Share

1. Bundadari

Shanum.

Satu nama yang mempunyai arti diberkahi Allah. Abah dan umi menghadiahkan nama itu untukku dengan harapan agar bayi perempuan mereka menjelma menjadi perempuan yang beruntung, bahagia dan sejahtera. Alhamdulillah, detik ini aku bersyukur karena doa itu terkabul.

Aku beruntung karena bisa hidup bahagia dan sejahtera. Aku bahagia dan sejahtera karena hidup beruntung. Nah tuh silahkan bingung dengan kalimatku! Nggak usah dipikirkan ya? Nanti kepalanya pusing. Biar aku saja yang jelaskan.

Jadi, aku benar-benar merasa beruntung dengan hidupku yang sekarang. Hidup dengan orang-orang yang selalu menyayangiku, selalu mendukungku dan tak segan untuk menegurku saat aku salah. Ya meskipun dulu pernah mengalami hal yang buruk, tapi aku anggap itu masa lalu sebagai loncatan untuk mencapai masa kini dan masa depan yang lebih baik. Kata orang kan roda kehidupan terus berputar, dulu sedih sekarang bahagia. Kalau ada yang hidupnya masih sedih terus, coba cek rantainya, siapa tahu putus.

Intinya, apapun rasa kehidupan kita sekarang ini, jangan lupa bahagia. Hati adalah sumber segalanya, jaga dia.

"Eca gimana keadaannya?"

Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Mas Haris seusai dia memberhentikan mobilnya di halaman sebuah rumah yang cukup luas, bersamaan juga aku mengakhiri renungan pagi. Mas Haris adalah sosok lelaki yang sangat berarti di hidupku, dia adalah seorang pekerja keras dan juga suami yang sangat bertanggung jawab pada keluarganya.

"Alhamdulillah udah terkondisikan, palingan juga udah nggak berarti bagi dia!"

Mas Haris tertawa pelan dan menyetujui ucapanku.

Almeera Candrakanti, biasa dipanggil Eca adalah salah satu anak yang paling mencolok di panti asuhan milik abah ini. Walaupun dia santri panti yang paling kecil tapi powernya luar biasa, apalagi kalau nyanyi, asal teriak dan nadanya entah kemana.

Pantas saja wakil rakyat tidak mau mendengarkan suara rakyatnya, mungkin salah satunya karena rakyat bersuara merdu seperti Eca.

"Hati-hati jaga mereka, para kekasih Allah itu!"

Aku mengangkat jempol sebagai tanda kesanggupanku atas nasehatnya. "Kalau aku orang terkasih bagi Mas Haris bukan?" tanyaku bermaksud menggodanya.

"Nggak diragukan lagi pokoknya!" jawabnya sembari tertawa. Beginilah kalau kita sedang akur.

Aku mencium tangan Mas Haris dan mengucapkan terimakasih padanya lalu segera turun. Setelah mobilnya menjauh aku segera memasuki rumah panti yang bangunannya berada di pinggir jalan persis. Karena itu, abah sengaja meminta agar dibangun pagar yang lumayan tinggi untuk melindungi penghuni panti.

Panti asuhan Al-Ikhlas ini sudah abah bangun sejak aku masih sekolah menengah pertama. Dulu para anak yatim ini menjadi santri dan tinggal di pesantren abah yang dekat dengan rumah. Lalu abah memutuskan untuk memisahkan mereka agar yang yatim mendapat perhatian lebih.

Sebenarnya ada satu kejadian yang membuat abah akhirnya punya niat membangun panti ini. Kata umi, dulu sewaktu ada acara khataman salah seorang anak yatim ada yang sakit, demamnya lama sekali sampai harus di bawa ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan dan penjelasan dokter, anak itu tidak punya penyakit serius. Umi berinisiati memeluk anak yang waktu itu masih berusia 8 tahunan. Dan berkat kelembutan sikap umi, akhirnya anak itu mau cerita bahwa dia pengin dipeluk orangtuanya seperti santri lain saat wisuda. Saking kepinginya sampai dia sakit. Umi terenyuh dan akhirnya diskusi panjang dengan abah sampai mendapat keputusan membangun panti ini. 

