Share

Bab 10 Gelang Giok

Saat Dani membuka pintu rumahnya, dia melihat Sinta sedang membawa dua piring berlauk keluar dari dapur.

Wajah mungil yang awalnya terlihat agak sendu itu, begitu melihat Dani datang, langsung tersenyum lebar.

Hanya saja senyumannya itu terlihat agak memaksa.

Setelah mencuci tangan, Dani duduk di depan meja makan. Setelah latihan seharian, perutnya juga sudah kelaparan. Hidangan yang masih panas-panas itu terlihat sangat mengiurkan.

Dia mengangkat piringnya dan makan dengan lahap, sementara Sinta duduk bergeming di tempat.

"Apa yang terjadi?" Dani meliriknya.

Sinta berhenti sesaat, lalu mengeleng-geleng kepalanya perlahan-lahan.

"Kalau begitu, cepatlah makan. "Dani mengambilkan sepotong daging dan meletakkannya di piring Santi. "Kalau dilihat saja, apa bisa kenyang?"

Sinta menundukkan kepalanya dan menyesap bibirnya, tetapi dia tetap tidak memiliki selera makan. Pada saat ini, ponsel Sinta berbunyi. Anton Iskandar, Adik laki-laki Sinta mengirim pesan: "Kakak, kapan kamu mau mengirim biaya pengobatan ibu? Kalau masih belum kirim, dokter akan berhenti memberikan obat!"

Hatinya terasa sesak dan secara tak sadar, dia melihat ke arah laci lemari yang ada di samping tempat tidur.

Perhiasan emas yang waktu itu Dani berikan padanya, semuanya ditaruh di sana, terutama gelang giok berbingkai emas itu, seharusnya harganya tidak murah.

"Kenapa melamun?" Tiba-tiba suara yang serak itu membuyarkan pikirannya.

Sinta tersadar dan melihat mata pria yang tajam itu menatapnya, membuat Sinta sedikit gemetar. Entah kenapa, aura Dani yang berbeda dengan orang lain. Saat beradu pandang dengan Dani, selalu membuat Sinta merasakan tekanan.

"Tidak apa-apa ...." kata Sinta dengan lembut.

Dani meletakkan sendoknya, pandangannya seperti mengandung makna mendalam, "Apakah ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku?"

Sinta buru-buru menggelengkan kepalanya.

Akan tetapi, Dani tidak terlalu terburu-buru, dia melihat Sinta sebentar, tersenyum dan kembali makan.

Karena Sinta tidak ingin mengatakan apa-apa, Dani tidak akan bertanya, cepat atau lambat gadis ini akan kehilangan kesabarannya.

Malam itu, pikiran Sinta sangat kacau-balau, dia bolak-balik membaca pesan singkat yang dikirim Anton berkali-kali. Dia memeras otak memikirkan beragam cara untuk menghasilkan uang, tetapi tidak satupun dari cara itu yang bisa membantunya menyelesaikan kendala uang dalam waktu singkat.

Tidak mungkin bagi Sinta untuk kembali ke keluarga Wijoyo untuk meminta uang. Saat ini, satu-satunya cara, mungkin hanya ....

Diam-diam Sinta menutup pintu kamar, menarik laci yang ada di lemari dan mengeluarkan kotak kayu berukiran itu. Di bawah pancaran sinar cahaya bulan, perhiasan-perhiasan emas itu bersinar keemasan. Dia mengambil gelangnya, ragu-ragu untuk waktu yang cukup lama, tetapi akhirnya dia membungkusnya dengan hati-hati dan memasukkannya ke kantong saku.

...

"Hmm, memang lumayan," Pegawai toko permata mengangguk dan tertawa ringan, "Nona, meskipun gelang Anda modelnya agak kuno, untungnya gayanya cukup klasik dan kualitas premium. Sekarang sudah jarang sekali bisa melihat kualitas batu giok dengan emas yang sebagus ini."

"Jadi, ini bisa ditukar berapa duit?" Sinta melihat pegawai toko permatanya dengan penuh semangat.

"Nona, maksudmu digadaikan, 'kah?" Pegawai toko itu tersenyum, lalu membawa Sinta ke sebuah ruangan.

Di atas meja terdapat beragam peralatan profesional. Pegawai toko itu meminta Sinta untuk menunggu sebentar, kemudian meninggalkan Sinta sendirian.

Sinta duduk di sana dan melihat sekelilingnya, dia tidak menyangka ternyata Toko permata ini sangat mewah.

