Share

Part 4 Bahagia dan Kecewa

Keesokan harinya, pagi Bian disambut dengan satu pesan dari Yuna. Gadis itu mengabari jika selama tiga hari ia akan berlibur ke tempat neneknya. Mungkin akan sulit menghubunginya karena kondisi jaringan seluler di sana kurang baik.

Senyum Bian seketika merekah. Itu artinya selama tiga hari kedepan, dirinya tidak akan diusik oleh Yuna. Dirinya akan bebas dari cerewetnya gadis itu. “It’s like freedom days!” sorak Bian.

Secepat kilat Bian beranjak dari tempat tidur. Ia ingin fokus kerja dan lembur hari ini. Dengan begitu selama akhir pekan nanti, ia bisa menikmati waktu dengan bebas. Tidak akan ada Yuna yang merengek manja dan membuatnya sakit kepala.

Andra dan Amba heran melihat putra sulungnya yang tampak begitu bahagia pagi ini. Mereka baru saja membahas hubungan antara Bian dan Yuna.

"Tumben senyum-senyum terus?" tanya sang papa.

Masih dengan senyum yang terlukis di wajahnya, Bian menjawab, "Yuna lagi ke tempat neneknya. Artinya, Bian nggak akan sakit kepala selama tiga hari."

Amba memilih diam saja. Pembahasan sudah berganti masalah pekerjaan di kantor. Entah mengapa pikirannya justru terus tertuju pada Yuna.

Gadis itu mengutarakan niat untuk putus dengan Bian dengan meminta izinnya. Yuna meminta maaf karena telah membuatnya kecewa, sedangkan putranya sendiri malah terlihat begitu bahagia.

Kemarin ia menduga jika Yuna akan menangis histeris dan merengek padanya. Namun, di luar dugaan Amba, gadis itu tampak begitu tegar.

Kala dirinya bertanya alasan Yuna memilih ingin mengakhiri hubungan dengan putranya, jawaban Yuna cukup mengejutkannya. Gadis itu benar-benar memberikannya kejutan.

Flashback on

"Boleh tante tahu alasan kamu ingin putus sama Bian?" tanya Amba yang berusaha menguasai kejutan yang diutarakan Yuna.

"Menurut Yuna, Kak Bian tipe cowok yang membosankan," ucap Yuna sambil mengusap gelas tehnya.

Amba mengangguk membenarkan. Putranya memang terlihat acuh tak acuh dalam hubungan mereka. Rencana perjodohan antara Bian dan Yuna, seolah tidak penting bagi putranya.

"Sudah cukup Yuna merasa berjuang sendiri. Meski Yuna cewek, lemah dan nggak bisa apa-apa, tapi Yuna masih punya harga diri, Tante. Kalau dipaksakan, aku ataupun Kak Bian sama-sama nggak bahagia," lanjut Yuna tersenyum walau tak sampai ke mata.

Flashback off

"Ma, Mama!" panggil Andra.

"Ha? Kenapa, Pa?" tanya Amba panik.

Suami dan putranya menggeleng lalu terkekeh. "Mama melamunkan apa pagi-pagi? Muka ganteng kita berdua memangnya tidak menarik?" kelakar Bian.

"Anggap saja begitu," jawab Amba yang kini membuat suami dan putra sulungnya melongo.

"Mama aneh banget. Apa masih marah soal semalam aku bahas Yuna? Argh! Stop Bian, nggak ada Yuna lagi. Setidaknya jangan pikirkan gadis itu selama tiga hari," batin Bian menghibur diri.

Kedua pria beda generasi itu memutuskan untuk berangkat bersama. Bukan tanpa alasan, Bian sudah mengutarakan niatnya ingin lembur dan akan menginap di kantor. Rencananya besok dia akan ke Bali menghadiri pesta ulang tahun temannya.

Selama perjalanan ke kantor, Bian sibuk menanggapi perihal kerja sama dari salah satu relasi bisnis papanya. Saat berhenti karena lampu lalu lintas, mata Bian tertuju pada gerobak rujak yang terparkir di sisi jalan. Entah mengapa ia menelan saliva membayangkan segar dan asamnya mangga.

"Ada apa denganku?" batin Bian menggeleng pelan. 

Setibanya di kantor, Bian benar-benar fokus dengan pekerjaannya. Saat istirahat makan siang pun ia makan di ruangannya. Sekretarisnya bahkan sudah pamit duluan saat jam kantor berakhir.

Satu persatu tumpukan map dibuka dan ditutup. Tumpukan yang semula menggunung di bagian kiri mejanya, kini sudah berpindah ke bagian kanan. Setelah meregangkan tubuhnya, senyum Bian merekah.

Denting jarum jam sesekali beradu dengan suara pendingin ruangan. Bian beranjak merebahkan tubuhnya di sofa sembari memeriksa ponselnya. Satu persatu pesan dari keluarga ia balas. Termasuk pesan dari supir keluarga yang mengabari jika mobil sport-nya sudah harus diservis.

Bian mengernyit karena tidak mendapati satu pun pesan dari Yuna. Ketika mengetuk foto profil gadis itu, terlihat tulisan ‘online’ yang menandakan jika Yuna sedang aktif dengan ponselnya.

“Tumben, seharian Yuna nggak pernah ganggu? Apa dia seharian ini jadi putri tidur?” batin Bian mengernyit heran.

Niat yang semula ingin mengetik pesan untuk Yuna ia urungkan. Jangan sampai gadis itu malah tidak berhenti mengirim pesan saat dirinya sudah ingin pulang dan beristirahat.

Bian memilih bertukar pesan dengan teman-temannya. Bertanya siapa saja dan kapan tepatnya mereka akan berangkat ke Bali akhir pekan ini. Sesekali Bian terkekeh membaca balasan komentar dari teman-temannya.

Sementara Yuna yang duduk di balkon kamarnya menatap nanar layar ponselnya. Ia melihat kontak Bian dalam keadaan ‘online’ beberapa saat lalu. Namun, pria itu sama sekali tidak mengirimkan pesan satu kata pun padanya.

“Jangan harap dia mau tahu kabar kamu. Seharian ini kamu memikirkannya, tapi dia sama sekali tidak menelpon atau mengirim pesan. Dia mungkin sedang bahagia lepas darimu Yuna,” batin gadis itu meringis.

Lagi-lagi ia menitikkan air mata. Memikirkan Bian selalu saja membuat hatinya lemah. Tak dapat dipungkiri, di hatinya masih ada cinta.

Selama ini, selalu saja dirinya yang berusaha. Bian hanya akan bersikap manis padanya saat ada orang lain. Kalau saja ia boleh jujur, Bian … pria itu memang mulai membosankan di matanya.

Sejak beberapa hari terakhir ia mengurung diri di vila. Berada di dekat keluarganya hanya akan membuat mereka curiga. Setiap kali memikirkan nasibnya yang kelak akan melahirkan tanpa seorang suami di sisinya, membuat Yuna tak kuasa menahan air mata. Belum lagi memikirkan nasib anak-anaknya kelak.

“Sebelum aku pergi, akan kuberikan hadiah yang tidak akan pernah kamu lupakan. Hadiah yang tidak akan bisa diberikan oleh orang lain,” gumam Yuna tersenyum miris menatap foto Bian di ponselnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status