Kedatangan Gazza sesungguhnya sangat mengagetkan Arini, entah darimana dia tahu jika Arini ada di rumah ini.
Yah, Arini memang pernah sangat dekat dengan Gazza, sebelum Arini memutuskan untuk meninggalkannya dan memilih Hendra.
Gazza tidak seberani Hendra saat itu. Tidak pernah memberikan kepastian tentang status sebuah hubungan. Ketika Arini bertanya tentang keseriusannya menyangkut hubungan mereka, Gazza selalu menjawab "kita jalani saja."
Arini kemudian berpikir, apa tiga tahun kedekatan mereka itu bukan jawaban jika "kita sudah menjalani" itu semua. Karena terkadang, Wanita lebih butuh bukti dan kepastian daripada dibiarkan mengambang walau dengan alasan cinta sekalipun.
"Kamu sudah menikah Gazza?" To the point, langsung Arini menanyakan itu pada Gazza.
Sempat terkejut juga Gazza, sambil meminum teh hangat yang disuguhkan Lasmi, sebelum menjawab pertanyaan Arini."Sudah, mungkin sudah berjalan dua tahun." sembari Gazza melihat-lihat hapenya.
"Ini photo istriku." Gazza menunjukkan sebuah photo dari galeri handphone-nya.
Wanita berwajah ayu, hitam manis dan berhijab. Cantik sekali."Anak?" tanya Arini pada Gazza
"Sepertinya sama sepertimu Arini, kami juga belum mempunyai anak." Terdiam mereka sesaat.
"Kamu kenapa bercerai Arini?' tanya Gazza langsung, sembari dia kembali menyeruput teh hangat, tetapi tatapan matanya tetap di arahkan kepadaku. Dan Arini terkejut mendengar pertanyaan mantannya tersebut.
"Darimana kamu tahu aku sudah bercerai?" Selidik Arini pada Gazza.
"Lima tahun kamu tidak pernah pulang ke rumah ini, dan sekarang sudah lewat dua minggu lebih kamu disini, tanpa Hendra. Salahkah jika aku menanyaimu seperti itu?"
Arini diam saja, tidak menjawab pertanyaannya
"Benar, kamu sudah bercerai Arini?" Sekali lagi Gazza menanyakan hal itu, sembari mendekat kan badannya kearah Arini, yang dibatasi dengan meja.
"Aku tidak harus menjawab pertanyaanmu kan?" jawab Arini sembari memakan crakers yang dia hidangkan buat Gazza. "Dan kamu pun tidak bisa memaksa aku untuk menjawab pertanyaanmu itu."
Gazza tersenyum tipis, masih ada binar di matanya, atau mungkin hanya tebakan Arini saja. Arini memang mengetahui, jika dirinya adalah cinta pertama dari pria yang ada dihadapannya tersebut.
"Yah, sudah, aku mohon pamit, dan terimakasih atas teh manisnya. Kapan-kapan aku mampir lagi kesini."
Arini diam saja, dia ikut berdiri sembari mengantar Gazza keluar halaman rumahnya.
Sebuah mobil Eropa yang terhitung berkelas menjadi kendaraannya."Alhamdulillah, kamu sudah sukses yah?" ujar Arini kepada Gazza.
"Aku kerja keras sejak kau meninggalkan aku dan memilih lelaki yang jauh lebih kaya dan mapan dari pada aku," jawabnya ketus, sembari melangkah lebih cepat ke arah mobilnya.
Arini tersinggung, langsung dia menarik lengan baju Gazza, sehingga membuat langkahnya terhenti.
"Aku meninggalkanmu karena kamu tidak pernah memberikan kepastian padaku!"
Arini benar-benar sangat tersinggung dengan tuduhan Gazza."Jika karena alasan kamu hidup susah, lalu aku meninggalkanmu. Buat apa aku menjalani hubungan denganmu selama tiga tahun. Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar dalam menjalani hubungan mengambang denganmu. Wanita juga butuh kepastian Gazza!"
Gazza seperti tersentak, mendengar ucapan Arini yang menggebu, tetapi Gazza hanya diam saja, dan berlalu dengan mobilnya.
