Share

Ning Bidadari yang Dilamar 99 kali
Ning Bidadari yang Dilamar 99 kali
Penulis: Aryani15

PROLOG

Assalamualaikum..

Ini author kembali lagi dengan cerita anaknya Gus Nazril. Yang belum baca bisa baca dulu cerita Nazrilnya ya

Terimakasih ya semua buat vote dan komennya..

Wassalamualaikum..

🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊

Senja..

Ketika dia datang, warna biru yang biasanya mendominasi langit akan bertransformasi dengan cantiknya. Bentuk siluet awan semakin terlihat menawan membentuk banyak objek, bisa berbeda tergantung sudut pandangnya. Gradasi warna yang ada di langit begitu sempurna menimbulkan kesan mendalam.

Yang aku tahu pemandangan langit senja itu yang terindah, tapi pagi menjelang siang ini langit tampak memukau. Cerah dan memancarkan warna biru yang begitu indah. Seharusnya aku ralat, bukan hanya waktu senja yang terindah, tapi langit selalu indah kecuali jika dia sedang berawan gelap. Ah tapi setelah berawan gelap pun langit akan tetap indah karena garis panjang dengan perpaduan warna cantik akan muncul, orang biasa menyebutnya pelangi.

Jadi kapan langit terlihat jelek?

Tidak ada.

Bagi dia yang suka cerah, pasti akan memandang langit di saat pagi, bagi dia yang suka senja, dia akan menikmatinya di kala sore dan bagi yang suka gelap, dia akan sangat menikmati langit dari balik jendela rumahnya. Langit selalu indah di mata orang yang tepat. Begitu juga dengan kita. Semua orang akan terlihat baik di mata orang yang tepat. Sebaik apapun kita, tetap tidak akan terlihat di mata orang yang membenci kita. Seperti kata Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, 'Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu.'

Prinsip itu yang sekarang aku pegang teguh, tidak peduli apapun penilaian orang, selama aku tidak merugikan mereka dan mereka tidak menyakitiku. Setelah badai panjang yang menghantam kehidupanku, aku dapat hikmah yang begitu banyak. Sudah lama aku kubur dalam luka hati itu. Aku pernah begitu sangat terluka hingga harus kehilangan orang terkasihku, umi. Sekarang tidak akan pernah aku biarkan siapapun menyakiti hatiku lagi.

Sekiranya ada yang membutuhkan bantuanku, dengan senang hati aku bantu, tapi sekiranya ada yang hanya ingin bermain-main dengan hidupku, tidak ada alasan lagi bagiku untuk berlama-lama bertahan, segera mungkin aku akan pergi jauh dari sumber penyakit itu.

"Bunda, Eca jatuh berdarah-darah!"

"Astagfirullah, mana Sayang?"

Segera mungkin aku menghampiri anakku yang jatuh. Kebiasaan buruk banget aku ini, nggak bisa dikasih suasana sendu dikit, bawaannya langsung melamun aja. Aku langsung meraih anak kecil berambut panjang yang sedang menangis itu. Segera mungkin aku tutup dahinya dengan kain agar darahnya tidak semakin banyak.

Dengan sikap tetap tenang aku menggendong Eca ke klinik yang ada di seberang jalan agar segera mendapat pertolongan. 

"Mbak, tolong anak saya!" ucapku dengan kecemasan yang sudah penuh.

Perawat yang mengambil alih Eca sebenarnya melarang aku masuk tapi terpaksa diperbolehkan karena Eca memegang erat tanganku dan menangis hebat, meminta agar aku menemaninya.

"Bundaaa, sakit!" teriak Eca.

Eca walaupun badannya kecil tapi tenaganya luar biasa sehingga mengharuskan perawat yang tadi memanggil temannya untuk membantu mengamankan anak berusia enam tahun ini.

Satu perawat memegang kakinya, aku membantu memegang badannya sambil mencoba menenangkan sedangkan perawat yang pertama tadi membersihkan luka Eca.

"Eca katanya mau jadi dokter, nah sekarang belajar jadi pasien dulu!" kataku dan membuat Eca seketika berhenti menangis.

"Ini bukan belajar Bunda! Memang sudah jadi pasien!" protes Eca dan aku terpaksa menahan tawa, kalau tidak Eca pasti akan ngamuk.

"Ya sudah terima kenyataan saja sekarang! Jadi dokter kan masih panjang waktunya, sekarang jadi pasien dulu."

"Bundaaaa.. Malah meledek Eca!" protes anak itu lagi. "Ini kenapa juga om itu pegang kakiku! Bukan muhrim, Om!" teriaknya membuat perawat yang memegang kaki Eca jadi sungkan.

"Mahram Ca! Bukan muhrim, memang lagi naik haji?"

Aku terus berusaha memancing Eca, anak kesayanganku ini biasanya suka sekali kalau di ajak debat. Semoga bisa mengalihkan fokusnya sehingga perawat tidak kerepotan membersihkan lukanya.

"Siapa yang bilang boleh naik haji? Nggak sopan itu, Bunda! Masa Pak haji dinaiki?"

Kali ini aku tidak bisa menahan tawa, begitu juga dengan dua perawat tadi. Suasana yang sempat tegang akhirnya mencair.

"Yeay, Bunda ketawa duluan berarti Bunda kalah!"

"Iya, Bunda kalah!"

Alhamdulillah, akhirnya selesai juga acara membersihkan lukanya, meskipun kali ini aku harus rela kalah debat sama anak ini.

"Gimana, Mbak?" Seorang dokter datang dan langsung melihat dahi Eca.

"Silahkan periksa, Dok! Lukanya tidak dalam tapi perdarahannya masih ada!"

Dokter tadi memeriksa luka Eca lalu beralih menatapku, cukup lama kita beradu pandangan. Walaupun setengah wajahnya tertutup masker, aku tahu kalau dokter itu tersenyum.

Tanpa pikir panjang aku juga membalas senyumannya, mengabaikan rasa kaget dan heranku kenapa bisa bertemu dengannya di sini setelah beberapa waktu.

"Ini anak siapa?" tanyanya.

"Anakku!"

Dia mengangguk dan kembali tersenyum. "Anaknya harus di jahit, nggak banyak. Dua jahitan cukup!" ucapnya sembari memakai sarung tangan.

"Terimakasih." ucapku dan beringsut mundur agar para petugas medis ini leluasa menangani Eca.

Dan satu hal lagi yang membuatku heran, Eca nurut banget apa kata Sang Dokter dan tidak banyak protes.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
zahra
waalaikumussalam,,,selamat berkarya kak,,semoga sehat selalu,,Rey jangan lupa di serempet2 dikit ya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status