Tangan Rosa refleks bergetar.[Apa-apaan ini? Devon tahu? Jangan-jangan…]Dengan sisa ketenangan yang bisa dia peras dari kepalanya yang masih sedikit pening, Rosa menjawab pelan, "Siapa juga yang bilang mau pergi?"Devon memicingkan mata. Di dalam hati, dia mencibir. Pembohong kelas kakap. Tapi wajahnya tetap tenang saat berkata, “Semalam kamu sendiri yang teriak-teriak mau minggat.”Rosa tercekat. “Terus, apa hubungannya sama uang komisi?”“Kamu bilang, mau pakai seluruh komisinya buat kabur. Kamu mau hilang ke mana, huh?”Rosa langsung menghindari tatapan pria itu. “Itu ... kayaknya aku cuma ngelantur?”“Kalau nggak percaya, tanya ke Pak Sugi. Kamu nangis dan meronta-ronta, nggak karuan,” kata Devon, datar. Tatapannya menikam, seolah ingin membedah isi kepala Rosa sekarang juga.Rosa langsung menunduk, berpikir sembari menatap hampa mangkuk bubur yang sudah tak lagi mengepul.“Mmm ... mungkin waktu itu aku lagi kepikiran soal impian lama. Pengen keliling dunia. Jadi ya, asal ngomon
Sreeek.Suara tirai digeser membelah keheningan pagi, membangunkan Rosa dari tidur lelapnya. Sinar matahari menembus kaca jendela, mendarat di wajah cantik Rosa yang tak tertutup selimut."Pagi, Nona. Bangunlah dulu, dan minum ini biar nggak sakit," ucap suara paruh baya khas Pak Sugi dari samping tempat tidur. Rosa mengerang panjang. Kepalanya nyut-nyutan hebat. dan kurang lebihnya karena Rosa merasa baru tidur sebentar, dia masih mengantuk. "Sudah saya siapkan ramuan khusus untuk mengobati sakit kepala dan mual habis mabuk," kata Pak Sugi. Beliau mendorong gelas kecil yang sesekali muncul kepulan asap hangat.Dengan mata masih terpejam dan kepala pusing, Rosa duduk perlahan. Satu tangan memijit pelipis, satu tangan terulur mencari gelas yang ditawarkan. Ia meneguknya sedikit-sedikit. Pahit, tapi menghangatkan tenggorokannya yang terasa kering kerontang.Pak tua itu memberikannya dan memperhatikan dengan seksama hingga isinya tandas. Dia mengambil gelas kosong itu, mengangguk puas
Devon kehilangan kata-kata. Bibirnya kelu. Hanya sorot matanya yang keras, sekeras raut wajahnya yang membeku. Rosa tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Dengan suara yang bergetar namun penuh ledakan emosi, dia melanjutkan, "Apa susahnya membelaku? Dukung aku, bantu aku saat kesusahan. Jangan biarkan aku sendiri menghadapi semuanya!"Alkohol, rupanya, membuka pintu yang selama ini dikunci rapat. Rosa bicara jujur. Tanpa rem, tanpa topeng. Yang selama ini ditahan, akhirnya lepas juga.Tapi sayangnya, kejujuran itu datang bersama gejolak. Emosinya meluap seperti air bah. Dia jadi lebih rapuh, mudah retak oleh sentuhan kecil.Dia muak.Muak diminta diam, muak disuruh kuat. Muak menjadi orang satu-satunya yang menimbun luka.Dan sekarang, dia kecewa.Kecewa, setelah melarikan diri dari rumah lamanya, dia disuruh menahan diri lagi oleh Devon—tanpa dukungan pria itu. Rosa tak bisa mengandalkan Devon. Dia memukul dada Devon dengan tinjunya, berkali-kali. Tapi bukan rasa sakit yang
CATATAN: Tanda suara isi pikiran Rosa bakal diganti menjadi [...]Contoh: [Devon jelek!]---Devon menatap pucuk kepala Rosa yang bersandar manja di bahunya. Dari bibir wanita itu terus keluar gumaman kecil yang terdengar seperti semilir angin—halus, menggelitik, dan tanpa makna.Rosa melepas pelukanya. Tapi bukan berarti dia mundur. Justru sebaliknya. Dia mengulurkan tangan dan meraih pundak Devon lagi. Kedua kakinya terangkat, lalu menggelayuti Devon, bergerak naik perlahan demi mencari tempat bertengger baru.Namun di pertengahan jalan, salah satu kaki Rosa tanpa sadar menggesek bagian tubuh Devon yang ... sensitif.Ekspresi dingin pria itu langsung retak. Sejenak, matanya kehilangan fokus, dan napasnya tertahan di tenggorokan.Rosa berhenti saat dia berhasil menggantung seperti koala, mengalungkan lengannya di leher Devon dan menjepit pinggangnya dengan kaki. Devon mesti memegangi kedua paha Rosa dari bawah agar tidak terjatuh.Dengan santai, Rosa berseru pelan, nyaris mendesah, “
Devon tak membalas lambaian itu. Dia memutar tubuh dan menghilang kembali ke dalam ruang kerjanya. Tirai kaca bergoyang pelan, tertiup angin sore yang lembut. Seolah menjadi penutup adegan dingin barusan.Sementara itu, Rosa menurunkan tangannya perlahan. Senyum masih menghiasi wajahnya, meski ada getir yang tak bisa ditutupi. Dia menutup bukunya, berdiri anggun, dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan kepala tegak.'Kamu nggak mau lihat aku? Baik. Aku juga males.'Di kamarnya, dia mengganti baju ke dress hitam seksi selutut dan melingkarkan choker senada di leher jenjangnya. Rosa melepas sandal rumah dan menggantinya dengan hak tinggi yang menegaskan langkahnya.Sebelum keluar, Rosa sempat memberi isyarat kepada Pak Sugi dengan satu kedipan jenaka dan tawa kecil yang menggoda.Pak Sugi yang tahu betul arah tujuan Nona-nya itu hanya bisa menghela napas panjang.Kalau Tuan Muda sampai tahu, bisa perang dingin beneran.Rosa keluar dengan riang gembira, tak sabar untuk melepas penat.D
Setelah Rama diseret pergi oleh Pak Sugi, Rosa tak buang-buang waktu dan segera meninggalkan meja makan tanpa mengucap selamat tinggal kepada Devon. Pria itu seperti dicampakkan untuk yang kedua kalinya.Yang pertama tentu saja saat Devon meminta cerai di restoran kala itu.Kejadiannya bagai terulang kembali. Barusan itu mirip sekali dengan Rosa yang pergi tanpa memedulikannya waktu itu. Rasanya sama persis.Devon mendadak kehilangan nafsu makannya.Sendok di tangannya menggantung di udara, tak jadi diarahkan ke mulut. Rasanya hambar. Bahkan makanan semewah apapun tak mampu mengusik perutnya yang perlahan mengeras karena emosi.Ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.Bukan kemarahan yang meledak-ledak, tapi jenis yang lebih sunyi—yang datang pelan namun menghantam dalam.Esok paginya, Devon kira keanehan Rosa telah berakhir.Namun, Devon tidak menemukan Rosa di ruang makan. Dan hanya menemukan secarik kertas notes tertempel di meja. Dengan sekali lihat, Devon dapat mengenali i