Sesampainya di rumah, hatiku rasanya masih menyisahkan emosi sehabis bertemu perempuan itu, dengan perasaan jengkel aku memasukkan barang-barang yang tadi kubeli ke dalam kulkas. Snack, mie instan dan lainnya, tak lupa aku juga membeli sayur-mayur, daging dan juga ikan segar.
Sebuah notif masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan dari Mas Arya. Aku sengaja tidak membukanya, apa lagi untuk membalasnya. Aku melanjutkan memasukkan barang-barang ke dalam kulkas.
Selesai!
Aku mengambil ponsel yang tadi kutaruh di atas kulkas. Lalu, menghubungi Hani sahabatku.
[Han, lagi apa? Kalau gak sibuk pulang kerja mampir ya! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan] aku mengirim pesan pada Hani, tak lama kemudian pesanku di balas.
[Oke, Bos] balasnya. Aku terkekeh, dasar si Hani.
Kemudian pesan kembali masuk.
[Jaga kesehatan ya!] pesan dari Mas Arya yang kesekian kalinya. Membuatku muak, percuma perhatian, tetapi ternyata tukang se*ingkuh.
Aku membanting ponsel ke atas kasur dengan gusar. Lalu, berlalu pergi ke kamar mandi. Merendam diri dalam bathup, dengan aroma bunga mawar agar pikiran dan hatiku lebih fresh.
Aku tidak boleh lemah dan menyiksa diri hanya karena Mas Arya lebih memilih wanita lain, aku harus lebih baik dan baik-baik saja. Akan kubuat ia menyesal. Bukankah membuat seseorang yang telah berkhianat itu menyesal adalah dengan cara kita menjadi lebih baik? Iya aku harus kuat, wanita sepertiku tak pantas disakiti oleh lelaki seperti Arya hanya karena perempuan ja*ang itu, aku pantas bahagia.
Saat aku tengah mengeringkan rambut, ponselku kembali berdering, panggilan masuk dari Hani.
"Cepat keluar, gue udah di depan," ucap Hani dengan suara cemprengnya membuatku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga.
"Iya." ceklek aku mematikan ponsel, aku yakin perempuan ceriwis yang melebihi Mbak Elma itu sedang memaki-maki, tetapi hatinya baik kok.
Aku segera turun dan membukakan pintu depan, kulihat ditangannya ada dua paper bag dengan tulisan brownies, membuatku menelan ludah seketika, aku mengajaknya minta bantu diet, tetapi ia malah membawakan pupuk.
"Lama amat si, Buk," gerutunya,"Nih!" Ia menyodorkan paper bagnya, ragu-ragu aku meraihnya.
"Gak diajak masuk, Nih? Aku pulang!" ucapnya cemberut.
Aku tertawa, lalu menggandeng tangannya menuju lantai atas, tak lama kemudian Bi Jana datang mengantar minuman.
"Taruh saja di situ, Bi!" ucapku seraya menunjuk meja rias, Bi Jana pun mengangguk. Aku mengambil beberapa potong brownies dan memberikan pada Bi Jana.
"Jadi ada berita penting apa?" tanya Hani serius, sambil duduk di sisi ranjang dengan memegang gelas minuman.
Aku pun mulai bercerita panjang lebar, menjelaskan prihal yang tengah menimpaku, Hani adalah sahabat yang bisa dipercaya kami sering berbagi cerita, meski ia belum menikah, dan ceriwis tetapi kalau sudah diajak serius ia bisa lebih bijak.
"Hah! Serius, Ai?" Mata Hani membulat tak percaya, "Br*gsek si Arya, kurang apa coba dirimu?" Hani jadi emosi.
"Jadi apa rencana lo?" tanyanya lagi.
Aku tertunduk lesu, saat ini aku hanya ingin bisa kurus dan merubah penampilanku. Aku ingin membungkam mulut Mbak Elma, dan orang-orang yang nyinyir itu. Kalau aku bisa kurus.
"Bantu gue diet!" ucapku yakin.
"Hanya itu?" tanya Hani meyakinkan.