Sebenarnya sebelum datang, Sinta tidak menaruh banyak harapan, apalagi gelang itu tampaknya telah disimpan bertahun-tahun. Lagi pula dengan kondisi Dani, dia juga tidak bisa memberikan apa-apa.

Tak disangka, pegawai toko ini bisa meminta Sinta untuk menunggu.

Sinta memegang gelang itu di tangannya, menimang-nimangnya berulang kali, lalu berdiri dan mondar-mandir di dalam ruangan itu, pikirannya sangat dilema.

Sinta tidak tahu kalau gerak-geriknya telah diawasi seseorang lewat CCTV.

"Tuan Billy, ini adalah warisan turun-temurun pusaka keluarga Hidayat .... Apakah wanita itu perlu dibawa ke sini sekarang?"

Di depan meja kerja yang luas, sepasang mata menatap ke layar komputer, wajah tampan dengan gaya urak-urakan itu tersenyum sinis. Dia bersandar ke belakang, kakinya yang jejang itu bersilang di atas meja, matanya sedikit menyipit, tersenyum menyungging di bibirnya, "Tidak buru-buru, tunggu dan lihat saja!"

"Tapi bagaimana kalau barang ini hasil curiannya?"

"Kurasa bukan." Billy memetik mancis dan menyalakan sebatang rokok dan berkata, "Aku dengar kalau kakak ketiga sudah menikah, wanita ini seharusnya istrinya. Hegh, barang semahal itu diserahkan pada wanita ini .... Kakak Ketiga pasti tidak menyangka, kakak ipar akan membawanya kemari!"

"Tuan Billy, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"

"Biarkan pegawai toko itu memberinya harga, katakan dua miliar dulu!"”

Sinta menunggu pegawai toko itu dengan cemas. Begitu Pegawai Toko itu melihat Sinta, dia langsung tersenyum dan berkata, "Nona, setelah ahli kami menaksirnya, gelang ini tidak masalah kalau digadaikan senilai dua miliar."

Telinga Sinta berdengung, dia tertegun selama hampir sepuluh detik.

Dua miliar?

Dia memegang gelang itu erat-erat, wajahnya yang cantik itu menunjukkan ekspresi kebingungan.

Harga ini melebihi ekspektasinya, dia tidak pernah menyangka kalau perhiasan ini akan begitu berharga!

Dengan memiliki dua miliar ini, tak hanya biaya pengobatan ibu saat ini, bahkan kelak pun masih lebih, selain itu dia masih bisa mengirim Anton ke sekolah yang lebih baik ....

Akan tetapi ini adalah mahar dari Dani.

Hati Sinta tergerak, kemudian dia memijit kening dengan ringan.

Pada saat ini, Sinta teringat kembali momen di saat Dani menyerahkan kotak perhiasan itu pada Sinta.

'Semua ini adalah seluruh harta yang kumiliki, aku akan menyerahkannya padamu, kelak kau yang akan mengurus keluarga ini.'

Dia menggigit bibirnya dan merasa bersalah. Suaminya menyerahkan segala yang bisa dia berikan, tetapi bagaimana dia membalas ketulusannya?

"Nona, apakah Anda tidak puas dengan harga ini?" Pegawai toko itu tersenyum dengan hati-hati, "kita masih bisa nego harganya. Begini saja, aku tunjukkan rekapan surat gadai pelanggan kami, Anda boleh mempertimbangkannya dulu, baru ...."

"Aku tidak jadi jual!" Sinta tiba-tiba berdiri dan dengan gesit, dia menaruh gelang itu kembali ke tasnya.

"Ini ...."

Sebelum pegawai toko itu bereaksi, Sinta sudah berlari keluar dari toko permata, badannya yang mungil dan ramping itu menghilang di tengah hiruk-pikuk jalanan.

"Yaelah, tidak jadi jual?" Seulas suara bercanda datang dari atas toko perhiasan.

"Pegaiwai toko itu langsung berbalik, membusungkan badannya 90 derajat dan dengan hormat menyapa, "Tuan Billy!"

Pria itu menyipitkan matanya, wajahnya yang tanpa itu menunjukkan ekspresi liar. Dia terduduk di sofa dan mengeluarkan ponsel, tertawa dan berkata, "Kakak ketiga, istrimu tadi datang ke tempatku dengan membawa pusaka peninggalan leluhurmu untuk digadaikan, apa kamu tahu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status