Share

3 - Keputusan

Genap sehari semalam Hanum tidak makan karena dikurung. Ini bukan pertama kalinya. Saat dia masih remaja, dia pernah sampai 2 hari tidak makan apapun dan hanya minum dari air keran kamar mandi. Sungguh di keluarga ini, kucing peliharaan Husna saja lebih berharga daripada dirinya. Jadi, sebutannya saja keluarga, tetapi kehidupan Hanum tidak ada bedanya dengan neraka. Bahkan, dia merasa panti asuhan pasti masih lebih baik daripada perlakuan orang yang dia sebut ayah dan kakak.

Air mata Hanum meleleh. Lapar masih bisa dia tahan, tapi rasa haus … haruskah dia mengulang masa lalunya yang minum air mentah? Hanum benar-benar tidak berdaya.

Di saat-saat seperti ini, dia rindu sekali dengan orang tuanya, tetapi wajah mereka saja mulai memudar dari ingatan Hanum. Dia juga tidak memiliki foto untuk disimpan karena Thana menyingkirkan semua barang milik orang tuanya dari rumah lamanya.

Ketika Hanum masih sangat bersedih, sebuah pesan dari Husna masuk ke ponselnya.

Husna Thana:

Heh, haus? Laper?

Makanya, sadar diri!

Kalau kamu mau tidur

sama si bos, aku bakal

minta kunci dari Ayah

buat bebasin kamu.

Cepet bales!

Atau kamu gak bakal bisa

ke kantor hari ini dan

kelaparan lagi.

Hanum membaca pesan itu dengan perasaan mendidih. Bisa-bisanya, Husna sama sekali tidak merasa bersalah padanya, padahal mereka sama-sama perempuan.

Husna Thana:

Huh, masih keras kepala?

Heh, aku kasih tau ya.

Zaman sekarang, banyak

cewek yang tidur sama pacarnya

dan itu oke-oke aja asal kamu

diem, gak ada yang bakal tahu

juga kamu udah gak perawan.

Emang masih zaman, cowok

jadiin keperawanan sebagai

standar?

Cepet deh, bales!

Dengan kesal, akhirnya Hanum mengetik jawaban.

Kalau emang kesucian bagi

kamu gak penting, kenapa

gak kamu aja yang tidur

sama Pak Hajin?

Itu kesalahanmu!

Bukan kesalahanku!

Pesan dari Hanum tersebut langsung dibaca oleh Husna, tetapi tidak dibalas.

"Heh, Dasar bitch!"

Makian itu disertai dobrakan pintu di kamar Hanum. Terlihat Husna sudah rapi dengan pakaian kantornya dan melangkah masuk. Hanum yang sejak tadi duduk lesehan di bawah ranjang refleks mundur.

"Kamu bilang, aku aja yang tidur sama si bos? Hei, aku ini perempuan berharga! Anak sulung dari keluarga Thana yang lulus di univ ternama dan punya karir bagus! Supaya dari menantu idaman, aku harus dong, jaga keprawanan! Memangnya, kamu? Anak pembawa sial yang bikin orang tuanya meninggal! Udah bagus keluargaku mau menampungmu dan ngasih makan! Disuruh balas budi dikit aja ngeluh! Kamu pikir kamu siapa?"

Husna mengatakan kalimat terakhirnya dengan menonyor kepala Hanum. Mata Hanum berkilat amarah sekaligus menggenangkan air.

"Omong kosong! Menantu idaman?"

Hanum berusaha berdiri meskipun tubuhnya takut dan gemetar.

"Kamu itu sudah gak perawan, Kak! Kakak sering tidur dengan pacar Kakak di sini kalau Ayah lagi pergi dinas, kan?"

Plak! Plak!

Husna menggamparnya dua kali dengan kemarahan. Dadanya menggebu karena dia merasa ketahuan.

"Jangan fitnah, Hanum! Memangnya kamu melihat sendiri? Memangnya kamu lihat aku dan pacarku melakukan hal kotor? Aku memang mengajaknya ke kamar, tapi kami tidak melakukannya!"

Husna berbohong. Dan dengan menahan rasa sakit di pipinya, Hanum benar-benar menertawakan pembelaan Husna.

"Tali hitam yang melilit tubuh Kakak, bercak wine di mana-mana, di atas nakas, Kakak memecahkan lampu tidur karena terlalu semangat. Mau aku jabarin lebih detail lagi gimana ekspresi Kakak yang menjijikan?"

Plak!

