“Saya datang ke sini bukan untuk bertanya kenapa kamu melukai Rakha, tetapi untuk menikahimu.”
Alina menggeleng cepat. “Kalau hanya menikah kontrak, saya—”
“Ini pernikahan sungguhan. Secara resmi.” Pria di hadapannya menatapnya tanpa berkedip.
Tenggorokan Alina mendadak terasa panas.
Ia tak pernah menyangka, keputusan untuk menanggung kesalahan saudara kembarnya, Aluna, justru menyeretnya ke dalam bencana.
Beberapa waktu lalu, Aluna menghilang setelah menyebabkan kematian kekasihnya, Rakha Ditya Sankara. Untuk menyelamatkan saudara kembarnya itu, Alina terpaksa menanggung semua kekacauan yang terjadi.
Meski pada akhirnya Polisi menyimpulkan bahwa penyebab kematian Rakha adalah alkohol dan tuduhan Alina sebagai tersangka pun gugur, tetapi masalah tidak selesai di situ.
Tanpa sepengetahuannya, Aluna menggunakan identitasnya untuk memeriksakan kehamilan.
Akibatnya, Gallen, adik kandung Rakha, percaya bahwa Alina yang sedang mengandung anak Rakha.
Kini, pria itu, tiba-tiba muncul dengan keinginan untuk menikahinya. Lebih tepatnya memaksanya menikah ketika mendapatkan hasil pemeriksaan itu.
Terjepit keadaan, Alina pun terpaksa bersandiwara seolah mengandung anak mendiang Rakha.
Sayangnya, alih-alih selamat, Alina justru bertemu dengan dewa kiamat.
“Maaf, Tuan, saya tidak bisa menerima pernikahan itu,” jawab Alina dengan tegas, entah sudah berapa kali ia mengatakan kalimat penolakan.
Namun Gallen mencondongkan tubuhnya, seolah ingin lebih dekat dengan Alina yang duduk di seberangnya. “Saya tidak butuh persetujuanmu. Apapun yang kamu katakan, saya akan tetap menikahimu.”
Ya, Tuhan! Apakah pria ini sudah kehilangan akal?
“Tapi, ini tidak benar. Saya tidak mungkin menikah dengan—”
“Menikah?” potong Yasmin, ibu Alina, yang tiba-tiba muncul di ruang tamu.
Pandangannya langsung tertuju pada Gallen, pria yang duduk tenang dengan sorot mata setajam pisau.
Yasmin sebenarnya sudah mendengar segalanya sejak awal, ia sengaja tidak muncul. Hanya saja ketika mendengar topik pernikahan dan Alina terus menolak, ia tak bisa menahan diri.
Wanita paruh baya itu melangkah masuk.
“Ibu...” lirih Alina, suaranya nyaris putus asa.
“Saya Yasmin, ibunya Alina. Maaf tiba-tiba menyela,” ucapnya ramah. Tanpa menunggu izin, ia langsung duduk di sisi Alina, menyelipkan senyum tipis yang sulit diterjemahkan.
“Tuan ingin menikahi Alina?”
Gallen meresponnya dengan anggukan pelan. “Putri ibu sedang mengandung darah daging keluarga Sankara. Saya ingin menikahinya. Berapa pun mahar yang kalian minta, akan saya berikan.”
Seketika, sorot mata Yasmin berubah. Wajahnya berseri, seolah menemukan emas di halaman rumah sendiri.
“Berapapun?” Yasmin tertawa kecil. “Ah, maksud saya... Alina baru saja kehilangan pekerjaannya, sementara saya harus membiayai cuci darah suami setiap minggu. Kami sedang benar-benar kesulitan.”
Sementara itu, Alina yang sudah tahu betul sifat ibunya, langsung menarik pelan ujung baju ibunya, seolah ingin menghentikannya.
Namun, Yasmin menepis tangan Alina.
“Apa boleh kami meminta mahar—”
"Maaf, Tuan. Abaikan saja ibu saya. Bagaimanapun juga, saya tidak bisa menikah dengan Anda. Saya mampu membesarkan anak ini sendiri," tukas Alina, seolah-olah benar-benar mengandung.
Sayangnya, ucapan Alina seolah tak berarti di mata Gallen. Lelaki itu justru menatap Yasmin dan berkata dengan nada dingin, “Sebut saja jumlahnya.”
“Dua ratus juta, Tuan,” jawab Yasmin akhirnya, tanpa ragu.
Tentu saja permintaan Yasmin membuat Alina membelalakkan matanya.
Astaga!
Bukankah ini sama saja Yasmin dengan sukarela menjualnya demi melindungi Aluna?
Ia tahu, selama ini ibunya memang hanya memperhatikan Aluna, bahkan seolah tidak pernah menganggapnya ada.
Namun, kali ini tak disangka akan setega itu.
“Ibu!” Alina mencoba menyadarkan ibunya. Namun, lagi-lagi Yasmin hanya menepuk lutut Alina sebagai peringatan untuk diam.
“Baik, saya tidak keberatan,” ucap Gallen dengan senyum dingin.
