Share

2. Keceriaanmu Deritaku

Pernahkah merasa bahwa masalah kita yang paling berat?

Aku pernah.

Ngerasa banget kalau masalahku adalah ujian terberat yang pernah dialami manusia. Aku pernah menikah dengan seseorang yang salah.

Ya. Aku ini janda.

Aku pernah menikah dengan seorang wakil rakyat. Awalnya aku menaruh harapan besar pada pernikahan itu. Aku pikir dengan menjadi istri seorang wakil rakyat, aku bisa semakin menebar manfaat untuk orang banyak. Tapi ternyata justru di situ awal kehancuranku.

Pernikahanku hanya bertahan tiga bulan hingga resmi cerai. Aku pikir mantan suamiku itu adalah orang baik, orang yang paham agama, dan orang yang amanah tapi sifat ambisius nya menutup mata hatinya.

Selama dua bulan menikah belum pernah aku mendapat perlakuan baik. Kekerasan verbal hampir setiap hari aku dapat, semua yang aku lakukan selalu salah di matanya.

Walaupun belum pernah dia melakukan kekerasan fisik yang parah tapi percayalah kata-kata kasar itu lebih membekas di hati dari pada kekerasan fisik. Luka di hati susah hilang.

Perceraianku terbilang tidak mudah karena mantan suamiku itu lebih memilih menyelamatkan pamornya di hadapan masyarakat daripada menjaga harga diriku. Dia memfitnahku, dia bilang aku menuntut banyak materi sehingga takut menjerumuskannya ke lembah korupsi, akhirnya lebih memilih bercerai. Padahal selama menikah belum pernah aku memakai uangnya.

Alasanya menggelikan ya? Tapi anehnya masyarakat yang sudah terlanjur cinta sama dia percaya begitu saja dan tidak segan untuk menghujatku.

Waktu itu aku hancur, memikirkan nasib pernikahanku ditambah hujatan dari masyarakat dan satu lagi yang akhirnya benar-benar membuat aku ingin mati saja, aku kehilangan umi tercintaku. Beliau meninggal karena ikut memikirkan nasibku. Dokter bilang umi meninggal karena penyakit jantung nya, tapi aku yakin awal mulanya karena beliau stres memikirkan nasib anak perempuan satu-satunya.

Aku menarik diri dari duniaku dan Butuh waktu lama aku sembuh dari kehancuran itu hingga akhirnya aku bisa bangkit dan memulai hidup baru yang lebih baik dan memperbaiki mindset ku tentang pernikahan.

Singkat cerita aku kembali menemukan harapan sebuah hubungan. Ada seseorang yang terlihat tulus datang kepadaku menawarkan sebuah komitmen dan masa depan. Sebut saja namanya Reyshaka.

Iya Reyshaka yang itu, yang jadi dokter baru di klinik depan panti. Dokter yang berhasil mengambil hati Eca hanya dalam sekali jumpa. Beberapa bulan aku menghindarinya agar bisa menyembuhkan hati tapi siapa sangka malah tetanggaan seperti ini.

Berawal dari kita yang doyan guyonan hingga berubah nyaman, sampai akhirnya dia menyatakan dirinya siap menikahiku. Aku sudah jelaskan sedetil-detilnya tentang semua nasib buruk yang aku alami, dan dia tetap menerimaku.

Aku terlanjur percaya dan berharap tapi ternyata semuanya hanya sebuah lelucon. Dia cuma bercanda kawan! Dia tidak benar-benar datang menemui abah untuk melamarku. Makanya kenapa aku enggan sekali berinteraksi dengannya saat ini.

Nyesek ya? Aku jadi korban ghosting

ternyata.

Pertahanan diriku semakin terbentuk sejak aku sadar hidupku hanya dibuat mainan oleh orang lain. Rasanya dadaku bertambah sesak, aku menganggap masalahku adalah masalah terberat. Tidak ada orang lain yang bernasib buruk melebihi nasibku ini. Gagal menikah dan dipermainkan oleh seorang Reyshaka.

