Suara lantang Arya membuat Aliya membelalakkan mata. Dan hatinya pun mencelos mendengar kata mengejutkan yang lolos dari mulut suaminya. Seketika ia tidak bisa menahan emosinya lagi.
“Brengsek! Jaga ucapanmu itu Mas!” pekik Aliya frustasi.
“Bukankah benar? Tanda kemerahan yang ada di tubuh jijikmu kemarin malam, bukankah itu perbuatannya?”
Jevan yang menyaksikan pertengkaran suami istri itu pun ikut menikmati ekspresi marah Arya dan ada kepuasan tersendiri di hatinya. Kemudian pria berusia 30 tahun itu menyunggingkan senyum miring.
Jevan bertepuk tangan seolah menikmati apa yang dipertontonkan. Dia melangkah lebih dekat ke teman lamanya.
“Ternyata kau memperlakukan istri keduamu dengan sangat buruk Arya. Pantas saja dia kesepian?” kata Jevan, memancing amarah Arya untuk bangkit.
“Jangan ikut campur Jevan, kau tidak berhak mengomentari kehidupanku!”
Rahang Aliya tampak berkedut mendengarnya. Raut mukanya semakin suram dan dia mendengus kasar. Aliya pun terlihat bingung karena dua pria di depannya tampak sedang bertengkar.
“Ikut saya tuan!” tanpa menunggu persetujuan Jevan, Aliya menarik tangan bosnya keluar rumah untuk menghindari suasana mencekam di antara suaminya.
“Saya akan melaporkan Anda karena sudah merenggut kehormatan saya yang berharga, dan satu lagi, saya tidak akan bekerja pada Anda lagi mulai sekarang!” Aliya mengamuk, detak jantungnya tiba-tiba berpacu begitu cepat, sehingga dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri dengan jelas. Matanya merah dan jari-jarinya mengepal erat.
Sosok tinggi bertubuh kekar dengan setelan jas hitam elegan itu hanya menanggapinya dengan tenang. Mata coklat hazelnya bahkan masih menatap sosok bertubuh seksi bak gitar spanyol di hadapannya penuh hasrat. Padahal, tubuh Aliya terbalut baju tidur yang tertutup.
Tangan kanan Jevan perlahan terangkat membelai pipi Aliya, namun wanita itu segera menepisnya dengan kasar.
Aliya hendak mundur menghindar. Akan tetapi, tangan Jevan lebih cepat meraih dagunya lalu mengangkatnya hingga Aliya mendongak menatap mata coklat hazel miliknya. Tampak menawan dan menghanyutkan secara bersamaan.
“Kalau begitu saya akan bertanggung jawab. Menikahlah denganku saja Aliya, tinggalkan suami yang tak mencintaimu itu, mudah bukan?”
Aliya tertegun dengan hati yang memanas mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, pria itu bahkan memberinya jawaban dan ajakan yang seenaknya di saat bersamaan.
“Saya bukan wanita murahan seperti yang Anda pikirkan!”
“Lalu kau ingin terus hidup seperti ini? Seperti pembantu dan tak pernah dihargai dan dicintai di rumahmu sendiri?” tanya Arya disusul dengan tawa menggelegar meremehkan.
Plakk!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Arya. Tamparan keras dari Aliya karena ucapan pria itu membuat darahnya mendidih. Walau sebenarnya hatinya memanas karena semua perkataan Jevan mengandung kebenaran akan kemalangan dirinya.
Rahang Jevan mengeras, sorot mata menawannya berubah tajam seketika. Seakan-akan dia marah karena tamparan Aliya. Kaki panjangnya melangkah mendekati Aliya dengan angkuh, membuat nyali Aliya perlahan menciut dan merasa terintimidasi.
“Baiklah, nikmati saja kehidupan pernikahanmu itu!” tegas Arya penuh penekanan, membuat tubuh Aliya seketika menegang. “Kujamin kau akan menyesal karena terus hidup menderita!”
Setelahnya Jevan pergi dari hadapan Aliya, memasuki mobilnya dengan langkah berderab.
Helaan napas Aliya terdengar begitu kasar. Tiba-tiba hatinya terasa hampa. Sorot matanya terlihat kosong saat menatap Jevan telah pergi dengan mobil putih mewahnya.
“Anda benar, sebenarnya saya kesepian dan menginginkan cinta dan kasih sayang.”
Sejenak Aliya termenung, masih di tempatnya tiba-tiba air matanya luruh kembali. Wanita itu masih belum bisa menahan rasa sedihnya. Apalagi perkataan Jevan seperti tamparan paling keras untuk menyadarkannya akan kebodohan.
Sampai kapan dia akan diam saja dan menerima nasib malang pernikahannya? Apa sampai istri pertama suaminya mati? Namun, Aliya benar-benar tidak bisa menjamin hal itu dengan pasti.