Aku mengangguk cepat, untuk saat ini aku harus bisa mengubah penampilanku. Aku tidak akan tinggal diam, dengan membiarkan mereka bersenang-senang di luar sana, lihat saja apa yang akan kulakukan. Kemudian, tanganku terulur ingin mengambil potongan bronis entah yang keberapa, Hani segera menepis tanganku seketika membuatku kaget.
"Katanya mau diet?" Aku nyengir, dan menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
***
Minggu pagi, aku dan Hani sudah siap untuk membuang lemak, membakar kalori dalam tubuh dengan lari pagi. Baru setengah jalan rasanya aku sudah tak ngos-ngosan, tetapi demi kebahagianku sendiri aku harus kuat.
Sepanjang perjalanan aroma makanan yang di jual pinggir jalan mengganggu indra penciumanku, mulai dari aroma lontong sayur, nasi uduk, nasi kuning, nasi goreng merah, nasi goreng udang dan banyak lagi lainnya, aku menggeleng kuat. Aku harus bisa diet. Kenapa juga Hani memilih rute ini, sepertinya dia sengaja menguji keimananku, baiklah aku pasti bisa menghadapi ini.
"Hei, kenapa?" tanya Hani menyadari langkahku tertahan pada sebuah gerobak nasi goreng udang.
"Mampir dulu, Neng!" ajak seorang penjual nasi goreng udang langgananku, aku meneguk saliva dan tersenyum.
"Lain kali aja, Bu," balasku tak enak hati.
Aku berlari kecil mendekati Hani, kami pun beristirahat di bawah pohon pinggir jalan, Hani membeli dua botol air mineral.
Mulai sekarang aku harus banyak makan sayur dan sedikit makan nasi, aku mengambil tumis kangkung yang sudah kurequest ke Bi Jana dalam wadah keramik, dan sedikit nasi. Biasanya aku makan rendang, dengan porsi nasi dua piring.
"Kamu percaya Ai, kalau dengan makan sayur bisa buat kurus?" tanya Hani dengan wajah serius.
"Iyalah, itu yang sering gue dengar, cara diet sehat!" balasku tersenyum.
"Jangan percaya, Ai!" lanjutnya lagi.
Aku menghentikan aktivitas makanku, lalu menatapnya dengan wajah tak kalah serius. "Ke-kenapa?"
"Coba lihat gajah, makan sayur tapi gak kurus-kurus," ucapnya, akhirnya Hani tergelak.
Ah sial, aku melempar tisu bekas ke wajahnya. Membuatnya seketika protes, kini giliranku yang tergelak.
Lihat saja, ini baru permulaan aku pasti bisa diet dan membuat Mbak Elma menarik kata-katanya!
Bersambung ...
Selesai makan aku dan Hani berencana pergi nge-gym sehabis Zuhur nanti. Ini pertama kalinya aku pergi nge-gym lagi, setelah menikah. Dulu, sebelum menikah, aku sering nge-gym dan mendatangi pusat kebugaran, menjaga pola makan dan penampilan. Setelah menikah Mas Arya selalu memanjakanku, memberikan segala yang kusuka, dan kuinginkan. Selain itu juga, keahliannya di bidang memasak, juga salah satu faktor tumbuh kembangnya lemak dalam tubuhku, sementara untuk berolah raga aku sudah jarang, bahkan hampir tak pernah."Ai, kamu sudah siap?" tanya Hani, saat keluar dari kamar mandi."Udah nih, ayo berangkat!" ucapku.Karena libur aku sengaja meminta Hani untuk menginap di sini, dan tentunya sudah izin sama orang tuanya. Aku mengeluarkan mobil dari garasi, memanaskan mesinnya sebentar, lalu keluar dari gerbang menuju jalan raya.Selama perjalanan Hani tak henti-hentinya bernyanyi, menirukan penyanyi aslinya, headset yang terpasang di telinganya membuatnya sesuka hati menumpahkan suara cempr
