Share

Bab 9 Kalung Berlian

"Aku bilang, Ayah tidak di rumah!" Santi tersenyum puas, "Ayah pasti sudah lupa kalau kamu pulang hari ini! Ah, benar juga, menikah dengan pria seperti itu, apa ayah masih perlu menyiapkan pesta penyambutan untukmu? Hahaha, apa tidak cukup memalukan!"

"Aku tidak butuh pesta penyambutan!"

Sinta langsung berdiri menghadang Santi, "Aku mau ambil mas kawinku!"

"Mas kawin?"

Santi mengangkat alis matanya dan tersenyum licik, "Mas kawin apa? Aku belum pernah mendengarnya!"

Sinta terkejut, jantungnya berdebar keras.

Dalam sekejap itu, semua kesengsaraan, ketidakrelaan dan kebencian menguak ke benak Sinta. Dia tahu dirinya memang tidak dihargai dalam keluarga ini. Sejak dia dilahirkan ke dunia dan datang ke tengah-tengah keluarga ini, dia sudah dicap sebagai anak diluar nikah. Akan tetapi, jati dirinya ini bukanlah hal yang bisa dipilih Sinta. Selama bertahun-tahun ini, walaupun dia berada di tengah kegelapan, dia juga telah berusaha mencari secercah sinar harapan.

Pasti tidak ada gadis yang bersedia menyetujui permintaan yang begitu gila, mengantikan orang lain menikah!

Sinta hanya ingin menyelamatkan ibunya saja.

Kenapa harapan satu-satunya ini pun mereka renggut darinya!

Santi mendengkus, dia berbalik dan bersiap-siap untuk naik ke atas, tetapi dia ditarik oleh Sinta.

"Jangan pergi, jelaskan ucapanmu itu!"

"Jelaskan apa lagi?" Santi menggigit lengan Sinta dengan keras.

Sinta kesakitan dan mundur beberapa langkah, kepalanya terantuk ke dinding, telinganya berbunyi mendengung.

Santi mengangkat kepalanya dan melihat Santi menertawakannya, "Sinta, kamu sudah menikah, kamu itu seperti air kotor yang disemprot jauh-jauh! Kelak kamu jangan harap punya hubungan apa-apa lagi dengan keluarga Wijoyo!"

"Tapi ... ayah sendiri yang menjanjikannya padaku!" Sinta menggertakkan giginya dan berkata, "Asalkan aku menggantikanmu menikah, dia akan memberikan mas kawin yang cukup besar, ibuku bisa ...."

"Bisa membiarkan ibumu dirawat di bangsal yang lebih tinggi kelasnya dan mengunakan obat yang harganya lebih mahal?" Santi tertawa terbahak-bahak "Adikku yang lugu, apakah kamu masih ingat kenapa ayah mengusir kamu dan ibumu keluar dari rumah waktu itu?"

Sinta tetap diam tak bersuara, ada hawa dingin yang menyusup ke hatinya.

"Semua itu karena ibumu tidak menjaga marwahnya dengan baik, dia entah tidur dengan pria mana sehingga hamil sepasang anak haram, membuat Ayah murka!

"Sinta, wanita jalang memang seharusnya masuk neraka! Kamu kira Ayah akan menolong Ibumu? Hahaha, Ayah bahkan berharap wanita itu mati di jalan!"

"Bukan begitu ...." Mata Sinta memerah, dia berusaha keras untuk menekan emosinya itu, tetapi air matanya menetes tak terbendung.

"Ibuku bukan orang seperti itu, dia dijebak orang ...."

"Jadi maksudmu, dijebak ibuku?!"

Suara Santi melengking tinggi, melototi Sinta dengan garang.

Pandangan mata Sinta dingin, dia teringat ibunya pernah mengatakan padanya kalau seseorang semakin bersalah, mereka akan berpura-pura dan menunjukkan sisi bengisnya.

"Aku tidak mengatakan seperti itu." Sinta menghapus air matanya dan berkata dengan ringan, "Sebenarnya apa yang terjadi pada orang tua kita, kita berdua tidak tahu jelas. Jadi tolong perhatikan ucapanmu kelak. Jika kamu tidak menghormati ibuku, aku tidak akan membiarkanmu begitu saja!"

"Hegh, kamu juga perlu memiliki kemampuan melakukannya!"

Santi mendengkus dua kali, dia sengaja menghalau rambutnya ke belakang, untuk menunjukkan kalung berlian yang baru saja dia beli.

"Bagaimana? Bagus, 'kan?" Dia sengaja memprovokasi Sinta, "Aku baru saja membeli kalung ini, tidak murah sedikitpun, harganya enam ratus juta loh!

Sinta terperanjat.

Santi dengan bengis mengatakan, "Aku membelinya dengan uang mas kawinmu itu!"

"Kamu ...."

"Sejujurnya, Ayah tak pernah memikirkan untuk memberimu mas kawin! Membiarkanmu menggantikanku, sudah cukup menghargaimu! Sinta kamu jangan tidak tahu diri!"

Sinta menggigit bibirnya dengan rapat, dia kesal hingga badannya gemetaran, tetapi dia tidak berdaya menghadapi Santi.

Sinta melihat Santi tersenyum puas, kemudian para pelayan dengan sopan "mempersilakan" Sinta keluar. Sinta keluar dari halaman rumah itu dengan patah semangat. Langit tampak mendung, awan hitam menghalangi sinar matahari, hawa udaranya pun terasa lembab.

Saat ini musim hujan, cuaca di musim ini berubah dengan cepat, hujan turun di saat tidak terduga, membuat Sinta tidak siap menghadapinya.

Mau tak mau, Sinta harus mempercepat langkah kakinya. Dia berjalan menuju stasiun bus.

"Tuan Dani, Nona Wijoyo sudah keluar."

"Hmm." Dani melepaskan sarung tinjunya dan melemparnya ke samping begitu saja. Lalu dia mulai melepaskan kain perban yang melilit di tangannya selapis demi selapis dan bertanya, "Bagaimana keadaannya?"

"Tampaknya ... tidak begitu baik."

Kening pria itu serasa kebas.

"Raut wajah Nona Wijoyo tidak begitu baik, kurasa dia dibuat kesal oleh orang rumahnya. Aku sudah mencari tahu, kata pelayan keluarga Wijoyo, Nona tidak berhasil mendapatkan mas kawinnya, dia bahkan dihina Kakaknya."

Dani mengepal tangannya dengan kuat, matanya terlihat dingin.

"Berapa nominal mas kawinnya?"

"Sepertinya enam ratus juta."

"Berapa besar nilai tanah yang dilelangkan keluarga Wijoyo?"

"Dua puluh triliun."

"Bagus." Dani tertawa sinis dan berkata, "Gunakan saja tanah ini untuk menyadarkan orang yang sudah pikun itu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status