Kalimat terakhir Gallen sore tadi masih terngiang di kepala Alina.
Hingga malam menjelang, perempuan itu masih menatap lembar perjanjian yang telah ia tandatangani. Frustasi, bingung memikirkan cara untuk mengakhiri kebohongan tentang kehamilan palsu ini.
Segalanya sudah terlanjur runyam.
Di satu sisi, Gallen tak akan segan melakukan apapun padanya jika tahu kebenaran. Tapi di sisi lain, ia sendiri telah lebih dulu memilih jalan yang keliru.
Empat bulan.
Hanya itu waktu yang tersisa sebelum Gallen mulai bertanya—kenapa perutnya belum juga membesar?
Tepat saat Alina menghembuskan napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.
Ia cepat menyimpan dokumen dan membuka pintu.
Seorang wanita dengan seragam rapi dan rambut yang ditata sederhana berdiri dengan senyum ramah.
Alina mengenalnya.
Itu adalah Belinda, kepala pengurus rumah tangga kediaman Sankara yang diminta Gallen membantu di rumah ini.
“Selamat malam, Nyonya,” ujar wanita berusia sekitar empat puluhan itu. “Makan malam sudah disiapkan.”
“Oh, baiklah, Bi. Sebentar lagi saya turun.”
Belinda mengangguk, kemudian berjalan menjauh dari kamarnya. Alina pun segera masuk ke dalam kamarnya. Ia membasuh wajah dan merapikan penampilannya sekenanya.
Lalu, mengambil map hitam yang diberikan Gallen tadi dan membawanya pergi.
***
Ketika tiba di lantai satu, Alina tidak melihat sosok Gallen. Bahkan hingga kakinya berhenti di meja makan, ia tidak melihat pria itu.
Hanya Belinda yang terlihat sibuk menata peralatan makan yang belum selesai dipindahkan ke kabinet dapur.
Alina lantas berdiri sejenak di samping meja makan, menatap hidangan yang sudah disusun rapi. Ayam panggang, sup jagung, dan beberapa menu lainnya tampak masih mengepulkan uap.
"Nyonya perlu sesuatu? Atau kurang suka dengan menu malam ini?" tanya Belinda yang kini menoleh ke arahnya.
"Bukan begitu. Tidak ada masalah dengan makanannya. Hanya saja ... dimana Gallen?"
Sudut bibir Belinda sedikit terangkat, sekilas, sebelum kembali ke ekspresi netralnya.
“Tuan Gallen sedang berdiskusi dengan Tuan Andreas di ruang kerja. Nyonya dipersilakan makan lebih dulu.”
Alina mengangguk, menarik kursi, dan mulai menyendok sup jagung ke mangkuk kecil. Baru beberapa suap kuah asin itu menyentuh lidahnya, suara langkah pelan dan percakapan lirih terdengar dari arah lift.
Gallen dan Andreas tampaknya baru saja mengakhiri pembicaraan mereka. Andreas hanya mengangguk singkat ke arah Alina sebelum berlalu, menghilang di balik lorong rumah. Sementara Gallen menuju meja makan.
Kini pria itu tampil lebih santai dengan kaos biru tua berkerah kecil terbuka dan celana pendek senada yang menonjolkan postur tegapnya.
Kedua tangannya penuh sebuah dompet kulit hitam dan dua paper bag polos dengan warna berbeda. Tanpa banyak bicara, ia meletakkan benda-benda itu di meja makan, lalu mengambil makanannya sendiri.
Hingga makan malam selesai, mereka nyaris tak bertukar kata. Saat Alina hendak meraih piring kotor di hadapannya, suara datar Gallen menghentikannya.
“Biar Belinda yang urus.”
“Ini cuma cuci piring, aku bisa sendiri—”
“Perhatikan statusmu di rumah ini!” Gallen memperingatinya lagi.
Bukan karena peduli. Hanya saja, bagi Gallen, mencuci piring bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan istri keluarga Sankara—terutama saat ada pembantu.
Alina lantas terdiam. Ia terbiasa mengurus segalanya sendiri. Dilayani seperti ini justru membuatnya kikuk.
Tak berani membantah, ia kembali duduk.
Alina lantas mengambil map hitam yang ia letakkan di sebelahnya. Selanjutnya memberikan benda itu kepada Gallen. “Map ini sudah aku tanda tangani. Tapi, bolehkah aku minta satu permintaan?”
“Katakan,” ujar Gallen seraya memeriksa berkas yang diserahkan Alina.
Akan tetapi gerakan itu terhenti saat Alina berkata, “Aku ingin mencari kerja.”
Sepasang mata elang Gallen kini mengarah padanya.
Sebelumnya Alina sudah menduga pria itu akan sulit untuk diajak berdiskusi. Tapi, bekerja adalah satu-satunya jalan agar ia bisa menyusun skenario keguguran yang masuk akal.
