Aku pun segera beranjak dari pembaringan dan dengan pelan-pelan merangkak keluar dari kamar. Kemudian turun ke bawah, untuk melakukan aktivitas pagi, memasak dan berbenah. Pagi ini tidak ada sayuran, jadi terpaksa setelah mencuci piring langsung memetik kuncup pakis.
Tidak biasanya rame sekali pada pagi hari ini, sekumpulan orang dari ujung tepi sungai berbondong-bondong mencari Sri. Termasuk suami Sri yang datang dari kota. Jika suaminya tidak datang sepagi ini mungkin tidak ada yang tahu jika Sri bermalam di gubukku."Lisna, Sriyanti ada di sini?" tanya ibu mertuaku dengan nada marah.
"Iya, Mak," sahutku singkat sambil menyudahi kegiatanku yang sedang memetik kuncup pakis.
Kaget rasanya baskom kecil tempat pakisku di rebut oleh Mamak. Entah dibawa ke bawah sana oleh Mamak untuk apa? Kuncup pakis pun tumpah ke tanah dan berserakan, sehingga terinjak- injak oleh orang-orang yang berlalu lalang menuju gubuk, sambil menatapku tanpa sepatah
Aku Merias diri dalam kamar dengan peralatan make-up alakadarnya. Sementara itu, Rere diam dalam dekapan Bik Ijah Jum, yang begitu sabarnya menyuapi Rere makan nasi sesuap demi sesuap.Suara ketukan pintu kamar terdengar. Sebelum aku menjawab, pintu kayu yang tidak terkunci itu pun terbuka. Mamak masuk ke dalam kamar, dia menghampiri diriku yang sedang duduk menatap ke cermin. Dia memakai baju gamis lengkap dengan jilbabnya, baju yang sama ketika pesta pernikahan dulu."Lisna, mari keluar kamar!" ajak Mamak dengan senyuman."Iya, Mak," jawabku dengan suara pelan dan sambil tersenyum.Kemudian aku berjalan pelan mengikuti Mamak dari belakang, menuju ruang tamu. Sampai di sana diriku sangat terkejut, karena mereka sudah menyusun rencana pernikahan aku dan Mas Rudi untuk yang kedua kalinya. Ritual ijab kabul pun berjalan dengan lancar dan sangat singkat. Tidak melakukan pembacaan ayat-ayat pendek sepert
"Ibu, Ayah, Adik dan kamu Lisna ke marilah kita duduk bareng. Sekalian suamimu suruh ke sini. Kita adakan rapat keluarga," Mba Ayu langsung memerintah kami begitu masuk ke rumah. Layaknya seorang bos."Mas Rudi belum bangun Mba. Tunggu sebentar lagi," kilahku sedikit kesal."Suruh saja dia bangun! Aku sangat sibuk!" ucapnya dengan suara ketus, sambil matanya menatap tajam ke arahku.Dengan malas aku masuk ke dalam kamar membangunkan Mas Rudi, yang sedang terlena dalam mimpi indahnya di atas kasur busa empuk dan hangat.Dengan sedikit marah Mas Rudi, terpaksa bangun dari pembaringan. Karena sekarang sedang berada di rumah orang tuaku, jadi dia tidak berani untuk membentak apa lagi memukul diriku.Mas Rudi beranjak dari tempat tidur dengan malas, dia melangkahkan kaki menuju ke mandi. Untuk mencuci mukanya yang kusut. Sementara itu, aku menyeduh kopi panas dan pahit, untuk disajikan di depan Mas Rudi, yang akan duduk di ruang tamu. Setelah dia menyuc
Pagi berlalu dengan sangat cepat berganti siang. Begitu juga siang terasa sangat singkat hingga malam pun mulai menyapa.Dengan malas aku duduk di belakang Mas Rudi. Di motor gunung miliknya, untuk menuju ke rumah Mba Ayuk, yang letaknya tidak jauh dari rumah orang tua kami.Ayah membonceng Ibu dan Adik, mereka sampai terlebih dahulu. Karena Mas Rudi sangat lambat mengendarai motornya, jadi kami sampai terlambat. Seolah-olah dia mengatakan tidak mau datang ke rumah Mba Ayuku, dengan menggunakan bahasa tubuhnya.Mas Rudi memang tidak suka pada Mba Ayu terlebih lagi kepada Abang Ipar. Menurutnya Abang Ipar kurang tegas sebagai lelaki, tetapi jika menurutku sendiri Abang Ipar sosok suami idaman. Sangat beruntung sekali Mba Ayu punya suami seperti dia.Sesampainya di sana Ayah sedang minum kopi susu. Emang seperti ini jika Ayah ke rumah Mba Ayu selalu dibuatkan susu, walaupun dia datang tanpa membawa oleh-oleh. Wajar saja jika dia selalu membela Mba Ayu.