Tapi ternyata aku salah, aku hanya kurang bersyukur. Ketika berdiam diri di rumah memang masalahku ini sangat berat tetapi ketika sudah melangkah keluar, ternyata masih banyak orang lain yang masalahnya lebih berat.

Kata abah, mainku kurang jauh. Abah terus memberiku semangat untuk tidak berlarut dalam masalah, abah kasih banyak nasehat sehingga aku sadar satu hal.

Semua orang punya masalahnya masing-masing, hanya saja berbeda cara menyikapinya. Aku malu dengan orang-orang yang bisa menyimpan rapat masalahnya, hanya pada Tuhan mereka mengadu, dihadapan manusia lain terlihat tidak bermasalah padahal kalau saja mereka mau mengungkapkan, sudah pasti masalah mereka sama beratnya dengan kita.

Bertemu dengan banyak orang membuat aku bisa belajar banyak dalam hal menghadapi masalah. Jika kamu sedang merasa paling terpuruk, aku sarankan untuk membuka pintu selebar-lebarnya, melangkah lah keluar, dan tengoklah kanan kiri. Banyak yang nasibnya lebih buruk dari kita. InsyaAllah dengan begitu kita akan merasa bersyukur dan kuat menghadapi masalah hidup.

"back to earth!"  seseorang berucap sambil menjentikkan jarinya di depan mataku. "Bidadari hobinya melamun ya?" tanyanya lagi.

"Woiya jelas! Bidadari mau ngapain lagi kalau nggak melamun? hidupnya udah enak." Aku menoleh kanan kiri, kenapa bisa Reyshaka ada di sini sedangkan  anak-anak panti masih asyik bekerja bakti membersihkan lingkungan, meskipun lebih terlihat sedang bermain sih. Aku sendiri sedang istirahat, capek banget habis membuang sampah.

"Masih ada hal lain lho! Nyuci selendang, menyelamatkan anak tiri, menemani dewa!"

Haishhbaunya mau modus si om-om ini!

"Jangan modusin istri orang ya, Om!" ucapku lalu berdiri.

Aku memilih meninggalkan dia yang tertawa dengan renyahnya, jujur aku masih terlalu bingung gimana caranya menghindar darinya karena pertemuan yang mendadak ini. Bisa aku bayangkan akan sering berinteraksi dengannya gara-gara Eca yang sudah kecantol banget sama om-om ini. Sudah bagus selama ini jauh, dia di Semarang dan aku di sini-Jombang, tapi kenapa harus pindah kerja ke sini sih?

Sebelum masuk dan bergabung dengan Mbak Rina, aku sempat melirik dokter itu, dia sudah membaur dengan anak-anak dan sudah pasti Eca ada disampingnya.

"Kok ada orang asing di sini Pakde?" tanyaku pada pria berkumis tipis yang bernama Basuki, dia adalah suami dari Bude Aini.

Pakde Bas menurunkan sedikit kacamatanya dan melihat seseorang yang aku maksud.

"Dokter Rey?" tanya pakde memastikan dan aku mengangguk.

"Dia dokter klinik depan, Nduk! Kemarin Pakde ngobrol-ngobrol sama dia. Anaknya baik, tulus mau bantu anak-anak panti, malahan dia menawarkan bantuan untuk kita,"

"Bantuan apa, Pakde?"

"Jadi dr. Rey menawarkan kerja sama pemeriksaan untuk anak-anak. nanti setiap bulan anak-anak panti akan di cek perkembangan kesehatan nya terutama masalah gizi, terus setiap minggu akan diisi kegiatan, intinya Nak Rey mau ngajak anak-anak bermain sambil belajar hidup bersih dan sehat. Dan itu dia tawarkan gratis untuk anak-anak panti. Dengan senang hati Pakde terima dong! Alhamdulillah banget, rejekinya anak-anak!"

Duh Gusti, malah tambah lagi jalan interaksinya dengan Mas Rey!

