Share

Patah

Erin menghentikan langkahnya saat ia sampai di bagian samping gedung Fakultas yang sepi. Ia menyenderkan punggungnya di tembok sambil menatap kosong ke arah langit yang cerah.

Dulu gadis bermata coklat itu terlalu mabuk dengan perasaan cintanya hingga tidak pernah mau mendengarkan apa yang orang lain katakan tentang kekasihnya itu. Ia sangat mempercayai Nathan lebih dari siapapun. Ia selalu mengutamakan Nathan lebih dari siapapun.

Sebesar itu rasa cintanya, sebesar itu pula rasa sakit yang dirasakan hatinya saat ini. Erin menginginkan pembalasan yang lebih menyakitkan. Ia ingin laki-laki itu merasakan rasa sakit dan rasa malu yang lebih besar dari apa yang ia rasakan saat ini.

“Hahhh… kenapa dulu aku bisa jatuh cinta pada b*jingan seperti mu?” gumam Erin pelan.

Seorang laki-laki yang ada di samping tembok hanya terdiam mendengar gumaman Erin. Ia tidak mendekat atau menunjukkan keberadaannya kepada gadis itu.

‘Ku kira kamu bahagia sama dia, tapi ternyata kamu malah jatuh cinta sama laki-laki brengsek,’ gumam Daniel dalam hati. Entah kenapa ia juga ingin memukul Nathan yang sudah menyakiti hati Erin.

‘Padahal aku yang lebih dulu menyukai mu,’ gumam Daniel dalam hati. Laki-laki itu menghela nafas pelan lalu segera pergi dari tempatnya berdiri.

Drrrttttt…

“Ya halo?”

“Erin kamu dimana?”

“Saya masih di kampus.”

“Biar saya jemput.”

“Saya bawa mobil.”

“Biarkan teman mu yang mengantar mobilnya, ada yang ingin saya bicarakan.”

“Ya… saya ada di samping gedung E Fakultas Ekonomi, bisa terlihat dari jalan raya.”

“Tunggu saya disana.”

Klik…

Erin segera mengirim pesan kepada Jessie untuk memintanya menemuinya. Temannya itu datang secepat mungkin dengan berlari.

“Erin lu nggak apa-apa?” tanya Jessie khawatir.

“Ya,aku baik-baik aja kok. Aku mau minta tolong… .”

“Ya, apapun pasti gue bantu,” ucap Jessie dengan ekspresi cemas.

Erin tersenyum. “Bawa mobil ku dulu ke cafe, besok atau besoknya lagi aku baru kesana.”

“Terus kamu baliknya gimana?”

“Ada yang jemput,” jawab Erin singkat.

Jessie memandangi Erin dengan ekspresi bingung. ‘Apa ortunya yang jemput?’

Tinnn…

Erin dan Jessie menoleh ke arah sumber suara. Sebuah mobil berwarna silver grey berhenti di seberang jalan.

“Aku duluan, tolong ya Jessie,, makasih. Oh iya kasih tau Livi supaya jangan khawatir, aku baik-baik aja.”

Jessie mengangguk dan membiarkan Erin melangkah pergi menuju mobil yang ada di seberang jalan itu.

***

“Kamu baik-baik saja?”

“Ya,” jawab Erin singkat.

David menghela nafas panjang. “Kamu yang merencanakan kejadian kali ini?”

“Ya, anda sudah mengetahuinya?”

“Sepertinya ada yang mengunggahnya di media sosial, hal itu jadi bahan pembicaraan hangat.”

Erin tertawa. “Baguslah.”

“Maafkan saya… .”

“Kenapa anda minta maaf? Mau menolak tawaran saya yang waktu itu?”

“Bukan… Saya minta maaf karena tidak mengajari adik saya dengan baik.”

Erin diam, ia fokus memandangi pohon-pohon di pinggi jalan. Gadis bermata coklat itu enggan membicarakan tentang Daniel lagi.

Tidak mendapat respon terkait ucapannya itu, David mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menyebut topik yang lain. “Saya akan memberitahu kamu lebih awal, keluarga saya memang terlihat harmonis tapi kakek nenek saya mungkin akan membuat mu kesulitan.”

“Waktu itu sudah saya katakan kan? Saya yang akan membantu anda terkait hal itu.”

“Apa kamu mengetahui itu semua dari Nathan?”

“Ya… .”

“Kamu mau tetap sesuai rencana? Mungkin akan banyak rumor buruk jika kamu tiba-tiba menikah setelah putus.”

“Saya tidak pernah peduli dengan rumor.”

“Baiklah kalau kamu memang sudah sangat yakin dengan keputusan mu.”