“Bukankah kamu bilang tidak akan mencampuri urusanku? Aku janji, tidak akan membawa nama keluarga Sankara. Lagipula tidak ada yang tahu kita sudah menikah, kan?”
Gallen tidak segera menjawab pertanyaan itu. Hanya menutup map dan mengeluarkan sebuah kartu dari dompet hitamnya, lalu meletakkannya di hadapan Alina lengkap dengan catatan nomor PIN yang tertulis rapi pada secarik kertas kecil.
“Kalau butuh sesuatu, pakai ini,” katanya, lalu menutup kembali dompetnya.
Beberapa detik Alina menatap benda tipis berbentuk persegi panjang itu. Namun, dengan perlahan ia menggeser kembali kartu tersebut ke arah Gallen.
“Aku cuma ingin punya penghasilan sendiri,” kata Alina dengan tegas.
Namun, Gallen tetap mendorong kartu itu kembali padanya. Lelaki itu bersedekap dan bersandar, tanpa melepaskan pandangannya pada wajah istrinya. “Isi kartu itu lebih dari cukup. Tidak usah kerja.”
Alina menghela napas panjang. “Itu semua memang cukup untukku. Tapi aku masih punya tanggungan. Ayah dan ibu.”
“Kamu lupa kata-kata saya tadi sore?”
“Bukan begitu. Aku tidak mungkin membiarkan ibu kerja sendiri. Meskipun kamu sudah kasih mahar dua ratus juta, tapi itu mungkin habis untuk pengobatan ayah saja,” sanggah Alina.
Gallen menegakkan tubuhnya, lalu merapikan map dan dompet di hadapannya. “Biar mereka jadi tanggungan saya.”
Jawaban itu membuat Alina tak bisa berdalih lagi. Sebanyak apapun ia melayangkan bujuk rayu, Gallen tak akan mengubah kehendaknya.
Akhirnya, ia hanya bisa pasrah mengikuti perintah itu. Masih ada waktu untuk mencari cara lain, pikirnya dalam hati.
Pria itu lantas mengambil paper bag berwarna putih polos lalu menyerahkannya pada Alina. “Ganti ponselmu dengan ini. Minta Andreas pindahkan datanya.”
Belum sempat Alina bereaksi, Gallen kembali menyodorkan sebuah paper bag berwarna merah muda.
Alina menatap kedua kantong kertas di hadapannya bergantian. Kantong pertama berisi ponsel baru. Kantong terakhir yang diserahkan Gallen berisi susu dan vitamin khusus untuk ibu hamil.
“Minggu depan, saya sudah buat janji dengan dokter kandungan,” kata Gallen lagi.
Alina terperangah ketika Gallen menyebut dokter kandungan. Wajahnya mendadak tegang. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
Pandangannya tertumbuk pada kantong berisi susu dan vitamin khusus ibu hamil di hadapannya.
Benda-benda itu… bisa saja ia buang, tapi bagaimana dengan janji ke dokter kandungan?
Bagaimana ia bisa mencari alasan?
Astaga… Tamatlah riwayatnya!
Aluna terdiam membeku. Lidahnya terasa begitu berat, seakan ada simpul tak kasatmata yang mengikatnya rapat. Tenggorokannya kering, napasnya tertahan. Tatapan tajam Gallen menekan seperti bilah pisau yang siap menembus pertahanannya kapan saja.“Jangan paksa saya untuk menggunakan cara kejam, Aluna!” Suara Gallen merendah, namun justru terdengar semakin mengancam. Aura dingin memancar dari sorot matanya yang gelap, membuat udara di antara mereka terasa kian menyesakkan.“Jawab! Kalau kamu berhubungan dengan kakak saya, mengapa bisa berhubungan dengan pria lain?!”Tubuh Aluna tersentak kecil. Jari-jarinya meremas kain gaun yang ia kenakan hingga kusut. Kedua matanya menunduk, menghindari tatapan pria itu. Butuh waktu baginya untuk menarik napas panjang, memaksa suaranya keluar.“Saya… akui, saya salah,” bisiknya lirih, nyaris seperti pengakuan dosa yang terpaksa keluar dari bibirnya. “Awalnya saya tidak tahu siapa itu Rakha. Waktu itu Alina bekerja di butik, dan dia pernah mengantar se
Aluna menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, tangan yang menggenggam perangkat itu bergetar halus, seolah berat menahan beban kecemasan yang mencekam. Ia menekan tombol panggil ulang berkali-kali, namun suara nada dering yang monoton terus berputar tanpa ada jawaban di ujung sana.“Tristan! Jawab, tolong!” Suaranya pecah, bergetar penuh kepanikan. Nafasnya tersengal, dada sesak seolah ada beban berat menindihnya.Setiap detik berlalu seperti menyeret waktu menjadi sangat lambat. Matanya melirik ke sekeliling ruang tamu vila yang mewah, dinding putih yang bersih dan perabotan elegan terasa sunyi dan dingin, sama sekali tak memberi ketenangan. Hanya ada suara detak jam dinding yang kian memperbesar rasa gelisah di dalam dadanya.Aluna berdiri, langkahnya mulai mondar-mandir tanpa tujuan pasti, tangan terkepal rapat, berusaha menenangkan diri namun gagal. Kepalanya berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.“Kenapa kamu tidak mengangkat? Apa yang seben