Sorot mata Yasmin langsung berbinar. Ia sudah membayangkan setumpuk uang tertata rapi di meja ruang tamunya.
“Kami terima lamarannya,” ucap Yasmin mantap. “Tuan jangan khawatir. Saya akan yakinkan Alina. Dia hanya belum berpikir jernih.”
Alina menatap ibunya tak percaya. Namun, lidahnya sudah kepalang kelu untuk mengucap sesuatu.
Gallen berdiri, merapikan jas hitamnya. “Kalau begitu, tiga hari lagi kami menikah. Besok pagi, asisten saya akan datang mengurus mahar dan semua keperluan pernikahan.”
Ia lalu melangkah keluar, diikuti Andreas yang memberi anggukan kecil sebelum pamit. Yasmin menggandeng Alina untuk mengantar mereka keluar.
Begitu rombongan mobil hitam menghilang dari pandangan, Yasmin menghembuskan napas lega—seolah baru saja membuat kesepakatan besar.
Beberapa detik kemudian, ia langsung melepaskan genggaman dari lengan Alina.
“Kamu ini benar-benar ya! Otakmu dimana, Alina? Tuan Muda itu mau menikahimu, kamu malah menolak! Dia bahkan bersedia kasih mahar ratusan juta! Kamu justru mau buang kesempatan besar!”
Yasmin mengomel sambil melangkah masuk ke rumah, Alina mengekor di belakang.
“Menikah dengannya hanya akan menambah masalah,” bisik Alina lirih. “Dia mengira aku mantan kekasih kakaknya yang sedang hamil. Kenapa tidak katakan saja bahwa yang hamil itu Aluna?”
“Kamu pikir aku bodoh? Kalau sampai dia tahu kebenarannya, bagaimana nasib Aluna, hah? Sia-sia dia kabur dari polisi!” Yasmin menatap Alina dengan penuh amarah. “Sudah, kamu lanjutkan saja sandiwara itu!”
“Tapi aku tidak hamil. Bagaimana kalau dia—”
“Kamu bisa pura-pura keguguran, kan?! Buat saja seolah-olah kehamilanmu itu tidak bertahan lama!” potong Yarmin tanpa keraguan.
Alina terperangah tak percaya menatap punggung ibunya yang kini berlalu pergi ke dalam kamarnya sendiri.
“Bu?” ucap Alina lirih, seolah benar-benar tidak percaya dengan apa yang ibunya katakan.
Namun, Yasmin tidak mempedulikan Alina. Ia langsung pergi meninggalkan Alina yang masih terpaku.
Bekas cengkraman sang ibu tadi masih terasa nyeri di lengan Alina.
Untuk pertama kalinya, Alina sadar, ibunya bukan sekadar keras kepala.
Ia bisa menghancurkan siapapun, bahkan darah dagingnya sendiri.
Andreas terkejut mendengar pernyataan Alina. Ketika sang nyonya baru saja menundukkan tubuhnya, pria itu cepat-cepat menahan tangan Alina, mencegahnya melanjutkan.“Nyonya, Anda tidak boleh seperti ini,” ujarnya lembut sambil membantu Alina berdiri tegak kembali. Pandangannya kemudian terarah ke papan nomor antrean. “Lebih baik kita ambil dulu obat untuk Nona Caroline. Setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.”Alina menatap mata Andreas. Ada ketulusan di sana, dan itu cukup untuk membuatnya mengangguk setuju. Setelah menunggu sekitar lima pasien, akhirnya Alina mendapatkan obat untuk adik iparnya.Begitu mereka sampai di lorong yang sepi, Alina langsung menuntut, “Sekarang, kamu harus menepati janjimu, Andreas.”Andreas menghela napas panjang. Nada suaranya berat, seolah apa yang akan diucapkannya bukan hal mudah.“Sebenarnya, selama di luar negeri, Tuan Gallen mengidap penyakit. Radang lambung akut dan insomnia…”"Selama di luar negeri?" ulang Alina, berusaha memahami setiap kata
"Caroline masuk rumah sakit."Hanya ith penjelasan singkat yang diberikan Gallen sebelum menarik tangannya meninggalkan pemakaman keluarga itu. Tanpa basa-basi, Gallen memacu mobilnya membelah jalanan raya menuju rumah sakit. ***Rumah Sakit. Di dalam Instalasi Gawat Darurat, Gallen dan Alina berdiri di sisi sebuah brankar tempat Caroline terduduk lemas.Wajah gadis itu pucat, tetapi rautnya tak menunjukkan rasa sakit, seolah kehilangan banyak darah tak berarti apa-apa baginya.“Sudah dibilang, tetaplah di rumah. Kalau mau pergi, tunggu kami pulang dulu,” tegur Gallen, menatap adik sepupunya itu dengan sorot mata tajam.Caroline hanya meringis sambil mengusap kakinya yang baru saja dijahit akibat luka robek di telapak. Sebuah perban selebar lima senti dan sepanjang satu jengkal menempel di sana.Pagi ini, ia nekat pergi ke pantai sendirian. Entah apa yang dilakukannya hingga tanpa sadar menginjak pecahan kerang dan terluka."Habisnya, kalian pergi tanpa mengajak aku. " Caroline men