÷÷÷
Perlahan-lahan usaha kue yang Arini rintis mulai bergerak maju, bukan hanya memenuhi pesanan tetangga, tetapi juga lewat aplikasi online. Kue- kue sederhana macam brownies, lapis legit, black forest dan pesanan pembuatan kue ulang tahun. Beberapa kali Gazza pun sering mampir kesini dan membei kue buatan Arini dalam jumlah besar. Entah buat siapa Gazza membeli kue sebanyak itu.
Seperti sore itu, pesanan pengambilan barang melalui expres ke rumah Arini dengan mobil, karena kue ulang tahun yang lumayan besar yang dipesan pelanggannya, biasanya yang sering dengan online motor.
"Assalamualaikum."
Arini mendengar Lasmi yang membalas salamnya, sedangkan dia masih belum selesai memaking kue pesanannya.
"Mau ambil pesanan Mbak. No order GF 974, dengan nama pemesan Imelda, pesanannya kue ulang tahun."
Arini mendengar jelas lelaki penyedia jasa online itu menyebutkan pesanannya."Nama pengemudinya siapa, Pak?" Lasmi balik bertanya.
"Saya Adrian, Mbak."
"Sebentar yah Pak, pesanannya sedang di siapkan, duduk saja dulu." Tidak lama, Lasmi datang menemui Arini, menanyakan tentang pesanan kue tersebut.
"Ini sudah selesai ko, Mbak, " ujar kepada Lasmi.
"Sini, biar saya yang bawa Mbak Arini?"
"Ngga usah, biar saya saja Mbak Lasmi." Arini pun segera membawa pesanan ke luar sembari membawa bukti nota harga pemesanan.
"Ini Mas pesanannya, dan tolong hati-hati yah Mas, bawanya." Arini mewanti-wanti. Pria itu menghampiri Arini, beberapa saat mereka berdua tertegun.
"Mbak ini bukannya Istri Hendra, 'kan?" tanyanya kepada Arini.
"Sepertinya kita pernah ketemu yah, Mas, tapi saya lupa kapan. Mas memang kenal dengan mas Hendra?" tanya Arini, balik mengajukan pertanyaan.
"Hendra Hendrawan sahabat dekat saya, Mbak? Sejak masa sekolah dulu. Dan mungkin rasanya saya bertemu Mbak saat resepsi pernikahan Mbak dulu."
"Iya-yah, mungkin saya yang memang pelupa."
"Hendranya ada, Mbak?" tanya Adrian lagi.
"Ngga ada Mas, Mas Hendra tetap di Jakarta." Adrian tidak banyak bertanya lagi, dan langsung pergi bergegas untuk menghantar pesanan pelanggannya.
Baru saja Arini hendak masuk kembali ke dalam rumah. Suara salam kembali terdengar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Sembari Arini menoleh kearah suara itu berasal.
Seorang wanita berhijab sebaya dengan Arini, dan sepertinya Arini pernah melihat wajah dari tamunya tersebut,tetapi dia tidak ingat dimana. Wanita cantik itu diantar dengan mobil yang tepat parkir di depan halaman rumah Arini.
"Ini benar rumah Mbak Arini ?" tanyanya kepada Arini.
"Iya Mbak, saya sendiri Arini." sembari Arini membalas salaman tangannya.
"Boleh saya minta waktunya sebentar, Mbak?Ada yang ingin saya bicarakan dengan Mbak."
"Silahkan, Mbak. Mau bicara di teras sini, apa kita di dalam saja," ujar Arini menawarkan.
"Kita di dalam saja yah, Mbak." Arini mempersilahkan tamunya tersebut untuk masuk dan mereka berdua duduk di ruang tamu.
"Sebentar, saya buatkan minuman dulu," ucap Arini pada wanita cantik berhijab itu. Bersiap untuk berdiri dari tempat duduknya.
"Tidak usah, Mbak, tidak perlu repot-repot," katanya, menolak tawaran Arini secara sopan, sambil merapikan hijabnya.
Arini duduk menemani tamunya tersebut.
"Begini Mbak Arini... maksud kedatangan saya ke sini." Perempuan muda itu menjeda ucapannya. Namun mengapa mata wanita itu terlihat berkaca-kaca. Ada udara mengembang di matanya. Dan Arini menjadi bertanya-tanya.
