Gadis itu menatap cermin dengan mata lurus dan fokus. Namun sebenarnya hatinya sangat berisik, tangannya pun bergerak menunjukkan bahwa ia benar-benar tak percaya dengan hasilnya.
Nampak wanita yang anggun dan juga memesona, sudah jelas itu bukan dia. Tapi seseorang muncul memanggil namanya, dan ia sadar pantulan di cermin itu benar dia. "Ai, kamu sudah selesai?" tanya mamanya. "Ma, ini benar-benar Ai?" sahut Aileen menampakkan ekspresi tidak percaya sama sekali. Ia menggeleng, menyentuh pipinya perlahan-lahan. "Pasti bukan." "Sayang, kau sangat cantik. Mama tau kau cantik sejak dulu," kata mamanya. Aileen hampir menangis, tapi ia secepatnya menghilangkan perasaan itu. Ia tak ingin makeup nya luntur. "Mama, jangan bicara begitu. Ai jadi sedih," ucap Aileen. Mamanya lalu memeluk Aileen, gadisnya yang beberapa menit lagi akan segera menjadi istri. "Terima kasih karena sudah mewujudkan keinginan terakhir papa, ya, Nak." Aileen tau dia tidak dirugikan jika menikah dengan Albani. Pria itu kelihatan dingin baik di luar maupun di dalamnya. Tapi, Albani adalah pria yang jujur dan tidak menjijikkan seperti Rio, setidaknya itu adalah kesan yang ia dapatkan dari Albani saat ini. "Ma, kalau nanti Ai ternyata harus berpisah dengan Al karena ketidakcocokan. Apa Mama akan marah?" Mamanya tersenyum. "Kau takkan berpisah dengannya, Sayang. Siapa yang mau berpisah dari pria sebaik Albani?" "Bukan begitu, Ma. Ini hanya seandainya saja," kata Aileen. "Tidak, jangan berandai-andai yang begitu. Perpisahan itu tidak baik, kau harus seperti mama dan papa, ya. Jika harus berpisah biar Tuhan yang pisahkan karena maut." Aileen menunduk. Seharusnya ia memang tak bertanya, walau niat awal hanya karena penasaran ingin tau jawaban mamanya. Tapi sekarang Aileen jadi terbebani sebab dia harus berpisah dengan Albani nanti, jika waktunya sudah tiba. "Sudah, ya. Kita sudah ditunggu." Aileen berdiri, ia bersama mamanya akan segera keluar menuju tempat pengucapan janji suci pernikahan digelar. Acara tersebut cenderung privat. Keluarga Albani tidak ingin dirayakan megah dan meriah, katanya agar terkesan lebih khidmat. Aileen tidak masalah, lagipula dibalik pernikahan ini ada rencana yang lebih besar lagi. Aileen harus membalas rasa sakitnya, Rio harus merasakan kesakitan yang ia rasakan berkali-kali lipat. "Pengantin wanita silakan berjalan menuju pengantin pria," ucap seorang yang membawakan acara pada hari itu. Aileen gugup, ia memejamkan mata beberapa saat sambil mengambil napas. "Ma, Ai nggak tau bisa jalan atau nggak sekarang." "Sayang, tenang saja, mama di sampingmu." Aileen menatap wajah mamanya, ada garis keriput yang terlihat jelas. Mamanya sudah tidak lagi muda, jika mamanya harus pergi menyusul sang papa, Aileen tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba saja Aileen kepikiran hal sedih semacam itu di saat akan menikah. Terdengar alunan musik yang syahdu. Aileen pun perlahan berjalan ditemani sang mama. Di seberang sana, seorang pria menunggunya. Ia tahu, pernikahan yang dilakukan sekarang bukan pernikahan sungguhan. Ia hanya berperan sebagai istri, bukan istri yang selayaknya. Tapi ia menaruh percaya yang cukup besar untuk pria di sana. Al, aku percaya kamu baik, batin Aileen. Aileen tepat berada di depan Albani. Tangannya memegang tangan Aileen dengan senyum kecil. Ini pertama kalinya