintu, lalu mengantar Alina menuju ruang tengah.
Sore ini, asisten pribadi Gallen itu menjemput Alina untuk pindah ke rumah baru. Sebuah bangunan megah di kawasan perumahan elite, jauh melebihi apa pun yang pernah Alina bayangkan.
Sebenarnya, nenek Gallen tidak menyetujui rencana mereka pindah rumah. Ia lebih menyarankan agar pasangan baru itu tinggal bersamanya di mansion keluarga.
Namun, sejak Gallen mengambil alih perusahaan, jadwalnya semakin padat dan ia sering pulang larut malam. Jarak dari kantor ke mansion pun cukup jauh, sehingga rumah ini dianggap pilihan terbaik demi menunjang mobilitasnya.
“Tuan Gallen sedang dalam perjalanan kemari. Nyonya bisa istirahat sebentar sementara menunggu beliau. Apa ingin dibawakan makanan atau camilan?”
Panggilan itu masih terasa asing di telinga Alina. Ia sudah beberapa kali meminta Andreas untuk menyebut namanya saja, tetapi lelaki itu tetap teguh memanggilnya demikian.
“Oh, tidak perlu,” tolak Alina sopan. “Aku tidak lapar.”
“Kalau begitu, saya melanjutkan pekerjaan. Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya di depan.” Andreas kembali membungkukkan badan, lalu mundur beberapa langkah, dan pergi meninggalkan Alina seorang diri.
Beberapa orang pembantu berseliweran, mereka sedang sibuk mengangkut barang-barang Alina dan Gallen ke dalam rumah ini.
Alina berdiri mematung di tengah ruang yang begitu luas. Matanya mengedarkan pandangan ke segala penjuru, menyusuri tiap sudut ruangan yang seolah tak habis-habis.
Ia mengamati ornamen-ornamen dinding yang berpahat halus, juga dekorasi interior yang tampak begitu mewah—mungkin terlalu mewah untuk seseorang sepertinya.
Langit-langit rumah ini terlalu tinggi untuk perasaannya yang rendah diri. Nyonya Sankara, bahkan nama ini terasa seperti nama orang lain.
Saat sedang asik menikmati pemandangan itu, suara langkah lain mengambil alih perhatiannya. Gallen datang membawa sebuah map berwarna hitam. Pria itu belum berganti baju, masih dengan setelan jas kerjanya yang berwarna senada dengan map.
Ia menghentikan langkahnya tak jauh dari tempat Alina berdiri, Tatapan mereka bertemu sejenak.
“Ikut saya!” ucapnya pendek, tanpa penjelasan.
Bagai kerbau dicongok hidungnya, Alina refleks mengikuti langkah Gallen menuju lift yang tersembunyi di balik lorong samping.
Pintu terbuka dengan suara desis pelan, dan keduanya masuk tanpa sepatah kata.
Hening.
Alina bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat berdiri di samping pria itu. Jarak mereka tak sampai satu meter, tapi aura Gallen seolah menciptakan hujan salju di antara mereka.
Lift berhenti di lantai dua.
Ruangan di atas jauh lebih tenang, dengan desain interior yang elegan. Ada ruang bersantai dengan sofa lebar, rak buku, dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Tapi Alina nyaris tak sempat mengamati karena Gallen langsung membuka pintu sebuah kamar.
“Ini kamarmu. Kamu boleh menggunakan semua ruangan di rumah ini, kecuali area pribadi saya yang ada di sayap kanan!" Gallen mengarahkan telunjuknya tepat pada kedua ruangan yang dibangun bersebrangan di sudut kanan.
Alin hanya mengangguk. Cukup masuk akal jika Gallen minta tidur terpisah.
“Tanda tangani ini.” Gallen akhirnya menyerahkan map hitam yang sedari tadi ia bawa.
“Apa ini?” tanya Alina, menatap map itu ragu-ragu.
“Baca saja,” balas Gallen datar, lalu berjalan ke sofa dan mendaratkan tubuhnya di sana.
Alina yang masih berdiri lantas membuka map di tangannya, perlahan membaca kalimat demi kalimat yang tercetak di lembaran kertas itu.
Sebuah perjanjian dimana Gallen hanya menikahinya sampai anak dalam kandungan Alina lahir. Setelahnya mereka akan bercerai dan hak asuh anaknya akan jatuh ke keluarga Sankara.
Gallen bahkan sudah memberikan kompensasi pasca perceraian. Tidak hanya itu pasal demi pasal yang tertulis menjelaskan semua larangan dan hal yang diperbolehkan selama menikah.
Terakhir, Gallen menegaskan bahwa ia hanya akan memenuhi kebutuhan lahiriah, tanpa ikatan emosional, tanpa keterlibatan pribadi. Ia tak akan mencampuri urusan Alina, begitu pula sebaliknya.
Alina terdiam sejenak. Meskipun dalam hatinya ia merasa cukup diuntungkan di sini karena ia tidak akan berlama-lama menyandang status sebagai istri Gallen, tetapi ia masih merasa penasaran dengan satu hal.