"Maksud kedatangan saya adalah ... ingin melamar Mbak Arini untuk suami saya?"
"Siapa dia Hen?" tanya Anita, dan Hendra sempat tergagap dan terdiam."Saya Susan, Mbak, saya sekretarisnya Mas Hendra. Oh maaf, Pak Hendra maksudnya,"jawab Susan, sembari menjulurkan tangannya kearah Anita. Hendra melihat matanya Susan seperti berkaca-kaca."Saya Anita, teman dekatnya Hendra." Anita membalas jabat tangan Susan."Kamu sedang apa San, ada di sini?" tanya Hendra kepada Susan."Mamah!" Seorang gadis kecil usia lima tahunan berlari ke arah Susan, dengan seorang pria berjalan di belakang anak tersebut, dan Hendra tahu itu Vijar suaminya Susan, dan setau Hendra, mereka juga dalam proses mengajukan perceraian.Susan yang menggugat cerai Vijar."Aku hanya tinggal menunggu surat-surat resminya turun, Mas. Semua prosesnya sudah kulewati." Begitu yang pernah Susan bilang kepada Hendra."Kami pergi dulu yah." Anita menarik tangan Hendra untuk segera pergi meninggalkan tempat ini."Kami duluan ya, Sa
"Saya ingin melamar Mbak, buat suami saya," kata perempuan berhijab itu kepada Arini, matanya berkaca-kaca.Arini terkejut dibuatnya, sesaat dia terdiam, tidak bisa berkata apa-apa."Apakah Mbak bersedia?" Perempuan itu memastikan. Arini menatap wajah perempuan itu, matanya masih berkaca-kaca."Mbak ini siapa? Kenapa tiba-tiba ingin melamar saya buat suami Mbak, apakah saya kenal dengan suami Mbak?" tanya Arini memastikan."Nama saya Syarifah, saya, istri dari Gazza."Tertegun Arini sesaat, specles dibuatnya. Harus Arini akui, jika dadanya jadi berdebar-debar mendengar nama Gazza di sebutkan."Silahkan di minum, Mbak." Arini menawarkan minuman kepada tamunya tersebut. Dia pun ikut minum. Minuman teh manis hangat yang sudah Lasmi siapkan, sekaligus untuk menenangkan dadanya yang masih berdebar. Setelah dirasa tenang, Arini kembali bicara."Mbak tidak salah ingin melamar saya buat Gazza? Mbak benar-benar ikhlas berbagi
"Dasar janda gatel! tidak punya malu! Kerjaannya hanya menggoda suami orang." Makian dan sumpah serapah mengarah kepada Arini. Kaget dan shock, Arini dibuatnya.Mientarsih. Biasa dipanggil Mbok Mien, tidak ada hujan tidak ada angin, langsung melabrak dan memaki-maki Arini.Paras wajahnya menyiratkan kemarahan besar, emosi yang tertahan. Lasmi mencoba menghalangi Mbok Mien, untuk mendekati Arini.Perlahan, Arini mulai bisa menguasai diri, dan kembali bersikap tenang. "Mbok Mien salah paham." Pikir Arini."Kamu yah, Arini! Jangan mentang-mentang janda! Seenaknya saja merayu-rayu suami orang. Dasar perempuan tidak punya kehormatan!" Emosinya masih tinggi sekali.Arini terus bersabar untuk mengendalikan emosinya. Sejujurnya dia sangat tersinggung atas segala tuduhan dan hinaan Mbok Mien. Tetapi jika dia meladeni, maka tidak ada beda antara dirinya dan Mbok Mien, manusia yang sedang dikuasai nafsu amarah."Mbok Mien jangan s
Malam ini, Hendra ada pertemuan penting dengan salah satu pejabat daerah, yang sedang kunjungan kerja di Jakarta.Beliau menawarkan sejumlah proyek penting di daerah beliau menjabat.Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya, Hendra bekerja sama dengannya. Ada beberapa proyek yang sudah dia selesaikan lewat kerja sama sebelumnya, dan mungkin dia puas dengan hasil kerja dan cara Hendra memberikan servis plus kepadanya.Susan sang sekretaris pribadi Hendra mendampingi dalam pertemuan bisnis penting ini.Meluncur ke lokasi pertemuan di sebuah hotel mewah di bilangan Jalan Sudirman, Pusat Bisnis kota Jakarta."Ini proyek penting, jangan sampai proyek ini lepas," jelas Hendra pada Susan, di dalam Sedan mewahnya, duduk berdua di kusi belakang."Iya, Mas Hendra sayang," sembari Susan mencium pipi Hendra mesr