Sejak memutuskan untuk diet aku selalu rajin melakukan olah raga, mulai dari Jogging, crunch, cardio, plank, jumping jacks dan olah raga lainnya, yang bisa di lakukan di rumah. Biasanya sebelum berangkat kerja aku selalu menyempatkan diri untuk lari ditempat sebanyak 23 kali sama seperti usiaku. Sudah minggu ketiga aku melakukan diet, dan usahaku tidak tidak sia-sia, berat badanku benar-benar berkurang sebanyak 16 kg. Aku begitu merasa senang. Pagi ini, selesai salat subuh aku melangkah keluar kamar, menuruni anak tangga dan menuju dapur. Sebelum berolah raga, aku terlebih dulu membuat sarapan sehat untuk diet. Omelet sayur dan sandwich alpukat. Tak lupa satu gelas susu. "Lagi masak apa, Non?" Tiba-tiba suara Bi Jana mengagetkanku yang tengah asyik membuat omelet sayur. "Bibi! Ngagetin aja." seruku dengan jantung seakan mau copot. "Maaf, Non!" ucap Bi Jana merasa tak enak. "Emang, Non lagi masak apa? Kayaknya senang banget, Nonnya?" tanya Bi Jana lagi. "Ini, Bi aku lagi masak om
Aku terbangun dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing. Belum sepenuhnya sadar aku mengerjap perlahan, mengamati sekeliling sembari merapikan kepingan ingatan sebelum aku tertidur disini. Lalu, mencoba menggerakkan tangan dan bangun."Syukurlah, Ai kamu sudah sadar!" Aku menoleh, ternyata Mas Arya, sejak kapan dia ada disini? ia tersenyun seraya beranjak dari kursinya, dan langsung membantuku bangun, dengan memegangi tanganku.Rasanya tetap terasa sama, hangat. Tetapi mengingat luka yang ditorehkannya membuatku langsung menarik tanganku.Bersamaan itu, Bi Jana pun datang sambil membawa nampan berisi satu gelas teh hangat di atasnya, terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Bi, aku kenapa?" tanyaku, setelah Bi Jana menaruh tehnya di atas nakas."Alhamdulillah syukurlah, Non sudah sadar. Tadi, Non pingsan di garasi, Bibi panik dan segera menelpon Den Arya." Bi Jana menjelaskan. "Untung, Den Arya segera datang," lanjutnya."Pi-pingsan, Bi?" Aku mengulang kalimat yang sama."Iya
Hari ini aku masih belum masuk kerja, setelah pingsan kemarin. Tubuhku masih terasa lemas, urusan Butik sudah kuserahkan pada Abel asistenku. Sementara pagi-pagi sekali, Mas Arya sudah berangkat kerja. Aku tidak menghiraukannya, terserah dia mau sarapan atau tidak, bukan urusanku. Semalam dia pun tidur di atas sofa.Saat bangun, mataku menangkap sesuatu di depan cermin, secarik kertas dengan tulisan 'Selamat pagi, perempuan cantik. Sehat selalu ya! I Love U' huh, Mas Arya selalu saja romantis, dasar bucin. Dia pikir aku akan luluh? Hatiku sudah kebal dengan rayuan receh seperti ini, sejak tahu ia telah membaginya dengan wanita lain, rasanya mulai terasa hambar.Aku beranjak dari atas tempat tidur, perlahan menuruni ranjang, setelah salat subuh aku tidur lagi, bangun-bangun sudah jam 07. Aku menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri dan menggosok gigi."Bi, tolong buatin susu ya!" ucapku pada Bi Jana saat aku telah duduk di kursi meja makan."Baik, Non!" Sembari menunggu tanganku be
"Mbak Elma, tadi ke sini?" Mas Arya bertanya sambil melepas dasinya."Ya begitulah," jawabku acuh tak acuh dengan posisi berbaring di atas sofa, sembari memainkan ponsel."Apa, Mbak Elma ada menggangumu lagi?" Mas Arya masih bertanya, kini ia menghentikan aktivitasnya dan menatapku."Tidak, dia cuma ingin pinjam uang, dan aku tidak memberinya," ucapku santai, toh aku bukan lagi Aini yang dulu yang selalu nurut dengan keluarga Mas Arya. Mbak Elma pun ternyata tau prihal pernikahan Mas Arya dengan perempuan itu. Bahkan dia sendirilah yang terang-terangan memberitahuku.Sejak ia mengatakan bahwa Mas Arya sudah menikah lagi, sejak itu pula aku menganggapnya orang asing."Mas, minta maaf!" Suara Mas Arya terdengar menyesal. Ah, menyesalpun percuma nasi sudah menjadi bubur."Buat apa?" tanyaku, sambil terus memainkan ponsel. Biasanya saat Mas Arya pulang kerja aku selalu menyambutnya dengan hangat, membantunya melepas sepatu, dasi bahkan baju kemeja yang dikenakannya. Tetapi, itu dulu saat