Radar bidadari ku ini berubah menjadi radar suudzon kalau untuk seorang Reyshaka. Semoga saja tidak benar apa yang aku pikirkan. Mulai sekarang aku harus mengendalikan diri sendiri agar tidak terlalu jauh memikirkan dia. Terserah dia mau melakukan apa, dia bilang kan mau bantu anak-anak panti, ya silahkan. Tiap minggu aku bisa absen datang kesini agar tidak harus bertemu dengannya.

Dari ruangan pakde aku bergeser menemui pengurus panti yang lain, mereka sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk semua warga panti. Tapi kali ini ada yang aneh.

"Makan siangnya pesan ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Rina yang sedang menuang minuman ke dalam gelas-gelas.

"Alhamdulillah, dapat rejeki dari Mas dokter. Tadi bilang katanya kita nggak perlu masak, sebentar lagi ada makanan. Nah ini udah datang. Lumayan, libur masak." jawabnya dengan senang.

Masyaallah...

Si Om aktif banget ya amalannya!

Kepalaku semakin berdenyut saja, masa iya aku harus mundur dari panti ini untuk menghindarinya?

Aku ikut membantu menyiapkan makan siang, membawa nasi kotak pesanan Mas Rey ke ruang makan, di sini tempat makannya hanya sebuah ruang tanpa meja dan kursi karena biasanya warga panti lebih suka sambil lesehan.

Sebelum selesai, aku mengintip isi nasi kotak untuk makan siang dan isinya adalah ayam panggang, kesukaan Eca banget.

Kenapa bisa pas ya? Makin cinta deh itu Si Eca, atau jangan-jangan Eca yang minta? Kalau iya, anak itu beneran harus di ospek ulang.

"Eca!" panggilku. Kebetulan sekali dia lewat, Eca menghampiriku dengan riangnya.

"Eca udah cuci tangan?"

"Udah Bunda! Ini cuci tangannya yang bener itu ada 6 langkah, nggak kayak Bunda yang ngajarin cuma tiga langkah!"

Anak itu langsung mempraktekan 6 langkah cuci tangan yang benar, wajahnya terlihat bersemangat sekali.

"Nah gitu. Di ingat ya Bunda! Jangan kayak bunda, biasanya cuma dibasahi terus sabun terus bilas. Kata Om Dokter itu belum benar, kuman-kumannya masih nempel. Eca disuruh kasih tau Bunda, biar tangannya bersih. Kata Om dokter masa bidadari tangannya ada kumannya!"

Eh kenapa jadi aku yang kena?

"Bidadari nggak masalah kali Ca! Kan bidadari punya kekuatan membunuh kuman!"

"Tadi Eca juga bilang gitu, tapi kata Om dokter kekuatan bundadari nggak ampuh, cuma tiga langkah, lebih ampuh punya dia, yang 6 langkah!"

Apa lagi ini, Ya Allah? Kenapa dalilnya Eca jadi berubah semua? Kenapa jadi kata om dokter semua yang dia percaya?

Aku menarik Eca untuk duduk di sampingku, malah jadi lupa mau menanyakan perihal nasi kotak gara-gara si kuman.

"Eca tau hari ini makan siangnya apa?"

"Tau. Tadi kan Eca yang milih!"

Aku menarik nafas, mencoba mengisi kesabaran lagi. Bukannya gimana-gimana, aku hanya nggak mau Eca atau anak panti yang lain punya mental minta-minta ke orang.

"Lain kali Eca nggak boleh minta kayak gitu ya! Harus terima apapun kalau ada orang yang mau kasih shodaqoh, semuanya disyukuri, walaupun itu bukan makanan yang Eca suka."

Eca menggelengkan kepala sembari memegang kedua pipiku. "Eca nggak minta, Bundaaaa! Eca juga selalu seneng mau apapun itu, kan Eca doyan semua makanan." jawabnya.

"Kok itu tadi kamu yang milih makananya?"

"Om Dokter kan tanya Bundadari suka makan apa, Ya terus Eca milih itu makanan, Bunda sama Eca sering makan ayam panggang kan?"

Aduh pusing..

Eca berlari keluar dan aku hanya bisa pasrah, tapi ngomong-ngomong kenapa Om Dokter itu tambah aneh banget sikapnya.