Erin diam, sebenarnya ia merasa tidak enak hati memanfaatkan David yang sudah memperlakukannya dengan sangat baik seperti adik sendiri. Namun ia benar-benar ingin membalas rasa sakit yang dirasakannya itu.

“Bulan depan, mari temui orang tua saya untuk meminta restu… ,” ucap Erin dengan ekspresi datar.

“Kamu yakin? Apa tidak sebaiknya menunggu keadaan mu membaik?”

“Saya baik-baik saja, saya juga bisa bersikap seperti biasa saat di depan orang lain kok.”

“Baiklah, beri tahu saya jika kamu berubah pikiran.”

Erin diam lagi, tentu saja ia tetap bisa bersikap seolah tidak ada apa-apa, tapi hatinya sekarang terasa kosong. Sejak kematian ibu kandungnya Erin memang banyak berubah. Ia tahu betul bagaimana bersikap hangat dan ceria saat berada di depan banyak orang.

Beberapa orang mungkin menganggapnya hanya seorang gadis kaya raya yang suka menghamburkan uang namun sebenarnya ia bekerja sangat keras sebagai anak sulung dari keluarga Salim yang terkenal itu. Banyak orang yang mencoba memanfaatkannya seperti Nathan dan Mina. Namun ia sengaja bersikap menyebalkan kepada orang lain agar tidak ada yang mendekatinya.

Erin selalu haus akan kasih sayang karena ayahnya sibuk bekerja sedangkan ibunya telah tiada. Saat SMA itulah ia pertama kali mendapat perhatian dari Nathan. Kekosongan hatinya terisi, karena itu ia selalu mengutamakan Nathan dibandingkan dirinya sendiri maupun teman-temannya. Namun ternyata laki-laki itu hanya memanfaatkannya.

Suasana hening itu terganggu dengan suara getar ponsel Erin yang terus berbunyi. Gadis bermata coklat itu melihat sekilas ke arah layar lalu mematikan ponselnya.

“Tidak kamu angkat?”

“Tadi yang menelfon adik anda.”

“Oh… .”

Suasana menjadi hening kembali. Erin terdiam sambil menatap kosong ke arah pemandangan jalan. Sebenarnya ia bertanya-tanya kenapa David mau menerima tawaran pernikahan kontrak.

‘Meski aku memaksa, bukankah dia punya banyak alasan untuk menolak? Apalagi tujuan ku untuk balas dendam kepada adiknya. Balas budi yang dimaksud saat itu apa ya?’ gumam Erin dalam hati. 

“Saya akan memberitahu sedikit tentang beberapa hal yang harus kamu hadapi nanti selain keluarga saya,” ucap David tiba-tiba.

Erin terdiam, menunggu David meneruskan kalimatnya. Gadis bermata coklat itu menatap ke arah David dengan ekspresi serius.

“Saya pernah menikah kontrak sebelumnya…,” ucap David pelan.

“Eh?”

“Saya menikah selama dua tahun lalu bercerai, dari pernikahan itu ada seorang anak dengan status sebagai anak saya.”

Mata Erin terbelalak, ia terkejut dengan hal yang baru diketahuinya itu. “Ehmm, dari kalimat anda, anak itu bukan anak kandung anda?”

“Ya… meski begitu, dia adalah anak kandung saya di mata hukum. Saya ingin bercerita lebih banyak tapi karena ini menyangkut hal pribadi orang lain, saya harus meminta izin kepadanya terlebih dulu.”

Erin terdiam, ia tidak pernah mendengar cerita seperti itu dari Nathan. “Ehmm… apa anda dan mantan istri anda masih berhubungan baik?”

“Ya, dia sahabat saya. Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa membatalkan kontrak yang kamu ajukan.”

“Saya sih tidak keberatan karena itu hal yang sudah lalu, tapi sepertinya saya terlalu memaksa anda… Bagaimanapun juga menikah kontrak dua kali itu agak… Ehmm.” Erin tidak melanjutkan perkataannya.

“Saya tidak masalah dengan itu jika kamu sendiri tidak keberatan,” jawab David dengan ekspresi datar.

Erin mengangguk lalu terdiam. Ia tidak bertanya lagi kepada David meski masih penasaran. Ia ingin tahu alasan pria tampan itu menikah kontrak sebelumnya. Ia juga ingin tahu kenapa pria itu tidak menikah dengan sungguh-sungguh dengan wanita lainnya.

Meski ada sedikit rasa khawatir, Erin sudah bertekad ingin balas dendam kepada Nathan. Jadi meski sudah mendengar hal tersebut, ia tetap ingin menjalankan rencana yang sudah ia susun agar bisa membalas dendam kepada laki-laki yang sudah menyakitinya.

Erin tidak tahu keputusan yang diambilnya saat marah itu akan membawanya kepada banyak permasalahan lain yang lebih besar.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status