Aileen melihat senyuman itu. "Kau sudah siap?" tanya Albani dan Aileen mengangguk. Keduanya berdiri di tengah tamu, mereka akan segera melakukan janji suci pernikahan. Sementara di tempat itu, Aileen kaget karena tidak sengaja melihat dua orang yang tidak diharapkan. Bagaimana bisa keduanya ada di sana. "Al, kenapa mereka ada di sana?" tanya Aileen pada Albani sambil berbisik. Albani mendekatkan telinganya. "Siapa?" bisiknya juga. "Mereka, orang-orang menjijikkan." Aileen sampai gemetar. "Wah, bagaimana bisa," gumam Albani sambil melihat ke arah mata Aileen memandang. "Apa mereka?" tanya Albani, ia menatap ke arah sepupu perempuannya. "Ya, kenapa bisa di sini." Aileen jadi lemas. "Menarik sekali, tidak saya sangka jika takdir terlalu berpihak padamu." Albani berkata santai sambil memegang tangan Aileen. Aileen bingung mengapa Albani memegang tangannya. "Kau sebentar lagi jadi istri saya, dan sudah saatnya kita berperan sebagai suami istri. Tunjukkan pada mereka, betapa bahagianya kau menikah hari ini." *** "Rio, kau lihat apa sih! kenapa daritadi sibuk dengan ponsel?" tegur Lenka. "Maaf sayang, aku ada urusan sedikit," jawab Rio yang sebenarnya malas untuk beraktivitas hari itu. Tapi Lenka memaksanya datang menemani acara pernikahan sepupunya. "Kita harus fokus pada acara ini, yang menikah sepupuku. Dia itu bukan orang sembarangan." "Baik, maaf." Rio kemudian fokus pada pengantin. Padahal Lenka sendiri juga sejak tadi sibuk melihat cermin memperhatikan riasan wajahnya. "Aku udah cantik, kan, Rio?" tanya Lenka. Rio yang sedang melihat pengantin wanitanya langsung melotot. "Cantik, dia ... sangat cantik, tapi kenapa wajahnya tidak asing?" "Rio! bukan pengantinnya! tapi aku!" sentak Lenka kesal. Padahal dia berdandan berjam-jam demi bisa menandingi pengantin wanitanya. "Sayang, maaf, tapi pengantin wanitanya kenapa mirip seseorang?" Lenka kesal, tapi ia ingin tau memangnya siapa sih pengantinnya. Lenka memang punya hubungan sepupu jauh dengan pengantin prianya, tapi dia tidak mau tau siapa pengantin wanitanya. Baginya kehadirannya di acara itu semata-mata demi keuntungan pribadi sebagai pebisnis. "Siapa sih!" Lenka menatap pengantin wanita yang baru saja selesai mengucapkan janji suci. "Dia?" "Kau juga merasa dia tidak asing?" tanya Rio. Lenka tampak berpikir. "Iya, sih, tapi siapa, ya?" "Itu yang sedang aku pikirkan. Siapa dia, dan kenapa aku benar-benar merasa akrab dengannya. Senyuman itu, mirip seseorang," kata Rio. Lenka jadi kesal mendengarnya. "Kau mengagumi wanita itu sampai segitunya! Padahal dia biasa saja!" Rio menghela napas. "Maaf, bukan begitu maksudku." "Sudahlah lupakan saja. Lagipula kita hanya perlu menyalami keduanya." "Ya, baiklah." Rio pun menyerah untuk berpikir lagi. Mungkin saja ingatannya salah, dan dia pun memang tidak berhasil menemukan jawabannya. Dia tidak tau wanita itu mirip siapa, hanya merasa familiar. Saat Rio dan Lenka berjalan mendekati pengantin. Albani tersenyum, ia sudah tidak sabar dengan reaksi pria brengsek itu. Ternyata, Aileen benar-benar berubah, sampai-sampai pria itu tidak menyadari bahwa wanita yang menjadi istrinya adalah mantan kekasihnya yang sudah disia-siakan. "Al, selamat ya atas pernikahanmu," ucap Lenka lembut. Rio melirik Lenka, kenapa Lenka sangat lembut saat berbicara dengan Albani. Rio jadi tidak nyaman, sebab