"Assalamualaikum Bude! Belanjaannya banyak banget?" sapaku pada seorang wanita yang merupakan kakak dari abah.

Abah meminta tolong agar Bude Aini dan suaminya yang bertanggung jawab mengelola panti ini. Rumah mereka di samping panti tapi lebih sering menginap di sini. Qadarullah, Bude tidak bisa punya anak maka beliau juga suaminya sangat senang ketika abah meminta mereka mengurus anak-anak yatim. Mereka berdua dibantu beberapa orang untuk mengurus panti, ada yang membantu urusan rumah tangga, ada juga sopir yang bertugas antar jemput anak-anak ke sekolah.

Untuk urusan ngaji mereka, ada tiga ustadzah dan dua ustadz yang mengajar di sini. Termasuk aku yang suka ikut bantu mengajar di sini. Selain ikut andil di sini, aku juga sudah mulai mengajar di sekolah. Berkat bantuan Mas Haris, aku mendapat kesempatan mengajar lagi meskipun masih menjadi guru bantu. Tapi aku sangat senang. Mengajar is my life, menghajar is my passion. 

Haha.. bercanda kawan! 

"Bude nggak belanja, Nduk! Ini kemarin dapat kiriman bahan makanan dari orang baik. Alhamdulillah banget," jawab bude dan aku mengikuti tangannya saat menunjuk bahan-bahan makanan yang tertata banyak sekali di meja.

"Orang yang sama seperti minggu kemarin?" tanyaku memastikan, karena beberapa hari yang lalu ada donatur yang mengirim banyak makanan dan menyumbang uang juga.

Bude mengangguk sambil berjalan menghampiri Mbak Rina -orang yang membantu masak, untuk mengarahkan menu hari ini.

"Ternyata orang itu kerja di klinik depan, dokter baru katanya pakde!"

Dokter baru? Kerja di depan?

"Namanya siapa?" tanyaku.

Sementara bude sedang mengingat, aku berdoa agar bukan nama Reyshaka yang keluar dari mulut bude.

"Reynaldi namanya." jawab bude setelah mengingatnya.

Alhamdulillah, aku lega karena bukan orang yang aku maksud.

"Reyshaka, Bu! Kemarin bapak bilang namanya dr. Reyshaka!" 

Mbak Rina meralat jawaban bude dan tentu saja membuat aku harus menghempas rasa lega menjadi resah. Kenapa harus berinteraksi dengan dia lagi? Beberapa waktu yang lalu aku juga bertemu dengan dia di pusat perbelanjaan, aku kira dia hanya sedang menyambangi adiknya yang pondoknya di daerah sini, tapi ternyata dia kerja di sini. Di depan lagi!

Sejak tahu bahwa seseorang yang bernama Reyshaka itu tinggal di sini entah kenapa kepalaku rasanya semakin berdenyut. Sekarang aku hanya berharap tidak akan pernah berinteraksi dengannya lagi. Aku pernah punya masalah yang menyakitkan dengannya. Semoga anak-anak panti juga sehat terus, jadi tidak perlu menemui dokter.

"Bundaaaaaaa!!"

Seorang anak berlari menghampiriku, dia merentangkan tangan dengan mimik wajah dibuat sendu. 

"Baru pulang sekolah?" tanyaku setelah membalas pelukan Eca. Diantara yang lain, Eca memang paling dekat denganku, entahlah kenapa tapi kata abah karena kita ini sejenis.

"Enggak. Baru habis nyoba kipas surga, Bunda!" jawab Eca sembari menata tas di lemari pribadinya.

Eca meringis lalu masuk kamar mandi, sengaja sekali membuat aku penasaran. Setelah selesai pun dia masih sibuk menata barang-barangnya yang berantakan. Aku selalu kagum juga haru melihat Eca dan yang lain, mereka sudah dewasa dan mandiri banget untuk ukuran anak seusianya. Mungkin keadaan juga yang memaksa mereka dewasa dan mandiri lebih cepat.