Tiba di rumah, suasana nampak sepi dan lenggang. Sepertinya Mas Arya belum pulang. Aku segera menuju lantai atas, ingin segera melepas lelah dan penat dengan berendam di bathup. Saat membukakan pintu betapa terkejutnya aku, melihat pemandangan yang membuat emosiku seketika mendidih.Kulihat Anita dengan santainya sedang bersandar di kepala ranjang , sambil memakai baju tidurku. Menyadari kedatanganku, ia segera bangkit dan menghampiriku sambil melipatkan tangan di dada, dan tersenyum sinis. Pamandangan yang sangat wow bukan?"Mulai sekarang kamar ini, Butik jadi milikku, dan kamu harus angkat kaki dari rumah ini!" Telunjuknya mengarah ke wajahku, ia berucap begitu percaya diri, tanpa rasa malu.Ha, rasanya aku ingin tertawa melihat tingkahnya yang sudah seperti seorang bos, dan apa katanya aku harus angkat kaki dari rumah ini? Benar-benar lelucon."Atas dasar apa kamu menyuruhku pergi?" tanyaku santai.Anita tertawa seolah pertanyaanku terdengar lucu. "Jelas saja. Karena mulai sekara
Setelah Mas Arya dan Anita pergi aku terduduk lemas di atas sofa. Termenung memikirkan hal yang baru saja terjadi, kenapa Mas Arya begitu tega. Padahal jika dia benar-benar memikirkanku dia bisa meninggalkan perempuan itu. Tapi, nyatanya dia malah memilih perempuan itu.Apa kurangku selama ini, bahkan aku tak pernah menuntut untuk dinafkahi secara materi. Aku pun tak pernah menanyakan perihal keuangan kantor yang saat ini sepenuhnya kuserahkan padanya. Kenapa, Mas Arya tetap ingin bertahan dengan perempuan itu, jika benar ia merasa pernikahannya adalah sebuah keterpaksaan? Sebuah tanya memenuhi kepala, Pikiranku meracau tak karu-karuan, dan membuat pening."Non, Bibi minta maaf ya!" Bi Jana datang, pelan ia berjalanmenghampiriku, dengan wajah takut-takut, dan tak enak.Aku tersenyum, berusaha mengurai sesuasana yang terasa tegang. lalu, menggenggam tanga Bi Jana. "Gak apa-apa, Bi. Ini bukan salah, Bibi." ucapku berusaha untuk tegar, agar terlihat baik-baik saja."Tapi, gara-gara, Bib
Berawal dari niat hanya ingin menolong, tetapi malah terjebak dalam perangkap Anita. Malam itu kebetulan aku lembur, kulihat Anita juga belum pulang. Karena merasa kasian akhirnya aku mengantarnya pulang."Mampir dulu, Mas!" ajak Anita sambil tersenyum saat kami tiba di apartemennya."Gak usah, aku masih ada urusan," kilahku."Sebentar saja, kran air saya mati. Tolong bantu benerin Mas!"Akhirnya aku turun dari mobil dan mengecek kran air yang disebutkan Anita. Setelah selesai aku buru-buru pamit."Minum dulu, Mas! Mas pasti capek."Aku ingin menolak, tetapi Anita malah menyodorkannya ya sudahlah cuma air putih. Aku pun meneguknya. Tidak berapa lama kepalaku terasa pusing dan pandanganku terasa gelap. Setelah itu aku tidak lagi ingat apa-apa.Menjelang subuh, aku terbangun. Betapa terkejutnya aku, melihat Anita terisak. Pintu depan di gedor seperti akan lepas dari engselnya. Anita beranjak membukakan pintu, setelahnya lelaki yang tak kukenal tiba-tiba memukulku. Sementara yang kuyaki