Lenka menunjukkan sebaliknya jika sedang bersamanya. "Ya, terima kasih sudah datang, Lenka." Albani membalas uluran tangan sepupu jauhnya itu. "Selamat, ya," ucap Rio. Albani menyeringai, ia lalu meremas tangan Rio sekuatnya. "Ya!" Rio menggeram. "Argh. Kau kenapa?" "Rio, kenapa tidak sopan sih!" ketus Lenka malu. "Maaf, ya, Al." "Dia meremas tangan ku kuat sekali," kata Rio berbisik pada Lenka. "Kau saja yang lemah!" oceh Lenka kesal. Aileen menatap Rio jijik, tapi matanya malah berkaca-kaca. "Selamat," kata Lenka pada wanita itu. Tapi Aileen enggan menerima uluran tangannya. Lenka pun kesal, kenapa sombong sekali batinnya. "Kau tak pantas di sini," ucap Aileen, ia tak tahan lagi dan ingin muntah.Ruangan kerja Aileen terasa berbeda hari itu. Meskipun sinar matahari menyinari meja dan sofa favoritnya, ada hawa dingin yang menggantung di udara. Hawa yang berasal dari satu benda kecil… amplop cokelat itu.Ia berdiri mematung di depan mejanya. Matanya menatap benda yang sejak hari pertama terasa seperti bom waktu. Amplop itu terselip rapi di dalam laci, tak pernah disentuh, tapi tak pernah juga benar-benar dilupakan.Kata-kata Albani terngiang di telinganya:> “Jangan buka itu sendirian, Sayang. Aku tidak mau kau menghadapi hal-hal buruk tanpa aku.”Tapi hari ini, Aileen merasa... cukup kuat. Dia sudah terlalu lama membiarkan tanda tanya mengendap di dalam hatinya. Dia mencintai Albani, benar. Tapi bukankah kepercayaan juga berarti berani melihat kebenaran?Tangannya gemetar saat menarik amplop itu keluar. Ia menatapnya sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.“Kalau pun ini menyakitkan,” bisiknya lirih, “aku akan menghadapinya.”Dengan napas yang berat, Aileen mero
Suasana di ruang rawat intensif kini jauh lebih tenang. Lampu temaram menyinari wajah pucat Albani yang kini mulai menunjukkan rona kembali. Di sisi ranjang, Aileen duduk sambil menggenggam tangan suaminya erat—tak mau melepas sedetik pun.“Sayang, kau yakin tidak pusing lagi?” bisik Aileen lembut sambil membelai rambut Albani yang sedikit berantakan.Albani tersenyum kecil, meski jelas tubuhnya masih lemah. “Aku tidak pusing... tapi jantungku sedikit berdebar.”Aileen langsung cemas. “Berdebar? Apa aku harus panggil dokter?”“Berdebar karena kau ada di sini, di dekatku, dengan wajah secantik itu...” lanjut Albani, senyum nakalnya mulai muncul.Aileen langsung mencubit pelan lengan Albani. “Al! Kau sedang sakit, masih bisa bercanda begitu?”“Aku sakit, iya. Tapi bukan berarti kehilangan akal sehat.” Ia menarik pelan jemari Aileen, menciumnya satu per satu. “Apa kau tahu, hanya dengan aroma tubuhmu saja aku bisa lupa rasa sakit ini.”“Al...” Aileen menunduk, wajahnya merona. Tapi senyu
“Kenapa selalu wanita itu yang menang?” desis Marsha geram, melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Ia tak mengerti, bagaimana bisa nasib begitu memihak Aileen. Padahal Marsha sudah menyusun rencana matang. Ia sudah menyerahkan amplop cokelat berisi foto dan dokumen masa lalu Albani yang kelam kepada sekretaris Aileen, Hasya. Amplop yang seharusnya menjadi senjata pemusnah rumah tangga Aileen. Marsha memijat pelipisnya. “Apa amplop itu belum dibuka? Atau Hasya tidak menyerahkannya?” Dugaan itu membuatnya semakin kesal. Ia ingat betul, ekspresi Hasya saat menerima amplop itu memang mencurigakan. Wajahnya tegang, bahkan seolah menolak secara halus. Dan kini Marsha yakin, amplop itu tidak sampai ke tangan Aileen. “Aku harus bertindak,” gumamnya lirih. Marsha membuka laptopnya dan mulai menelusuri media sosial, mencari celah baru. Ia menyimpan beberapa video lama yang memperlihatkan Albani di masa lalunya, saat masih dekat dengan wanita lain sebelum menikah dengan Aileen. Salah satu
