Erin sudah mendengar banyak rumor yang menyebut kekasihnya berselingkuh darinya, namun gadis bermata coklat itu lebih memilih mempercayai Nathan. Hubungan Erin dengan Nathan sudah terjalin sejak SMA hingga ia kini memasuki semester 3 perkuliahan. Ia sangat mempercayai Nathan dan tidak pernah mendengarkan siapapun meski sahabatnya sendiri yang memberi tahu tentang perselingkuhan yang dilakukan kekasihnya.
Rasa kepercayaan Erin kepada Nathan akhirnya hancur begitu saja setelah gadis bermata coklat itu menyaksikan sendiri bagaimana orang yang sangat dicintainya itu mencium seseorang yang juga ia percayai sebagai sahabat Nathan yang ia hormati. Hari ini pun Erin melihat adegan yang beberapa hari lalu ia saksikan.
“Hei jangan melakukannya secara berlebihan, kita sedang ada di kampus.”
“Tidak akan ada yang melihat kita disini karena semua sedang sibuk mempersiapkan acara,” ucap gadis berambut pendek itu.
Cup…
“Aku harus tetap berhati-hati kan,” balas Nathan dengan wajah memerah. Ia mencoba mengatur nafasnya lalu kembali menciumi leher peremuan itu.
“Ya kamu harus tetap berhati-hati... mhhhmm…”
Laki-laki bermata hitam itu tersenyum. “Pelankan suara mu.”
Cup…
“Aku penasaran satu hal, ada beberapa orang yang pernah mengatakan pada dia bahwa kamu berselingkuh, tapi kenapa dia tetap memercayai mu?”
“Dia itu orang yang tidak percaya pada apapun jika tidak melihatnya sendiri. Selain itu dia sudah tergila-gila padaku sejak lama, tentu aja aku lebih dipercaya daripada perkataan teman-temannya.”
“Hmmm… Apa kamu nggak menyukainya? Dia kan cantik?”
“Menyukai dia? Mana mungkin aku menyukai orang yang beranggapan bisa membeli apapun dengan uang?”
Gadis berambut pendek itu menghentikan ciumannya. “Tapi sepertinya dia memang bisa membeli mu dengan uang?”
“Sayang, aku hanya memanfaatkannya, dia tidak mungkin bisa membeli perasaan ku kepada mu. Uang jajan yang diberikan kakak ku tidak banyak, tapi Erin dengan senang hati memberi ku lebih banyak.”
Erin yang menyaksikan itu semua hanya terdiam membeku di tempatnya. Ia sudah beberapa kali melihat Nathan seperti itu namun hatinya tetap terasa sakit saat melihat adegan yang serupa. Gadis bermata coklat itu memotret beberapa kali lalu melangkah pelan menjauhi tempat itu.
Brukkk…
Tubuhnya kehilangan keseimbangan namun pria yang ia tabrak tadi dengan sigap langsung memegangi pinggangnya. Mata yang sudah basah itu menatap pria yang memandanginya dengan ekspresi terkejut. Erin segera memundurkan langkah setelah menyeimbangkan tubuhnya.
“Ah, maafkan saya kak Daniel,”
“Ya, kamu tidak apa-apa?”
Erin segera mengusap air matanya meski amarahnya masih meledak-ledak meledak-ledak.
"Ya, saya baik-baik saja, saya permisi dulu.” Erin segera melangkah pergi dengan cepat.
Daniel terdiam di tempatnya. ‘Dia tadi menangis? Seorang Erin?’
“Daniel? Kenapa diem disitu? Ini bantuin angkat ini, habis presentasi anak BEM kan giliran Senat Mahasiswa,” ucap salah satu teman Daniel yang tiba-tiba muncul.
Pria yang dipanggil Daniel itu menoleh. “Iya-iya sabar.”
Saat berada di depan sekre Senat, dua mahasiswa yang dikenalinya berjalan dengan wajah gugup saat melihat dirinya.
“Hai Daniel,” sapa Nathan ramah.
Laki-laki tampan itu hanya mengangguk lalu segera memasuki ruangan. Pikirannya terusik dengan apa yang baru saja dilihatnya. Erina yang menangis dan dua orang lawan jenis yang terlihat gugup.
‘Bukankah Nathan itu memiliki hubungan khusus dengan Erin?’ gumam Daniel dalam hati.