"Kalau pada akhirnya kamu kasih perjanjian ini untuk apa kita menikah secara resmi?" tanya Alina penasaran.
"Legalitas hak asuh, harus ada pernikahan resmi," jawab Gallen tanpa ragu.
Dahi Alina spontan berkerut. Pantas saja pria itu begitu ngotot ingin menikahinya, bahkan tanpa ragu menggelontorkan ratusan juta rupiah.
Demi ambisinya itu, karena merasa punya kuasa dan uang, dia pikir bisa mempermainkan hidup orang lain sesukanya?
Tapi... Alina tidak ingin memikirkannya lagi. Ini terasa lebih baik untuknya, sebab jika pernikahan ini memang hanya akan berlangsung singkat, maka semakin cepat berakhir, semakin baik.
Ia hanya perlu membuat pria itu percaya bahwa kandungan itu tak akan bertahan.
Dengan begitu, semuanya bisa selesai. Ia akan bebas dari pernikahan ini, dari pria sedingin Antartika ini.
Di saat yang sama, Gallen menangkap senyum tipis yang terukir di bibir Alina.
Matanya menyipit ketika menyadari wanita itu justru terlihat tidak keberatan sedikitpun dengan perjanjian yang baru saja ia sodorkan.
“Sekarang, kamu hanya perlu menjaga kandungan itu. Jangan sampai terjadi apa-apa dengan darah daging keluarga saya,” ucap Gallen dengan tegas.
Usai mengucapkan itu, Gallen membalikkan tubuh dan bersiap melangkah pergi. Namun, langkahnya tertahan saat suara Alina terdengar dari belakang.
“Tapi bagaimana kalau anak ini tidak bisa bertahan lama?” tanya Alina tanpa basa-basi karena ini yang akan membantunya mempercepat rencananya.
Namun, saat itu juga nyali Alina tiba-tiba menciut melihat Gallen mengepalkan jari-jarinya. Ia bisa merasakan tatapan Gallen mengeras meski pria itu tidak membalikkan badan.
Semua rencana indah yang sempat ia bayangkan sebelumnya kini menguap begitu saja.
Ia pikir semuanya akan berjalan mudah. Namun, cara Gallen bereaksi tadi membuatnya merasa ragu. Pria itu... benar-benar sulit dipahami.
Merasa telah menyulut kemarahan, Alina buru-buru mencari alasan yang bisa meredakan situasi. “Maksudku …. Dokter pernah bilang kandunganku lemah. Seandainya saja bayi ini tidak bisa—”
“Saya tidak akan segan untuk menghabisimu juga.” Suara Gallen memotong pelan.
Alina merasakan bulu kuduknya berdiri, dan untuk sejenak ia lupa bernapas. Ia sadar itu bukan sekadar pernyataan, tetapi peringatan.
“Jangan harap kamu sempat menyesal!” tambah Gallen.
Gallen tidak menoleh sedikitpun. Ia hanya kembali melangkah, meninggalkan Alina yang berdiri membeku di tempatnya.
Andreas terkejut mendengar pernyataan Alina. Ketika sang nyonya baru saja menundukkan tubuhnya, pria itu cepat-cepat menahan tangan Alina, mencegahnya melanjutkan.“Nyonya, Anda tidak boleh seperti ini,” ujarnya lembut sambil membantu Alina berdiri tegak kembali. Pandangannya kemudian terarah ke papan nomor antrean. “Lebih baik kita ambil dulu obat untuk Nona Caroline. Setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.”Alina menatap mata Andreas. Ada ketulusan di sana, dan itu cukup untuk membuatnya mengangguk setuju. Setelah menunggu sekitar lima pasien, akhirnya Alina mendapatkan obat untuk adik iparnya.Begitu mereka sampai di lorong yang sepi, Alina langsung menuntut, “Sekarang, kamu harus menepati janjimu, Andreas.”Andreas menghela napas panjang. Nada suaranya berat, seolah apa yang akan diucapkannya bukan hal mudah.“Sebenarnya, selama di luar negeri, Tuan Gallen mengidap penyakit. Radang lambung akut dan insomnia…”"Selama di luar negeri?" ulang Alina, berusaha memahami setiap kata
"Caroline masuk rumah sakit."Hanya ith penjelasan singkat yang diberikan Gallen sebelum menarik tangannya meninggalkan pemakaman keluarga itu. Tanpa basa-basi, Gallen memacu mobilnya membelah jalanan raya menuju rumah sakit. ***Rumah Sakit. Di dalam Instalasi Gawat Darurat, Gallen dan Alina berdiri di sisi sebuah brankar tempat Caroline terduduk lemas.Wajah gadis itu pucat, tetapi rautnya tak menunjukkan rasa sakit, seolah kehilangan banyak darah tak berarti apa-apa baginya.“Sudah dibilang, tetaplah di rumah. Kalau mau pergi, tunggu kami pulang dulu,” tegur Gallen, menatap adik sepupunya itu dengan sorot mata tajam.Caroline hanya meringis sambil mengusap kakinya yang baru saja dijahit akibat luka robek di telapak. Sebuah perban selebar lima senti dan sepanjang satu jengkal menempel di sana.Pagi ini, ia nekat pergi ke pantai sendirian. Entah apa yang dilakukannya hingga tanpa sadar menginjak pecahan kerang dan terluka."Habisnya, kalian pergi tanpa mengajak aku. " Caroline men