Ya sudahlah, bukan apa-apa itu! Dia itu suka guyonan, nggak usah berlebihan kamu Shanum!

"Takutnya Bidadari nggak suka makanan bumi, jadi aku tanya Eca dulu!"

Aku langsung bergeser karena kaget tiba-tiba Mas Rey ada di sini dan tidak berselang lama kemudian anak-anak berlarian masuk rumah untuk segera melahap makan siang mereka. 

"Bidadari nggak butuh makanan! Butuhnya selendang biar bisa terbang jauh!" balasku dan segera pergi dari hadapannya.

Duh aku ngomong apa sih? Nggak jelas banget. 

Daripada pusing mikirin om-om itu aku memilih membantu Mbak Rina menyiapkan minuman untuk anak-anak. Aku malah dibuat heran dengan anak-anak yang berbaris rapi di depan wastafel, mereka antre untuk mencuci tangan. Sungguh suatu pemandangan yang mencengangkan. Selama ini mana pernah bisa tertib begitu, pasti pada dorong-dorongan berebut untuk jadi yang pertama.

Dan ternyata penyebabnya adalah Eca dan om dokternya. Mereka berdua berdiri di samping wastafel untuk menilai ketepatan langkah cuci tangan.

"Lucu ya itu Nak Rey, bisa bikin anak-anak tertib," ujar Bude Aini sambil tertawa di sampingku. "Kata Eca yang tertib dan bener cuci tangannya dapat hadiah dari Rey." lanjut bude.

Yakin deh, kepalaku semakin berdenyut rasanya.. 

Selama proses makan siang pun aku hanya bisa diam melihat perhatian anak-anak yang 100% diambil alih oleh dokter itu. Efeknya memang jadi tertib dan anak-anak lebih ceria lagi dari biasanya, kalau biasanya cerianya campur rusuh.

Kalau gini namanya kecerianmu adalah deritaku..

Ya sudah, biar aku saja yang mengalah. Kebahagiaan anak-anak panti ini lebih penting.

Akhirnya aku beringsut ke dapur, makan sendiri di sini. Entahlah apa yang terjadi, pengin marah, pengin kesal tapi apa alasannya? Rasanya dadaku benar-benar sesak.

Hari minggu ini benar-benar menjadi harinya Mas Rey, dari pagi hingga sore ini dia mengajak anak-anak bermain sambil belajar, dan tentu saja Eca yang paling bersemangat. Melihat mereka tertawa riang sudah cukup bagiku, biar aku yang mengalah membiarkan Mas Rey tetap berkeliaran di sini, biar aku yang mengurangi kedatangan ke sini.

Di saat anak-anak sedang ngaji bersama ustad Mujib, pakde dan Mas Rey ngobrol santai di teras. Aku membantu membereskan dapur setelah itu pamit pulang karena Mas Haris sudah menjemput.

"Shanum pulang dulu ya, Pakde!" pamitku dan langsung mengangguk  ke Mas Rey yang duduk di samping pakde.

Mas Haris terlihat turun dari mobil untuk mencium tangan pakde dan menyapa Mas Rey sebentar, mereka pernah berkenalan.

"Baru pulang kerja, Ris?" tanya pakde.

"Iya Pakde, terus kesini jemput nona manis ini!" jawab Mas Haris seraya menepuk puncak kepalaku.

"Ya sudah, hati-hati pulangnya! Sore begini biasa jalann ramai!"

Kemudian Mas Haris pamit dan aku menggandeng tangannya hingga sampai mobil. Aku melirik Mas Rey yang hanya tersenyum tipis seraya menikmati kopinya.

"Yang tadi Si Itu kan?" tanya Mas Haris saat mobil kita sudah meninggalkan halaman panti dan aku hanya tertawa mendengar pertanyaan lucunya.

"Iya Si itu, yang waktu itu. udah nggak usah di bahas lagi!" jawabku cepat.

Mas Haris tersenyum sekilas lalu kembali menepuk puncak kepalaku, menyalurkan kasih sayangnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status