Pagi berlalu dengan sangat cepat berganti siang. Begitu juga siang terasa sangat singkat hingga malam pun mulai menyapa.Dengan malas aku duduk di belakang Mas Rudi. Di motor gunung miliknya, untuk menuju ke rumah Mba Ayuk, yang letaknya tidak jauh dari rumah orang tua kami.Ayah membonceng Ibu dan Adik, mereka sampai terlebih dahulu. Karena Mas Rudi sangat lambat mengendarai motornya, jadi kami sampai terlambat. Seolah-olah dia mengatakan tidak mau datang ke rumah Mba Ayuku, dengan menggunakan bahasa tubuhnya.Mas Rudi memang tidak suka pada Mba Ayu terlebih lagi kepada Abang Ipar. Menurutnya Abang Ipar kurang tegas sebagai lelaki, tetapi jika menurutku sendiri Abang Ipar sosok suami idaman. Sangat beruntung sekali Mba Ayu punya suami seperti dia.Sesampainya di sana Ayah sedang minum kopi susu. Emang seperti ini jika Ayah ke rumah Mba Ayu selalu dibuatkan susu, walaupun dia datang tanpa membawa oleh-oleh. Wajar saja jika dia selalu membela Mba Ayu.
"Ada masalah apa? Kata lah, Rud!" selidik Mamak pada Mas Rudi.Mamak masuk ke gubuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia langsung menuju ke amben tempat Mas Rudi sedang berbaring. Untuk menumpahkan rasa lelah dan letihnya.Dari balik geribik, pembatas dapur terdengar pembicaraan mereka. Rupaya mereka tidak setuju akan keputusan yang diambil oleh keluargaku. Prihal Nas Rudi yang harus pergi bekerja ke luar negeri. Bahkan sumpah serampah keluar dari mulut Mas Rudi. Menghina dan mendoakan segala kejelekan untuk keluargaku. Hati dan jiwa terasa mendidih mendengar perbincangan mereka, tetapi hati ini harus tetap bersabar. Supaya tidak terluka lagi.Ketika Mamak beranjak dari tempat duduknya untuk menuju ke dapur. Aku langsung keluar dengan pelan-pelan meninggalkan ruang dapur dan segera menuju ke sungai. Untuk mandi.Setelah aku selesai mandi di sungai. Kembali masuk ke gubuk dari pintu dapur. Sampai
Aku membiarkan Mamak yang sedang asik merayu Mas Rudi. Mengenai duit dari hasil penjualan jengkol. Rayu demi rayuan Mamak lontarkan, sehingga Mas Rudi berencana memberikan separuh uangnya untuk biaya sekolah adiknya.Rasa kantuk pun sudah tidak tertahankan lagi. Aku pun bergegas naik ke atas untuk merebahkan badan yang terasa remuk. Tanpa pamit terlebih dahulu kepada Mamak dan Mas Rudi. Dalam hati timbul perasaan yang sangat besar pada Mas Rudi, beserta keluarganya.Aku terjaga dari mimpi, ketika ada tangan kekar mengelus pipiku. Kemudian perlahan mata ini terbuka mata, walupun masih sangat mengantuk."Lisna, aku mau," ucap Mas Rudi pelan.Beberapa bulan yang lalu, aku merasa senang dengan setiap kali ajakannya untuk bercinta. Namun, kini aku merasa sangat jijik setiap membayangkannya hal itu."Aku sedang datang bulan, Mas," tolakku halus dengan suara manja."Baiklah aku akan keluar dulu. Kunci pintunya!" perintah Mas Rudi, sambi
Pagi ini, cuaca sangat cerah, burung-burung berkicau dengan merdu. Mentari pun menampakkan diri dengan penuh berani dari sela-sela dedaunan. Sinar keemasan yang indah membuat kesan tersendiri di hari ini.Pagi ini aku berencana pergi ke pasar, untuk menemui saudagar jengkol. Dengan tujuan meminta uang dari hasil penjualan jengkol Mas Rudi. Tentunya tanpa sepengetahuan dia. Biasanya Mas Rudi pulang di siang hari, jadi aku membawa serta Rere bersamaku. Sekalian akan membelikan bakso untuknya. Mungkin akan sangat merepotkan membawa kopi coklat, serta menggendong Rere yang sedang tertidur pulas. Namun, apalah daya. Seperti inilah perjuangan seorang ibu.Terdengar suara motor dari kejauhan. Suaranya sangat memekakkan telinga dan aku sangat yakin bahwa itu adalah raungan mesin motor gunung milik Mas Rudi. Jauh dari perkiraanku jika sepagi ini Mas Rudi akan pulang ke gubuk. Padahal biasanya dia akan pulang pada tengah hari atau sore hari.Mas Rudi pulang dengan m
Rere yang malang"Rere . . . , Rere . . . ," panggilku setengah berteriak.Pandanganku menyapu seluruh ruangan gubuk yang sempit. Mulut mendadak berteriak histeris. Ketika mata menatap pada sosok kecil, yang tergeletak di pintu dapur sambil menangis parau karena kehabisan suara."Rereku, sayang," air mataku mulai membanjiri pipi.Aku memeluk dan mendekap hangat Rere dalam pangkuan. Tangan dan kaki kecilnya yang berkaus kaki telah kotor dan basah. Tanah merah bercampur air kencing menjadi satu mengotori seluruh tubuh Rere yang mungil.Wajahnya memerah dan memar. Berkali-kali ciumanku mendarat di pipi mungil. Sebagai tanda betapa besar cinta kepadanya, dengan lembut baju dan celana yang melekat di badanya kulepas perlahan. Kedua lutut memar juga siku tangan sebelah kiri.Air teremos bercampur dengan air dingin aku gunakan untuk membasuh badan Rere, yang kotor. Supaya bersih dan tidak berbau pesing lagi. Kemudian aku memandikannya, setelah itu