Begitu tiba di rumah sakit, Gallen tak membuang waktu. Langkahnya lebar dan cepat, nyaris seperti berlari melewati lorong-lorong yang dipenuhi bau menyengat antiseptik. Udara dingin dari pendingin ruangan seakan tak mampu meredam panas amarah dan cemas yang membakar dadanya.Ia langsung mendorong pintu ruang UGD, tatapannya segera tertuju pada sosok Alina yang terbaring di atas brankar. Wajah istrinya pucat, mata terpejam, dan oksigen tipis menggantung di hidungnya. Selang infus menempel di lengan, menyalurkan cairan bening yang menetes pelan.Di sisi brankar, dokter Sarah berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya penuh keseriusan.“Bagaimana keadaannya?” suara Gallen terdengar dalam, tegang, nyaris pecah. Ia menarik kursi kecil dan duduk di tepi brankar, jemarinya langsung meraih lengan Alina yang diinfus, menggenggamnya seolah takut kehilangan.Dokter Sarah menghela napas pelan sebelum menjawab, “Meskipun terjatuh cukup kencang, untungnya janin dalam kandungan Nyonya cukup kuat.
Beberapa hari setelah Aluna melahirkan, bukannya suasana menjadi tenang, justru hati Alina terusik. Seolah setiap hal, sekecil apa pun, menjadi alasan bagi Aluna untuk merepotkan Gallen. Pagi ini saja, baru lewat pukul tujuh, telepon dari Aluna sudah berdering dengan nada panik. Suaranya terdengar terburu-buru, hampir seperti menangis. Katanya, bayinya muntah setelah menyusu, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Gallen yang saat itu tengah sarapan bersama Alina pun diminta segera datang. Untungnya, Gallen tidak pernah turun tangan sendiri. Pria itu selalu mengutus orang untuk datang ke rumah Aluna, entah itu bidan, dokter, atau staf rumah tangga yang bisa membantu. Setiap kali itu terjadi, Alina hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ibu baru bisa begitu bergantung, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya bisa ditangani sendiri. Malam ini pun sama. Menjelang tengah malam, ketika Alina baru saja hendak memejamkan mata, Andreas muncul di ambang
Gallen mendongak, menatap istrinya. Secepat kilat, ekspresinya berubah menjadi lebih ramah, bahkan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang nyaris meyakinkan."Masalah pekerjaan," jawabnya singkat, suaranya terdengar santai—terlalu santai untuk seseorang yang baru saja memancarkan aura sedingin baja.Namun, Alina bisa merasakan bahwa di balik senyum itu, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Tatapan Gallen hanya bertahan sebentar sebelum ia meraih gelas kopinya, meneguk pelan seakan ingin mengakhiri pembicaraan.***Setelah makan, Gallen mengajak Alina menuju rumah sakit. Udara sore itu terasa sedikit pengap, bercampur aroma antiseptik begitu mereka memasuki lobi. Di bangsal rawat, Aluna sudah terbaring di ranjang pasien dengan wajah dibuat pucat memelas, meski riasan tipisnya masih terlihat rapi.Begitu melihat Gallen masuk, senyumnya langsung merekah. Ia menegakkan tubuh, lalu menggendong bayi mungil yang dibungkus kain bedong warna putih.“Tuan Gallen, lihatlah…” Sua
Keesokan paginya, udara masih dingin saat Gallen dan Alina tiba di rumah sakit. Bau antiseptik langsung menyergap begitu mereka memasuki lobi. Suara langkah kaki para perawat dan denting alat medis berpadu menjadi irama yang tak pernah berhenti.Di depan ruang operasi, suasana penuh kecemasan. Yasmin sudah duduk di kursi tunggu, wajahnya pucat, jemari terus meremas sapu tangan seolah mencoba menyalurkan ketegangan. Begitu melihat Gallen dan Alina datang, ia berdiri terburu-buru."Bu? Bagaimana keadaan Aluna?" tanya Gallen. “Operasinya baru saja dimulai,” ucap Yasmin dengan suara pelan namun tergesa. “Dokter bilang butuh waktu sekitar satu jam.”Gallen hanya mengangguk singkat, sebelum berjalan mrndekat ke arah Andreas.Sementara Alina lalu duduk di kursi kosong. Dia ingin menyapa ibunya tapi Yasmin justru berpindah tempat, menjauh dari Alina. Dalam hati, Alinabtersenyum miris. "Hanya duduk berdamlingan saja, Yasmin menganggapnya seolah barang yang menjijikkan.""Ibu mau aku pesankan