"Kata Ustadz Mujib kan kalau kita mau duduk untuk belajar itu pahalanya besar, walapun sambil tidur. Itu tandanya sudah kena semilir angin dari kipas surga!"

"Berarti kamu tidur tadi di kelas?"

Eca kembali meringis, menampilkan giginya yang ompong satu. "Habisnya tadi cuma nyanyi-nyanyi karena Bu Guru keburu rapat!"

Aku menariknya ke dalam pangkuan dan mencubit pelan lengannya karena gemas. "Kasihan bu guru, masa di tinggal tidur? Besok jangan diulangi ya? Katanya mau jadi dokter, nanti pasiennya ditinggal tidur, langsung di demo kamu!"

Eca mengangguk paham, sebenarnya anak ini pintar cuma ya begitu kadang suka absurd.

"Eca jadi ingat!" pekiknya sambil menepuk dahi lalu beringsut turun dari pangkuanku. Dia mengambil jilbab lalu menarik tanganku. "Bunda, minta tolong anterin ke om dokter yang di depan! Kemarin Om dokter janji mau ajarin Eca jadi dokter!" pintanya sambil melompat-lompat tidak sabar.

Ya Tuhan, doaku tadi kurang lengkap. Seharusnya bukan hanya doakan anak-anak sehat terus tapi juga doakan agar mereka tidak punya keinginan aneh yang berhubungan dengan dokter, terkhusus buat Eca.

"Sekarang sudah waktunya tidur, Eca! Nanti kamu nggak ikut jamaah dzuhur lagi karena ketiduran loh!"

"Bunda bilang janji adalah hutang kan?"

"Yes!"

"Eca, udah janji sama Om dokter, Bunda! Bunda mau Eca berhutang sama Om dokter? Nanti kalau Eca nggak bisa bayar gimana? Terus nanti Eca dituntut gimana? Terus kalau Eca-"

Aku membungkam mulut Eca agar berhenti berkicau, sungguh super sekali anak ini. Jadi penasaran dulu bapak ibunya seperti apa. Tapi nggak pernah aku ungkapkan, jangankan aku, Eca sendiri aja tidak tahu bapak ibunya seperti apa.

Ecaku Sayang, malang sekali nasibmu Nak! Tapi kadang bikin pusing juga!

"Biar diantar sama Mbak Rina ya?" tawarku tapi dia menggeleng sambil terus menyeret tanganku.

"Om Dokter bilang kalau kesana harus diantar Bunda, nggak boleh sendiri!"

"Ya itu maksudnya harus ada yang antar, nggak harus Bunda juga Ecaaa! Panas itu, nanti kulit Bundadari yang mulus berkilau ini bisa belang karena sebagian kena terik matahari."

"Bidadari kok takut panas! Kata Bunda, tinggal mandi di air terjun juga mulus lagi!"

Ya Rahman, Ya Rahiiim....

Seandainya boleh kasih dia obat tidur!

Dan akhirnya aku hanya bisa pasrah dengan Eca yang menyeretku dengan semangatnya. Aku menggendong Eca saat menyebrang jalan lalu aku turunkan dan aku sendiri berhenti di halaman klinik, membiarkan Eca masuk sendiri.

"Eca belum mahir caranya bertamu yang baik, Bundadari! Takut nggak sopan. Tolong ajarin Eca sekali ini aja, besok Eca sendiri deh!"

Subhanallah... Candrakantil!!

Begini ternyata rasanya makan buah simalakama.

Dengan terpaksa aku masuk dan untung saja kliniknya sepi. Aku mendekati seseorang petugas yang sedang bersantai dengan hp di tangannya. Tapi sebelum niatku terlaksana, dokter yang sejak tadi dicari Eca keluar dari ruangan. Senyuman langsung terlihat di wajahnya yang kini tak tertutup masker. Sebisa mungkin aku bersikap biasa. 

