Drrrttt…
Sebuah panggilan masuk dengan nama kontak Nathan Sayang muncul di layar ponsel pintarnya. Erin terdiam selama beberapa waktu, ia menghela nafas berkali-kali sebelum mengangkat telfon itu.
“Sayang, sekarang kamu dimana? Maaf aku baru lihat chat mu.”
“Ini aku udah di booth BEM, kamu dimana? Semuanya nyariin,”
“Ehmm tadi ada urusan, ini udah mau jalan kesana.”
“Oh gitu, oke.”
Tuttt… Erin langsung mematikan ponselnya karena enggan berbicara lebih lama dengan laki-laki itu.
Nathan mengernyitkan keningnya. ‘Aneh, biasanya dia terdengar ceria dan bersemangat, tapi tadi suaranya kayak dingin banget… .’
“Kenapa Nathan?” tanya Mina penasaran.
Natahan tersenyum. “Nggak kenapa-kenapa kok.”
Tidak lama kemudian Gerry muncul. “Woi Jonathan, lu kemana aja sih? Sebentar lagi mau mulai lagi nih acaranya.”
“Sorry tadi ada urusan mendadak,” jawab Nathan dengan ekspresi tanpa dosa.
Gerry melirik sekilas ke Mina yang ada di samping Nathan, ia hanya geleng-geleng kepala saat menebak urusan penting yang dimaksud Nathan.
“Yaudah cepet kesana,” ucap Gerry kesal, ia segera berlalu pergi.
Nathan dan Mina menuju tempat acara. Banyak mahasiswa baru yang sudah berkumpul di depan panggung kecil dengan proyektor di kedua sisinya.
“Eh itu laptopnya cabut dulu dari proyektor di booth,” ucap Layla yang tampak sedang buru-buru.
Rian dengan sigap segera melakukan apa yang diminta Layla lalu segera menuju ke arah samping panggung.
“Ck, nggak ada yang bener semua kerjaannya,” gerutu Layla lagi.
Setelah semua siap, Nathan naik ke panggung kecil sambil tersenyum. “Selamat siang semuanya.”
“Siang kak!” jawab mahasiswa baru itu kompak.
Nathan memberi sambutan singkat. Kali ini memang giliran BEM Fakultas mempromosikan organisasinya setelah semua organisasi jurusan maupun UKM selesai promosi pagi tadi.
“Jadi apa aja sih kegiatan di BEM itu? Yuk lihat foto dokumentasi berikut ini… .” Nathan langsung memberi kode kepada Rian yang sudah siap di tempatnya.
Slide foto awal mulai ditampilkan, Nathan menjelaskan tentang beberapa kegiatan yang dilakukan oleh anggota BEM tahun lalu. Pada slide ke 10 saat sedang fokus menjelaskan, semua mahasiswa baru yang ada di tempat itu memandang ke arah depan dengan ekspresi kaget. Semua yang ada disana tampak berbisik-bisik.
Nathan yang bingung pun menoleh ke belakang. Ia melihat foto dirinya sedang berciuman dengan Mina. Rian terkejut dengan apa yang dilihatnya di layar laptopnya dan langsung mematikannya.
Nathan memandang ragu ke arah teman-temannya yang melihatnya dengan ekspresi kaget. Riza langsung naik ke panggung dan menarik Nathan turun. Beberapa saat kemudian Layla yang merupakan wakil ketua akhirnya naik menggantikan Nathan untuk meredakan suasana yang kacau itu.
Rian langsung mengamankan tiga foto yang ada di dalam folder tersebut lalu memeriksa kembali semuanya sebelum ditampilkan ulang. Semua pengurus BEM dan juga pengurus organisasi jurusan yang ada di tempat itu memandang Mina dengan ekspresi tidak percaya.
Perempuan yang dikenal sebagai seorang berprestasi dengan kepribadian yang baik berperilaku seperti itu?
Riza langsung menarik paksa Nathan menjauh dari tempat acara. “B*ngsat lu ngapain? Lu ada hubungan sama Mina? Baju di foto itu sama kayak baju yang lu pakai sekarang kan? Lu tadi malah ngilang dan begituan sama Mina saat anggota BEM lain sibuk sampai nggak sempat sarapan?”
Nathan tampak merasa dijebak dan dipermalukan di depan umum. Hal yang mengejutkannya adalah foto tersebut itu baru saja diambil beberapa saat yang lalu saat ia bersama Mina. ‘Siapa yang memotret dan memasukkanya ke dalam folder itu?’
