"Kenapa harus malu? Itu hal wajar yang dilakukan setiap suami istri," ujar Devon tenang. Rosa, "...."[Benar-benar tidak senonoh.]Devon memerhatikan warna muka Rosa. "Kamu masih pucat. Sudah minum obat?""Belum. Tapi aku udah baikan, kok. Nggak usah minum obat lagi sepertinya aman." Rosa menggeleng pelan dan menyesap tehnya yang baru. [Pahit. Aku nggak suka minum obat.]Devon menghembuskan napas kasar, lalu menarik pelan pergelangan tangan Rosa. "Ikut aku. Kamu harus habiskan obatnya walaupun sudah merasa lebih baik."Devon menuntun Rosa ke kamarnya dan mendudukkannya di pinggir kasur. "Minum dan istirahatlah."Rosa memberengut, diam tak berkutik di bawah pengawasan Devon. Rosa bisa minum obat kalau dalam keadaan kurang sadar seperti kemarin. Tetapi ketika kesadarannya pulih, akan susah baginya untuk menelan obat pahit.Devon dengan tegas mengambilkan obatnya dan memaksa Rosa untuk minum."Iya, habis ini kuminum. Kamu kerja aja, nggak apa-apa." Rosa menerimanya dengan sangat terpak
Rosa perlahan menghampiri mereka dengan langkah ringan. Dia mengenakan dress terusan putih dan sweater cream. Rambut hitam legamnya terurai halus—berkilau, bulu mata panjangnya tersibak lembut. Kulit seputih susu Rosa kini lebih pucat dan kehilangan cahayanya. Bibir merah cerinya sedikit memutih. Tetapi bila dipadu padankan dengan tubuh ramping dan betapa lemah gemulainya Rosa, dia jadi kelihatan begitu ringkih dan rentan akan tersakiti.Keadaan Rosa memancing simpati Devon dan bahkan Brian, yang datang menemani Kirana untuk meminta maaf atas kegaduhan kemarin. "Kamu nggak istirahat?" tanya Devon. Alisnya bertaut tidak setuju melihat Rosa yang malah duduk di sampingnya. "Aku capek tiduran terus," balas Rosa santai, lalu mengalihkan perhatiannya pada sepasang kakak adik ini.Brian tersenyum bersalah. "Maaf, ya, mengganggu istirahatmu. Aku dengar dari Pak Sugi kamu sakit setelah pulang dari hotel kemarin, jadi aku dan Kirana kemari untuk menjengukmu. Sekalian ....""... Minta maaf su
Devon terlihat dingin dan marah. Yang dia butuhkan adalah waktu untuk menenangkan diri. Namun, tarikan kecil di bajunya bagai ikut menarik benang hati Devon. Dia berpaling menatap Rosa yang memasang ekspresi sungkan tapi tak mau melepaskannya. [Apa bicaraku keterlaluan?]Rosa mau ditemani Devon, hanya saja dia tak bisa mengucapkannya. [Aku harus gimana, ya?]Kening Rosa berkerut halus, alis bertaut. Sesekali dia melemparkan pandangan tersirat pada Devon, lalu mengatupkan bibir rapat. Devon melunak ketika dihadapkan dengan gerak-gerik malu tapi mau Rosa. Pria itu melepaskan tangan Rosa dari lengannya dan duduk bersender sambil menyelonjorkan kaki. Rosa melihatnya dengan tatapan bertanya-tanya. Tetapi Devon malah memejamkan mata seraya melipat kedua tangan di dada.Devon berujar tegas, "Tidurlah."Setelah termenung beberapa saat, Rosa menurut dan kembali berbaring walaupun dia tidak langsung menutup mata seperti Devon. Dia sibuk memandangi langit-langit kamar dan memikirkan percakap
Tangis Rosa lambat laun mulai berhenti. Dengan mata yang masih berlinang, tatapannya bertubrukan dengan mata gelap Devon. Lalu, helaan napas halus terselip keluar dari bibir Rosa. Tiba saatnya mereka bicara dari hati ke hati. “Aku pikir ... kalau emang pernikahan kita masih bisa diselamatkan, aku akan melanjutkannya. Tapi mau bagaimanapun aku mencoba, ada kemungkinan kamu tetap nggak tertarik, kan?" Suara lembut Rosa mengalun pelan merasuki pendengaran Devon. Ucapan Rosa terdengar miris. "Devon, sejujurnya aku udah mempersiapkan jalan keluar selagi aku mencoba mempertahankan pernikahan kita." [Satu bulan itu emang sengaja untuk mengulur waktu biar aku bisa pergi dengan tenang. Tapi, soal mencoba menyelamatkan pernikahan kita itu juga benar.] Jalan keluar jadi plan B Rosa jika usahanya gagal. “Sekarang aku tertarik. Jadi kamu nggak harus pergi." Devon menyematkan helai rambut rosa yang menghalangi pandangannya ke belakang telinga. Tanpa sepengetahuan Rosa, sepasang mata gel
Devon tersenyum.Senyum menawan yang entah kenapa membuat bulu kuduk berdiri. Bila Pak Sugi ada di sini, beliau pasti akan menuduh Devon mempunyai rencana jahat. Yang nyatanya memang benar.Detik berikutnya, Devon dengan kejam mencubit hidung Rosa. Dia menunggu hingga Rosa megap-megap baru melepaskannya, seraya berkata datar, "Bangun.""... Uh?" Kesadaran Rosa berenang-renang samar. Saat dia membuka mata, perhatiannya masih belum bisa fokus pada satu objek. Kepala Rosa terkulai lemas ke samping, memandang figur Devon yang masih berbayang-bayang di matanya. Dia ingin memanggil seseorang, tetapi rasanya tenggorokan Rosa begitu kering dan sakit. Bahkan sebenarnya, tidak cuma tenggorokan, seluruh tubuh Rosa pun terasa sakit dan lemah. Pak Sugi datang di saat bersamaan Devon menjauh dari Rosa dengan tatapan yang sulit terbaca pada wanita itu."Untung saya sudah membuatkan Nona bubur untuk makan siang tadi, jadi tinggal menghangatkannya saja," ujar Pak Sugi. Dia menaruh nampan berisi b
Dokter mengangkat stetoskopnya usai memeriksa Rosa. "Tanda-tanda sakitnya sudah dari kemarin atau baru?"Pak Sugi menggeleng-geleng cepat. "Kemarin Nona sehat-sehat saja, Dok."Dokter itu memastikan, "Kesibukan Nona akhir-akhir ini apa, kalau boleh tahu? Apakah sering melakukan aktivitas berat?"Pak Sugi termenung dan mengingat-ngingat kegiatan Rosa. Sepertinya Rosa tidak banyak kegiatan. Sekalinya keluar pun sewaktu pergi clubbing dan ke pesta kemarin. Sisanya, Rosa lebih banyak diam di rumah, menonton TV atau mengurung diri di kamar. Sebelum-sebelumnya, sih, sempat mampir-mampir ke kantor Devon, tapi tidak sering dan hanya sebentar saja. Seharusnya Nona tidak secapek itu. Pak Sugi menjawab hati-hati, "Nona jarang melakukan aktivitas berat, Dok. Lebih sering bersantai."Dokter itu mengangguk—mencermati informasi tersebut. Namun, di tengah diagnosisnya, Devon akhirnya bersuara setelah sejak tadi menjadi pendengar, "Dia tidur tanpa mengenakan baju kemarin malam."Jubah mandi bukan ba