Share

Bab 3

Penulis: Allensia Maren
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 09:43:24

Kalimat terakhir Gallen sore tadi masih terngiang di kepala Alina. 

Hingga malam menjelang, perempuan itu masih menatap lembar perjanjian yang telah ia tandatangani. Frustasi, bingung memikirkan cara untuk mengakhiri kebohongan tentang kehamilan palsu ini.

Segalanya sudah terlanjur runyam.

Di satu sisi, Gallen tak akan segan melakukan apapun padanya jika tahu kebenaran. Tapi di sisi lain, ia sendiri telah lebih dulu memilih jalan yang keliru.

Empat bulan.

Hanya itu waktu yang tersisa sebelum Gallen mulai bertanya—kenapa perutnya belum juga membesar?

Tepat saat Alina menghembuskan napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

Ia cepat menyimpan dokumen dan membuka pintu.

Seorang wanita dengan seragam rapi dan rambut yang ditata sederhana berdiri dengan senyum ramah.

Alina mengenalnya.

Itu adalah Belinda, kepala pengurus rumah tangga kediaman Sankara yang diminta Gallen membantu di rumah ini.

“Selamat malam, Nyonya,” ujar wanita berusia sekitar empat puluhan itu. “Makan malam sudah disiapkan.”

“Oh, baiklah, Bi. Sebentar lagi saya turun.”

Belinda mengangguk, kemudian berjalan menjauh dari kamarnya. Alina pun segera masuk ke dalam kamarnya. Ia membasuh wajah dan merapikan penampilannya sekenanya.

Lalu, mengambil map hitam yang diberikan Gallen tadi dan membawanya pergi.

***

Ketika tiba di lantai satu, Alina tidak melihat sosok Gallen. Bahkan hingga kakinya berhenti di meja makan, ia tidak melihat pria itu. 

Hanya Belinda yang terlihat sibuk menata peralatan makan yang belum selesai dipindahkan ke kabinet dapur. 

Alina lantas berdiri sejenak di samping meja makan, menatap hidangan yang sudah disusun rapi. Ayam panggang, sup jagung, dan beberapa menu lainnya tampak masih mengepulkan uap.

"Nyonya perlu sesuatu? Atau kurang suka dengan menu malam ini?" tanya Belinda yang kini menoleh ke arahnya.

"Bukan begitu. Tidak ada masalah dengan makanannya. Hanya saja ... dimana Gallen?"

Sudut bibir Belinda sedikit terangkat, sekilas, sebelum kembali ke ekspresi netralnya.

“Tuan Gallen sedang berdiskusi dengan Tuan Andreas di ruang kerja. Nyonya dipersilakan makan lebih dulu.”

Alina mengangguk, menarik kursi, dan mulai menyendok sup jagung ke mangkuk kecil. Baru beberapa suap kuah asin itu menyentuh lidahnya, suara langkah pelan dan percakapan lirih terdengar dari arah lift.

Gallen dan Andreas tampaknya baru saja mengakhiri pembicaraan mereka. Andreas hanya mengangguk singkat ke arah Alina sebelum berlalu, menghilang di balik lorong rumah. Sementara Gallen menuju meja makan. 

Kini pria itu tampil lebih santai dengan kaos biru tua berkerah kecil terbuka dan celana pendek senada yang menonjolkan postur tegapnya.

Kedua tangannya penuh sebuah dompet kulit hitam dan dua paper bag polos dengan warna berbeda. Tanpa banyak bicara, ia meletakkan benda-benda itu di meja makan, lalu mengambil makanannya sendiri.

Hingga makan malam selesai, mereka nyaris tak bertukar kata. Saat Alina hendak meraih piring kotor di hadapannya, suara datar Gallen menghentikannya.

“Biar Belinda yang urus.”

“Ini cuma cuci piring, aku bisa sendiri—”

“Perhatikan statusmu di rumah ini!” Gallen memperingatinya lagi. 

Bukan karena peduli. Hanya saja, bagi Gallen, mencuci piring bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan istri keluarga Sankara—terutama saat ada pembantu.

Alina lantas terdiam. Ia terbiasa mengurus segalanya sendiri. Dilayani seperti ini justru membuatnya kikuk.

Tak berani membantah, ia kembali duduk. 

Alina lantas mengambil map hitam yang ia letakkan di sebelahnya. Selanjutnya memberikan benda itu kepada Gallen. “Map ini sudah aku tanda tangani. Tapi, bolehkah aku minta satu permintaan?”

“Katakan,” ujar Gallen seraya memeriksa berkas yang diserahkan Alina. 

Akan tetapi gerakan itu terhenti saat Alina berkata, “Aku ingin mencari kerja.”

Sepasang mata elang Gallen kini mengarah padanya. 

Sebelumnya Alina sudah menduga pria itu akan sulit untuk diajak berdiskusi. Tapi, bekerja adalah satu-satunya jalan agar ia bisa menyusun skenario keguguran yang masuk akal.

“Bukankah kamu bilang tidak akan mencampuri urusanku? Aku janji, tidak akan membawa nama keluarga Sankara. Lagipula tidak ada yang tahu kita sudah menikah, kan?” 