Aileen duduk di bangku tunggu luar ruang ICU, jari-jarinya menggenggam erat kerah bajunya sendiri. Jantungnya tak karuan. Setiap detik menunggu terasa seperti siksaan.Martin berdiri di sampingnya, tangan ayah mertuanya menepuk pelan pundaknya. “Tenang, Nak. Dokter akan melakukan yang terbaik.”Namun Aileen hanya bisa menggeleng. “Tadi dia baik-baik saja, Pa. Lalu kenapa tiba-tiba... begitu?”Martin menghela napas panjang. “Kadang trauma kepala memang bisa muncul tiba-tiba. Tapi yang harus kau percaya, Al akan kuat.”Melani berdiri di seberang mereka, memperhatikan Aileen dengan tatapan yang... berbeda. Ada rasa bersalah, ada penyesalan, dan bahkan ada rasa sayang yang masih kaku dan tertahan.“Apa... apa ini karena aku memberitahunya bahwa aku hamil?” lirih Aileen dengan suara gemetar.Melani ikut terduduk. Suaranya pelan, nyaris seperti ibu sejati. “Itu bukan salahmu. Justru kau membawa kebahagiaan untuk anakku.” Ia menatap perut Aileen, lalu menarik napas. “Mungkin memang belum wak
Melani membeku, ia hanya bisa menangisi segala fakta yang baru terungkap. Bahkan Melani kini tidak tau apa yang harus diperbuat. Ia sudah salah paham, tapi tindakannya selama ini terlalu kentara saat membenci Aileen, ternyata selama ini bukan Aileen yang seharusnya ia jauhi, tapi melainkan Marsha.. Wanita itu terlalu terpengaruh oleh mulut manis dan hasutan Marsha, tanpa melakukan investigasi lebih lanjut tentang fakta kebenaran berita itu. Lalu kalau sudah begini, ia sendiri jadi bingung, apa yang harus dilakukan. Apa dia mungkin dimaafkan, sementara tabiat buruknya sudah sangat amat berlebihan. "Nyonya, kenapa Anda malah di sini?" Seseorang muncul, bertanya dengan nada lembut dan sopan. Saat Melani yang berjongkok lalu mendongak, wajah itu malah tersenyum, meski ada keraguan. "M-Maaf, bukan maksud saya menganggu Anda. Tapi Al sudah siuman. Anda ibunya, tentu lebih berhak untuk melihat kondisi Al lebih dulu." "Al sudah siuman?" Aileen agak kaget, melihat wajah Melani yang
"Al bagaimana Tante???" Dalam kondisi lemah, Aileen kembali ke ruangan ICU tempat suaminya kini dirawat. Lalu Melani, mama mertuanya malah sedang berdua dengan seorang wanita. Tampak belakang, sepertinya Aileen pernah melihat wanita itu. "Bu Aileen, sepertinya aku pernah lihat wanita itu," kata Hasya. "Benarkah, Hasya?" Martin buru-buru berlari ke arah sang istri. Ia menarik tangan Melani, membawanya pergi untuk bicara. Tak lupa, Martin juga membawa wanita yang bersama istrinya pergi dengannya. "Om lepaskan!!" "Martin kau apa-apaan sih!" Keduanya tampak kesal. "Kau ngapain ajak dia ke rumah sakit! Kau sadar kan Al tidak suka dia muncul di depan Aileen!!" tegasnya pada Melani. "Kau juga, apa kau wanita rendahan, Marsha!!" . "Om cukup ya. Aku kemari karena mencemaskan Al. Kenapa om malah memakiku sih??" "Cemas katamu? Apa kau punya hak untuk itu?" "Jelas aku punya hak!!" tegas Marsha, ia seolah tidak takut pada siapapun, termasuk orang tua Albani sekalipun. "Cukup