“Woi Nathan b*ngsat!” panggil Gerry salah satu ketua divisi di BEM Fakultas yang juga teman Nathan
Nathan tidak menjawab pertanyaan Riza dan tidak menjawab panggilan kasar dari Gerry. Ia tetap diam di tempatnya dengan ekspresi kacau.
“Hahh… Nggak tau lagi dah gue, sialan!” ucap Riza yang kemudian langsung pergi meninggalkan Nathan dan Gerry.
“Wah parah lu, udah gue suruh hati-hati masih aja sembarangan… ,” ucap Gerry kesal.
“Siapa yang tanggung jawab nyiapin bahan buat foto kegiatan yang ditampilin itu?” tanya Nathan dengan ekspresi dingin.
“Harusnya sih gue sama Rian, tapi tadi semua diurus Layla karena anak-anak tadi makan.”
Nathan mengepalkan tangannya. Masalah kali ini tentu saja akan menjadi masalah besar nantinya. Ia tidak memiliki jalan lain untuk kabur.
“Gue kesini cuma ngasih tau sementara gue nggak bisa bantuin apa-apa dulu, jadi kali ini coba bersihin nama lu sendiri, ya walau sulit,” ucap Gerry sambil tertawa. Ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Nathan yang masih terdiam di tempatnya.
Nathan mengepalkan tangannya. Ia mencurigai Layla yang melakukan itu semua karena sejak awal perempuan itu tahu hubungannya dengan Mina. Laki-laki bermata hitam itu lebih memikirkan reaksi Erin nanti. Jika sampai gadis itu marah tentu saja semua bantuan yang diberikannya akan langsung dihentikan.
“Ck, b*ngsat!”
***
Di tempat lain…
.
.
Erin terdiam menatap kosong ke arah orang-orang yang melihatnya dengan tatapan kasihan. Tentu saja hampir semua orang mengetahui hubungan spesialnya dengan Nathan. Gadis bermata coklat itu menghela nafas panjang lalu mendekat ke arah Mina yang tampak ketakutan. Ia mengambil paksa kacamata yang sedang digunakan gadis berambut pendek itu.
Plakkk…
Erin menampar Mina dengan penuh amarah. Semua yang ada disana hanya diam menyaksikan hal tersebut.
“Nggak tahu diri perempuan j*lang!” ucap Erin dengan ekspresi dingin.
“Erin hentikan!” ucap seorang laki-laki saat Erin hampir menampar lagi perempuan di hadapannya itu.
“Wah, pasangan yang serasi,” ucap Erin sambil memandang Nathan dengan tatapan tajam.
Plakk…
“Kamu juga sama aja, laki-laki br*ngsek!”
Perih, tangannya memang terasa perih karena menampar terlalu keras, tapi hatinya terasa lebih pedih. Erin segera berlari menjauh dari kerumunan itu. Semua anggota BEM langsung mengalihkan acara dan mengamankan Mina serta Nathan ke ruangan lain.
“Wah? Pertunjukan yang menarik,” gumam Daniel pelan.
“Pertunjukkan apaan? Orang lagi ribut gitu… ,” jawab Sandi dengan ekspresi kesal.
“Oi San, lu aja yang gantiin gue promosi.”
“Hah? Mau kemana lu?”
“Ada urusan, gantiin gue ya? Thanks.” Daniel segera berlalu pergi setelah mengucapkan hal itu.
“Nih anak seenaknya aja… .”
“Woi ini mana perwakilan Senat yang mau promosi?” tanya Rian setengah berteriak.
Sandi menghela nafas panjang lalu mengangkat tangannya. “Saya.”
Rian mengangguk lalu mempersilakan Sandi bersiap. Ia mencoba memeriksa terlebih dahulu file yang diberikan karena takut ada kejadian sama terulang.
Suasana masih belum kembali tenang. Banyak mahasiswa yang masih berbisik membicarakan kejadian beberapa saat yang lalu. Beberapa diantaranya ada yang merekam dan membagikan kejadian itu di media sosial.
Hal tersebut tentu belum diketahui Nathan dan Mina. Keduanya tidak menyangka akan dipermalukan seperti itu oleh seseorang. Mereka tidak menyangka kejadian tersebut baru awal dari balas dendam dari seseorang yang mereka sakiti.
*****
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”