Vijar, melenguh panjang. Tubuhnya bergidik, napasnya memburu. Sudah selesai ia, mencapai puncak.Sedang aku, memulai pun belum. Kesal dan marah rasanya. Sudah bertahun-tahun, dari sejak pertama menikah, dan tidak sekalipun kurasakan mencapai puncak tertinggi bersama suami, tidak seperti yang kudengar dari rumpian tetangga-tetangga sekitar sembari tertawa cekikikan, dan aku hanya jadi pendengar."Salahkah jika aku mengeluh?" tanya bathinku.Seperti tidak merasa bersalah, langsung terlelap dia, Kekesalan dan kemarahan yang kupendam membuatku pusing kepala, dan menjadi tidak bisa tidur."Aku seperti tempat sampah, setelah selesai membuang langsung ditinggalkan."Aku turun ke bawah untuk mengambil minuman dingin yang ada di kulkas.Adem rasanya hati dan tenggorokanku saat air dalam botol dingin ini masuk ke dalam kerongkonganku.Rumah yang kutempati rumah milik mertua, orang tua Vijar.Aku tinggal di lanta
Asap rokok berembus perlahan, dinikmati sekali isapan demi isapan. melirik Imron ke arahku. Senyum tersungging melukiskan kepuasan hasrat. Masih terlihat sedikit peluh di kening Imron. Degup jantungnya masih terlihat sedikit berpacu."Dari dulu ... kamu memang paling pandai dalam memuaskan hasratku, San." Sembari imron mengembuskan asap rokoknya.Masih hanya dengan menggenakan celana pendek dan tanpa baju, terduduk dia, di
Hari ini jam 07:00 pagi, aku sudah sampai di kantor, karena ada rencana keberangkatan ke Sepinggan Balikpapan Kalimantan timur dengan Pak Hendra.Jadwal penerbangan jam 09:15 dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, terminal 1c.Suasana kantor masih sangat sepi, dan aku sudah bersiap di lobby kantor.Menunggu Pak Hendra dan sopir yang akan menjemput.Suamiku Vijar, si es batu itu, tidak mengiyakan dan melarang pun tidak, saat kubicara tentang rencana kepergian selama tiga hari ke Sepinggan. Hanya bapak mertua saja yang seperti was-was akan kepergianku, mungkin karena terhitung baru masuk kerja, tetapi sudah harus pergi dinas ke luar daerah. Atau mungkin juga dia khawatir, karena selama tiga hari kedepan nanti, hasrat gairahnya tidak lagi terpenuhi.20 menit menunggu, mobil sedan mewah Pak Hendra datang. Pak Timan, sopir pribadi merangkap sopir kantor menghampiriku ke lobby untuk memberi tahu dan membantu membawakan tas, berkas-berkas, dan
Hendra memasuki kamar, dan aku hanya menguntitnya dari belakang. Postur tubuhnya malah terlihat lebih menggairahkan, menyeret angan keinginan mendekap, terlelap hangat beralaskan kulit punggungnya, setelah lelah berkeringat memadu hasrat."Susan ...?""Saya, Pak Hendra." Sedikit terkejut juga aku dibuatnya saat bosku itu memanggilku secara tiba-tiba di saat aku sedang menghayalkan dirinya."Tolong rapihkan barang-barang bawaan saya yah, saya ingin secepatnya mandi. Sudah lengket rasanya seluruh badan ini." Sembari menuju kamar mandi."Baik, Pak." Aku pun secepatnya, membuka-buka barang bawaannya, untuk segera kurapihkan."Mau dipesankan makanan atau minuman, Pak?!" tawarku, agak sedikit berteriak."Saya sudah makan di luar, tapi tolong pesankan saya kopi