Gallen tidak segera menjawab pertanyaan itu. Hanya menutup map dan  mengeluarkan sebuah kartu dari dompet hitamnya, lalu meletakkannya di hadapan Alina lengkap dengan catatan nomor PIN yang tertulis rapi pada secarik kertas kecil. 

“Kalau butuh sesuatu, pakai ini,” katanya, lalu menutup kembali dompetnya.

Beberapa detik Alina menatap benda tipis berbentuk persegi panjang itu. Namun, dengan perlahan ia menggeser kembali kartu tersebut ke arah Gallen.

“Aku cuma ingin punya penghasilan sendiri,” kata Alina dengan tegas.

Namun, Gallen tetap mendorong kartu itu kembali padanya. Lelaki itu bersedekap dan bersandar, tanpa melepaskan pandangannya pada wajah istrinya. “Isi kartu itu lebih dari cukup. Tidak usah kerja.” 

Alina menghela napas panjang. “Itu semua memang cukup untukku. Tapi aku masih punya tanggungan. Ayah dan ibu.”

“Kamu lupa kata-kata saya tadi sore?” 

“Bukan begitu. Aku tidak mungkin membiarkan ibu kerja sendiri. Meskipun kamu sudah kasih mahar dua ratus juta, tapi itu mungkin habis untuk pengobatan ayah saja,” sanggah Alina.

Gallen menegakkan tubuhnya, lalu merapikan map dan dompet di hadapannya. “Biar mereka jadi tanggungan saya.”

Jawaban itu membuat Alina tak bisa berdalih lagi. Sebanyak apapun ia melayangkan bujuk rayu, Gallen tak akan mengubah kehendaknya. 

Akhirnya, ia hanya bisa pasrah mengikuti perintah itu. Masih ada waktu untuk mencari cara lain, pikirnya dalam hati.

Pria itu lantas mengambil paper bag berwarna putih polos lalu menyerahkannya pada Alina. “Ganti ponselmu dengan ini. Minta Andreas pindahkan datanya.”

Belum sempat Alina bereaksi, Gallen kembali menyodorkan sebuah paper bag berwarna merah muda. 

Alina menatap kedua kantong kertas di hadapannya bergantian. Kantong pertama berisi ponsel baru. Kantong terakhir yang diserahkan Gallen berisi susu dan vitamin khusus untuk ibu hamil.

“Minggu depan, saya sudah buat janji dengan dokter kandungan,” kata Gallen lagi.

Alina terperangah ketika Gallen menyebut dokter kandungan. Wajahnya mendadak tegang. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. 

Pandangannya tertumbuk pada kantong berisi susu dan vitamin khusus ibu hamil di hadapannya.

Benda-benda itu… bisa saja ia buang, tapi bagaimana dengan janji ke dokter kandungan?

Bagaimana ia bisa mencari alasan?

Astaga… Tamatlah riwayatnya!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuna Wijaya
tu kan bingung sendiri skg
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 73

    Andreas terkejut mendengar pernyataan Alina. Ketika sang nyonya baru saja menundukkan tubuhnya, pria itu cepat-cepat menahan tangan Alina, mencegahnya melanjutkan.“Nyonya, Anda tidak boleh seperti ini,” ujarnya lembut sambil membantu Alina berdiri tegak kembali. Pandangannya kemudian terarah ke papan nomor antrean. “Lebih baik kita ambil dulu obat untuk Nona Caroline. Setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.”Alina menatap mata Andreas. Ada ketulusan di sana, dan itu cukup untuk membuatnya mengangguk setuju. Setelah menunggu sekitar lima pasien, akhirnya Alina mendapatkan obat untuk adik iparnya.Begitu mereka sampai di lorong yang sepi, Alina langsung menuntut, “Sekarang, kamu harus menepati janjimu, Andreas.”Andreas menghela napas panjang. Nada suaranya berat, seolah apa yang akan diucapkannya bukan hal mudah.“Sebenarnya, selama di luar negeri, Tuan Gallen mengidap penyakit. Radang lambung akut dan insomnia…”"Selama di luar negeri?" ulang Alina, berusaha memahami setiap kata

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 72

    "Caroline masuk rumah sakit."Hanya ith penjelasan singkat yang diberikan Gallen sebelum menarik tangannya meninggalkan pemakaman keluarga itu. Tanpa basa-basi, Gallen memacu mobilnya membelah jalanan raya menuju rumah sakit. ***Rumah Sakit. Di dalam Instalasi Gawat Darurat, Gallen dan Alina berdiri di sisi sebuah brankar tempat Caroline terduduk lemas.Wajah gadis itu pucat, tetapi rautnya tak menunjukkan rasa sakit, seolah kehilangan banyak darah tak berarti apa-apa baginya.“Sudah dibilang, tetaplah di rumah. Kalau mau pergi, tunggu kami pulang dulu,” tegur Gallen, menatap adik sepupunya itu dengan sorot mata tajam.Caroline hanya meringis sambil mengusap kakinya yang baru saja dijahit akibat luka robek di telapak. Sebuah perban selebar lima senti dan sepanjang satu jengkal menempel di sana.Pagi ini, ia nekat pergi ke pantai sendirian. Entah apa yang dilakukannya hingga tanpa sadar menginjak pecahan kerang dan terluka."Habisnya, kalian pergi tanpa mengajak aku. " Caroline men