Apalagi suaminya adalah Arya Adikara, Seorang pendiri perusahaan besar yang harus segera mendapat keturunan untuk meneruskan bisnisnya. Tapi apa yang harus Aliya harapkan pada suaminya itu? Suami yang bahkan mengatakan tidak akan mencintainya dari malam pertama hingga hari ini.
“Jika cinta adalah anugerah terbesar dalam hidup, mengapa aku tidak bisa mendapatkannya tuhan?” Aliya menyeka air matanya, lalu dengan langkah gontai dia masuk lagi ke dalam rumah, tempat yang luas namun penuh dengan kehampaan baginya.
Sementara itu Jevan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi melewati jalanan kota yang ramai. Meski apa yang dia katakan pada Aliya terkesan sangat kejam, dia tidak menyesalinya sama sekali.
Hingga akhirnya mobil yang dikemudikan Jevan memasuki kawasan yang penuh dengan nisan dan rerumputan di berbagai bidang tanah.
Usai memarkirkan mobilnya, pria itu keluar lalu melangkahkan kakinya perlahan pada sebidang tanah tempat persinggahan terakhir manusia itu.
Tangan kekarnya mengelus batu nisan bertuliskan nama Syafira dengan lembut. Nama seorang wanita yang telah mengambil sepotong hatinya. Kekasih yang sangat dia cintai dahulu.
“Aku datang sayang. Maaf jika aku tidak membawa bunga, mendadak aku ingin bertemu denganmu.”
Mereka dulu adalah pasangan yang bahagia. Saling mencintai dan berjanji untuk berkomitmen memasuki jenjang pernikahan. Sebelum seseorang akhirnya datang dan menghancurkan semua impian Jevan, membuat pria itu sampai sekarang sangat membenci satu nama—Arya Adikara.
“Tunggulah sebentar lagi sayang. Aku bersumpah akan membalaskan semuanya!” ucap Jevan dengan kepalan tangan yang kuat di batu nisan, matanya memerah tajam disertai irama nafas yang tidak beraturan.
“Aku akan melakukan semuanya Syafira! Aku akan membuatnya merasakan kehancuran dan rasa sakit yang luar biasa sampai dia akan menangis kehilangan semuanya! Sekalipun dia akan kehilangan kedua istrinya!”
Kedua mata Arya memang tertutup rapat, tetapi dia sepenuhnya sadar akan rasa sakit akibat luka yang menusuk-nusuk kulitnya dan badannya yang terasa remuk. Luka di pelipisnya, selebar lima sentimeter, kini sudah dijahit, meskipun rasa sakitnya masih terasa. Untungnya, lukanya tidak sampai menyebabkan gegar otak. Ada pula luka di bagian kaki dan lengan akibat tergores aspal. Yang parah, kakinya mengalami patah tulang dan dipastikan dia tidak akan bisa berjalan, meskipun tidak permanen. Dokter pun menyarankan perawatan maksimal. Dokter menjelaskan bahwa Arya harus menjalani berbagai tindakan perawatan, seperti reposisi atau penyusunan kembali tulang. Kemudian, untuk menjaga tulang dalam posisi yang benar, akan dipasang gips. Pengobatan untuk menetralisir rasa nyeri juga akan dilakukan, dan dilanjutkan dengan rehabilitasi. Aliya, sebagai pihak keluarga, tentu menyetujui keputusan yang diberikan oleh dokter. Soal biaya, tidak perlu khawatir karena suaminya memiliki asuransi kesehatan bisn
"Kita akan mengetahuinya setelah kau ikut pulang bersamaku Aliya." Arya menggenggam kedua tangan Aliya dan menatapnya serius untuk meyakinkannya. "Tidak! Aku bukan wanita bodoh, aku tidak akan kembali dan terluka lagi Mas, kita harus bercerai!" Aliya langsung menarik tangan dari genggamannya, berjalan cepat meninggalkan Arya yang terpaku atas penolakan. "Kumohon Aliya! Ayah dan ibuku memaksaku menikah lagi dan segera punya keturunan, aku… maafkan aku karena tak mengakuimu Aliya. Aku berjanji setelah kita pulang nanti semuanya akan berbeda!" Langkah Aliya terhenti, tangannya tiba-tiba mengepal menahan rasa sesak yang lagi-lagi timbul dalam hati, ia sudah menduga jika akan kecewa lagi dan lagi. Arya jelas sekali mengatakan jika permohonan itu bukan murni muncul dalam lubuk hatinya melainkan hanya sebuah perintah dari orang tuanya. Aliya berbalik, menatap pria yang masih sah suaminya itu dengan tatap nanar. Bibirnya mengulas senyum samar yang dipaksakan.