Alina mengangguk. Dengan satu gerakan lembut ia meraih satu tangan Gallen dan menggenggamnya. “Saat aku bertengkar dengan Ibu, saat aku menangis dan butuh sandaran, saat aku tak tahu harus mengadu pada siapa… kamu selalu ada untukku.” Sudut bibir Alina terangkat, meski sedikit canggung. Ia tahu mungkin Gallen akan merespons dingin, tapi ia tetap berusaha percaya diri. “Rasanya tidak adil kalau aku nggak peduli padamu, kan?” Gallen menyipitkan mata, tatapannya tajam. “Jadi kamu bagi beban cuma supaya kita impas?” Semangat Alina perlahan mengendur. Sejak awal, meyakinkan Gallen memang seperti menguras laut yang tak pernah surut. Namun, ia tidak akan menyerah. Ia tetap ingin bertahan sampai titik darah penghabisan. “Bukan begitu maksudku. Aku sadar, kita berdua punya masalah yang hampir sama. Kamu suamiku. Wajar kalau seorang istri ingin memahami suaminya. Bukannya malah menambah beban. Lagi pula, di hadapan makam Mama… mana mungkin aku cuma bicara omong kosong?” Hela napas mel
Alina hanya mengangguk sebagai jawaban.Dalam benaknya hanya ada dua kemungkinan: Gallen membawanya ke tempat bersantai sekadar menikmati liburan setelah hari yang sibuk dan panjang, atau ke tempat yang sangat spesial baginya.***Bagi keluarga Sankara, tidak ada yang mustahil.Dengan kekayaan dan kuasa yang mereka miliki, seribu candi pun bisa dibangun bila mereka mau.Termasuk tempat yang dikunjungi Alina pagi itu.Tanah seluas puluhan hektar, setara dengan lahan pabrik, telah disulap menjadi kompleks pemakaman mewah.Kalau bukan karena menjadi istri Gallen, orang biasa seperti Alina mungkin tak akan pernah menginjakkan kaki di sana. Alina melangkah perlahan di atas lempengan andesit yang membentang rapi di halaman pemakaman. Langkahnya berusaha mengimbangi Gallen yang berjalan tenang tetapi cepat, sambil tetap menjaga keranjang bunga segar yang ia genggam erat di tangan kanan.Hingga akhirnya, Gallen berhenti di depan sebuah pusara besar.Saking megahnya, Alina sempat mengira seti
Alina sudah menarik napas dalam-dalam. Jika saja Carolline membuka pintu dan melihat mereka dalam posisi yang intim lagi, ia bisa salah paham. Bisa gawat kalau Carolline mengira Alina meninggalkannya hanya untuk bermesraan dengan Gallen.Untung saja, panggilan Belinda mengalihkan perhatian gadis itu. “Nona Carolline, ada panggilan dari ponsel Nona.” Begitulah suara Belinda yang terdengar oleh Gallen dan Alina. Tuas pintu kembali ke posisinya. Detik berikutnya mereka mendengar suara langkah yang menjauh. Darah Alina seketika kembali mengalir. Hanya saja jarak yang hanya sejengkal dengan tubuh Gallen tak bisa membuat dadanya tenang.“Gallen…,” Alina berbisik gugup. “Lepaskan aku.”Namun, Gallen tidak menjawab.Sebaliknya, pria itu justru mendekat. Tubuhnya condong ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa jari. Napas hangatnya menyapu pipi Alina, membuat bulu kuduknya meremang.Jantung Alina berdegup kencang, matanya membulat panik. Apa yang akan dilakukan pria ini?“Gallen...?” Ia
Gallen menurunkan ponselnya perlahan, jemarinya yang kokoh menyelipkan benda itu ke dalam saku jas hitamnya yang tampak rapi tanpa cela. Tatapan matanya jatuh pada Alina, menelusuri wajah perempuan itu dengan diam penuh arti. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Alina menahan napas.Tanpa sepatah kata pun, pria itu mengulurkan tangan.Alina memandangnya dengan alis berkerut. “Kamu mau apa?” bisiknya, ragu.“Tanganmu,” balas Gallen pelan, datar, namun nadanya membuat Alina tak punya pilihan untuk menolak.Jantungnya berdetak lebih cepat. Meski tak memahami maksud Gallen, ia tetap mengulurkan tangan, membiarkannya menggenggam jemarinya. Cengkeramannya tidak kasar, namun juga tidak lembut. Tegas—seolah menyampaikan bahwa ia tak mau dibantah.Tanpa menjelaskan apa pun, Gallen menarik Alina menyusuri lorong sunyi hingga berhenti di depan sebuah ruangan tertutup. Dengan satu tangan, ia mendorong daun pintu, membuka ruangan itu. Di tengahnya, sebuah meja bundar telah ditata rapi. Piring,