‘Apa dia menangis karena pacarnya berselingkuh dan dia melihatnya?’ gumam Daniel lagi.
“Dan, lu angkat yang ini ya?”
“Oke.”
***
Mata Erin tiba-tiba tertuju pada salah satu pengurus BEM yang tampak sedang kesulitan membawa beberapa barang sekaligus. Ia baru ingat akan ada promosi masing-masing organisasi yang menampilkan foto-foto kegiatan.
Gadis bermata coklat itu membuka ponsel pintarnya dan melihat dengan ekspresi jijik pada foto yang diambilnya beberapa waktu yang lalu.
Erin segera turun dari mobilnya lalu menghampiri kakak tingkatnya itu. “Kak Layla?”
Gadis berambut panjang itu menoleh. “Eh, hai Erin.”
“Kakak kayaknya kesulitan bawa semuanya? Mau ku bantu?”
“Wah boleh banget.” Layla langsung menurunkan tas dan proyektor serta tas kain besar yang entah berisi apa.
“Ini buat acara juga kah?” tanya Erin sambil mengambil tas berisi laptop dan juga proyektor di kotak berwarna hitam. Sebenarnya ia sudah tahu bahwa akan ada foto-foto kegiatan yang akan ditampilkan oleh anggota BEM.
“Enggak sih, ini buat promosi, nampilin kegiatan BEM selama tahun lalu.”
“Oh gitu… Emang kak Nathan kemana kak kok nggak bantuin?”
“Nggak tau tuh ketua BEM tapi nggak bisa diandalin banget,” gerutu Layla.
Layla dan Erin sampai di booth tempat BEM Fakultas berkumpul. Gadis bermata coklat itu sedang memikirkan cara menambahkan tiga foto yang diambilnya dari ponsel itu.
“Aduh ini anggota BEM nya pada kemana sih pada nggak jaga?” ucap Layla kesal.
“Ehmm, kak Layla cari aja dulu yang lain, ku bantu siapin. Ini nanti dipasang di sini kan?” ucap Erin sambil menunjuk arah pojok di bagian depan.
“Makasih banget kalau kamu mau bantu. Ehmm ini nanti disambungin kesini, terus nanti di laptop di file foto kegiatan itu yang di tampilin, tapi nggak usah dipasang dulu nggak apa-apa sih, nanti kan perlu dibawa ke depan juga.”
“Oh oke kak, Erin ngerti.”
“Makasih ya, aku cari yang lainnya dulu.”
Erin mengangguk dan membiarkan Lyla pergi. Ia segera mengelurkan ponsel dan kabel usb nya. Dengan sigap ia menyalin foto dari ponselnya ke folder berisi foto kegiatan BEM yang akan ditampilkan. Gadis bermata coklat itu tersenyum. Ia tidak menyangka bahwa kesempatan yang dibutuhkan bisa datang begitu saja saat ia membutuhkannya.
Beberapa saat setelah Erin menyiapkan semuanya, Layla dan anggota BEM Fakultas datang dengan tergesa-gesa.
“Erin udah selesai natanya?”
“Udah kok kak, tapi diperiksa lagi aja.”
“Wah ini Erin yang natain?” tanya Riza kagum.
“Iya, anak BEM nggak ada yang bener, masa dari tadi booth dibiarin kosong… ,” gerutu Layla.
“Maaf maaf, tadi aku sama Riza laper banget dari pagi belum makan,” jawab Rian memelas.
“Halah alesan aja, yaudah nih siapin ke depan. Oh iya Nathan mana?”
“Waduh, aku nggak lihat dari tadi, udah coba ditelfon?” jawab Rian bingung.
“Nggak diangkat, hp nya mati mungkin, tapi tadi sih katanya udah sampai. Emang di kantin nggak ada?”
“Nggak, yaudah aku coba cari ke sekre siapa tau ketiduran,” ucap Gerry yang kemudian segera berlalu pergi.
Erin tersenyum melihat semua tampak sibuk dan tidak memeriksa ulang file di laptop itu. Ia ingin segera menyaksikan langsung reaksi kekasihnya saat melihat foto yang akan menghancurkan reputasinya nanti. Ia juga sudah mempersiapkan diri untuk mengakhiri hubungannya setelah semua itu.
‘Kamu harus dapat rasa sakit yang lebih besar kan?’ ucap Erin dalam hati sambil tersenyum dengan penuh amarah.
*****
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”