Para pekerja di kantor pada heboh melihat Aliya kembali bekerja, mereka menelisiknya penuh tanda tanya karena mereka sangat penasaran kenapa dia tiba-tiba keluar kerja dan sekarang kembali lagi bekerja. Hal yang lebih heboh adalah, mereka kaget bukan main karena Aliya datang ke kantor semobil dengan CEO perusahaan, Jevan. “Aliya!” Pekik Caca kegirangan saat Aliya tengah berjalan menuju ruang kerjanya, dia adalah rekan kerja yang dapat diandalkan dan sudah baik padanya selama ini, Caca dengan antusias menghambur memeluk tubuh Aliya dengan erat seolah mengobati rindu sudah lama tak berjumpa. “Kangen banget tau, hei ponselmu tuh buat apa sih! Ada apa-apa ngak kabar-kabar, aku khawatir tau Al!” protes Caca masih memeluk Aliya dengan erat. Jangan tanya di mana Jevan berada, setelah memarkirkan mobilnya, dia di sambut dengan para asistennya dan langsung bergegas bekerja meninggalkan Aliya sendirian. Yah, ia memakluminya karena pria itu termasuk orang yang gila bekerja.
“Ada hal penting yang ingin ayah bicarakan denganmu,” Adikara membuka suara di tengah-tengah suasana sarapan pagi saat mereka semua berkumpul di ruang makan. Setelah sesuap nasi dan lauk pauk masuk ke dalam mulutnya, Arya menaruh perlahan sendok yang semula ada di genggaman untuk berhenti sejenak terlebih dahulu dari aktivitas makannya, menggeser piringnya untuk meletakkan kedua tangan yang terlipat rapi di atas meja makan. Arya menatap ayahnya dengan rasa penasaran. “Ya Ayah, apa yang ingin Anda sampaikan?” Adikara termenung terlebih dahulu sebelum mengutarakan apa yang akan dia sampaikan, merangkai kata yang tepat agar putranya menerima ucapannya dan mematuhinya dengan segera. Tanpa basa-basi dia akhirnya membuka suaranya lagi. “Ayah pikir sudah saatnya kau memikirkan kembali tentang keturunan.” Ucapan itu bagai sebuah tuntutan yang tiba-tiba menyerang hatinya yang masih bersedih dan berduka atas kematian istrinya. “Apa yang ayah katakan! Istri saya baru saja m
Ciumannya terasa semakin dalam dan liar. Jevan seperti hewan buas yang kini melahap Aliya dengan rakus. Lidahnya bahkan menerobos masuk seakan mengoyak dan mengobrak-abrik mulut Aliya. “Jevan hentikan!” pekik Aliya di sela-sela menarik nafas saat Jevan memberinya kesempatan. Aliya tampak megap-megap karena pungutan Jevan jauh dari kata lembut, pria di atasnya itu kembali menciumnya dengan brutal sampai bibir Aliya berdarah. Ciumannya turun ke leher dan meninggalkan bekas kemerahan di sana. “Sadarlah kau mabuk!” kali ini Aliya berteriak lebih keras karena Jevan perlahan menyusuri area sensitifnya. “Jevan!” Aliya kehilangan kesabaran, tangannya melayang di udara menampar Jevan dengan keras agar pria mabuk itu menghentikan aksinya. “Akh!” pria itu meringis kesakitan sembari mengusap pipinya yang panas. Pandangannya masih sayu, akal sehatnya perlahan-lahan mulai kembali. Namun bersamaan dengan itu, kepalanya berdenyut tak karuan bercampur perutn
“Tidak Mah, biar kupanggilkan pembantu yang lain. Dia tugasnya memasak,” ucap Arya dengan datar, menatap Aliya yang masih membeku di tempatnya dengan mengisyaratkan mata seolah dalam perkataannya wanita itu harus menaati perintahnya barusan. Aliya membalas tatapan itu dengan matanya yang memerah menahan bulir-bulir air mata, tangannya mengepal erat. Disebut sebagai pembantu membuat harga dirinya jatuh sedalam jurang yang paling dalam. Dirinya menggeleng menandakan dia tak mau melaksanakan perintah suaminya. “Aku bukan pembantu, aku nyonya besar di rumah ini!” teriak Aliya di dalam hatinya, rasanya ia ingin menyuarakan hal tersebut sekeras-kerasnya di depan keluarga Arya. Saat amarah masih menguasai hatinya, Aliya dapat merasakan langkah tegas Arya mendekat padanya, kemudian tangannya yang terkepal seketika di genggam oleh Arya dan pria itu menariknya menjauh dari ruang tamu, menjauh dari keluarga yang dia hormati. “Jangan pernah mengaku pada mereka jika kau ist