Alina mengangguk. Dengan satu gerakan lembut ia meraih satu tangan Gallen dan menggenggamnya. “Saat aku bertengkar dengan Ibu, saat aku menangis dan butuh sandaran, saat aku tak tahu harus mengadu pada siapa… kamu selalu ada untukku.” Sudut bibir Alina terangkat, meski sedikit canggung. Ia tahu mungkin Gallen akan merespons dingin, tapi ia tetap berusaha percaya diri. “Rasanya tidak adil kalau aku nggak peduli padamu, kan?” Gallen menyipitkan mata, tatapannya tajam. “Jadi kamu bagi beban cuma supaya kita impas?” Semangat Alina perlahan mengendur. Sejak awal, meyakinkan Gallen memang seperti menguras laut yang tak pernah surut. Namun, ia tidak akan menyerah. Ia tetap ingin bertahan sampai titik darah penghabisan. “Bukan begitu maksudku. Aku sadar, kita berdua punya masalah yang hampir sama. Kamu suamiku. Wajar kalau seorang istri ingin memahami suaminya. Bukannya malah menambah beban. Lagi pula, di hadapan makam Mama… mana mungkin aku cuma bicara omong kosong?” Hela napas mel
Alina hanya mengangguk sebagai jawaban.Dalam benaknya hanya ada dua kemungkinan: Gallen membawanya ke tempat bersantai sekadar menikmati liburan setelah hari yang sibuk dan panjang, atau ke tempat yang sangat spesial baginya.***Bagi keluarga Sankara, tidak ada yang mustahil.Dengan kekayaan dan kuasa yang mereka miliki, seribu candi pun bisa dibangun bila mereka mau.Termasuk tempat yang dikunjungi Alina pagi itu.Tanah seluas puluhan hektar, setara dengan lahan pabrik, telah disulap menjadi kompleks pemakaman mewah.Kalau bukan karena menjadi istri Gallen, orang biasa seperti Alina mungkin tak akan pernah menginjakkan kaki di sana. Alina melangkah perlahan di atas lempengan andesit yang membentang rapi di halaman pemakaman. Langkahnya berusaha mengimbangi Gallen yang berjalan tenang tetapi cepat, sambil tetap menjaga keranjang bunga segar yang ia genggam erat di tangan kanan.Hingga akhirnya, Gallen berhenti di depan sebuah pusara besar.Saking megahnya, Alina sempat mengira seti
Alina sudah menarik napas dalam-dalam. Jika saja Carolline membuka pintu dan melihat mereka dalam posisi yang intim lagi, ia bisa salah paham. Bisa gawat kalau Carolline mengira Alina meninggalkannya hanya untuk bermesraan dengan Gallen.Untung saja, panggilan Belinda mengalihkan perhatian gadis itu. “Nona Carolline, ada panggilan dari ponsel Nona.” Begitulah suara Belinda yang terdengar oleh Gallen dan Alina. Tuas pintu kembali ke posisinya. Detik berikutnya mereka mendengar suara langkah yang menjauh. Darah Alina seketika kembali mengalir. Hanya saja jarak yang hanya sejengkal dengan tubuh Gallen tak bisa membuat dadanya tenang.“Gallen…,” Alina berbisik gugup. “Lepaskan aku.”Namun, Gallen tidak menjawab.Sebaliknya, pria itu justru mendekat. Tubuhnya condong ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa jari. Napas hangatnya menyapu pipi Alina, membuat bulu kuduknya meremang.Jantung Alina berdegup kencang, matanya membulat panik. Apa yang akan dilakukan pria ini?“Gallen...?” Ia
Gallen menurunkan ponselnya perlahan, jemarinya yang kokoh menyelipkan benda itu ke dalam saku jas hitamnya yang tampak rapi tanpa cela. Tatapan matanya jatuh pada Alina, menelusuri wajah perempuan itu dengan diam penuh arti. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Alina menahan napas.Tanpa sepatah kata pun, pria itu mengulurkan tangan.Alina memandangnya dengan alis berkerut. “Kamu mau apa?” bisiknya, ragu.“Tanganmu,” balas Gallen pelan, datar, namun nadanya membuat Alina tak punya pilihan untuk menolak.Jantungnya berdetak lebih cepat. Meski tak memahami maksud Gallen, ia tetap mengulurkan tangan, membiarkannya menggenggam jemarinya. Cengkeramannya tidak kasar, namun juga tidak lembut. Tegas—seolah menyampaikan bahwa ia tak mau dibantah.Tanpa menjelaskan apa pun, Gallen menarik Alina menyusuri lorong sunyi hingga berhenti di depan sebuah ruangan tertutup. Dengan satu tangan, ia mendorong daun pintu, membuka ruangan itu. Di tengahnya, sebuah meja bundar telah ditata rapi. Piring,