Seruni hanya menoleh sekilas pada sang suami yang sudah berdiri di depan pintu ruang sidang. Tak ada keinginannya untuk menyapa sang suami. Posisi mereka bersebrangan tentu saja, karena Jagat bagaimanapun salahnya Rira akan selallu berada digarda depan untuk membela perempuan itu. Dia tidak tahu sebenarnya rumah tangga macam apa yang dia jalani. “Bisa kita bicara sebentar.” Tiba-tiba Jagat menarik lengannya saat melewati laki-laki itu.“Maaf, Tuan. Bagaimanapun di sini status nyonya Seruni sebagai pelapor dan anda adalah suami terlapor,” kata sang pengacara, mungkin dia lupa kalau Seruni juga istri Jagat saking jarangnya kedua orang itu sepaham. “Apa maksudmu, Seruni juga istriku dan tak ada hukum yang melarang seorang suami bicara pada istrinya.” Benarkan, mereka lupa. Seruni geli melihat para pengacara yang lupa kalau dia juga istri Jagat tapi dia lebih geli lagi pada Jagat yang sok-sokan menggunakan hak prerogatifnya sebagai seorang suami, karenanya nyatanya laki-laki itu ta
Ini bukan soal siapa yang menjadi milik siapa. Atau soal balas dendam. Ini soal tanggung jawab pada apa yang telah dia lakukan. Seruni bukan seorang pendendam, dia selalu memilih terus melangkah maju tak perduli aral rintangan yang menghadang. Dalam hidup ini dia ingin bahagia dan orang tidak akan bahagia jika masih terbelenggu dendam, karena itu dia harus melepaskan, bukan untuk orang lain tapi untuk kedamaian hatinya sendiri. Itulah ajaran yang dahulu ibunya tanamkan padanya dan sampai sekarang masih mengakar di otaknya dan dia terapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Akan tetapi dia tidak akan melepaskan begitu saja penjahat yang telah terbukti bersalah. Sekali lagi bukan karena dendam. Tapi orang jahat memang harus mendapat balasan atas perbuatannya. Meski tidak semua orang berpikiran sama dengannya. “Kamu tidak harus melakukannya, kita masih bisa bicara baik-baik.” Seruni hanya diam sambil memainkan gelas di tangannya. Kamar hotel ini memang nyaman sangat nyaman tapi k
“Itu suamimu, nduk?” Seruni menoleh pada pada pintu masuk yang ditunjuk bude. Bayu terlihat membawa dua paper bag besar di kedua tangannya. Dia kira laki-laki itu sudah kembali ke kota semalam. “Bukan dia asisten suami saya,” kata Seruni sopan. “Oalah aku kira ini yang suamimu ganteng dan pinter soalnya,” kata bude sambil tersenyum pada Bayu yang baru saja masuk dan meletakkan barang bawaannya di meja. “Saya sudah memesankan makanan, dan untuk tuan kecil saya juga sudah memastikan keamanannya pada pihak hotel, apa nyonya akan menunggui di sini sampai malam?” tanya Bayu sopan. Seruni melirik bude dan istri baru ayahnya yang hanya bisa melongo menatap Bayu. “Mungkin, terima kasih atas perhatianmu, kalau kamu sibuk sebaiknya kembali saja.” “Saya akan tetap di sini sampai besok pagi,” kata Bayu datar. “Baik.” Meski memanggilnya nyonya nyatanya Bayu memang bukan staffnya dan Seruni sama sekali tak berhak memerintah laki-laki itu. Bayu bekerja atas kemauannya sendiri, bahkan Jagat
“Mas ayo dong angkat,” gerutu Seruni sambil mondar-mandir. Dia wanita bersuami tapi seperti janda,tak pernah ada perhatian dan kasih sayang dari suaminya. Seharusnya Seruni baik-baik saja itu sudah biasa tapi dalam keadaan kalut seperti ini dia butuh sandaran, dia butuh pegangan dan siapa lagi orang pertama yang harus dia hubungi kalau bukan suaminya. “Bagaimana?” tanya Tita yang dengan cekatan mengemas beberapa baju dan keperluan Seruni, sedangkan untuk keperluan baby Day sudah dicover mbak pengasuh. “Nggak diangkat.” “Kamu tinggalkan pesan saja, siapa tahu dia sedang rapat dan nanti nyusul. Kamu pergi sama sopir saja.” Seruni terdiam lalu mengangguk, otaknya bahkan tak mampu untuk berpikir lagi, dia sudah kalut. Sejak kematian sang ibu, Seruni terus berusaha menjauh dari ayahnya, bahkan saat laki-laki cinta pertamanya itu berusaha mendekat. Kini saat mendengar kabar yang tak mengenakkan tentang snag ayah dadanya berdebar kencang. Baru dia sadari dia sangat takut kehilangan a
“Kamu baik-baik saja?” tanya Tita. Sejak tadi malam gadis itu punya keinginan kuat untuk datang ke rumah sahabatnya ini, tapi kesibukannya membuat Tita hanya bisa menghubungi Seruni lewat telepon dan sahabatnya itu mengatakan semua baik-baik saja. Beberapa kali Seruni memang menawari Tita untuk tinggal di rumah ini bersama dirinya, karena sang suami juga jarang datang dan rumah ini memang sudah diberikan pada wanita itu, tapi tetap saja Tita tak enak hati, dia merasa seperti pelakor kalau harus tinggal di rumah ini juga. Apalagi jika Jagat datang ke sini, bukan karena dia ingin merebut suami sahabatnya itu, tapi dia tidak sabar untuk mencekik Jagat karena sudah membuat sahabatnya menderita. Tapi tetap saja Tita tak bisa tenang, dan hari ini dia datang disambut wajah menyedihkan Seruni. Sahabatnya itu bukan lagi wanita ceria dengan mata bersinar penuh tekad, tapi wanita dengan sorot mata kosong dan kepala yang berusaha keras untuk tetap tegak. Pernikahan macam apa yang dijalani s
Tadinya dia tidak peduli bagaimana kisah cinta suaminya dan Rira, Seruni tidak ingin tahu karena tidak ada gunanya juga hanya akan menimbulkan sakit hati. Dalam hidup suaminya memang hanya Rira yang nomer satu, untunglah dia tidak terlalu percaya dengan janji manis suaminya, Seruni sudah menyiapkan diri jika harus tersisih dan bahkan terbuang. "Aku tidak mau," kata Seruni tanpa berpikir. "Kamu tidak akan kehilangan uang itu atau memberikannya pada orang lain kamu hanya berinvestasi justru uangmu akan bertambah tanpa harus bekerja." Seruni menatap suaminya tajam. "Aku tahu apa arti investasi mas apa kamu kira aku sebodoh itu," kesalnya. "Bukan begitu, Run. Aku hanya ingin menolong perusahaan ayah Rira saja." "Kalau mas mau nolong ya tolong saja ngapain libatkan aku. Jangan-jangan sejak awal mas Arsen memang sudah tahu kalau perusahaan keluarga Rira akan kolaps jadi dia ngasih semua sahamnya sama aku buka sama mas." Jagat menghela napas panjang, kalau sudah berbicara tentang w