Aku malah terheran melihat Eca yang tanpa sungkan langsung menerima uluran tangan dr. Reyshaka dan masuk ke ruang kerjanya. Dan sekarang aku dibuat bingung oleh bocah usil itu, dia meninggalkanku. Pertanyaannya, aku harus ninggal dia di sini atau nunggu dia hingga selesai?

"Bunda, ayo masuk!" Dan di saat aku bimbang, tiba-tiba kepala Eca muncul dari pintu ruang kerja dokter.

"Bunda nunggu sini aja!"

Eca langsung kembali menarikku masuk, bocah ini benar-benar minta di ospek ulang!

Aku canggung dan bingung, akhirnya memilih duduk di kursi yang biasa untuk pasien. Eca sudah sibuk bertanya ini dan itu pada dr. Reyshaka, dia menanyakan semua alat yang dia lihat di sini.

"Apa kabar, Shanum?" tanya Mas Rey yang kini sudah duduk di kursinya, sedangkan Eca masih asyik sendiri mengolak-alik lembar buku untuk tes buta warna.  Aku meliriknya dan ternyata dia tidak hanya main-main, dia mengikuti garis bewarna dengan telunjukknya. 

Alhamdulillah, main kesini sekalian periksa buta warna dengan gratis. Alhamdulillah juga Eca tidak buta warna

"Alhamdulillah, bidadari selalu baik!" jawabku.

Dia tertawa dan menatapku sekilas, aku buru-buru mengalihkan fokus ke hal lain. "Mas Rey mulai kapan kerja di sini?" tanyaku.

"Dua mingguan mungkin. Dan aku juga baru tahu kamu ada di panti depan. Eca anak kamu atau anak panti?"

"Eca anak bunda, Om! Memang panti bisa punya anak?" Bukan aku yang menjawab melainkan Eca yang kelihatannya sibuk tapi ternyata menyimak obrolan ku.

Mas Rey mengangkat bocah itu ke pangkuannya dan berdua itu langsung bercanda bareng.

"Bukan mahram, Ca!" tegurku.

Bukan maksud apa-apa, aku hanya mengulang ucapan Eca waktu itu yang ngomel karena ada perawat laki-laki yang memegang kakinya.

"Eca masih kecil, Bunda! Belum berlaku itu!" jawab Eca dengan tengilnya membuat Mas Rey semakin menertawakanku.

"Kamu nikah belum ada tiga bulan, jadi nggak mungkin kan langsung keluar bocah ini?" tanyanya lagi. 

Aku hanya mengangguk, malas memperpanjang hal ini. Beberapa saat aku membiarkan Eca dan Mas Rey asyik dengan dunia dokternya. Sepertinya Eca memang benar-benar ingin menjadi dokter. Entah kenapa rasa inginku membantu mewujudkan cita-cita Eca semakin besar.

Sudah lumayan lama aku menunggu Eca tapi belum ada tanda-tanda dia ingin menyudahi kuliah umum dengan Mas Rey. Eca terlalu semangat belajar, meskipun belum pasti dia paham.

"Tulis nomor kamu di sini. Eca tinggal aja, nanti kalau ada apa-apa biar aku hubungi!" ucap Mas Rey sembari menyodorkan kertas kecil.

Aku tertawa pelan, "Radar bidadariku masih sangat aktif untuk menangkap modus Anda!"

Aku mengambil kertas itu dan menuliskan beberapa digit nomor, yang jelas bukan nomorku yang baru tapi nomor panti. Sekali lagi aku bertanya pada Eca dan jawabannya tetap kekeh belum mau pulang. Aku memilih pamit setelah memastikan bahwa Eca benar-benar tidak menganggu di sini.

"Shanum,"

Aku berhenti melangkah ketika Mas Rey memanggilku.

"Selamat atas pernikahan kamu, semoga bahagia!" ucapnya dengan ekspresi yang... ah entahlah aku nggak mau menduga-duga.

"Aamiin. Terima kasih, Mas!" jawabku dan langsung saja meninggalkan ruangan itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sptiarmdhna
ceritanya sangat menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status