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 71

    Alina mengangguk. Dengan satu gerakan lembut ia meraih satu tangan Gallen dan menggenggamnya. “Saat aku bertengkar dengan Ibu, saat aku menangis dan butuh sandaran, saat aku tak tahu harus mengadu pada siapa… kamu selalu ada untukku.” Sudut bibir Alina terangkat, meski sedikit canggung. Ia tahu mungkin Gallen akan merespons dingin, tapi ia tetap berusaha percaya diri. “Rasanya tidak adil kalau aku nggak peduli padamu, kan?” Gallen menyipitkan mata, tatapannya tajam. “Jadi kamu bagi beban cuma supaya kita impas?” Semangat Alina perlahan mengendur. Sejak awal, meyakinkan Gallen memang seperti menguras laut yang tak pernah surut. Namun, ia tidak akan menyerah. Ia tetap ingin bertahan sampai titik darah penghabisan. “Bukan begitu maksudku. Aku sadar, kita berdua punya masalah yang hampir sama. Kamu suamiku. Wajar kalau seorang istri ingin memahami suaminya. Bukannya malah menambah beban. Lagi pula, di hadapan makam Mama… mana mungkin aku cuma bicara omong kosong?” Hela napas mel

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 70

    Alina hanya mengangguk sebagai jawaban.Dalam benaknya hanya ada dua kemungkinan: Gallen membawanya ke tempat bersantai sekadar menikmati liburan setelah hari yang sibuk dan panjang, atau ke tempat yang sangat spesial baginya.***Bagi keluarga Sankara, tidak ada yang mustahil.Dengan kekayaan dan kuasa yang mereka miliki, seribu candi pun bisa dibangun bila mereka mau.Termasuk tempat yang dikunjungi Alina pagi itu.Tanah seluas puluhan hektar, setara dengan lahan pabrik, telah disulap menjadi kompleks pemakaman mewah.Kalau bukan karena menjadi istri Gallen, orang biasa seperti Alina mungkin tak akan pernah menginjakkan kaki di sana. Alina melangkah perlahan di atas lempengan andesit yang membentang rapi di halaman pemakaman. Langkahnya berusaha mengimbangi Gallen yang berjalan tenang tetapi cepat, sambil tetap menjaga keranjang bunga segar yang ia genggam erat di tangan kanan.Hingga akhirnya, Gallen berhenti di depan sebuah pusara besar.Saking megahnya, Alina sempat mengira seti

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 69

    Alina sudah menarik napas dalam-dalam. Jika saja Carolline membuka pintu dan melihat mereka dalam posisi yang intim lagi, ia bisa salah paham. Bisa gawat kalau Carolline mengira Alina meninggalkannya hanya untuk bermesraan dengan Gallen.Untung saja, panggilan Belinda mengalihkan perhatian gadis itu. “Nona Carolline, ada panggilan dari ponsel Nona.” Begitulah suara Belinda yang terdengar oleh Gallen dan Alina. Tuas pintu kembali ke posisinya. Detik berikutnya mereka mendengar suara langkah yang menjauh. Darah Alina seketika kembali mengalir. Hanya saja jarak yang hanya sejengkal dengan tubuh Gallen tak bisa membuat dadanya tenang.“Gallen…,” Alina berbisik gugup. “Lepaskan aku.”Namun, Gallen tidak menjawab.Sebaliknya, pria itu justru mendekat. Tubuhnya condong ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa jari. Napas hangatnya menyapu pipi Alina, membuat bulu kuduknya meremang.Jantung Alina berdegup kencang, matanya membulat panik. Apa yang akan dilakukan pria ini?“Gallen...?” Ia

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 68

    Gallen menurunkan ponselnya perlahan, jemarinya yang kokoh menyelipkan benda itu ke dalam saku jas hitamnya yang tampak rapi tanpa cela. Tatapan matanya jatuh pada Alina, menelusuri wajah perempuan itu dengan diam penuh arti. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Alina menahan napas.Tanpa sepatah kata pun, pria itu mengulurkan tangan.Alina memandangnya dengan alis berkerut. “Kamu mau apa?” bisiknya, ragu.“Tanganmu,” balas Gallen pelan, datar, namun nadanya membuat Alina tak punya pilihan untuk menolak.Jantungnya berdetak lebih cepat. Meski tak memahami maksud Gallen, ia tetap mengulurkan tangan, membiarkannya menggenggam jemarinya. Cengkeramannya tidak kasar, namun juga tidak lembut. Tegas—seolah menyampaikan bahwa ia tak mau dibantah.Tanpa menjelaskan apa pun, Gallen menarik Alina menyusuri lorong sunyi hingga berhenti di depan sebuah ruangan tertutup. Dengan satu tangan, ia mendorong daun pintu, membuka ruangan itu. Di tengahnya, sebuah meja bundar telah ditata rapi. Piring,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status