Husna menampar pipi Hanum lagi. Kali ini wajah Husna sudah sangat merah karena malu. Sebenarnya bagaimana bisa Hanum melihatnya? Padahal, dia yakin tidak ada orang di rumah saat tahun baru malam itu.

"Awas aja kalau kamu mengatakan hal yang enggak-enggak di depan Ayah! Aku benar-benar akan membuat hidupmu menderita!"

Husna menjambak rambut Hanum dan menghembaskannya dengan keras ke tembok. Pelipisnya membentur ujung hiasan dinding dan terasa sakit sekali.

Hanum yang pusing dan merasa sakit pun terduduk di lantai sementara Husna pergi.

Saat Hanum meraba pelipis sebelah kirinya, dia berdarah. Perlahan air mata yang Hanum tahan kini tumpah. Dia sudah tidak kuat. Dia benar-benar ingin keluar dari rumah ini.

Hanum pun segera bangkit dan membersihkan dirinya kemudian memakai pakaian kantor. Dia cepat-cepat keluar dari kamarnya sebelum Husna sadar bahwa dia belum mengunci kamarnya tadi. Hanum kemudian berangkat ke kantornya dengan menaiki bus. Luka di pelipisnya untung saja tidak parah sehingga hanya dia plester.

Hanum sudah memutuskan, dia akan menyerahkan diri pada Hajin daripada hidup tersiksa di keluarganya. Meski itu artinya, Hanum harus merelakan nilai-nilai dirinya. Air mata Hanum meleleh tanpa bisa dia cegah, tetapi dia segera menghapusnya. Untuk berhadapan dengan Hajin dan bernegosiasi, dia tidak boleh lemah. Di saat bersamaan perut kosongnya terus berbunyi dengan berisik.

"Aku harus makan dulu nanti," gumam Hanum sembari bersandar pada jendela.

Dia turun di halte yang tak jauh dari kantornya. Setelah membeli roti dan air dari supermarket yang dia lewati, Hanum baru masuk ke kantor. Dia naik ke lantai 3, tempat di mana Divisi Marketing ada di sana. Dia bertatapan mata dengan Husna, tetapi perempuan itu mengabaikannya. Hanum malah bersyukur dengan sikap Husna daripada wanita itu mengganggunya. Namun, tak lama karena belum sampai rotinya habis, Husna sudah ke mejanya membawa satu file.

"Fotokopi ini jadi 5 buat rapat jam 9. Taruh di ruang rapat sekalian siapin buat keperluan lain kayak biasanya. Jangan sampai ada kesalahan!"

Husna mengatakan itu dengan tatapan tajam. Hanum hanya mengangguk. Dibacanya tulisan di kertas kosong paling atas yang berisi ancaman untuknya.

[Awas aja kalau kamu macam-macam! Aku akan sebar rumor kalau kamu merayu dan tidur sama atasan buat bayar uang 100 juta itu! Kehidupan kantormu pasti bakal jadi neraka!]

Hanum hanya menarik kertas itu dan meremasnya kemudian membuang kertas tidak berguna itu ke tong sampah. Sedangkan, Husna merasa jengkel karena Hanum tidak ada takut-takutnya. Husna pun merencanakan strategi untuk menjebak Hanum lagi. Kali ini, dia ingin mempermalukan Hanum sampai dia merasa lebih baik mati daripada hidup.

Awas saja kamu, Hanum! Aku pasti menghancurkan hidupmu! Pasti, ujar Husna dalam hati dengan berapi-api.

Sementara itu Hanum berada di ruang fotokopi yang dekat pantri. Tidak ada orang menyapanya karena mereka mengira Hanum adalah biang masalah di Divisi Marketing.

"Masih berani juga tuh anak masuk kantor."

"Ck! Bener. Anak magang aja bikin masalah. Divisi kita jadi kecoreng kan karena dia."

"Betul tuh. Pakaiannya aja alim. Ternyata mau juga nilep uang panas. Jangan-jangan cuma klamufase lagi."

"Aku denger-denger dia juga belum lulus, padahal udah mau DO. Huh, jangan-jangan sebelumnya sibuk jadi ayam kampus lagi."

"Hih ..."

Hanum mendengar semuanya, dia pun melihat bagaimana tatapan orang-orang yang menatapnya jijik. Tapi, dia harus tahan. Membuat keributan lain hanya akan menjebaknya pada masalah baru.

Dia harus fokus untuk tujuannya sekarang, menemui Hajin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status